BAB 2 Tinjauan Pustaka

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 Tinjauan Pustaka

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Penggunaan internet yang semakin menanjak popularitasnya menimbulkan pro dan

Hubungan Kecerdasan Emosional dan Problematic Internet Use pada Mahasiswa

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB 2. Tinjauan Pustaka

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 4 ANALISIS HASIL

BAB I PENDAHULUAN. situs web, atau chatting. Dengan aneka fasilitas tersebut individu dapat

BAB 2. Tinjauan Pustaka

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 3 Metode Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

Bab 3 Metodologi Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi kian maju dewasa ini, khususnya pada perkembangan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB 2 LANDASAN TEORI. Pada bab 2 akan dibahas landasan teori dan variabel-variabel yang terkait

HUBUNGAN PROBLEMATIC INTERNET USE DAN PERCEIVED STRESS PADA REMAJA PENGGUNA TWITTER DI JAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia. Dari jumlah tersebut sebanyak 49% berusia tahun, 33,8% berusia

BAB II Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain

HUBUNGAN ANTARA PROBLEMATIC INTERNET USE DENGAN HAPPINESS PADA MAHASISWA PENGGUNA FACEBOOK DI JAKARTA*

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dewasa ini sudah

BAB 2 Tinjauan Pustaka

Hubungan Antara Kesepian dengan Problematic Internet Use pada Mahasiswa

Bab 2 Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa.

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. Problematic internet use merupakan salah satu variabel (x) yang diteliti dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ela Nurlaela Sari, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) bekerja sama

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki masa pensiun merupakan salah satu peristiwa di kehidupan

NASKAH PUBLIKASI. Untuk memenuhi Sebagian Persyaratan. Dalam mencapai Drajat Sarjana S1 Psikologi. Disusun Oleh : ANA ARIFA SARI F

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Teknologi yang berkembang pesat saat ini

BAB I PENDAHULUAN. kalangan. Orang dewasa, remaja maupun anak-anak sekarang sudah

OF MISSING OUT) DENGAN KECANDUAN INTERNET (INTERNET ADDICTION) PADA REMAJA DI SMAN 4 BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

15. Lampiran I : Surat Keterangan Bukti Penelitian BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. komunikasi yang sangat efektif bagi umat manusia di dunia. Pengguna internet dapat melakukan

I. PENDAHULUAN. kepribadian dan dalam konteks sosial (Santrock, 2003). Menurut Mappiare ( Ali, 2012) mengatakan bahwa masa remaja

BAB I PENDAHULUAN. Zaman era modern seperti sekarang ini teknologi sudah sangat. berkembang dengan pesat. Diantara sekian banyak teknologi yang

PENDAHULUAN. sebagai subjek yang menuntut ilmu di perguruan tinggi dituntut untuk mampu

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Saat ini perkembangan teknologi informasi berjalan sangat pesat. Kecanggihan

BAB I PENDAHULUAN. Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) saat ini sudah menjadi elemen

I. PENDAHULUAN. istilah remaja atau adolenscence, berasal dari bahasa latin adolescere yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sumber dan media informasi, internet mampu menyampaikan berbagai bentuk

BAB I PENDAHULUAN. tetapi merambah pada interaksi yang lebih komplek. Internet membantu

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Saat ini teknologi memiliki peranan penting dalam

GAMBARAN COPING STRESS MAHASISWA BK DALAM MENGIKUTI PERKULIAHAN DI UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia yang merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. Masa

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Asertivitas adalah kemampuan mengkomunikasikan keinginan, perasaan,

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan pekerjaan ataupun kegiatan sehari hari yang tidak. mata bersifat jasmani, sosial ataupun kejiwaan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, persoalan-persoalan dalam kehidupan ini akan selalu. pula menurut Siswanto (2007; 47), kurangnya kedewasaan dan

BAB I PENDAHULUAN. Di era globalisasi internet telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era globalisasi dewasa ini, setiap manusia harus dituntut untuk bisa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Proses mental seseorang dapat mempengaruhi tuturan seseorang.

BAB I PENDAHULUAN. Dunia perbankan memiliki pesaing yang banyak di era globalisasi saat ini.

