Desain Pemberdayaan Petani Kubis Berbasis Pendidikan & Kesehatan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Desain Pemberdayaan Petani Kubis Berbasis Pendidikan & Kesehatan"

Transkripsi

1 Desain Pemberdayaan Petani Kubis Berbasis Pendidikan & Kesehatan Pertama Kali Dipublikasikan Di Desa Pakis, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang Propinsi Jawa Tengah Oleh Dr. Budiyono Saputro, M.Pd ii

2 Kata Pengantar Syukur Alhamdulillah pemberdayaan pada masyarakat petani kubis ini selesai kami jalankan, demikian pula laporan kegaitan ini juga telah dirampungkan. Rasa syukur tersebut kami panjatkan dengan pujian kepada Allah SWT yang telah memberi nikmat sehat dan kesempatan pada tim peneliti untuk menjalankan aktivitas sehari-hari, khususnya selama proses kegiatan ini dilakukan dari bulan Mei hingga Desember tahun Kegiatan ini sekaligus dua aktivitas, yakni penelitian ilmiah dan pemberdayaan masyarakat atau dapat kami sebut sebagai pengabdian dalam kerangka penelitian ilmiah. Pemberdayaan pada masyarakat yang kami lakukan adalah memberikan kesadaran pada masyarakat mengenai pentingnya menjaga kesehatan melalui penyuluhan. Sementara penelitian ilmiah dilakukan pada halhal yang terkait dengan kemungkinan terjangkitnya cacing usus Soil Transmitted Helminths (STH). Penelitian ilmiah dalam kerangka ini adalah pemeriksaan labratorium warga melalui sample fases warga desa sekitar Pakis. Dua aktivitas dalam pemberdayaan ini tentu dilakukan secara bersama. Misalnya studi pendahuluan dan kegiatan Focus Group Discussion (FGD), pemeriksaan laboratorium, bimbingan kesehatan (klinis) serta pemberian solusi atas persoalan lapangan. Dalam kegiatan ini pemberdaya menggandeng kerja sama dengan ahli kesehatan, aparatur pemerintahan desa, serta mahasiswa sebagai tim pembantu. Selesainya kegiatan ini tentu juga tidak lepas dari berbagai pihak yang secara langsung ataupun tidak terlibat langsung dalam pelaksanaan pemberdayaan ini. Kami ingin memberikan apresiasi setingi-tingginya pada beberapa pihak. 1. DIKTIS Kementerian Agama RI yang telah memberikan keepercayaan kepada kami untuk melaksanakan pemberdayaan ini. 2. Aparatur Kecamatan Pakis, kabupaten Magelang yang dengan tulus ikhlas memberi izin dan kerja sama lapangan selama proses pengabdian dan penelitian ini. iii

3 3. Masyarakat Kaponan, desa Pakis yang bersedia secara kooperatif bersedia mengikuti proses kegiatan ini terutama selama FGD dan bimbingan klinis. 4. dr. Andriani, SpPK, dokter Spesialis Patologi Klinik yang membantu memberikan Penyuluhan dan bimbingan klinis pada masyarakat. 5. Mahasiswa selalu tim pembantu lapangan yang dengan cekatan membantu proses penelitian laboratorium. 6. serta berbagai pihak yang tidak sempat kami sebutkan satu per satu dalam laporan kegiatan ini. Kami tidak dapat membalas sumbangsih berbagai pihak tersebut, selain ucapan terima kasih yang tak terhingga, semoga Allah SWT yang memberi balasan yang pantas dan layak. Akhirnya kami berharap semoga kegiatan ini bermanfaat bagi masyarakat, bagi dunia akademik dan tentu bagi pribadi kami. Laporan ini juga kami harapkan bermanfaat bagi banyak pihak yang memerlukan. Serta jika ada hal-hal yang belum tepat dalam laporan pemberdayaan ini kami membuka diri untuk menerima saran dan kritik yang konstruktif. Terima kasih, wassalam. Salatiga, 22 Desember Penyusun Dr. Budiyono Saputro, M,Pd iv

4 Abstrak Pakis merupakan daerah yang teletak di lereng Gunung Merbabu. Sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani kubis. Mereka selalu berhubungan dengan tanah dan pupuk kandang. Lahan pertanian sangat dekat dengan rumah warga. Penempatan pupuk kandang berdasarkan pengamatan sangat dekat dengan rumah warga dan sangat memungkinkan warga terinfeksi penyakit cacingan. Apalagi di musim hujan, pupuk kandang yang ditaruh didekat pemukiman terbawa oleh air hujan dan menuju ke pemukiman warga. Hal tersebut memerlukan penanganan yang serius. Infeksi umumnya melalui tanah yang terkontaminasi tinja yang mengandung telur cacing Soil Transmitted Helminths (STH), misalnya askariasis, trikuriasis. Spesies STH yang ditemukaan pada manusia adalah Ascaris lumbricoides (A. lumbricoides), Trichuris trichiura (T. Trichiura), Strongiloides Stercoralis (S. Stercoralis), Ancylostoma duodenale ( A. duodenale ), Ancylostoma caninum (A. caninum). Desain pemberdayaan masyarakat petani kubis berbasis pendidikan & kesehatan sebagai upaya minimalisasi bahaya infeksi telur cacing STH bagi petani kubis berikut: a. studi pendahuluan: observasi, Focus Group Disscusion (FGD), perencanaan, b. bimbingan klinis: diagnosa laboratorium, penyuluhan, konsultasi, pengobatan, c. pemberdayaan: penyerahan dan simulasi penggunaan "Temporary Shelter" dan Alat Pelindung Diri dalam kehidupan sehari hari, d. monitoring, e. output: bebas infeksi telur STH. Berdasarkan pemberdayaan masyarakat yang telah dilakukan pada petani kubis di desa model Kaponan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) kondisi petani kubis di desa model Kaponan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang berdasarkan observasi sangat rentan terhadap bahaya infeksi telur STH, (2) Desain pemberdayaan masyarakat petani kubis berbasis pendidikan & kesehatan sebagai upaya minimalisasi bahaya infeksi telur cacing STH bagi petani kubis berikut: a. studi pendahuluan: observasi, Focus Group Disscusion (FGD), perencanaan, b. bimbingan klinis: diagnosa laboratorium, penyuluhan, konsultasi, pengobatan, c. pemberdayaan: penyerahan dan simulasi penggunaan "Temporary Shelter" dan Alat Pelindung Diri dalam kehidupan sehari hari, d. monitoring, e. output: bebas infeksi telur STH, (3) kejadian infeksi telur STH pada petani sayur 0,017% dari 60 orang petani kubis di desa model Kaponan, (4) stimulan dalam rangka minimalisasi bahaya infeksi telur STH bagi petani kubis dengan penyerahan hasil pembuatan tampungan pupuk kandang (temporary shelter) dan pemberian sekaligus simulasi pemakaian Alat Pelindung Diri (APD). Saran pemberdaya bagi petani kubis adalah sebagai berikut: (1) selalu menjaga kebersihan diri melalui mencuci tangan sebelum dan setelah makan dengan menggunakan sabun, (2) menggunakan Alat Pelindung Diri pada saat bekerja di ladang, (3) tetap menjaga perilaku hidup sehat, (4) segera memeriksakan diri jika terdapat gejala infeksi telur STH. Kata Kunci: desain, pemberdayaan, pendidikan v

5 DAFTAR ISI Judul Kata Pengantar Abstrak Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar i ii iv viii x xi Bab I Pendahuluan 1 A. Latar Belakang 1 B. Fokus Pemberdayaan Masyarakat 2 C. Tujuan Pemberdayaan Masyarakat 3 D. Manfaat Pemberdayaan Masyarakat 3 Bab II Kerangka Teori 4 A. Nematoda Usus 4 B. Soil Transmitted Helminths (STH) 4 C. Kondisi Lingkungan 21 D. Pencegahan dan Pemberantasan Infeksi STH 22 E. Pengawetan Sampel 22 F. Teknik Pemeriksaan 23 G. Kerangka Teori 24 H. Kerangka Konsep 24 Bab III Metodo Penelitian 25 A. Jenis Penelitian 25 B. Lokasi dan Waktu Penelitian 25 C. Objek Penelitian 25 D. Populasi dan Sampel 25 E. Definisi Operasional 26 vi

6 F. Metode Pengumpulan Data 26 G. Cara Pengambilan Sampel 27 H. Pemeriksaan Laboratorium 28 I. Proses Penelitian 29 J. Analisa Data 30 Bab IV Hasil dan Pembahasan 31 A. Hasil Pemeriksaan Laboratorium dan Pelaksanaan Pemberdayaan 31 B. Pembahasan 42 Bab V Kesimpulan dan Saran 44 A. Kesimpulan 44 B. Saran-Saran 44 Daftar Pustaka 46 Lampiran-Lampiran vii

7 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Soil Transmitted Helminths (S.T.H) adalah nematoda usus yang sering disebut sebagai cacing perut. Penularanya serta siklus hidupnya sebagian besar melalui tanah dan berasal dari filum Nemathelminths yaitu Ascaris lumbricoides (A. lumbricoides), Trichuris trichiura (T. trichiura), Anchylostoma duodenale (A. duodenale), Necator americanus (N. americanus), Strongyloides stercoralis (S. Stercoralis). 1 Salah satu permasalahan yang timbul adalah pemukiman yang semakin padat dan kumuh. Semakin padatnya perkembangan penduduk dunia semakin banyak pula permasalahan yang ditemui terutama di negara-negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia, India, Myanmar, dan lain-lain. Lima spesies yang tedapat merupakan parasit yang endemic seluruh wilayah Indonesia. Penelitian-penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa 60 hingga 80 persen dari penduduk yang menderita infeksi cacing usus dengan satu atau lebih dari satu jenis cacing perut. 2 Infeksi cacing usus yang penularanya melalui tanah ini kebanyakan menyerang pada anak-anak dan juga dewasa, karena mereka lebih suka tidak menggunakan alas kaki dan terkadang makan tanpa mencuci tangan terlebih dahulu. Cacing nematoda usus penularanya melalu tanah akan menginfeksi masuk ke dalam perut melalui mulut kecuali cacing tambang dan S. Strecoralis larvanya menembus kulit kaki. Semua jenis cacing bertelur di usus dan telur yang sudah mematang dikeluarkanya bersama tinja. Infeksi terjadi dengan tertelanya telur yang berisi embrio dengan perantara tangan, makanan dan minuman yang secara langsung terkontaminasi oleh tanah yang 1 Gandahusada, S. Pribadi W dan Ilahude, H.D. Parasitologi Kedokteran. Ed. III. (Jakarta: FKUI, 1998), 8. 2 Soedarto. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. (Jakarta: Sagung Seto, 1991),

8 mengandung telur infektif dalam tanah dan larvanya akan menembus kulit kaki masuk kedalam peredaran darah. 3 Akibat infeksi cacing yang penularanya melalui tanah dapat ditimbulkan oleh cacing dewasa maupun oleh larvanya, tergantung pada siklus hidup cacing dan dipengaruhi oleh lokasi stadium cacing dalam tubuh manusia. Cacing dewasa dapat menimbulkan gangguan pencernaan, perdarahan, anemia, alergi, obstruksi (sumbatan usus) dan perforasi usus tergantung cara hidup cacing dewasa sedangkan larvanya dapat menimbulkan reaksi alergi dan kelainan jaringan di tempat hidupnya. 4 Para petani kubis selalu berhubungan dengan tanah sebagai lahan pertanian, dimana kegiatan ini rutin dilakukan mereka setiap hari mulai pukul sampai WIB, mereka bekerja mulai dari pengolahan lahan hingga penanaman kubis. Pada saat panen kubis tiba mereka pun tidak memakai alat pengaman, seperti sarung tangan, sepatu (boot), dan masker. Para petani juga masih ada yang kurang memperhatikan kebersihan seperti mencuci tangan sebelum makan, serta tidak menjaga kebersihan makan. Berangkat dari kebiasaan tersebut di atas dimungkinkan tertularnya penyakit parasit yang disebabkan oleh cacing Nematoda Usus yang penularanya melalui tanah. Guna mendiagnosa penyakit yang disebabkan oleh cacing yang penularanya melalu tanah ini perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan metode pengendapan Centrifuge. Teknik tersebut tidak merubah morfologi telur baik untuk konsentrasi Larva Protozoa dan telur cacing serta jumplah supernatant yang sedikit dapat mempermudah pemeriksaan. 5 Berbagai faktor pendukung tingginya angka kesaktian infeksi cacing perut di wilayah Indonesia, yaitu letak geografis Indonesia di daerah tropik yang mempunyai iklim panas tetapi lembab memungkinkan cacing perut berkembang biak dengan baik. Banyak penduduk Indonesia yang masih berpendidikan rendah, sehingga pengetahuan tentang cara hidup sehat, cara 3 Ibid, Ibid, Ibid,

9 untuk menjaga kebersihan perorangan bagi dirinya dan kebersihan makanan dan minuman belum terpenuhi dengan baik. 6 B. Fokus Pemberdayaan Petani Kubis Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, pemberdaya menfokuskan pemberdayaan sebagai berikut: 1. Apakah ada infeksi S.T.H pada petani kubis di Kaponan, Pakis Kabupaten Magelang dengan metode pengendapan centrifuge? 2. Seberapa besar persentase infeksi cacing S.T.H pada petani kubis di Kaponan, Pakis Kabupaten Magelang dengan metode pengendapan centrifuge? 3. Spesies cacing apakah yang penularanya melalui tanah yang menginfeksi petani kubis di desa Pakis Kabupaten Magelang dengan metode pengendapan centrifuge? 4. Bagaimanakah desain pemberdayaan yang efektif dalam rangka minimalisasi bahaya infeksi STH petani kubis di Kaponan, Pakis Kabupaten Magelang? C. Tujuan Pemberdayaan Petani Kubis Pemberdayaan masyarakat ini bertujuan sebagai berikut: 1. Mengetahui adanya infeksi S.T.H pada petani kubis di desa Pakis Kabupaten Magelang dengan metode pengendapan centrifuge. 2. Mengetahui persentase infeksi S.T.H pada petani kubis di desa Pakis Kabupaten Magelang dengan metode pengendapan centrifuge. 3. Mengetahui spesies cacing yang penularanya melalui tanah yang menginfeksi petani kubis di desa Pakis Kabupaten Magelang dengan metode pengendapan centrifuge. 4. Mengetahui desain pemberdayaan yang efektif dalam rangka minimalisasi bahaya infeksi STH petani kubis di Kaponan, Pakis Kabupaten Magelang melalui Model Pemberdayaan Klinik. 6 Ibid, 76. 3

