BAB III METODE PENELITIAN A. Obyek Penelitian Lokasi penelitian mengambil sembilan kabupaten/kota di Provinsi Bali. B. Populasi Penelitian Populasi penelitian yakni, (1) Kab. Badung (2) Kab. Bangli (3) Kab. Buleleng (4) Kab. Gianyar (5) Kab. Jembrana (6) Kab. Karangasem (7) Kab. Klungkung (8) Kab. Tabanan (9) Kota Denpasar. C. Jenis Penelitian Jenis yang dilakukan adalah penelitian deskriptif kuantitatif. Penelitian deskriptif kuantitatif merupakan penelitian yang spesifikasinya sistematis, terencana, terstruktur dan banyak menggunakan angka, mulai dari pengumpulan data, hingga penafsiran terhadap data tersebut (interpretasi). D. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder dimana data tersebut telah dikumpulkan oleh pihak lain dan telah diolah. Data yang peneliti gunakan bersumber dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan. E. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara dokumentasi, yakni mengumpulkan data dari obyek yang akan diteliti. 17
18 F. Teknik Analisis Data 1. Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal Derajat Desentralisasi Fiskal adalah kemampuan pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli Daerah guna membiayai pembangunan. Menurut Hikmah dalam Tiyaningsih (2009) Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal diukur dengan: Rasio DDF = Total Pendapatan Asli Daerah Total Penerimaan Daerah 100% Tabel 3.1 Pedoman Penilaian dan Kinerja Derajat Desentralisasi Fiskal Persentase (%) Kriteria 0-10,00 Sangat Kurang 10,01-20,00 Kurang 20,01-30,00 Cukup 30,01-40,00 Sedang 40,01-50,00 Baik >50,00 Sangat Baik Sumber: Hanafi dan Mugroho (2005:80) 2. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Kemandirian Keuangan Daerah atau ekonomi fiscal menunjukkan kemampuan keuangan daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah dibandingkan dengan penerimaan daerah (Halim, 2008: 234). dengan: Menurut Halim (2008:234) Rasio Kemandirian Keuangan Daerah diukur 18
19 RK = Pendapatan Asli Daerah (Bantuan Pemerintah Pusat atau Provinsi) + Pinjaman 100% Tabel 3.2 Pedoman Penilaian Kinerja dan Pola Hubungan Kemandirian Keuangan Daerah Persentase (%) Kriteria Pola Hubungan 0%-25% Rendah Sekali Instruktif 25%-50% Rendah Konsultatif 50%-75% Sedang Partisipatif 75%-100% Tinggi Delegatif Sumber: Halim (2001) Paul Harvey dalam Halim (2001: 261) mengemukaka nmengenai pola hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah terutama pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, antara lain: a. Pola hubungan instruktif, dimana peranan Pemerintah Pusat lebih dominan daripada kemandirian Pemerintah Daerah. b. Pola hubungan konsultatif, yaitu campur tangan Pemerintah Pusat sudah mulai berkurang karena daerah dianggap sedikit lebih mampu melaksanakan otonomi daerah. c. Pola hubungan partisipatif, peranan Pemerintah Pusat sudah mulai berkurang mengingat daerah yang bersangkutan tingkat kemandirianny amendekati mampu melaksanakan otonomi daerah. 19
20 d. Pola hubungan delegatif, yaitu campur tangan Pemerintah Pusat sudah tidak ada karena daerah telah benar-benar mampu dan mandiri dalam melaksanakan urusan otonomi daerah. 3. Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah merupakan rasio yang menunjukkan tingkat ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat maupun provinsi. Rasio ini dihitung dengan cara membandingkan jumlah pendapatan transfer yang diterima oleh peneriaan daerah dengan total penerimaan daerah. Semakin tinggi rasio ini maka semakin besar tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap penerimaan pusat dan/atau pemerintah provinsi. Menurut Mahmudi (2010:142) Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah dihitung dengan: Rasio Ketergantungan = Pendapatan Transfer Total Pendapatan Daerah 100% Tabel 3.3 Pedoman Penilaian Kinerja Ketergantungan Keuangan Daerah 4. Rasio Efektivitas PAD Persentase% Ketergantungan 0,00-10,00 Sangat Rendah 10,01-20,00 Rendah 20,01-30,00 Sedang 30,01-40,00 Cukup 40,01-50,00 Tinggi >50,00 Sangat Tinggi Sumber: Tim Litbang Depdagri Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan Pemda dalam merealisasikan PAD yang direncanakan dibandingkan dengan target yang 20
21 ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. PAD efektif apabila rasio yang dicapai mencapai 100 atau lebih dari 100%. Dengan demikian semakin besar rasio efektivitas maka kinerja pemerintahan pun semakin baik (Halim, 2008: 234). Menurut Halim (2008:234) Rasio Efektivitas PAD diukur dengan: Rasio Efektivitas PAD = Realisasi Penerimaan PAD Target Penerimaan PAD 100% Tabel 3.4 Pedoman Penilaian dan Kinerja Efektivitas terhadap PAD Persentase (%) Kriteria >100 Sangat Efektif 90-100 Efektif 80-90 Cukup Efektif 60-80 Kurang Efektif <60 Tidak Efektif Sumber: Mohamad Mahsun (2006) 5. Rasio Efisiensi PAD Analisis tingkat efisiensi keuangan daerah dapat dihitung dengan menggunakan rasio efisiensi, yaitu rasio yang menggambarkan perbandingan antara output dan input atau realisasi pengeluaran dengan realisasi penerimaan daerah. Menurut Halim (2008:234) Rasio Efisiensi PAD diukur dengan: Rasio Efisiensi PAD = Total Realisasi Belanja Daerah Total Realisasi Pendapatan Daerah 100% 21
22 Tabel 3.5 Pedoman Penilaian dan Kinerja Efisiensi terhadap PAD Persentase (%) Kriteria <60 Sangat Efisien 60-80 Efisien 80-90 Cukup Efisien 90-100 Kurang Efisien >100 Tidak Efisien Sumber: Mohamad Mahsun (2006) 22