BAB II LANDASAN TEORI. hasil yang paling diharapkan dari sebuah penelitian mengenai perilaku konsumen.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Dari tahun ke tahun penggunaan internet semakin penting dan menjadi

PSIKOLOGI UMUM 2. Stress & Coping Stress

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kalangan masyarakat, misalnya penggunaan smartphone. Bagi masyarakat, smartphone

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Semakin majunya perkembangan teknologi di Indonesia, semakin terbuka luas juga

BAB I PENDAHULUAN. Sumber : Hasil Olah Peneliti. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. kata, mahasiswa adalah seorang agen pembawa perubahan, menjadi seorang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan pada populasi atau sampel yang diambil adalah

Hubungan antara Self-esteem dan Self-esteem dengan Internet Addiction. May Rauli Simamora (13/359560/PPS/02841)

BAB II LANDASAN TEORI. 1. Definisi Stres Kerja

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. orang lain dan lingkungan kehidupan yang melingkupinya. Untuk itu, manusia

BAB I PENDAHULUAN. mengenal awal kehidupannya. Tidak hanya diawal saja atau sejak lahir, tetapi keluarga

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Stres pada Wanita Karir (Guru) yang dialami individu atau organisme agar dapat beradaptasi atau menyesuaikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Masa remaja adalah suatu tahap antara masa kanak kanak dengan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. telepon genggam hanya sebatas SMS dan telepon, namun beberapa tahun terakhir,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. periodontal seperti gingiva, ligament periodontal dan tulang alveolar. 1 Penyakit

BAB I PENDAHULUAN. manusia tidak dapat terpuaskan secara permanen. Dalam usahanya untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

2016 HUBUNGAN ANTARA CYBERBULLYING DENGAN STRATEGI REGULASI EMOSI PADA REMAJA

TINJAUAN PUSTAKA Remaja Akhir

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Perceived Social Support. secara nyata dilakukan oleh seseorang, atau disebut received support,

BAB I PENDAHULUAN. baik dari faktor luar dan dalam diri setiap individu. Bentuk-bentuk dari emosi yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. latin adolensence, diungkapkan oleh Santrock (2003) bahwa adolansence

BAB I PENDAHULUAN. awal yaitu berkisar antara tahun. Santrock (2005) (dalam

2015 HUBUNGAN KETERAMPILAN SOSIAL D ENGAN INTENSITAS PENGGUNAAN TWITTER PAD A REMAJA D I KOTA BAND UNG

BAB I PENDAHULUAN. Konseling Singkat Berfokus Solusi Dalam Mengembangkan Kemampuan Mengendalikan Compulsive Internet USE (CIU) Siswa

Transkripsi:

BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Problematic Internet Use Problematic Internet use (PIU) didefinisikan sebagai cara penggunaan internet yang menyebabkan penggunanya memiliki gangguan atau masalah secara psikologis, sosial ataupun pekerjaan dalam kehidupannya. Problematic Internet Use juga dapat didefinisikan sebagai karakteristik pola penggunaan internet yang berbeda yang berhubungan dengan kognisi dan perilaku seseorang yang dapat memberikan negative outcome dalam kehidupan seseorang (Davis, 2001). Saphira (2013) mengatakan bahwa beberapa ahli meyakini bahwa Problematic Internet Use sangat erat kaitannya dengan internet addiction atau kecanduan internet sehingga istilah Problematic Internet Use digunakan untuk menggantikan istilah addiction untuk menghindari kontroversi. Adapun beberapa definisi Problematic Internet Use atau PIU ( Saphira, 2013) adalah sebagai berikut : (a) Sebuah keasyikan yang maladaptif dalam penggunaan internet, dirasakan sebagai pengalaman yang menarik, digunakan dalam waktu yang lebih lama dibandingkan dengan yang sudah direncanakan sebelumnya. (b) Sebuah kerusakan atau keburukan yang signifikan yang diakibatkan oleh penggunaan internet. Pada teori sebelumnya Problematic Internet Use dikatakan memiliki kesamaan dengan ciri-ciri adiksi, sehingga Davis (dalam caplan, 2003) menggunakan pendekatan cognitive behavioral dan memberikan hipotesa bahwa patologi psikologi atau distress (seperti loneliness, depression) cenderung mendorong seseorang untuk mengalami PIU. Menurut Caplan (2003 dalam Caplan, 2010) Problematic Internet Use atau yang seringkali disingkat menjadi PIU ini merupakan sebuah sindrom multidimensional yang terdiri dari tanda-tanda kognitif maladaptif dan perilaku yang menghasilkan hal negatif dalam sosial, akademis, atau konsekuensi profesional. Berdasarkan uraian tersebut di atas disimpulkan bahwa PIU merupakan suatu keadaan kognitif individu yang maladaptif terhadap penggunaan Internet, sehingga seringkai memberikan hasil yang negatif dari berbagai macam aspek kehidupan. Caplan (2003 dalam Caplan, 2010) mengidentifikasikan beberapa tanda kognitif dan perilaku dari PIU, yaitu: (1) Preference for online social interaction (POSI),