10 D. Manfaat Pemberdayaan Petani Kubis Manfaat pemberdayaan masyarakat ini dapat digolongkan dalam tiga kategori, pertama secara individual, yakni pemberdaya, bagi masyarakat, secara khusus masyarakat lokasi pemberdayaan lain pada umumnya. 1. Bagi Pemberdaya Masyarakat Menambah ketrampilan dan ketelitian dalam mengidentifikasi telur cacing nematoda usus yang penularanya melalui tanah dengan teknik pengendapan Centrifugasi. 2. Bagi Dunia Akademik Menambah wawasan dan pengetahuan bagi masyarakat akademis, khususnya bagi mereka yang menekuninya. 3. Bagi Masyarakat a. Memberi informasi tentang bahanya infeksi cacing Nematoda Usus yang penularanya melalui tanah. b. Memberikan informasi tentang pengobatan infeksi telur cacing Nematoda Usus. c. Memberikan informasi desain pemberdayaan yang efektif dapat meminimalisasikan infeksi telur STH. 4

11 BAB II KERANGKA TEORI A. Nematoda Usus Menurut Rosdiana Safar 7 bahwa Nematoda usus atau Nematoda Intestinal adalah nematoda yang habitatnya disaluran pencernaan manusia dan hewan. Manusia merupakan hospes dari beberapa nematoda intestinal. Sebagian besar dari nematoda ini adalah penyebab masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Ciri-ciri nematoda usus umumnya sama dengan nematoda yang lainnya, antara lain cacing jantan ukurannya lebih kecil daripada cacing betina dengan bentuk ekor melengkung kedepan dan memiliki kloaka, sedangkan cacing betina ukurannya lebih besar, lebih panjang dari cacing jantan, tidak berkloaka sebab alat kelamin cacing betina terpisah dari saluran pencernaan makanan. Pada nematoda ini saluran pencernaan makanan terbentuk sempurna dimulai dari mulut sampai anus. 8 B. Soil Transmitted Helminths (STH) Dalam Nematoda usus ini terdapat beberapa spesies yang tergolong Soil Transmitted Helminthes, yaitu nematoda yang dalam siklus hidupnya memerlukan tanah untuk mencapai stadium infektif. Berikut ini beberapa spesies yang termasuk Soil Transmitted Helminths: 1. Ascaris lumbricoides 2. Trichuris trichiura 7 Safar, Rosdiana Parasitologi Kedokteran: Protizologi, Entomologi, dan Helmintologi. (Bandung: Yrama Widya, 2009). 8 Natadisastra, N dan Ridad, Agoes. Parasitologi Kedokteran: Ditinjau Dari Organ Tubuh yang diserang. (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2009),

12 Strongyloides stercoralis Necator Americanus Ancylostoma duodenale Trichuris trichiura Ascaris lumbricoides Taksonomi 3. Ancylostoma duodenale 4. Necator americanus 5. Strongyloides stercoralis Tabel 2.1 Klasifikasi Nematoda Usus secara singkat 9 Kingdom Animalia Animalia Animalia Animalia Animalia Sub Kingdom Phylum Metazoa Metazoa Metazoa Metazoa Metazoa Nemathelmithes Nemathelmithes Nemathelmithes Nemathelmithes Nemathelmithes Kelas Nematoda Nematoda Nematoda Nematoda Nematoda Plasmidia Plasmidia Plasmidia Spesies Trichuris trichiura Ascaris lumbricoides Ancylostoma duodenale Sub Kelas Plasmidia Aphasmidia Ordo Ascaridida Enoplida Super Ascaridoidea Trichuroidea Family Strongylida Ancylostomatoidea Strongylida Ancylostomatoidea Necator Rhabditida Rhabdiasoidea Genus Ascaris Trichuris Ancylostoma Strongyloides Necator americanus Strongyloides stercoralis 9 Irianto, Kus. Parasitologi: berbagai penyakit yang mempengaruhi kesehatan manusia. (Bandung: Yrama Widya, 2009), dan 67-68, dan Natadisastra dan Ridad, Parasitologi,

13 1. Ascaris lumbricoides a. Morfologi Cacing Ascaris lumbricoides merupakan cacing terbesar diantara golongan nematoda, berbentuk silendris, ujung anterior lancip, anterior memiliki tiga bibir (Triplet), badan berwarna putih, kuning kecoklatan diselubungi lapisan kutikula bergaris halus. Cacing betina panjangnya cm, ujung posterior membulat dan lurus, 1/3 anterior dari tubuh ada cincin kopulasi. Sedangkan cacing jantan panjangnya cm, ujung posterior melancip melengkung ke ventral, dilengkapi papil kecil dan dua spekulum berukuran 2 mm. 10 (a) (b) Gambar 2.1 cacing dewasa Ascaris lumbricoides (a) cacing dewasa Ascaris lumbricoides 11 (b) mulut Ascaris lumbricoides. 12 Menurut Natadisastra dan Ridad 13 bahwa seekor cacing betina menghasilkan telur butir dalam waktu sehari, dapat berlangsung selama hidupnya, kira-kira enam sampai dua belas bulan. Telur memiliki empat bentuk, yaitu dibuahi (fertil), tidak dibuahi 10 Muslim, M. Parasitologi Untuk Keperawatan. (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2009), Ibid. 12 Centre Diseases Control and Prevention ( gov/dpdx. Diakses 19 Oktober 2013). 13 Natadisastra dan Ridad, Parasitologi, 30. 7

14 (infertil), kortikasi dan dekortikasi. Telur infertil besarnya 60 x 45 mikron, dinding tebal terdiri dari dua lapis. Lapisan luarnya terdiri dari jaringan albuminoid, sedangkan lapisan dalam jernih. Isi telur berupa massa sel telur. Telur yang infertil berbentuk lonjong dan lebih panjang daripada tipe fertil, besarnya 90 x 40 mikron, dan dinding luarnya lebih tipis. Isi telur adalah massa granula retraktil. Telur fertil kortikasi berisi larva (embrio), tipe ini menjadi infektif setelah berada ditanah kurang lebih tiga minggu. Pada telur yang infertil dekortikasi lapisan luarnya yaitu lapisan albuminoid sudah menghilang. 14 (a) (b) (c) (d) Gambar 2.2 Morfologi telur cacing Ascaris lumbricoides (a) infertil dekortikasi; (b) Infertil kortikasi; (c) Fertil dekortikasi; (d) Fertil kortikasi Onggowaluyo, J. S. Parasitologi Medik I Helmintologi. (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2002), Centre Diseases Control and Prevention ( gov/dpdx. Diakses 19 Oktober 2013). 8

15 b. Siklus Hidup Gambar 2.3 Siklus hidup Ascaris lumbricoides. 16 1) Cacing dewasa berada di usus halus, menghasilkan sekitar telur per hari yang dikeluarkan melalui tinja; 2) Telur tidak dibuahi dapat tertelan tetapi tidak infektif. Telur fertil yang berisi embrio menjadi infektif setelah 18 hari sampai beberapa minggu; 3) Telur menjadi infektif tergantung pada kondisi lingkungan (optimum: lembab, hangat, tanah teduh); 4) Setelah telur infektif tertelan berkembang menjadi larva; 5) Larva menembus mukosa usus; 6) Melalui peredaran darah menuju paru-paru (10 sampai 14 hari); 7) Menembus dinding alveolus, naik ke batang tenggorokan, dan tertelan. Setelah mencapai usus halus, larva berkembang menjadi cacing dewasa. 16 Ibid. 9

16 (1) Waktu yang diperlukan dari menelan telur infektif sampai proses pembuahan oleh cacing betina sekitar 2-3 bulan. Cacing dewasa dapat hidup 1-2 tahun didalam usus halus. 17 c. Patologi Klinik Menurut Natadisastra, Djaenudin, dan Ridad Agoes 18 bahwa Infeksi Ascaris lumbricoides disebut Ascariasis atau infeksi ascariasis. Akibat beradanya cacing dewasa di dalam usus dan beredarnya larva cacing di dalam darah, akan terjadi perubahan patologis pada jaringan dan organ penderita. Larva cacing yang berada di paru-paru dapat menimbulkan pneumonia pada penderita dengan gejala klinis berupa demam, batuk, sesak dan dahak yang berdarah. Selain itu penderita ascariasis juga mengalami urtikaria disertai terjadinya eosinofili sampai 20% pada gambaran darah tepi. Terjadinya pneumonia yang disertai dengan gejala alergi ini disebut sebagai sindrom Loeffler atau Ascaris pneumonia. 19 Cacing dewasa dalam usus, apabila jumlahnya banyak dapat menimbulkan gangguan gizi. Kadang-kadang cacing dewasa bermigrasi dan menimbulkan kelainan yang serius. Migrasi cacing dewasa bisa disebabkan karena adanya rangsangan. Efek migrasi ini juga dapat menimbulkan obstruksi usus, masuk kedalam saluran empedu, saluran pankreas, dan organ-organ lainnya. Migrasi juga terjadi keluar melalui anus, mulut dan hidung. 20 d. Diagnosis Untuk menetapkan pasti diagnosis pasti Ascaris harus dilakukan pemeriksaan mikroskopis terhadap tinja atau muntahan penderita untuk menemukan cacing dewasa. Pada pemeriksaan mikroskopis pada tinja 17 Ibid. 18 Natadisastra dan Ridad, Parasitologi, Soedarto. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Sagung Seto, 1991, Onggowaluyo, J. S. Parasitologi,

17 penderita dapat ditemukan telur cacing yang khas didalam tinja atau cairan empedu penderita. 21 e. Pengobatan Pengobatan dapat dilakukan secara perorangan atau secara masal. Obat lama yang pernah digunakan adalah piperasin, tiabendasol, heksilresorkinol dan hetrazan. Obat ini dapat menimbulkan efek samping. Sekarang banyak obat-obat yang efek sampingnya rendah dan mudah cara pemakaiannya, misalnya pirantelpamoat, mebendazol, albendazol, dan levamisol. Syarat pengobatan masal yaitu obat harus diterima masyarakat, efek samping rendah, aturan pemakaian mudah, harga murah, dan bersifat polivalensif. 22 f. Epidemiologi Di Indonesia prevalensi askariasis tinggi, terutama pada anak frekuensinya persen. Kurangnya pemakaian jamban keluarga menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja disekitar halaman rumah, dibawah pohon, ditempat mencuci dan tempat pembuangan sampah. Telur Ascaris lumbricoides berkembang sangat baik pada tanah liat yang mempunyai kelembaban tinggi dan pada suhu 25 o -30 o C, telur tumbuh menjadi bentuk infektif Trichuris trichiura a. Morfologi Bentuk tubuh cacing dewasa sangat khas, mirip cambuk, dengan 3/5 panjang tubuh bagian anterior berbentuk langsing seperti tali cambuk, sedangkan 2/5 bagian tubuh posterior lebih tebal mirip dengan cambuk. Panjang cacing jantan sekitar 4 cm sedangkan panjang cacing betina sekitar 5 cm. Ekor cacing jantan melengkung kearah ventral, 21 Soedarto. Buku Ajar, Onggowaluyo, J. S. Parasitologi, Ibid,

18 mempunyai satu spikulum retraktil yang berselubung. Badan bagian kaudal cacing betina membulat, tumpul berbentuk seperti koma. 24 Telurnya berukuran x 32 mikron. Bentuknya seperti tempayan (tong) dan kedua ujungnya dilengkapi dengan tutup (operkulum) dari bahan mukus yang jernih. Kulit luar telur berwarna kuning tengguli dan bagian dalam jernih. Telur berisi sel telur terdapat dalam tinja segar. Telur yang sudah dibuahi di alam dalam waktu 3-6 minggu akan menjadi matang. Telur ini membutuhkan tanah liat yang lembab dan tehindar dari sinar matahari untuk perkembangan telur tersebut. 25 (a) (b) Gambar 2. 4 (a) Cacing dewasa Trichuris trichiura (Darwanto, dkk, 2008: 23); (b) Telur Trichuris trichiura Soedarto. Buku Ajar, Onggowaluyo, J. S. Parasitologi, Centre Diseases Control and Prevention ( gov/dpdx. Diakses 19 Oktober 2013). 12

19 b. Siklus Hidup Gambar 2.5 Siklus hidup Trichuris trichiura. 27 1) Telur infertil dikeluarkan melalui tinja; 2) Telur berkembang ditanah menjadi dua sel; 3) Kemudian terus membelah menjadi fertil; 4) Telur menjadi infektif dalam hari. Setelah tertelan (melalui makanan yang terkontaminasi telur cacing); 5) Telur menetas dalam usus halus menjadi larva yang matang dan berkembang menjadi cacing dewasa dalam usus besar; 6) Cacing dewasa (sekitar 4 cm) hidup di sekum dan kolon asendens. Cacing betina mulai bertelur hari setelah infeksi, bertelur antara telur per hari. Cacing dewasa hidup sekitar satu tahun di dalam usus. 28 c. Patologi Klinik Menurut Natadisastra, Djaenudin dan Ridad Agoes 29 bahwa infeksi oleh cacing ini disebut trichuriasis atau infeksi cacing cambuk. Karena Trichuris trichiura dewasa melekatkan diri pada usus dengan 27 Ibid. 28 Ibid. 29 Natadisastra dan Ridad, Parasitologi,

