BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Nyeri merupakan fenomena yang universal dan kebebasan dari nyeri merupakan hak dasar setiap orang (Breivik, 2005). Menurut Kozier dan Erb (1983, dalam Tamsuri, 2004), nyeri adalah sensasi ketidaknyamanan yang dimanifestasikan sebagai penderitaan yang diakibatkan oleh persepsi jiwa yang nyata, ancaman, dan luka. Nyeri merupakan keluhan yang paling sering dijumpai, baik dalam praktek umum maupun dokter spesialis khususnya spesialis saraf (Wibowo, 2001). Nyeri terjadi bersama dengan berbagai proses penyakit atau bersamaan dengan pemeriksaan diagnostik atau pengobatan (Brunner & Suddarth, 2004). Dari segi berlangsungnya nyeri dibagi atas nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut biasanya berlangsung singkat yang berkaitan dengan pembedahan trauma atau penyakit akut, misalnya nyeri akibat secio secare (Brannon & Feist, 1992). Sementara nyeri kronis berasal nyeri akut yang rekurens yang berlangsung lebih dari 6 bulan (Soeroso, 2009). Penyakit yang dapat menimbulkan nyeri kronis misalnya, rematoid arthititis, osteoarthritis, fibromyalgia, low back pain, dan kanker (medicinehealth.com) Nyeri kronis biasanya lebih kompleks dan lebih sulit untuk ditangani, diobati atau dikontrol daripada nyeri akut (Chong, 1999). Klien dengan nyeri kronis harus menjalani serangkaian pengobatan (misalnya pembedahan) dimana
pengobatan ini seringkali mengakibatkan nyeri yang dialami klien bertambah buruk (Tailor, 1995). Nyeri kronik diderita ratusan juta dari penduduk di seluruh dunia (Wibowo, 2001). Menurut survei Gallup (1999), sembilan dari sepuluh warga Amerika Serikat yang berusia 18 tahun dilaporkan menderita nyeri, dan 42 % orang dewasa mengalami nyeri setiap harinya. Menurut penelitian Chronic Pain Association of Australia (2009), lebih dari 3,2 juta warga Australia yang menderita nyeri kronik. Nyeri tersebut kebanyakan berasal dari nyeri sendi dan tulang belakang. Sementara di Singapura 9% warganya menderita nyeri kronik. Nyeri kronik telah mempengaruhi sebagian bahkan seluruh hidup penderitanya (Tailor, 1995). Nyeri kronik merupakan penyebab utama ketidakmampuan fisik dan psikologi sehingga muncul masalah-masalah, seperti kehilangan pekerjaan, ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari yang sederhana, disfungsi seksual, dan isolasi sosial dari keluarga dan teman-teman (Potter & Perry, 2005). Nyeri bersifat subjektif, tidak ada dua individu yang mengalami nyeri yang sama menghasilkan respon atau perasaan yang identik pada individu (Niven, 1994). Oleh karena itu, tingkatan nyeri dapat dikaji dengan mengobservasi reaksi yang muncul akibat nyeri tersebut (Wall & Jones, 1991). Perilaku nyeri dapat dimanifestasikan dengan berbagai cara yang meliputi mengeluh, merintih, menggosok bagian yang nyeri, meringis, dan berubah posisi (Silver, 2004). Perilaku nyeri yang dialami oleh klien dengan nyeri akut berbeda dengan klien dengan nyeri kronik. Pada nyeri akut, sering melibatkan ketidaknyaman dalam waktu yang singkat dan akan segera pulih kembali (Sternbach, 1984). Sementara
pada nyeri kronik, klien membutuhkan kemampuan untuk dapat hidup dengan nyeri dalam waktu yang lama dan mempertahankan pola perilaku untuk mencegah nyeri tersebut menguasai hidupnya (Tailor, 1995). Seseorang yang mengalami nyeri kronis harus memiliki mental dan emosional yang kuat untuk menjalani hidup dengan nyeri yang menetap. Oleh karena itu diperlukan penguatan faktor psikologis dengan cara meningkatkan kemampuan kognitif (Chong, 1999). Kognitif ini dimaksudkan untuk membantu klien mengenali respon emosional terhadap nyeri yang dipengaruhi oleh pikiran dan melatih mereka mengendalikan gangguan yang berasal dari nyeri kronis yang mereka alami (Gallagher, 2005). Salah satu kemampuan kognitif adalah self efficacy. Self efficacy adalah rasa kepercayaan seseorang bahwa dia dapat menunjukkan perilaku yang dituntut dalam situasi yang spesifik. Self efficacy lebih mengarahkan pada penilaian individu akan kemampuannya dalam hal ini untuk mengontrol perilaku nyeri yang dialaminya (Bandura, 1994). Ekspektasi self efficacy sangat penting karena klien seharusnya percaya bahwa mereka memiliki kemampuan untuk melakukan respon yang diharapkan agar dapat membawa perubahan. Klien yang memiliki self efficacy yang tinggi dapat menurunkan perilaku nyeri sebaliknya self efficacy yang rendah dapat menyebabkan depresi pada penderita nyeri kronik (Tailor, 1995). Self efficacy merupakan faktor yang berperan dalam pengontrolan perilaku nyeri, peneliti merasa tertarik untuk menyelidiki bagaimana hubungan perilaku nyeri dengan self efficacy. Secara khusus dalam hal ini peneliti ingin meneliti
hubungan perilaku nyeri self efficacy pada pasien nyeri kronis di RSUP H. Adam Malik Medan. Mengingat rumah sakit ini adalah rumah sakit rujukan sehingga banyak ditemukan kasus nyeri kronis. Apabila penelitian ini berhasil membuktikan adanya hubungan yang signifikan antara perilaku nyeri pasien dengan self efficacynya maka hal ini dapat menjadi suatu informasi yang berharga bagi perawat untuk meningkatkan self efficacy pasien. 2. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk: 2.1 Mengidentifikasi self efficacy pada pasien nyeri kronis. 2.2 Mengidentifikasi perilaku nyeri pada pasien nyeri kronis. 2.3 Mengidentifikasi hubungan perilaku nyeri dengan self efficacy pada nyeri kronis. 3. Pertanyaan Penelitian Pertanyaan yang harus dijawab dalam penelitian ini adalah: 3.1 Bagaimana self efficacy pada pasien nyeri kronis? 3.2 Bagaimana perilaku nyeri pada pasien nyeri kronis? 3.3 Bagaimana hubungan self efficacy dengan perilaku nyeri pada pasien dengan nyeri kronis? 1.4 Manfaat Penelitian 4.1 Bagi praktek keperawatan Dalam bidang praktek keperawatan, hasil penelitian ini akan memberikan informasi tentang pentingnya self efficacy dalam mengontrol perilaku nyeri klien.
4.2 Bagi penelitian keperawatan Dalam bidang penelitian keperawatan, hasil penelitian ini diharapkan akan dipergunakan sebagai bahan masukan untuk penelitian selanjutnya, untuk meneliti hubungan perilaku nyeri dengan self efficacy dengan jumlah sampel yang lebih bervariasi dan lebih banyak.