perbedaan karakteristik kognitif individual yang disebabkan kepercayaan akan mana yang lebih aman, yang lebih bisa dipercaya, dan mana yang lebih nyaman dengan interaksi interpersonal secara online dan hubungan daripada aktifitas tatap muka secara tradisional. (2) Mood Regulation, gejala kognitif pada generelized problematic internet use. Pada penelitian sebelumnya, Caplan (2003 dalam Caplan, 2010) menemukan bahwa regulasi perasaan merupakan sebuah patokan prediksi dari hasil negatif yang diasosiasikan pada penggunaan Internet. Namun pada penelitian selanjutnya, Caplan (2010) menyatakan bahwa secara sosial individu yang mengalami kecemasan akan memilih interaksi melalui internet untuk mengurangi kecemasan tentang presentasi diri mereka sendiri dalam situasi interpersonal. (3) Cognitive Preoccupation, cognitive preoccupation ini mengacu kepada pola pemikiran yang obsesif mencakup penggunaan internet, seperti pemikiran bahwa seseorang tidak bisa berhenti untuk berinternet atau ketika sedang tidak berinternet seseorang tidak bisa berhenti memikirkan apa saja yang terjadi pada internet (Caplan, 2010). (4) Compulsive Internet Use, compulsive Internet use merupakan keinginan seseorang untuk terus berinternet bahkan ketika dirinya tidak sedang keperluan berinternet. Individu juga mengalami kesulitan untuk mengontrol waktu yang dihabiskan untuk berinternet, serta kesulitan untuk mengontrol pemakaian Internet (Caplan, 2010). (5) Negative Outcome, negative outcome merupakan dampak negatif yang dirasakan oleh pengguna Internet seperti kesulitan dalam mengatur hidup, gangguan kehidupan sosial serta permasalahan permasalahan lainnya (Caplan, 2010). Caplan (2003) juga mengatakan bahwa setiap dari tanda kognitif dan perilaku ini secara signifikan memiliki hubungan negatif dari penggunaan internet seseorang. Caplan meyakini bahwa setiap tanda-tanda kognitif ini akan membantu secara teoritis menjelaskan bagaimana hasil negatif memiliki hubungan dengan penggunaan internet akan terhubung dengan preferensi virtual seseorang, dibandingan dengan hubungan tatap wajah. Secara teoritis menurut Davis (2001) terdapat dua tipe PIU yaitu specific dan generalized. Specific PIU meliputi negative outcome yang merupakan hasil dari fungsi internet untuk penggunaan konten-konten spesifik tertentu, meliputi stimulus-stimulus yang dapat diakses baik secara online maupun offline seperti : gambling, game online dan material-material seksual secara eksplisit.