20 menembus dinding usus, maka hal ini dapat menyebabkan trauma dan kerusakan jaringan usus. Cacing dewasa dapat menghasilkan toksin yang menyebabkan iritasi dan keradangan usus. 30 Infeksi berat terutama terjadi pada anak. Cacing ini tersebar di seluruh kolon dan rektum. Sering terjadi cacing berada dimukosa rektum menjadi prolapsus pada anak. Cacing ini menyebabkan pendarahan di tempat perlekatan dan menimbulkan anemia. Pada anak, infeksi terjadi menahun dan berat (hiperinfeksi). Gejala-gejala yang terjadi yaitu diare yang diselingi sindrom disentri, anemia, prolapsus rektal, dan berat badan turun. 31 d. Diagnosis Diagnosis Trichuriasis dapat ditegakkan diagnosanya berdasarkan penemuan telur Trichuris trichiura dalam tinja atau ditemukan cacing dewasa pada anus penderita trichuriasis. 32 e. Pengobatan Mebendazole merupakan obat pilihan untuk trichuriasis dengan dosis 100 mg dua kali perhari selama 3 hari berturut-turut, tidak tergantung berat badan atau usia penderita. Untuk pengobatan masal dianjurkan dosis tunggal 600 mg. Thiabendazol tidak efektif. 33 f. Epidemiologi Infeksi ini menyerang hampir juta manusia di dunia. Semua golongan umur pada manusia bisa mengalami infeksi ini terutama pada anak berusia 5 sampai 15 tahun. Penyakit ini sering menyebar didaerah yang beriklim panas. Prevalensi di Asia lebih dari 50 persen, Afrika 25 persen, dan Amerika latin 12 persen. Pada wilayah pedesaan yang sanitasinya kurang bagus menyebabkan penyebaran cacing ini umumnya lebih cepat terjadi Soedarto. Buku Ajar, Onggowaluyo, J. S. Parasitologi, Natadisastra dan Ridad, Parasitologi, Ibid. 34 Widoyono, Penyakit Tropis. Semarang: Erlangga, 2008,

21 3. Cacing Tambang (Ancylostoma Duodenale dan Necator Americanus) a. Morfologi Ancylostoma Duodenale ukurannya lebih besar dari Necator Americanus. Ancylostoma Duodenale betina berukuran mm x 0.6 mm, dan jantan ukurannya 8 sampai 11 x 0.5 mm, bentuknya menyerupai huruf C, Necator Americanus berbentuk huruf S, yang betina 9-11 x 0.4 mm dan jantan 7-9 x 0.3 mm, Rongga mulut Ancylostoma Duodenale mempunyai dua pasang gigi, serta Necator Americanus mempunyai sepasang benda kitin. Alat kelamin pada yang jantan adalah tunggal yang disebut bursa copulatrix. 35 (a) (b) Gambar 2.6 Cacing tambang dewasa (a) cacing Ancylostoma Duodenale (b) cacing Necator Americanus (c) mulut Ancylostoma Duodenale (d) mulut Necator Americanus (Darwanto, dkk, 2008: 10-11). Telur mempunyai selapis kulit hialin yang tipis transparan. Telur segar yang baru keluar mengandung 2-8 sel. Bentuk telur Ancylostoma 35 Safar, Rosdiana. Parasitologi (c) Kedokteran, 160. (d) 15

22 Duodenale dan Necator Americanus sama, hanya berbeda dalam ukuran telur. Ancylostoma Duodenale (56-60) x (36 40) mikron, sementara Necator Americanus (64 76) x (36 40) mikron. Seekor betina Ancylostoma Duodenale maksimum dapat bertelur butir, sedangkan Necator Americanus butir. 36 Cacing tambang memiliki 2 stadium larva yaitu larva rabditiform panjangnya 250 mikron, rongga mulut panjang, sempit, eosofagus dengan dua bulbus yang menempati 1/3 panjang badan bagian anterior. Dan larva filariform panjangnya 500 mikron, ruang mulut tertutup, eosofagus menempati ¼ panjang bagian anterior (Darwanto, dkk, 2008: 9). (a) (b) (c) Gambar 2.7 (a) telur cacing tambang; (b) Larva rabditiform cacing tambang; (c) larva filariform cacing tambang Irianto, Kus. Parasitologi, Centre Diseases Control and Prevention ( gov/dpdx. Diakses 19 Oktober 2013). 16

23 4. Siklus Hidup Gambar 2.8 Siklus hidup Cacing tambang. 38 (1) Telur dikeluarkan melalui tinja; (2) Pada kondisi yang menguntungkan (kelembaban, kehangatan, naungan), larva menetas dalam waktu 1-2 hari. Larva rhabditiform tumbuh di kotoran dan tanah; (3) Pada 5-10 hari berubah menjadi larva filariform (infektif). Larva infektif ini bisa bertahan 3-4 minggu dalam kondisi lingkungan yang menguntungkan; (4) Larva dapat menembus kulit dan beredar melalui pembuluh darah ke jantung kemudian ke paru-paru, menembus ke alveolus, naik batang tenggorokan ke faring, dan tertelan. Larva mencapai usus halus menjadi cacing dewasa; (5) Cacing dewasa hidup pada dinding usus halus dan menghisap darah pada hospes dalam sehari Ancylostoma duodenale 0,2 0,3 ml, sedangkan Necator americanus 0,05 0,1 ml. Cacing dewasa hidup antara 1-2 tahun atau lebih Ibid. 39 Ibid. 17

24 c. Patologi Klinik Menurut Natadisastra, Djaenudin dan Ridad Agoes 40 bahwa penyakit infeksi cacing tambang disebut Necatoriasis atau Ancylostomiasis. Pada stadium larva, bila banyak larva Filariform yang menembus kulit, maka akan terjadi perubahan kulit yang disebut ground itch. Perubahan pada paru-paru biasanya ringan. Infeksi larva Filariform Ancylostoma Duodenale secara oral menyebabkan penyakit wakana dengan gejala mual, muntah, iritasi faring, batuk, sakit leher dan serak. Pada stadium dewasa, gejala tergantung pada spesies dan jumlah cacing serta keadaan gizi penderita (Fe dan protein). Tiap cacing Necator Americanus menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,005 ml sampai 0,1 ml sehari, sedangkan Acylostoma Duodenale 0,08 ml sampai 0,34 ml. Pada infeksi kronik atau infeksi berat terjadi anemia hipokrom mikrositer. Di samping itu juga terdapat eosinofilia. Cacing tambang biasanya tidak menyebabkan kematian, tetapi dapat membuat daya tahan tubuh berkurang dan prestasi kerja turun. 41 d. Diagnosis Gejala klinis biasanya tidak spesifik sehingga untuk menegakkan diagnosis infeksi cacing tambang perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk dapat menemukan telur cacing tambang di dalam tinja ataupun menemukan larva cacing tambang didalam biakan atau pada tinja yang sudah agak lama. 42 e. Pengobatan Tetrachlorethylen merupakan obat pilihan untuk Necator Americanus dan cukup efektif untuk Ancylostoma Duodenale. Diberikan dalam dosis tunggal 0,01-0,12 mg per kg berat badan, dengan 40 Natadisastra dan Ridad, Parasitologi, Gandahusada, S. Pribadi W dan Ilahude, H.D. Parasitologi Kedokteran. Ed. III. (Jakarta: FKUI, 1998), Natadisastra dan Ridad, Parasitologi,

25 dosis maksimal 4 mg. Mebendazole, dosis dan cara pengobatan sama dengan trichuriasis. Albendazole dan pyranthel pamoate, dosis dan cara pengobatannya sama dengan penderita ascariasis. Bitoskanat dengan dosis tunggal pada orang dewasa 150 mg. Befenium hidroksinaftoat, efektif bagi kedua spesies terutama untuk Ancylostoma Duadenale. Diberikan dengan dosis 5 gram per hari selama 3 hari berturut-turut. 43 f. Epidemiologi Cukup tinggi insiden di Indonesia dan banyak ditemukan di pedesaan (pekerja perkebunan dan pertambangan yang kontak langsung dengan tanah). Penyebaran infeksi berkorelasi dengan kebiasaan defekasi ditanah. Habitat yang cocok untuk pertumbuhan larva yaitu kondisi tanah yang gembur (humus dan pasir). Suhu optimum untuk perkembangan larva Necator Americanus berkisar C, sedangkan untuk Ancylostoma Duodenale berkisar C Strongyloides stercoralis a. Morfologi Cacing dewasa yang hidup bebas terdiri atas: cacing betina berukuran 1 mm x 50 mm, mempunyai esofagus berbentuk lonjong, bulbus esofagus dibagian posterior, ekor lurus meruncing, vulva terletak dekat pertengahan tubuh merupakan muara dari uterus bagian posterior. Cacing jantan berukuran 700 x 45 mikron, ekor melengkung kedepan memiliki dua buah spikula kecil kecoklatan, esofagus lonjong dilengkapi bulbus esofagus. 45 Menurut Soedarto 46 bahwa telur Strongyloides stercoralis mirip telur cacing tambang, mempunyai dinding telur tipis dan tembus sinar. Bentuk telur bulat lonjong berukuran sekitar 55x30 mikron. Telur ini keluar didalam membrana mukosa usus penderita dan segera menetas 43 Ibid. 44 Onggowaluyo, J. S. Parasitologi, Natadisastra dan Ridad, Parasitologi, Soedarto. Buku Ajar,

26 menjadi larva, sehingga telur tidak dapat ditemukan didalam tinja penderita. Larva rabditiform panjangnya 225 mikron, ruang mulut terbuka, pendek, dan lebar. Esofagus dengan dua bulbus, ekor runcing. Larva filariform panjangnya 700 mikron, langsing, tanpa sarung, ruang mulut tertutup, esofagus menempati ½ panjang badan, bagian ekor berujung tumpul berlekuk (Darwanto, dkk, 2008: 16). (a) (b) (c) Gambar 2.9 (a) Cacing Strongyloides stercoralis jantan menunjukkan spicule (panah merah); (b) Cacing Strongyloides stercoralis betina; (c) telur Strongyloides stercoralis Centre Diseases Control and Prevention ( gov/dpdx. Diakses 19 Oktober 2013). 20

27 (a) Gambar 2.10 Larva Strongyloides stercoralis (b) (a) Larva rabditiform Strongyloides stercoralis (esofagus rhabditoid (panah - biru) dan primordial genital menonjol (panah merah); (b) Larva filariform Strongyloides stercoralis. 48 b. Siklus Hidup Gambar 2.11 Siklus hidup Strongyloides stercoralis Ibid. 21

28 Siklus hidup bebas: (1) Larva rhabditiform keluar melalui tinja dan berkembang menjadi larva filariform (6) (perkembangan langsung) (2) atau berkembang menjadi cacing dewasa yang hidup bebas, (3) menghasilkan telur fertil (4) menetas menjadi larva rhabditiform, (5) berkembang menjadi cacing dewasa yang hidup bebas (pada nomer(2)) atau (6) menjadi larva infektif filariform yang menembus kulit manusia untuk memulai siklus parasit. Siklus parasit: (6) larva filariform menembus kulit manusia, (7) menuju paruparu kemudian ke alveolus, naik ke batang tenggorokan ke faring, tertelan dan kemudian mencapai usus halus. (8) Larva pada usus halus berkembang menjadi cacing dewasa. (9) Cacing betina meletakkan telur pada epitel usus halus, dan menetas menjadi larva rhabditiform. (1) Larva rhabditiform dikeluarkan melalui tinja atau dapat menyebabkan autoinfeksi (10) Dalam autoinfeksi, larva infektif rhabditiform menjadi larva filariform, yang dapat menembus mukosa usus (autoinfection internal) atau kulit daerah perianal (autoinfection eksternal) dalam kedua kasus ini, larva filariform melalui peredaran darah menuju paru-paru, batang tenggorokan, faring, dan usus halus menjadi cacing dewasa, atau menyebarkan secara luas dalam tubuh. 50 c. Patologi Klinik Menurut Natadisastra, Djaenudin dan Ridad Agoes 51 bahwa penyakitnya disebut strongyloidiasis atau strongyloidosis. Bila larva filariform dalam jumlah besar menembus kulit, timbul kelainan kulit yang dinamakan creeping eruption yang sering disertai rasa gatal yang hebat. Cacing dewasa menyebabkan kelainan pada mukosa usus halus. 49 Ibid. 50 Ibid. 51 Natadisastra dan Ridad, Parasitologi,

29 Infeksi ringan pada Strongyloides stercoralis pada umumnya terjadi tanpa diketahui hospesnya karena tidak menimbulkan gejala infeksi sedang dapat menyebabkan rasa sakit seperti tertusuk-tusuk di daerah epigastrium tengah dan tidak menjalar. Mungkin ada mual dan muntah, diare dan konstipasi saling bergantian. Pada Strongyloidiasis dapat terjadi auto infeksi dan hiperinfeksi. Pada hiperinfeksi cacing dewasa yang hidup sebagai parasit dapat ditemukan diseluruh traktus digestivus dan larvanya dapat ditemukan diberbagai alat dalam seperti paru-paru, hati dan kandung empedu. 52 d. Diagnosis Ditegakkan dengan menemukan larva rhabditiform didalam tinja segar atau pada cairan duodenum. Telur dapat ditemukan didalam tinja setelah pemberian pencahar atau setelah diare berat (pada infeksi berat). 53 e. Pengobatan Albendazol 400 mg satu atau dua kali sehari selama tiga hari merupakan obat pilihan. Mebendazol 100 mg tiga kali sehari selama dua atau empat minggu dapat memberikan hasil yang baik. Mengobati orang yang mengandung parasit, meskipun kadang-kadang tanpa gejala, sangat penting mengingat dapat terjadi autoinfeksi. Perhatian khusus kepada pembersihan daerah sekitar anus dan mencegah konstipasi. 54 f. Epidemiologi Daerah yang panas, kelembaban tinggi dan sanitasi yang kurang, sangat menguntungkan cacing Strongyloides stercoralis sehingga terjadi daur hidup yang tidak langsung. Tanah yang paling baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah gembur, berpasir dan humus. Frekuensi di jakarta pada tahun 1956 sekitar 10-15%, sekarang jarang ditemukan Gandahusada, S. Pribadi W dan Ilahude, H.D. Parasitologi Kedokteran, Natadisastra dan Ridad, Parasitologi, Gandahusada, S. Pribadi W dan Ilahude, H.D. Parasitologi Kedokteran, Ibid. 23

30 C. Kondisi Lingkungan 1. Keadaan Alam Desa Pakis, kecamatan Pakis, kabupaten Magelang merupakan suatu wilayah pedesaan yang berada di dataran tinggi beriklim sejuk. Di wilayah ini tanahnya subur sehingga dimanfaatkan oleh penduduk sekitar sebagai lahan untuk bercocok tanam. Pengairan sawah dan kebun berasal dari sungai yang biasa digunakan sebagai tempat mandi, mencuci, buang air besar dan lain-lain. Sebagian besar kondisi tempat tinggal warga desa Pakis sudah cukup layak, tetapi masih ada tempat tinggal yang berlantai tanah dan belum memiliki jamban keluarga. 2. Penduduk Mayoritas penduduk desa Pakis, kecamatan Pakis, kabupaten Magelang bermata pencaharian sebagai petani, sebagian kecil berprofesi sebagai pedagang. Kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga kebersihan pribadi dan lingkungan masih kurang, hal ini terbukti pada kebiasaan masyarakat di daerah ini yang tinggal di sekitar sungai dan yang tidak memiliki jamban, masyarakat masih menggunakan sungai sebagai tempat untuk mandi, mencuci, buang air besar dan lain-lain. Padahal aliran sungai digunakan untuk mengairi sawah dan kebun, selain itu petani di wilayah ini masih ditemukan yang tidak memakai alas kaki, sarung tangan ketika bekerja di sawah atau kebun. Terutama pada saat pemberian pupuk kandang pada tanam kubis para petani di desa Pakis kabupaten Magelang tidak menggunakan alas kaki juga sarung tangan keadaan ini sangat rentan terinfeksi parasit. 3. Keadaan Masyarakat Penyediaan air bersih atau air minum penduduk menggunakan air sumur dan air PAM. Kemudian keadaan rumah warga Pakis yang telah mempunyai WC, hanya beberapa saja yang memenuhi syarat. Sedangkan sebagian penduduk yang berkerja sebagai petani, rumahnya masih ada yang berlantai tanah dan juga masih ada yang belum memiliki WC yang memenuhi syarat. 24

31 D. Pencegahan dan Pemberantasan Infeksi Soil Transmitted Helminths Pencegahan dan pemberantasan infeksi Soil Transmitted Helminth dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1. Membuang tinja pada jamban yang memenuhi syarat kesehatan, sehingga tidak membuat pencemaran lingkungan oleh telur cacing. 2. Anak-anak dianjurkan untuk tidak bermain di tanah yang lembab dan kotor, serta selalu memotong kuku secara teratur. 3. Mencuci bersih sayur-sayuran dan memasaknya sampai matang. 4. Mencuci tangan menggunakan sabun. 5. Menggunakan sendok dan garpu pada waktu makan dapat mencegah infeksi oleh telur cacing. 6. Memakai alas kaki untuk mencegah masuknya larva kedalam kulit. 7. Menjaga kebersihan lingkungan. 8. Pendidikan terhadap masyarakat terutama anak-anak tentang sanitasi dan higiene. 9. Penderita cacingan diobati dengan obat cacing. seperti: piperasin, pirantel pamoat, Mebendazole, Tetrachlorethylen, Albendazole, dan Bitoskanat. 56 E. Pengawetan Sampel Pemeriksaan sampel dalam jumlah yang besar maka tidak mungkin semua sampel dapat diperiksa dalam beberapa jam saja. Dengan demikian sampel harus diawetkan agar morfologi telur cacing tidak rusak dan tidak mempengaruhi hasil pemeriksaan. Pemeriksaan telur cacing digunakan formalin 5-10 persen. Adapun syarat-syarat untuk memperoleh pengawetan yang baik adalah : 1. Jumlah bahan pengawet harus sesuai dengan sampel (3 bagian pengawet 1 bagian tinja) 2. Bahan pengawet dan spesimen harus di campur homogen Irianto, Kus. Parasitologi,

32 F. Teknik Pemeriksaan Teknik pemeriksaan tinja terdiri dari dua cara yaitu pemeriksaan langsung dan tidak langsung. Cara tidak langsung terdiri dari dua metode pemeriksaan yaitu metode pengapungan (Flotasi) dan metode pengendapan (Sedimentasi). Macam-macam teknik pengapungan (flotasi) terdiri dari: 1. Teknik pengapungan garam pekat (NaCl pekat) 2. Teknik pengapungan gula pekat 3. Teknik pengapungan NaCl + MgCl2 4. Teknik pengapungan ZnSO4 Macam-macam teknik sedimentasi (pengendapan) 1. Teknik penyaringan dengan pengendapan 2. Teknik pengendapan dengan centrifugasi 3. Teknik formalin eter 4. Teknik buffer citrat tween Teknik A.M.S III 6. Teknik pengawetan dan pewarnaan tinja dengan merthiolet iodine formalin (MIF). 57 Anonim, Petunjuk Praktikum Parasitogi, (Semarang: Akademi Analis Kesehatan 17 Agustus 1945, 1998). 26

33 G. Kerangka Teori Petani Kubis - Selalu berhubungan dengan tanah - Selalu berhubungan dengan pupuk kandang(kotora sapi) Infeksi telur Soil Transmitted Helminths Faktor : H. Kerangka Konsep 1. Kurang memperhatikan kebersihan diri 2. Kebiasaan tidak memakai alas kaki saat berkerja 3. Kebiasaan tidak memakai sarung tangan saat berkerja Tinja petani kubis Pemeriksaan laboratorium metode pengendapan centrifugasi Telur Cacing Soil Transmitted Helmints 27

34 BAB III METODE PEMBERDAYAAN DAN PENELITIAN A. Jenis Pemberdayaan dan Penelitian Pemberdayaan ini dilakukan dengan pendekatan kekeluargaan. Pemberdayaan ini juga dengan melakukan penelitian. Adapun jenis penelitian dalam pemberdayaan ini adalah kualitatif yang bersifat deskriptif, dengan melakukan pemeriksaan untuk menemukan adanya telur Soil Transmitted Helminths metode pengendapan centrifugasi pada feses petani kubis, desa Pakis, kecamatan Pakis, kabupaten Magelang. Pemeriksaan keberadaan telur Soil Transmitted Helminths dilakukan dengan mengadakan uji laboratorium pada sampel tinja yang diambil dari beberapa rumah warga Desa Pakis. Sedangkan pemberdayaan petani kubis ini dalam rangka bebas infeksi STH dibuat desain pemberdayaan melalui pendidikan dan kesehatan. B. Lokasi dan Waktu Pemberdayaan dan Penelitian 1. Lokasi Pemberdayaan dan Penelitian Pemberdayaan dan penelitian dilaksanakan di Desa Pakis, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang. Sementara pemeriksaan laboratorium dari fases warga dilakukan pada laboratorium IPA PGMI IAIN Salatiga dan Semarang. 2. Waktu Pemberdayaan dan Penelitian Pemberdayaan dan penelitian ini dimulai pada bulan Mei hingga Desember Pelaporan hasil pemberdayaan dan penelitian dilakukan pada bulan Desember C. Obyek Pemberdayaan dan Penelitian Obyek pemberdayaan dan penelitian ini adalah feses petani kubis, area pertanian dan pengolahan pupuk kandang yang dilakukan oleh petani kubis Desa Pakis, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang. 28

35 D. Subyek Pemberdayaan dan Penelitian Enam puluh (60) petani kubis dari total populasi warga Desa Pakis, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, diambil feses petani kubis pada desa model kaponan. E. Definisi Operasional 1. Pemberdayaan: sebuah upaya pembinaan melalui penyuluhan kesehatan yang dilakukan untuk minimalisasi bahaya infeksi telur STH. 2. Pendidikan dan Penyuluhan adalah upaya pemberdayaan yang dilakukan melalui penyuluhan, pemeriksaan laboratorium dan pengobatan bagi petani kubis. 3. Petani kubis adalah orang yang berprofesi budidaya kubis dalam kehidupan sehari-harinya. 4. Soil Transmitted Helminths atau yang disingkat STH merupakan nematoda usus yang memerlukan tanah dalam sirkulasi hidupnya untuk mencapai stadium infektif. Spesiesnya meliputi Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Necator americanus, Ancylostoma duodenale & Strongyloides stercoralis. F. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penyusunan laopran penelitia ini menggunakan beberapa metode, diantarnya observasi lapangan, pemeriksaan laboratorium, dan Focus Group Discussion (FGD). 1. Observasi Mengadakan pengamatan secara langsung pada lokasi penelitian. Peneliti melakukan pengamatan langsung terhadap objek pelitian di Desa Pakis, Kabupaten Magelang. Hal-hal yang diamati peneliti adalah lokasi rumah tinggal warga, kamar mandi dan tempat pembuangan air besar warga (WC), tempat penyimpan pupuk, serta aktivitas warga di sawah. 2. Pemeriksaan Laboratorium Pengumpulan data dengan pemeriksaan laboratorium. Sampel fases dikumpulkan dari tempat pembuangan air besar warga dengan sampel 60 29

36 rumah tangga. Fases tersebut kemudian dibawa ke laboratorium di IAIN Salatiga dan Semarang untuk dilakukan pemeriksaan. Pemeriksaan ini digunakan untuk mengetahui kemungkinan jenis cacing yang ada pada warga untuk kemudian dilakukan sosialisasi cara pencegahan adanya kemungkinan terjadinya penyakit yang akan menyerang warga desa Pakis. 3. Focus Group Discussion (FGD) Focus Group Discussion atau FGD adalah diskusi kelompok yang terorganisir dengan baik untuk membicarakan suatu persoalan tertentu secara intensif. Cara ini digunakan untuk mengetahui persoalan yang dialami oleh kelompok masyarakat dengan bertukar pikran dan berbagi pengalaman. FGD ini dilakukan pemberdaya dengan warga desa Pakis untuk berdiskusi mengenai kegiatan pertanian dan permasalah kesehatan yang terjadi pada petani. G. Cara Pengambilan Sampel 1. Tempat Bahan Pemeriksaan Syarat tempat untuk sampel yang berupa Feses yang diambil sebagai bahan pemeriksaan, antara lain: a) Kering dan bersih. Tidak boleh mengandung debu, air sabun, desinfektan, bahan kimia, minyak dan lemak, karena zat-zat tersebut akan menghancurkan atau mengacaukan hasil pemeriksaan. b) Bervolume cukup. Sesuai dengan feses yang akan ditempatkan, tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. c) Bermulut lebar. Untuk mempermudah pemasukan dan pengambilan sampel. d) Bertutup. Untuk menghindari tumpahnya sampel, lalat dan kontaminasi dengan pembawanya. e) Kedap air. Sehingga air yang terkandung dalam sampel tidak terserap pada tempat tersebut. Pada tempat pemeriksaan tersebut harus diberikan label keterangan tentang probandus, alamat, waktu 30

37 pengambilan sampel serta keterangan-keterangan lain yang dianggap perlu. 2. Saat dan Pengumpulan Bahan Pemeriksaan Pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk mencari adanya infeksi Soil transmitted helminths dilaksanakan sebelum dilakukan pengobatan terhadap parasitnya. Pengambilan sampel untuk pemeriksaan diambil dari seluruh bagian dari potongan kuku beserta kotorannya dan diperiksa dalam keadaan segar atau langsung diperiksa. Apabila sampel tidak langsung diperiksa harus diberi pengawet sehingga tidak merusak adanya telur yang terdapat pada sampel. 3. Teknik pemeriksaan Cara pengambilan bahan pemeriksaan bahan atau sampel dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: a. Mempersiapkan botol yang digunakan sebagai tempat penampungan feses. b. Datang ke desa Pakis, kecamatan Pakis, kabupaten Magelang meminta izin kepada kepala desa untuk melakukan pengambilan sampel berupa feses petani kubis. c. Peneliti memberikan pengarahan kepada petani kubis tentang bahaya infeksi cacing soil transmitted helminths. d. Pengambilan spesimen berupa feses dari petani kubis e. Botol yang berisi feses kemudian ditambah formalin 10 persen dan dibawa ke Laboratorium di Semarang. H. Pemeriksaan Laboratorium 1. Alat dan Bahan pemeriksaan a. Alat yang digunakan dalam penelitian adalah: 1) Obyek glass 2) Deck glass 3) Tabung reaksi 4) Tempat sampel 5) Lidi 31