Generalized PIU merujuk pada masalah yang diasosiakan dengan konteks sosial khusus yang ada di internet. Pada generalized PIU, internet dianggap sebagai suatu garis kehidupan yang yang bertindak sebagai sarana komunikasi ke tingkat yang paling ekstrim. Di Dalam hal ini PIU yang diteliti adalah Generalized PIU sehingga digunakan Generalized Problematic Internet Use Scale 2 (GPIUS2) yang dikonstruk Caplan sebagai alat ukur untuk melihat tingkat Problematic Internet Use dari sampel. Berdasarkan definisi-definisi tersebut peneliti menyimpulkan bahwa Problematic Internet Use (PIU) adalah penggunaan internet secara berlebihan yang membentuk keadaan kognitif individu yang maladaptif, menyebabkan kesulitan secara psikologis dan sosial serta dapat memberikan hasil yang negatif. 2.2 Perceived Stress Perceived Stress didefinisikan sebagai suatu kondisi yang dialami secara subjektif oleh individu yang mengalami ketidakselarasan antara kebutuhan atau tuntutan yang ditujukan pada seseorang dan sumber yang tersedia untuk mengatasi atau mengahadapi kebutuhan tersebut (Lazarus, 1990). Hal ini terjadi saat individu merasa bahwa tuntutan lingkungan melebih kapasitasnya untuk menyesuaikan diri (Cohen,1995). Pemikiran-pemikiran yang negatif dan emosi kemudian menimbulkan rasa curiga ketika orang melihat bahwa tuntutan individu melebihi kemampuan individu tersebut untuk mengatasinya (Lazarus dan Folkman 1984). Stress sendiri secara spesifik di definisikan sebagai keadaan ketidakseimbangan psikologis atapun fisiologis yang dihasilkan oleh kesenjangan antara kebutuhan dari situasi dan kemampuan individu dan atau motivasi untuk memenuhi kebutuhan tersebut (The American Institute, 2003). Sedangkan menurut Lazarus (1990) mendefinisikan stres secara psikologis merupakan keadaan cemas yang dihasilkan ketika peristiwa dan tanggung jawab melebihi kemampuan coping yang dimiliki. Stres menurut Selye (dalam Greenberg, 2006) adalah respon tidak spesifik dari tubuh atas setiap tuntutan yang dikenakan untuk menyesuaikan, apakah tuntutan menghasilkan kesenangan atau rasa sakit. Greenberg (2006) mendefinisikan stres sebagai gabungan dari stressor dan stress reactivity. Tanpa kedua komponen tersebut maka itu bukan stres. Perceived Stress berfokus pada cara individu memberikan respon terhadap suatu situasi secara fisik maupun mental yang mana dapat menyebabkan individu merasa

memiliki beban yang berlebihan dan dapat memungkinkan munculnya efek negatif (Cohen, 2007). Efek negatif yang mungkin terjadi di antaranya adalah perasaan cemas dan depresi yang mana dapat memberikan efek yang buruk pada individu secara biologis dan perilaku yang dapat berpengaruh terhadap munculnya penyakit (Cohen dkk, 2007). Stress juga dapat membuat seseorang mempersepsikan dirinya terintimidasi dan penuh tuntutan. Hal ini seringkali terjadi ketika individu merasa kemampuan mengatasi masalah dan sumber daya yang tidak memadai dapat mengontrol situasi (Cohen dkk, 1983). Perceived stress menimbulkan respon emosional secara disengaja maupun tidak disengaja (Voluntary atau Involuntary). Involuntary adalah reaksi yang tidak disadari seperti pemikiran-pemikiran yang mengganggu, sementara Voluntary adalah reaksireaksi penerimaan stress dengan melakukan pemecahan masalah atau pengungkapan ekspresi emosi. Voluntary reactions secara umum lebih diterima dan merupakan raksi yang sehat dan wajar terjadi ketika seseorang mengalami stress (Cohen et al., 1983). Instrumen yang digunakan untuk mengukur perceived stress adalah perceived stress scale yang mengukur sejauh mana individu menilai suatu keadaan sebagai keadaan yang menyebabkan stress. Hal tersebut meliputi pengalaman atau keadaan yang berpotensi menghasilkan stres dan diduga dapat meningkatkan resiko penyakit, ketika individu merasa bahwa tuntutan dari keadaan dan situasi lingkungan melebihi kapasitas dan kemampuan individu untuk beradaptasi. 1.3 Twitter Twitter dibuat oleh 10 orang yang berasal dari San Francisco yang dipimpin oleh Evan Williams. Twitter merupakan percampuran dari pesan, jejaring sosial dan microblogging. Pertumbuhan Twitter yang sangat pesat membuat menarik banyak orang dan mendapat cukup banyak ejekan, seperti Twitter hanya dapat membuang-buang waktu penggunanya (The New York Times, 2012). Twitter menerima dan mengirim pesan pendek yang disebut dengan "Tweets" baik di dalam website Twitter, dengan software pesan instan atau dengan telepon selular. Ketika pengguna Twitter melakukan login baik melalui website atau telepon selular, Twitter memberikan satu pertanyaan sederhana "What are you doing?". Pengguna akan menjawab dengan 140 karakter atau kurang dari itu. Tidak seperti pesan