38 6) pipet tetes 7) Centrifuge 8) Mikroskop 9) Pinset b. Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah: 1) Aquadest 2) feses 2. Cara Kerja Pemeriksaan selanjutnya dengan menggunakan metode pengendapan dengan centrifugasi. Cara kerja pemeriksaan tersebut adalah sebagai berikut: a) Masukkan aquadest yang untuk merendam potongan kuku beserta kotorannya ke dalam tabung. b) Sebelum dicentrifuge potongan kuku tersebut diambil, sehingga hanya tersisa kotoran kuku. c) Ditambahkan aquadest kira-kira 10 kali lipat volume kotoran kuku, kemudian dimasukkan kedalam centrifuge, kemudian disentrifuge dengan kecepatan rpm selama 1-2 menit. d) Buang larutan supernatan diatasnya dengan hati-hati. e) Tambahkan aquades kedalam tabung. f) Centrifugasi lagi dengan kecepatan dan waktu yang sama. g) Ulangi cara kerja nomer 4-6 sampai supernatan menjadi jernih. h) Ambil endapan dengan hati-hati, teteskan dengan obyec glass, ditambahkan lugol 2 persen 1-2 tetes, ditutup dengan deck glass, kemudian diperiksa dibawah mikroskop. 58 I. Proses Pemberdayaan dan Penelitian Proses pemberdayaan dan penelitian ini dilakukan dengan cara membuat desain pemberdayaan petani kubis melalui pendidikan dan kesehatan sesuai 58 Anonim. Petunjuk Praktikum Parasitogi. (Semarang: Akademi Analis Kesehatan 17 Agustus 1945, 1998),

39 kebutuhan petani kubis dalam sebuah FGD. Adapun desain pemberdayaan masyarakat petani kubis berbasis pendidikan & kesehatan sebagai upaya minimalisasi bahaya infeksi telur cacing STH bagi petani kubis berikut: a. studi pendahuluan: observasi, Focus Group Disscusion (FGD), perencanaan, b. bimbingan klinis: diagnosa laboratorium, penyuluhan, konsultasi, pengobatan, c. pemberdayaan: penyerahan dan simulasi penggunaan "Temporary Shelter" dan Alat Pelindung Diri dalam kehidupan sehari hari, d. monitoring, e. output: bebas infeksi telur STH. Studi pendahuluan melalui proses observasi awal di lapangan. Pemberdaya melakukan observasi terhadap rumah warga, tempat pembuangan air besar (MCK), tempat penampungan pupuk, serta aktivitas petani di sawah. Kemudian Peneliti melakukan diskusi untuk menyusun rencana penelitian beserta instrument penelitian. Proses selanjutnya adalah melakukan Focus Group Discussion (FGD) sebanyak dua kali. FGD ini dimaksudkan untuk menggali persoalan yang ada pada masyarakat serta mencoba mencari akar persoalan yang sedang terjadi. Setelah melakukan FGD sebanyak dua kali, pemberdaya melengkapi rencana pemberdayaan dan penelitian yang telah disusun. Pemberdaya merencakan pemberdayaan dan penelitian untuk mengambil sampel fases warga. Pengembilan fases warga ini dilakukan oleh pemberdaya yang dibantu mahasiswa. Ada sebanyak 60 warga yang diambil sample fases untuk kemudian dibawa ke laboratorium IPA IAIN Salatiga dan Semarang. Hasil laboratorium ini kemudian disampaikan pada petani yang diambil sample fasesnya. Pemberian hasil laboratorium ini dibarengi juga dengan bimbingan klinis yang dilakukan oleh dokter spesialis. Bimbingan klinis ini terkait dengan cara penjagaan kebersihan, upaya preventif akan kemungkinan terjangkit cacing yang ada dalam pupuk hewan, dan pengobatan bagi mereka yang dimungkinkan terkena telur cacing Soil Transmitted Helmint (STH). 33

40 J. Analisa data Analisa data dilakukan dengan mengumpulkan data-data hasil pemeriksaan kemudian dicari prosentase angka kejadian infeksi Soil Transmitted Helminths. Dengan rumus sebagai berikut: % Kontaminasi = X /Y x 100% Dimana x adalah hasil pemeriksaan yang positif, sedangkan y adalah jumlah sampel, kemudian data tersebut diolah, dimasukkan ke dalam tabel untuk dianalisa kemudian disajikan secara deskriptif. 34

41 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pemeriksaan Laboratorium dan Pelaksanaan Pemberdayaan Petani Kubis Kegiatan pemberdayaan petani kubis dilakukan dengan beberapa tahapan. Adapun enam tahapan dalam pelaksanaan tersebut adalah sebagai berikut: pertama, Pra Riset/Pengabdian Masyarakat; kedua, Penyuluhan minimalisasi bahaya infeksi Soil Transmitted Helmints (STH) bagi petani kubis; ketiga, pemeriksaan laboratorium bagi petani kubis untuk mendeteksi infeksi telur cacing Soil Transmitted Helmints; keempat, Pemaparan hasil pemeriksaan laboratorium; kelima, Bimbingan klinis infeksi Soil Transmitted Helmints bagi petani kubis; dan keenam, Kunjungan lapangan hasil pembuatan Temporary Shelter atau tempat tampungan sementara. Secara rinci hasil pemberdayaan petani kubis adalah sebagai berikut: 1. Pra Riset/Pra Pemberdayaan Petani Kubis Kegiatan observasi dan analisis kebutuhan masyarakat petani kubis yang dilakukan oleh peneliti secara faktual hasil observasi yang dilakukan peneliti di Kecamatan Pakis adalah sebagai berikut: a. Pupuk yang digunakan untuk lahan petani kubis adalah dari kotoran ternak. 35

42 Gambar 4.1. Pupuk Kandang Yang Digunakan Petani Kubis (Dokumen peneliti/pemberdaya 2013). b. Jumlah penduduk dan kondisi geografis Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang adalah seperti tercantum pada tabel 4.1. Tabel 4.1. Hasil observasi jumlah penduduk dan kondisi geografis Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang Jumlah Penduduk penduduk Luas Area Jarak dari ibu kota Ketinggian dari permukaan air laut kabupaten 6956 Km2 29 Km 841 M c. Masih terdapat penempatan pupuk kandang tanpa memperhatikan bahaya infeksi STH Berdasarkan survei yang peneliti/pemberdaya lakukan warga menempatkan pupuk kandang tanpa memperhatikan akibat infeksi dari STH. Terlihat pada hasil dokumentasi peneliti/pemberdaya warga sangat mungkin terinfeksi akibat dari pupuk kandang. Penempatan yang terlalu dekat antara pupuk kandang dengan perkampungan membuat polusi terutama bau, dan pupuk kandang terbawa oleh air hujan ke lingkungan sekitar warga. 36

43 a. Aktivitas warga yang memungkinkan terjadinya infeksi STH Gambar 4.2. Aktivitas warga sebagai petani kubis tanpa menggunakan alat pelindung diri sehingga memungkinkan adanya infeksi STH. (Dokumen peneliti/pemberdaya 2013). d. Penempatan hasil panen yang memungkinkan terjadinya infeksi STH Gambar 4.3. Hasil panen berdekatan ditempatkan sangat dekat dengan pupuk kandang yang telah dicampur dengan sisa penggilingan padi dipinggir jalan rentan infeksi STH (Dokumen peneliti/pemberdaya 2013). 37

44 a. Pemukiman dan area pertanian yang berdekatan sehingga akses infeksi STH lebih mudah. Gambar 4.4. Kondisi pemukiman warga yang sangat berdekatan dengan lahan pertanian dan persemaian bibit kubis (Dokumen peneliti/pemberdaya 2013). b. Lahan pertanian kubis Gambar 4.5. Lahan pertanian kubis (Dokumen peneliti/pemberdaya.2013). 38

45 c. Peneliti/Pemberdaya melakukan koordinasi dengan camat dan Kepala Desa Kaponan sebagai daerah model. d. Penempatan pupuk kandang dipinggir jalan dan di depan rumah warga Gambar 4.6. Penempatan pupuk kandang dipinggir jalan dan di depan rumah warga (Dokumen pemberdaya petani kubis, 2013). 2. Desain Pemberdayaan Masyarakat Petani Kubis Berbasis Pendidikan & Kesehatan. Desain pemberdayaan petani kubis yang pemberdaya lakukan disusun melalui proses FGD dan sesuai kebutuhan petani kubis setempat. Adapun desain tersebut adalah seperti pada bagan

46 Gambar 4.7 Hipotetik Desain Pemberdayaan Masyarakat Petani Kubis Berbasis Pendidikan & Kesehatan Desain pemberdayaan masyarakat petani kubis berbasis pendidikan & kesehatan sebagai upaya minimalisasi bahaya infeksi telur cacing STH bagi petani kubis berikut: a. studi pendahuluan: 1). observasi, Mengadakan pengamatan secara langsung pada lokasi pemberdayaan. Pemberdaya melakukan pengamatan langsung terhadap subyek pemberdayaan di Desa Pakis, Kabupaten Magelang. Hal-hal yang diamati pemberdaya adalah lokasi rumah tinggal warga, kamar mandi dan tempat pembuangan air besar warga (WC), tempat penyimpan pupuk, serta aktivitas warga di sawah. 2). Focus Group Disscusion (FGD), Focus Group Discussion atau FGD adalah diskusi kelompok yang terorganisir dengan baik untuk membicarakan suatu persoalan tertentu secara intensif. Cara ini digunakan untuk mengetahui persoalan yang dialami oleh kelompok masyarakat dengan bertukar 40

47 pikran dan berbagi pengalaman. FGD ini dilakukan oleh pemberdaya dengan warga desa Pakis untuk berdiskusi mengenai kegiatan pertanian dan permasalah kesehatan yang terjadi pada petani. 3). Perencanaan, Perencanaan pemberdayaan dengan menentukan tema, waktu dan tempat bimbingan klinis yang terdiri dari diagnosa laboratorium, penyuluhan, konsultasi dan pengobtan. b. bimbingan klinis: 1). diagnosa laboratorium, Deteksi infeksi STH dilakukan melalui pemeriksaan laboratorium Diagnosa laboratorium dilaksanakan di laboratorium parasitologi pada tanggal 15 Desember Metode pemeriksaan dilakukan dengan metode centrifugasi. Hasil pemeriksaaan laboratorium dapat dijadikan dasar dalam penyuluhan lanjut. Adapun intepretasi dari hasil pemeriksaan laboratorium adalah positif atau negative dari infeksi telur Soil Transmitted Helmint (STH). 2). penyuluhan, Berdasarkan hasil observasi seperti tercantum di atas, maka diperlukan penyuluhan bagi masyarakat petani kubis. Penyuluhan dilakukan pada desa model yaitu desa Kaponan. Penyuluhan minimalisasi bahaya infeksi STH dilaksanakan pada hari Minggu, tanggal 8 Desember 2013 di aula Balai Desa Kaponan dengan nara sumber dr. Andriani Tri S, M.Sc., SpPK. Pelaksanaan penyuluhan dihadiri panitia dan masyarakat petani kubis sejumlah 60 orang, Kepala Desa Kaponan, Ketua Gabungan Kelompok Tani Kecamatan Pakis dan sejumlah perangkat Desa Kaponan. Penyuluhan mendapat sambutan yang positif dari warga Kaponan. Setelah acara penyuluhan dilakukan Tanya jawab. Isi dari penyuluhan adalah diskripsi pola hidup sehat dan bersih, paparan 41

48 infeksi telur cacaing STH bagi manusia, deteksi infeksi STH, bahaya infeksi STH dan informasi pengobatan serta pencegahan infeksi STH. Gambar 4.8. Peneliti/Pemberdaya menyampaikan tahapan Pemberdayaan Masyarakat (Dokumen Peneliti/pemberdaya, 2013). Gambar 4.9. dr. Andriani SpPK narasumber utama dalam penyuluhan minimalisasi bahaya Infeksi STH (Dokumen penelti/pemberdaya, 2013). 42

49 Gambar4.10. Petani kubis desa Kaponan tanya jawab dengan nara sumber (Dokumen peneliti/pemberdaya, 2013). Gambar Pembagian botol sampel untuk diagnosa infeksi STH (Dokumen peneliti/pemberdaya, 2013) 43

50 3). konsultasi, Petani kubis dapat melakukan konsultasi kepada dr. Andriani, M.Sc, SpPK selaku dokter ahli patologi yang telah bekerjasama dengan pemberdaya dalam kegiatan ini. Konsultasi dibuka secara bebas dan gratis. Petani kubis dapat menanyakan segala persoalan bahaya infeksi telur STH. 4). pengobatan, Tindak lanjut telah pemberdaya lakukan dengan merujuk petani yang terkena infeksi agar melakukan pengobatan di puskesmas terdekat. Hal tersebut mendapatkan respon positif dari petani yang terinfeksi. c. Pemberdayaan: Penyerahan dan simulasi penggunaan "Temporary Shelter" dan Alat Pelindung Diri untuk dilaksanakan dalam pola sehat bertani kubis dalam kehidupan sehari hari, d. monitoring, Kegiatan pemberdayaan dilakukan monitoring agar tidak terdapat penyimpangan dalam pemberdayaan serta tujuan pemberdayaan tercapai. e. output Bebas infeksi telur STH. 3. Pemaparan Hasil Pemeriksaan Laboraorium Pemaparan hasil dilaksanakan pada tanggal 15 Desember 2013 di balai desa Kaponan. Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium yang dilakukan oleh pemberdaya dengan tenaga analis laboratorium kesehatan, diperoleh hasil 0,017% warga positif infeksi Soil Transmitted Helmint jenis Trichuris trichiura.. Hasil infeksi positif termasuk kategori rendah. Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium tersebut pemberdaya/peneliti tetap melakukan penyuluhan lanjut dan bimbingan klinis. Hal tersebut dilakukan agar untuk ke depan masyarakat tetap terbebas dari ancaman infeksi telur Soil Transmitted Helmint. 44

51 Penyuluhan dilakukan dengan memberikan pendidikan pola hidup dan upaya meminimalisasi bahaya infeksi telur Soil Transmitted Helmint dengan mencuci tangan sebelum makan, menggunakan alat pelindung diri pada saat bekerja di ladang, menjaga kebersihan lingkungan, meletakkan hasil panen kubis pada tempat yang bersih, meletakkan pupuk kandang pada selter/tampungan yang dibuat secara aman. 4. Bimbingan Klinis Infeksi Soil Transmitted Helmints Bimbingan klinis dilaksanakan pada tanggal 22 Desember 2013 di Serambi Masjid Kaponan. Hasil pemeriksaan laboratorium dijadikan dasar untuk melakukan bimbingan klinis oleh nara sumber (dokter). Bimbingan klinis dilakukan bagi yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi Soil Transmitted Helmint. Bimbingan klinis dari dokter bagi yang terinfeksi Soil Transmitted Helmint sebagai tindak lanjut dalam pengobatan dan pencegahan infeksi. Sedangkan bimbingan klinis bagi yang tidak terinfeksi adalah sebagai upaya tetap mempertakankan keadaan bebas infeksi dan pencegahan kedepan. Bimbingan klinis di lakukan di masjid desa Kaponan. Adapun dokumentasi bimbingan klinis didahului dengan pengantar kepala desa, pemberdaya, dan inti dari dokter dalam bimbingan klinis serta simulasi cara pemakaian alat pelindung diri yang benar 45

52 Gambar Proses Bimbingan klinis dari dr. Andriani SpPK dan Tim (Dokumen peneliti/pemberdaya, 2013). Gambar Simulasi pemakian alat pelindung diri (APD) bagi petani dan pembagian APD dari Pemberdaya. (Dokumen peneliti/pemberdaya, 2013). 46

53 Gambar Konsultasi bagi yang positif infeksi telur STH dengan dr. Andiani SpPK (Dokumen peneliti/pemberdaya, 2013). 5. Kunjungan Lapangan Hasil Pembuatan Temporary Shelter Kegiatan akhir dari kegiatan pengabdian masyarakat adalah penyerahan model tampungan kepada tokoh masyarakat desa model yaitu desa Kaponan. Penyerahan disaksikan nara sumber dr. Andriani SpPK, tim pengabdian masyarakat dan saksi warga. Model tampungan ini sebagai satu contoh tampungan motivator agar masyarakat lain dapat memanfaatkan tempat tampungan seperti contoh tersebut dan sebagai upaya minimalisasi infeksi telur cacing Soil Transmited Helminth bagi masyarakat petani kubis disekitar Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang. Di bawah ini faktual penyerahan tampungan pupuk kandang sebagai upaya minimalisasi infeksi Soil Transmited Helminth bagi masyarakat petani kubis disekitar Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang. Tahap awal penggunaan tampungan ini pemberdaya menyarankan untuk digunakan masyarakat sekitar dengan cara bergantian. Pemberdaya juga menyarankan agar masyarakat yang mampu membuat secara mandiri lebih dihimbaukan agar dapat meminimalisasi bahaya infeksi telur STH. 47

54 Gambar 4.15 Habituasi Temporary Shelter Petani Kubis (Dokummentasi Pemberdaya, 2013) 48

55 B. Pembahasan Pemberdayaan petani kubis yang telah kami lakukan yang berupa: pertama, pra riset/pra pengabdian masyarakat; kedua, penyuluhan minimalisasi bahaya infeksi Soil Transmitted Helmints bagi petani kubis; ketiga, pemeriksaan laboratorium bagi petani kubis untuk mendeteksi infeksi telur cacing Soil Transmitted Helmints; keempat, Pemaparan hasil pemeriksaan laboratorium; kelima, Bimbingan klinis infeksi Soil Transmitted Helmints bagi petani kubis; dan keenam, Kunjungan lapangan hasil pembuatan Temporary Selther. Hasil pemeriksaan laboratorium dari 60 petani kubis yang terinfeksi telur cacing STH 0,017%. Infeksi telur cacing tersebut jenis Trichuris trichiura. Upaya tindak lanjut telah pemberdaya lakukan dengan merujuk petani yang terkena infeksi agar melakukan pengobatan di puskesmas terdekat. Hal tersebut mendapatkan respon positif dari petani yang terinfeksi. Petani yang tidak terinfeksi disarankan agar tetap waspada dan melakukan pencegahan dengan menggunakan alat pelindung diri pada saat bekerja diladang dan tetap menjaga kebersihan lingkungan. 49

56 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan pemberdayaan yang telah dilakukan pada petani kubis di desa model Kaponan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Ada infeksi telur STH pada petani kubis di desa model Kaponan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang. 2. Kejadian infeksi telur STH pada petani kubis 0,017% dari 60 orang petani kubis di desa model Kaponan. 3. Spesies STH yang menginfeksi petani kubis adalah Trichiuris trichiura. 4. Desain pemberdayaan masyarakat petani kubis berbasis pendidikan & kesehatan efektif dalam rangka minimalisasi bahaya infeksi telur cacing STH bagi petani kubis. Adapun desainnya adalah sebagi berikut: a. studi pendahuluan: observasi, Focus Group Disscusion (FGD), perencanaan, b. bimbingan klinis: diagnosa laboratorium, penyuluhan, konsultasi, pengobatan, c. Pemberdayaan: penyerahan dan simulasi penggunaan "Temporary Shelter" dan Alat Pelindung Diri dalam kehidupan sehari hari, d. monitoring: kegiatan untuk minimalisasi penyimpangan dalam pemberdayaan. e. output: bebas infeksi telur STH. B. Saran-Saran 1. Bagi Masyarakat sekitar Agar tetap menjaga kebersihan diri dan lingkungan agar terhindar dari infeksi telur STH. 2. Bagi Petani Kubis 50

57 a. Agar selalu menjaga kebersihan diri melalui mencuci tangan sebelum dan setelah makan dengan menggunakan sabun. b. Agar selalu menggunakan Alat Pelindung Diri pada saat bekerja di ladang. c. Agar tetap menjaga perilaku hidup sehat. d. Agar segera memeriksakan diri jika terdapat gejala infeksi telur STH. 3. Bagi Pemerintah a. Agar memberikan fasilitas kesehatan yang memadai bagi warga dan petani kubis khususnya di sekitar kecamatan Pakis Kabupaten Magelang. b. Memberikan penyuluhan secara rutin kepada petani kubis. 51

58 DAFTAR PUSTAKA Anonim, Diakses pada tanggal 25 November 2013, pukul WIB. Anonim, Sistem Informasi Geografi Kab. Magelang Pemda Kab. Magelang, Anonim. Diakses pada tanggal 27 Nopember 2013, pukul WIB. Anonim. Petunjuk Praktikum Parasitogi. Semarang: Akademi Analis Kesehatan 17 Agustus 1945, Entjang, I. Mikrobiologi dan Parasitologi untuk Akademi Keperawatan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, Gandahusada, S. Pribadi W dan Ilahude, H.D. Parasitologi Kedokteran. Ed. III. Jakarta : FKUI, Irianto, Kus. Parasitologi: berbagai penyakit yang mempengaruhi kesehatan manusia. Bandung: Yrama Widya, Magelangkab. Kabupaten Magelang. pada tanggal 16 Februari Diakses Muslim, M. Parasitologi Untuk Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, Nadesul, H. Bagaimana Kalau Cacingan. Ed. II. Jakarta : Puspa Swara, Nadesul, H. Bagaimana Kalau Cacingan. Jakarta: Puspa Swara, Natadisastra, N dan Ridad, Agoes. Parasitologi Kedokteran: Ditinjau Dari Organ Tubuh yang diserang. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, Onggowaluyo, J. S. Parasitologi Medik I Helmintologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, Safar, Rosdiana. Parasitologi Kedokteran: Protizologi, Entomologi, dan Helmintologi. Bandung: Yrama Widya,

59 Soedarto. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Sagung Seto, Soedijarto. Pendidikan Nasional sebagai wahana Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban Negara-Bangsa, CINAPS, Widoyono. Penyakit Tropis. Semarang: Erlangga, Wikipedia. Pakis Magelang. Diakses pada tanggal 16 Februari

60

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Metode Suzuki Metode Suzuki adalah suatu metode yang digunakan untuk pemeriksaan telur Soil Transmitted Helmints dalam tanah. Metode ini menggunakan Sulfas Magnesium yang didasarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminths 1. Pengertian Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan penularannya melalui tanah. Di Indonesia terdapat lima species cacing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis, 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Trasmitted Helminth Soil Transmitted Helminth ( STH ) merupakan infeksi kecacingan yang disebabkan oleh cacing yang penyebarannya melalui tanah. Cacing yang termasuk STH

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminth Soil Transmitted Helminth adalah Nematoda Intestinal yang berhabitat di saluran pencernaan, dan siklus hidupnya untuk mencapai stadium infektif dan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Cacingan Cacing merupakan salah satu parasit pada manusia dan hewan yang sifatnya merugikan dimana manusia merupakan hospes untuk beberapa jenis cacing yang termasuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil-transmitted dikenal sebagai infeksi cacing seperti Ascaris

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil-transmitted dikenal sebagai infeksi cacing seperti Ascaris 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminths Soil-transmitted dikenal sebagai infeksi cacing seperti Ascaris lumbricoides, Trichuris trichuira, cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris lumbricoides Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat Indonesia (FKUI, 1998). Termasuk dalam

Lebih terperinci

Pada siklus tidak langsung larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan

Pada siklus tidak langsung larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan sehingga parasit tertelan, kemudian sampai di usus halus bagian atas dan menjadi dewasa. Cacing betina yang dapat bertelur kira-kira 28 hari sesudah infeksi. 2. Siklus Tidak Langsung Pada siklus tidak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. personal hygiene. Hygiene berasal dari kata hygea. Hygea dikenal dalam sejarah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. personal hygiene. Hygiene berasal dari kata hygea. Hygea dikenal dalam sejarah BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hygiene Perorangan Hygiene perorangan disebut juga kebersihan diri, kesehatan perorangan atau personal hygiene. Hygiene berasal dari kata hygea. Hygea dikenal dalam sejarah Yunani

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Air adalah merupakan bagian yang terbesar dari sel, mencapai lebih kurang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Air adalah merupakan bagian yang terbesar dari sel, mencapai lebih kurang BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori Air adalah merupakan bagian yang terbesar dari sel, mencapai lebih kurang 70 80%. Air sangat penting bagi kehidupan jasad renik ataupun kehidupan pada umumnya,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda disebut juga Eelworms (cacing seperti akar berkulit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda disebut juga Eelworms (cacing seperti akar berkulit BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminths 1. Pengertian Nematoda disebut juga Eelworms (cacing seperti akar berkulit halus)cacing tersebut menggulung dan berbentuk kumparan dan biasanya mempunyai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi terbesar pada daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi terbesar pada daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris Lumbricoides Ascariasis merupakan infeksi cacing yang paling sering dijumpai. Diperkirakan prevalensi di dunia berjumlah sekitar 25 % atau 1,25 miliar penduduk di dunia.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Spesies Soil Transmitted Helminths termasuk fillum Nematohelminthes

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Spesies Soil Transmitted Helminths termasuk fillum Nematohelminthes BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cacing Yang Siklus Hidupnya Melalui Tanah 1. klasifikasi Spesies Soil Transmitted Helminths termasuk fillum Nematohelminthes dan mempunyai kelas Nematoda, sedangkan superfamili

Lebih terperinci

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara 2.1 Helminthiasis Cacing merupakan parasit yang bisa terdapat pada manusia dan hewan yang sifatnya merugikan dimana manusia merupakan hospes dari beberapa Nematoda usus. Sebagian besar daripada Nematoda

Lebih terperinci

INTERNALISASI NILAI-NILAI ISLAM DALAM MEMINIMALKAN INFEKSI SOIL TRANSMITTED HELMINTH PADA PETANI KUBIS MELALUI PENDIDIKAN BERBASIS MASYARAKAT

INTERNALISASI NILAI-NILAI ISLAM DALAM MEMINIMALKAN INFEKSI SOIL TRANSMITTED HELMINTH PADA PETANI KUBIS MELALUI PENDIDIKAN BERBASIS MASYARAKAT INTERNALISASI NILAI-NILAI ISLAM DALAM MEMINIMALKAN INFEKSI SOIL TRANSMITTED HELMINTH PADA PETANI KUBIS MELALUI PENDIDIKAN BERBASIS MASYARAKAT Budiyono Saputro Institut Agama Islam Negeri Salatiga Jl. Tentara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan dan hewan yang bersama-sama dengan kekuatan fisik dan kimia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan dan hewan yang bersama-sama dengan kekuatan fisik dan kimia BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tanah Tanah memegang peranan penting bagi masyarakat. Kehidupan tumbuhan dan hewan yang bersama-sama dengan kekuatan fisik dan kimia murni menata tubuh tanah menjadi bagian-bagian

Lebih terperinci

INTERNALISASI NILAI NILAI ISLAM DALAM MEMINIMALKAN INFEKSI SOIL TRANSMITTED HELMINTH PADA PETANI KUBIS MELALUI PENDIDIKAN BERBASIS MASYARAKAT

INTERNALISASI NILAI NILAI ISLAM DALAM MEMINIMALKAN INFEKSI SOIL TRANSMITTED HELMINTH PADA PETANI KUBIS MELALUI PENDIDIKAN BERBASIS MASYARAKAT INTERNALISASI NILAI NILAI ISLAM DALAM MEMINIMALKAN INFEKSI SOIL TRANSMITTED HELMINTH PADA PETANI KUBIS MELALUI PENDIDIKAN BERBASIS MASYARAKAT Budiyono Saputro Institut Agama Islam Negeri Salatiga Jl. Tentara

Lebih terperinci

xvii Universitas Sumatera Utara

xvii Universitas Sumatera Utara xvii BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil Transmitted Helminths Manusia merupakan hospes yang utama untuk beberapa nematoda usus. Sebagian besar dari nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan yang penting