teks pada umumnya atau yang biasa disebut dengan SMS, Twitter dihubungkan oleh jaringan di antara teman-teman. Orang-orang asing yang ada di dalam Twitter disebut dengan "followers" (The New York Times, 2012). Jika seseorang ingin menuliskan "tweet" untuk salah satu seorang dari "followers", maka harus di imbuhi dengan simbol @user, kemudian nama username orang tersebut (Boyd, 2011). Pengguna dapat memilih untuk menerima tweet dari orang-orang yang mereka anggap menarik. Fitur-fitur pada twitter di antaranya: (1) User Profile, pengguna menyimpan profil singkat mengenai dirinya. Profil yang dipublikasi meliputi nama lengkap, halaman web yang dimiliki, biografi singkat, jumlah tweet pengguna dan jumlah follower dan following dari pengguna (Haewoon,2010). (2) Tweet, berisi maksimal 140 karakter, yang digunakan untuk memberikan informasi secara umum, atau secara khusus kepada seseorang dengan menggunakan tag @username ataupun menuliskan informasi dengan tema tema tertentu dengan menggunakan hashtag #theme (Boyd, 2010). (3) Retweet, digunakan untuk melakukan tweet ulang dari tweet yang dilakukan oleh orang lain. Setiap pengguna mempunyai cara tersendiri dalam memodifikasi retweet dan motivasi dalam melakukan hal tersebut (Boyd, 2010). (4) Trending Topics, merupakan frase, kata atau hashtag yang paling banyak disebutkan dalam tweet yang dikirimkan, biasanya berupa hal-hal yang sedang rama didiskusikan di masyarakat maupun digunakan sebagai sarana untuk mempromosikan atau mengkampanyekan suatu hal tertentu (Haewoon, 2010). 1.4 Remaja Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik (Hurlock, 1992). Masa remaja adalah masa perkembangan transisi antara masa anak dan dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial. Dalam kebanyakan budaya, remaja dimulai pada kira-kira usia 10-13 tahun dan berakhir kira-kira usia 18-22 tahun (Santrock, 2003), Hurlock (1990) memberikan batasan usia remaja berada pada rentang usia 13 tahun dan akan berakhir pada usia 18 tahun. Menurut Papalia (2004) mengatakan bahwa remaja pada rentang usia 11-15 tahun.

Di Indonesia, label remaja biasanya diberikan pada individu yang memasuki Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan usia sekitar 12 tahun. Dalam penelitian ini batasan usia yang digunakan adalah dimulai dari 12 tahun dengan asumsi usia anak pada awal tahun Sekolah Menengah Pertama (SMP) hingga batasan usia akhir remaja menurut Hurlock (1990) yakni 18 tahun atau diperkirakan hingga masa akhir Sekolah Menengah Atas ( SMA). Dari defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak anak ke masa dewasa, dimana pada masa tersebut terjadi proses pematangan baik itu pematangan fisik, maupun psikologis. 2.5 Kerangka Berpikir Gambar 2.1 Kerangka berpikir Remaja 13-15 Tahun Pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP) Twitter Perceived stress Problematic Internet Use Skema di atas menunjukan bahwa dengan perkembangan teknologi, kini remaja banyak menggunakan media sosial salah satunya jejaring sosial dalam hal ini Twitter. Dewasa ini, perilaku gemar berjejaring sosial sedang marak di kalangan remaja. Kegemaran tersebut memiliki kecenderungan untuk dapat menyebabkan remaja mengalami Problematic Internet Use (PIU). Dalam penggunaannya, jejaring sosial seringkali digunakan oleh remaja sebagai sarana curhat atau mengekspresikan rasa

stress yang dirasakan. Ketika penggunaan jejaring sosial sebagai sarana pencurahan atau mengekspresikan rasa stress ini kemudian menjadi Problematic Internet Use (PIU) ataupun sebalikanya seseorang dengan PIU menggunakan untuk mengekspresikan stress yang dirasakan maka seseorang kemudian tidak dapat mengontrol penggunaan jejaring sosial dan dan tidak dapat mengatasi masalah masalahnya di dunia offline, sehingga dapat dikatakan ketika Problematic Internet Use (PIU) meningkat maka Perceived Stress juga meningkat begitupun sebaliknya.