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. cacing. Dimana dapat terjadi infestasi ringan maupun infestasi berat. 16 Infeksi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. cacing. Dimana dapat terjadi infestasi ringan maupun infestasi berat. 16 Infeksi BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Defenisi Kecacingan Kecacingan merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit berupa cacing. Dimana dapat terjadi infestasi ringan maupun infestasi berat. 16 Infeksi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. manusia sehingga berakibat menurunnya kondisi gizi dan kesehatan masyarakat. 7 Infeksi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. manusia sehingga berakibat menurunnya kondisi gizi dan kesehatan masyarakat. 7 Infeksi BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Defenisi Kecacingan Kecacingan merupakan penyakit endemik dan kronik diakibatkan oleh cacing parasit dengan prevalensi tinggi, tidak mematikan, tetapi menggerogoti kesehatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Pengetahuan 2.1.1.1 Pengertian Pengetahuan merupakan hasil dari tahu setelah terjadinya pengindraan terhadap suatu objek menggunakan panca indra manusia,

Lebih terperinci

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis)

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis) BAB II TIJAUAN PUSTAKA A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis) Enterobiasis/penyakit cacing kremi adalah infeksi usus pada manusia yang disebabkan oleh cacing E. vermicularis. Enterobiasis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda adalah cacing yang berbentuk panjang, silindris (gilig) tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda adalah cacing yang berbentuk panjang, silindris (gilig) tidak BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Soil Transmitted Helminhs Nematoda adalah cacing yang berbentuk panjang, silindris (gilig) tidak bersegmen dan tubuhnya bilateral simetrik. Panjang cacing ini mulai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Cacing Tambang Pada umumnya prevalensi cacing tambang berkisar 30 50 % di perbagai daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan seperti di

Lebih terperinci

CACING TAMBANG. Editor oleh : Nanda Amalia safitry (G1C015006)

CACING TAMBANG. Editor oleh : Nanda Amalia safitry (G1C015006) CACING TAMBANG Editor oleh : Nanda Amalia safitry (G1C015006) PROGRAM STUDY D-IV ANALIS FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG TAHUN 2015/2016 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar

Lebih terperinci

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I (Bagian Parasitologi) Pengertian Parasitologi adalah ilmu yang mempelajari jasad renik yang hidup pada jasad lain di dalam maupun di luar tubuh dengan maksud mengambil

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Trichuris trichiura Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak terdapat pada manusia. Diperkirakan sekitar 900 juta orang pernah terinfeksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka kejadian kecacingan di Indonesia yang dilaporkan di Kepulauan Seribu ( Agustus 1999 ), jumlah prevalensi total untuk kelompok murid Sekolah Dasar (SD) (95,1 %),

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. berupa kecepatan pemusingan berbeda yang diberikan pada sampel dalam. pemeriksaan metode pengendapan dengan sentrifugasi.

BAB III METODE PENELITIAN. berupa kecepatan pemusingan berbeda yang diberikan pada sampel dalam. pemeriksaan metode pengendapan dengan sentrifugasi. BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah bersifat analitik karena dengan perlakuan berupa kecepatan pemusingan berbeda yang diberikan pada sampel dalam pemeriksaan metode

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecacingan (Ascariasis dan Trichuriasis) 1. Definisi Ascariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing Ascaris lumbricoides dalam tubuh manusia. Spesies cacing yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Kecacingan Menurut asal katanya helminth berasal dari kata Yunani yang berarti cacing. Cacing merupakan hewan yang terdiri dari banyak sel yang membangun suatu jaringan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Soil Transmitted Helminths 2.1.1 Definisi Soil Transmitted Helminths Soil Transmitted Helminths adalah sekelompok cacing parasit (kelas Nematoda) yang dapat menyebabkan infeksi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 17 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Soil Transmitted Helminths Soil Transmitted Helminths adalah nematoda usus yang dalam siklus hidupnya membutuhkan tanah untuk proses pematangan. Kecacingan oleh STH ini ditularkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Transmitted Helminths. Jenis cacing yang sering ditemukan adalah Ascaris

BAB I PENDAHULUAN. Transmitted Helminths. Jenis cacing yang sering ditemukan adalah Ascaris BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kecacingan adalah penyakit yang disebabkan oleh masuknya parasit berupa cacing kedalam tubuh manusia karena menelan telur cacing. Penyakit ini paling umum tersebar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. (Rusmartini, 2009). Cacing ini ditularkan melalui telur cacing yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. (Rusmartini, 2009). Cacing ini ditularkan melalui telur cacing yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminths (STH) Soil Transmitted Helminths (STH) adalah nematoda usus yang dalam siklus hidupnya membutuhkan tanah untuk proses pematangan (Rusmartini, 2009). Cacing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda adalah spesies yang hidup sebagai parasit pada manusia,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda adalah spesies yang hidup sebagai parasit pada manusia, BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nematoda Usus Nematoda adalah spesies yang hidup sebagai parasit pada manusia, habitatnya didalam saluran pencernaan manusia dan hewan. Nematoda Usus ini yang tergolong Soil

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Helminthiasis Nematoda mempunyai jumlah spesies terbanyak di antara cacing-cacing yang hidup sebagai parasit. Cacing tersebut berbeda-beda dalam habitat,daur hidup dan hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kejadian kecacingan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Lebih

BAB I PENDAHULUAN. Kejadian kecacingan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kejadian kecacingan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Lebih dari satu miliar orang terinfeksi oleh Soil Transmitted Helminth (STH) (Freeman et al, 2015).

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda merupakan spesies cacing terbesar yang hidup sebagai parasit.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda merupakan spesies cacing terbesar yang hidup sebagai parasit. BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil-transmitted helminths Nematoda merupakan spesies cacing terbesar yang hidup sebagai parasit. Cacing-cacing ini berbeda satu sama lain dalam habitat, daur hidup dan hubungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Jenis cacing Sebagian besar infeksi cacing terjadi di daerah tropis yaitu di negaranegara dengan kelembaban tinggi dan terutama menginfeksi kelompok masyarakat dengan higiene

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmited Helminths Nematoda adalah cacing yang tidak bersegmen, bilateral simetris, mempunyi saluran cerna yang berfungsi penuh. Biasanya berbentuk silindris serta panjangnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cacing Tambang dan Cacing Gelang 1. Cacing Tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) a. Batasan Ancylostoma duodenale dan Necator americanus kedua parasit ini di

Lebih terperinci

MAKALAH MASALAH KECACINGAN DAN INTERVENSI

MAKALAH MASALAH KECACINGAN DAN INTERVENSI MAKALAH MASALAH KECACINGAN DAN INTERVENSI Oleh: Muhammad Fawwaz (101211132016) FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS AIRLANGGA 1 DAFTAR ISI COVER... 1 DAFTAR ISI... 2 BAB I... 3 A. LATAR BELAKANG...

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Soil Transmitted Helminths (STHs) Soil Transmitted Helminths (STHs) adalah kelompok parasit golongan nematoda usus yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia melalui

Lebih terperinci

2. Strongyloides stercoralis

2. Strongyloides stercoralis NEMATODA USUS CIRI-CIRI UMUM Simetris bilateral, tripoblastik, tidak memiliki appendages Memiliki coelom yang disebut pseudocoelomata Alat pencernaan lengkap Alat ekskresi dengan sel renette atau sistem

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tanah untuk proses pematangan sehingga terjadi perubahan dari bentuk non-infektif

BAB 1 PENDAHULUAN. tanah untuk proses pematangan sehingga terjadi perubahan dari bentuk non-infektif BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Soil Transmitted Helminths (STH) adalah cacing golongan nematoda usus yang penularannya melalui tanah. Dalam siklus hidupnya, cacing ini membutuhkan tanah untuk proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit yang paling umum tersebar dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit yang paling umum tersebar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit yang paling umum tersebar dan menjangkiti banyak manusia di seluruh dunia. Sampai saat ini penyakit kecacingan masih tetap

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Ada lebih dari 20 jenis cacing usus yang dapat menginfeksi manusia, namun

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Ada lebih dari 20 jenis cacing usus yang dapat menginfeksi manusia, namun 20 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil Transmitted Helminthiasis Ada lebih dari 20 jenis cacing usus yang dapat menginfeksi manusia, namun yang tersering penyebarannya di seluruh dunia adalah cacing gelang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Nematoda Nematoda berasal dari bahasa Yunani, Nema artinya benang. Nematoda adalah cacing yang bentuknya panjang, silindrik, tidak bersegmen dan tubuhnya bilateral

Lebih terperinci

UJI DAYA ANTHELMINTIK INFUSA BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) TERHADAP CACING GELANG BABI (Ascaris suum) SECARA IN VITRO SKRIPSI

UJI DAYA ANTHELMINTIK INFUSA BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) TERHADAP CACING GELANG BABI (Ascaris suum) SECARA IN VITRO SKRIPSI UJI DAYA ANTHELMINTIK INFUSA BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) TERHADAP CACING GELANG BABI (Ascaris suum) SECARA IN VITRO SKRIPSI Diajukan Oleh : Restian Rudy Oktavianto J500050011 Kepada : FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Di Indonesia nematode usus sering disebut cacing perut, yang sebagian besar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Di Indonesia nematode usus sering disebut cacing perut, yang sebagian besar BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cacing Nematoda Usus (Soil Transmited Helminth) Di Indonesia nematode usus sering disebut cacing perut, yang sebagian besar penularannya melalui tanah maka di golongkan dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda berasal dari bahasa Yunani, Nema artinya benang. Nematoda

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda berasal dari bahasa Yunani, Nema artinya benang. Nematoda BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Nematoda Nematoda berasal dari bahasa Yunani, Nema artinya benang. Nematoda adalah cacing yang bentuknya panjang, silindrik, tidak bersegmen dan tubuhnya bilateral

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi cacing merupakan permasalahan yang banyak ditemukan di masyarakat namun kurang mendapat perhatian. Di dunia lebih dari 2 milyar orang terinfeksi berbagai jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Kecacingan merupakan penyakit infeksi yang prevalensinya sangat tinggi di Indonesia, terutama cacing usus yang ditularkan melalui tanah atau Soil Transmitted Helminth

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat sehingga perlu dipersiapkan kualitasnya dengan baik. Gizi dibutuhkan

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat sehingga perlu dipersiapkan kualitasnya dengan baik. Gizi dibutuhkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak Sekolah Dasar merupakan sasaran strategis dalam perbaikan gizi masyarakat sehingga perlu dipersiapkan kualitasnya dengan baik. Gizi dibutuhkan anak sekolah untuk

Lebih terperinci

Distribusi Geografik. Etiologi. Cara infeksi

Distribusi Geografik. Etiologi. Cara infeksi Distribusi Geografik Parasit ini ditemukan kosmopolit. Survey yang dilakukan beberapa tempat di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi A. lumbricoides masih cukup tinggi, sekitar 60-90%. Etiologi Cara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (cacing) ke dalam tubuh manusia. Salah satu penyakit kecacingan yang paling

BAB I PENDAHULUAN. (cacing) ke dalam tubuh manusia. Salah satu penyakit kecacingan yang paling BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai negara berkembang, Indonesia masih menghadapi masalah tingginya prevalensi penyakit infeksi, terutama yang berkaitan dengan kondisi sanitasi lingkungan yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. berkembang dan beriklim tropis, termasuk Indonesia. Hal ini. iklim, suhu, kelembaban dan hal-hal yang berhubungan langsung

BAB 1 PENDAHULUAN. berkembang dan beriklim tropis, termasuk Indonesia. Hal ini. iklim, suhu, kelembaban dan hal-hal yang berhubungan langsung BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyakit parasit baik yang disebabkan oleh cacing, protozoa, maupun serangga parasitik pada manusia banyak terdapat di negara berkembang dan beriklim tropis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. infeksi parasit usus merupakan salah satu masalah. kesehatan masyarakat yang diperhatikan dunia global,

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. infeksi parasit usus merupakan salah satu masalah. kesehatan masyarakat yang diperhatikan dunia global, BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang infeksi parasit usus merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang diperhatikan dunia global, khususnya di negara-negara berkembang pada daerah tropis dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Soil Transmitted Helminth (STH) atau penyakit kecacingan yang penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan masyarakat khususnya

Lebih terperinci

PREVALENSI INFEKSI KECACINGAN PADA ANAK BALITA DI PUSKESMAS BLIMBING MALANG. Oleh Ma rufah Prodi Analis Kesehatan-AAKMAL Malang ABSTRAK

PREVALENSI INFEKSI KECACINGAN PADA ANAK BALITA DI PUSKESMAS BLIMBING MALANG. Oleh Ma rufah Prodi Analis Kesehatan-AAKMAL Malang ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI KECACINGAN PADA ANAK BALITA DI PUSKESMAS BLIMBING MALANG Oleh Ma rufah Prodi Analis Kesehatan-AAKMAL Malang ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan cara menganalisa hasil pemeriksaan

Lebih terperinci

PREVALENSI NEMATODA USUS GOLONGAN SOIL TRANSMITTED HELMINTHES (STH) PADA PETERNAK DI LINGKUNGAN GATEP KELURAHAN AMPENAN SELATAN

PREVALENSI NEMATODA USUS GOLONGAN SOIL TRANSMITTED HELMINTHES (STH) PADA PETERNAK DI LINGKUNGAN GATEP KELURAHAN AMPENAN SELATAN ISSN No. 1978-3787 Media Bina Ilmiah45 PREVALENSI NEMATODA USUS GOLONGAN SOIL TRANSMITTED HELMINTHES (STH) PADA PETERNAK DI LINGKUNGAN GATEP KELURAHAN AMPENAN SELATAN Oleh : Ersandhi Resnhaleksmana Dosen

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil-Transmitted Helminths Cacing yang tergolong dalam kelompok Soil Transmitted Helminths (STH) adalah cacing yang dalam menyelesaikan siklus hidupnya memerlukan tanah yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. nematoda yang hidup di usus dan ditularkan melalui tanah. Spesies cacing

BAB 1 PENDAHULUAN. nematoda yang hidup di usus dan ditularkan melalui tanah. Spesies cacing BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan cacing kelas nematoda yang hidup di usus dan ditularkan melalui tanah. Spesies cacing yang termasuk STH antara lain cacing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melalui tanah atau biasa disebut dengan cacing jenis soil transmitted

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melalui tanah atau biasa disebut dengan cacing jenis soil transmitted BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Kecacingan 2.1.1 Definisi Kecacingan Helmintiasis (kecacingan) menurut WHO adalah infestasi satu atau lebih cacing parasit usus yang terdiri dari golongan nematoda usus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Higiene Higiene adalah usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Soil Transmitted Helminths STH (Soil Transmitted Helminths) adalah cacing golongan nematoda yang memerlukan tanah untuk perkembangan bentuk infektif. Di Indonesia

Lebih terperinci

Undang Ruhimat. Herdiyana. Program Studi D-III Analis Kesehatan STIKes Bakti Tunas Husada Tasikmalaya ABSTRAK

Undang Ruhimat. Herdiyana. Program Studi D-III Analis Kesehatan STIKes Bakti Tunas Husada Tasikmalaya ABSTRAK GAMBARAN TELUR NEMATODA USUS PADA KUKU PETUGAS SAMPAH DI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) SAMPAH CIANGIR KELURAHAN KOTA BARU KECAMATAN CIBEUREUM KOTA TASIKMALAYA Undang Ruhimat. Herdiyana Program Studi D-III

Lebih terperinci

Efektifitas Dosis Tunggal Berulang Mebendazol500 mg Terhadap Trikuriasis pada Anak-Anak Sekolah Dasar Cigadung dan Cicadas, Bandung Timur

Efektifitas Dosis Tunggal Berulang Mebendazol500 mg Terhadap Trikuriasis pada Anak-Anak Sekolah Dasar Cigadung dan Cicadas, Bandung Timur Efektifitas Dosis Tunggal Berulang Mebendazol500 mg Terhadap Trikuriasis pada Anak-Anak Sekolah Dasar Cigadung dan Cicadas, Bandung Timur Julia Suwandi, Susy Tjahjani, Meilinah Hidayat Bagian Parasitologi

Lebih terperinci

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER PENGAMATAN EPIDEMIOLOGI HASIL PEMERIKSAAN KECACINGAN di SD MUH. KEDUNGGONG, SD DUKUH NGESTIHARJO,SDN I BENDUNGAN dan SD CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Soil Transmitted Helminths 2.1.1 Definisi Soil Transmitted Helminths Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan sejumlah spesies cacing parasit kelas Nematoda yang dapat menginfeksi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian bersifat analitik karena akan membandingkan jumlah

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian bersifat analitik karena akan membandingkan jumlah BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian bersifat analitik karena akan membandingkan jumlah telur cacing yang ditemukan berdasarkan ukuran tabung apung yang berbeda pada pemeriksaan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Soil Transmitted Helminths (STH) Keberadan dan penyebaran suatu parasit di suatu daerah tergantung pada berbagai hal, yaitu adanya hospes yang peka, dan terdapatnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kejadian kecacingan STH di Indonesia masih relatif tinggi pada tahun 2006,

I. PENDAHULUAN. Kejadian kecacingan STH di Indonesia masih relatif tinggi pada tahun 2006, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejadian kecacingan STH di Indonesia masih relatif tinggi pada tahun 2006, yaitu sebesar 32,6 %. Kejadian kecacingan STH yang tertinggi terlihat pada anak-anak, khususnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecacingan 1. Definisi Kecacingan secara umum merupakan infeksi cacing (Soil transmitted helminthiasis) yang disebabkan oleh cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil Transmitted Helminths (STH) Cacing merupakan salah satu parasit pada manusia dan hewan yang sifatnya merugikan dimana manusia merupakan hospes untuk beberapa jenis cacing

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kecacingan adalah masalah kesehatan yang masih banyak ditemukan. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), lebih dari 1,5

I. PENDAHULUAN. Kecacingan adalah masalah kesehatan yang masih banyak ditemukan. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), lebih dari 1,5 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kecacingan adalah masalah kesehatan yang masih banyak ditemukan. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), lebih dari 1,5 miliar orang atau 24% dari populasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Spesies Soil Transmitted Helminths termasuk dalam filum. Nematohelminthes dan merupakan kelas Nematoda. Masing-masing spesies

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Spesies Soil Transmitted Helminths termasuk dalam filum. Nematohelminthes dan merupakan kelas Nematoda. Masing-masing spesies BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmited Helminth 1. Klasifikasi Spesies Soil Transmitted Helminths termasuk dalam filum Nematohelminthes dan merupakan kelas Nematoda. Masing-masing spesies mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cacing tularan tanah merupakan cacing yang paling sering menginfeksi manusia, biasanya hidup di dalam saluran pencernaan manusia (WHO, 2011). Spesies cacing tularan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang kurang bersih. Infeksi yang sering berkaitan dengan lingkungan yang kurang

BAB 1 PENDAHULUAN. yang kurang bersih. Infeksi yang sering berkaitan dengan lingkungan yang kurang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu faktor meningkatnya kejadian infeksi adalah kebiasaan hidup yang kurang bersih. Infeksi yang sering berkaitan dengan lingkungan yang kurang higinis adalah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. ditularkan melalui tanah. Penyakit ini dapat menyebabkan penurunan kesehatan,

BAB 1 PENDAHULUAN. ditularkan melalui tanah. Penyakit ini dapat menyebabkan penurunan kesehatan, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang dan masih menghadapi berbagai masalah kesehatan, salah satu diantaranya adalah penyakit kecacingan yang ditularkan melalui tanah.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di negara tropis yang sedang berkembang seperti Indonesia, masih banyak penyakit yang masih menjadi permasalahan di dunia kesehatan, salah satunya adalah infeksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi cacing usus masih menjadi masalah kesehatan bagi masyarakat di

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi cacing usus masih menjadi masalah kesehatan bagi masyarakat di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi cacing usus masih menjadi masalah kesehatan bagi masyarakat di negara berkembang termasuk Indonesia. Dikatakan pula bahwa masyarakat pedesaan maupun daerah perkotaan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. hubungan antara keberadaan Soil Transmitted Helminths pada tanah halaman. Karangawen, Kabupaten Demak. Sampel diperiksa di

BAB III METODE PENELITIAN. hubungan antara keberadaan Soil Transmitted Helminths pada tanah halaman. Karangawen, Kabupaten Demak. Sampel diperiksa di BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik, karena menganalisa hubungan antara keberadaan Soil Transmitted Helminths pada tanah halaman rumah dengan kejadian

Lebih terperinci

FREKUENSI SOIL TRANSMITTED HELMINTHS PADA SISWA SEKOLAH DASAR NEGERI NO. 32 MUARA AIR HAJI KECAMATAN LINGGO SARI BAGANTI PESISIR SELATAN

FREKUENSI SOIL TRANSMITTED HELMINTHS PADA SISWA SEKOLAH DASAR NEGERI NO. 32 MUARA AIR HAJI KECAMATAN LINGGO SARI BAGANTI PESISIR SELATAN FREKUENSI SOIL TRANSMITTED HELMINTHS PADA SISWA SEKOLAH DASAR NEGERI NO. 32 MUARA AIR HAJI KECAMATAN LINGGO SARI BAGANTI PESISIR SELATAN Fitria Nelda Zulita, Gustina Indriati dan Armein Lusi Program Studi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Enterobius vermicularis adalah cacing yang dapat masuk kemulut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Enterobius vermicularis adalah cacing yang dapat masuk kemulut BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Enterobius vermicularis Enterobius vermicularis adalah cacing yang dapat masuk kemulut tubuh melalui makanan, udara, tanah yang akan bersarang di usus besar pada waktu malam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kesehatan merupakan sumber kesenangan, kenikmatan dan kebahagiaan,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kesehatan merupakan sumber kesenangan, kenikmatan dan kebahagiaan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kesehatan merupakan sumber kesenangan, kenikmatan dan kebahagiaan, menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1992 dalam Bab I Pasal 1 disebutkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Metode-metode pemeriksaan tinja Dasar dari metode-metode pemeriksaan tinja yaitu pemeriksaan langsung dan tidak langsung. Pemeriksaan langsung adalah pemeriksaan yang langsung

Lebih terperinci

PREVALENSI KECACINGAN SOIL TRANSMITTED HELMINTHS (STH) PADA SISWA SDN I KROMENGAN KABUPATEN MALANG

PREVALENSI KECACINGAN SOIL TRANSMITTED HELMINTHS (STH) PADA SISWA SDN I KROMENGAN KABUPATEN MALANG PREVALENSI KECACINGAN SOIL TRANSMITTED HELMINTHS (STH) PADA SISWA SDN I KROMENGAN KABUPATEN MALANG Ayuria Andini, Endang Suarsini, Sofia Ery Rahayu Universitas Negeri Malang Email: ayuriaandini@gmail.com

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Infeksi Kecacingan a. Pengertian Infeksi Kecacingan Infeksi kecacingan adalah masuknya suatu bibit penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme (cacing)

Lebih terperinci

PEMERIKSAAN NEMATODA USUS PADA FAECES ANAK TK (TAMAN KANAK- KANAK) DESA GEDONGAN KECAMATAN BAKI KABUPATEN SUKOHARJO

PEMERIKSAAN NEMATODA USUS PADA FAECES ANAK TK (TAMAN KANAK- KANAK) DESA GEDONGAN KECAMATAN BAKI KABUPATEN SUKOHARJO PEMERIKSAAN NEMATODA USUS PADA FAECES ANAK TK (TAMAN KANAK- KANAK) DESA GEDONGAN KECAMATAN BAKI KABUPATEN SUKOHARJO DETECTION OF INTESTINAL NEMATODE IN KINDERGARTEN STUDENTS FAECES AT GEDONGAN VILLAGE

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Timur. Terdapat bukti berupa lukisan pada kuburan Mesir kuno yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Timur. Terdapat bukti berupa lukisan pada kuburan Mesir kuno yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Selada Keriting Selada keriting (Lactuca Sativa L.) adalah tanaman asli lembah Mediterania Timur. Terdapat bukti berupa lukisan pada kuburan Mesir kuno yang menunjukkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Helminthes (STH) merupakan masalah kesehatan di dunia. Menurut World Health

BAB I PENDAHULUAN. Helminthes (STH) merupakan masalah kesehatan di dunia. Menurut World Health BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Infeksi kecacingan yang ditularkan melalui tanah atau Soil- Transmitted Helminthes (STH) merupakan masalah kesehatan di dunia. Menurut World Health Oganization

Lebih terperinci

PREVALENSI CACING USUS MELALUI PEMERIKSAAN KEROKAN KUKU PADA SISWA SDN PONDOKREJO 4 DUSUN KOMBONGAN KECAMATAN TEMPUREJO KABUPATEN JEMBER SKRIPSI

PREVALENSI CACING USUS MELALUI PEMERIKSAAN KEROKAN KUKU PADA SISWA SDN PONDOKREJO 4 DUSUN KOMBONGAN KECAMATAN TEMPUREJO KABUPATEN JEMBER SKRIPSI PREVALENSI CACING USUS MELALUI PEMERIKSAAN KEROKAN KUKU PADA SISWA SDN PONDOKREJO 4 DUSUN KOMBONGAN KECAMATAN TEMPUREJO KABUPATEN JEMBER SKRIPSI Oleh: KHOIRUN NISA NIM. 031610101084 FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSATAKA. STH adalah golongan cacing usus (Nematoda Usus) dalam. perkembanganya membutuhkan tanah untuk menjadi bentuk infektif.

BAB II TINJAUAN PUSATAKA. STH adalah golongan cacing usus (Nematoda Usus) dalam. perkembanganya membutuhkan tanah untuk menjadi bentuk infektif. 6 BAB II TINJAUAN PUSATAKA 5 A. Infeksi Soil Transmitted Helminth (STH) STH adalah golongan cacing usus (Nematoda Usus) dalam perkembanganya membutuhkan tanah untuk menjadi bentuk infektif. Yang termasuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. satu kejadian yang masih marak terjadi hingga saat ini adalah penyakit kecacingan

BAB 1 PENDAHULUAN. satu kejadian yang masih marak terjadi hingga saat ini adalah penyakit kecacingan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang berada di daerah khatulistiwa membuat negara Indonesia memiliki iklim tropis yang sangat mendukung terjadinya masalah infeksi. Salah satu kejadian yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Infeksi cacing masih merupakan salah satu masalah. kesehatan masyarakat yang penting di negara berkembang,

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Infeksi cacing masih merupakan salah satu masalah. kesehatan masyarakat yang penting di negara berkembang, BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Infeksi cacing masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting di negara berkembang, terutama di daerah tropis dan subtropis seperti Afrika, Asia,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tropis dan subtropis. Berdasarkan data dari World Health Organization

I. PENDAHULUAN. tropis dan subtropis. Berdasarkan data dari World Health Organization I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kecacingan merupakan masalah kesehatan yang tersebar luas didaerah tropis dan subtropis. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) pada tahun 2012 lebih dari

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cacing Usus Cacing usus yang dimaksud di sini adalah beberapa jenis nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Terdapat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Di Indonesia masih banyak penyakit yang merupakan masalah kesehatan,

BAB 1 PENDAHULUAN. Di Indonesia masih banyak penyakit yang merupakan masalah kesehatan, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Di Indonesia masih banyak penyakit yang merupakan masalah kesehatan, salah satu diantaranya adalah penyakit infeksikecacingan yang ditularkan melalui tanah(soil transmitted

Lebih terperinci