I.PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. jiwa sehingga dibutuhkan bantuan penanganan (CRED, 2014 ; WHO, 2013 ;

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 : PENDAHULUAN. Berdasarkan data dunia yang dihimpun oleh WHO, pada 10 dekade terakhir ini,

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bencana dilihat dari beberapa sumber memiliki definisi yang cukup luas.

BAB 1 : PENDAHULUAN. mencapai 50 derajat celcius yang menewaskan orang akibat dehidrasi. (3) Badai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bencana alam secara langsung memberikan dampak buruk pada kehidupan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia dengan keadaan geografis dan kondisi sosialnya berpotensi rawan

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan Indonesia menjadi negara yang rawan bencana. maupun buatan manusia bahkan terorisme pernah dialami Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Menurut indeks rawan bencana Indonesia (BNPB, 2011), Kabupaten

BAB I PENDAHULUAN. Kejadian alam di dunia yang terjadi selama tahun mengalami fluktuasi dengan kecenderungan terus mengalami peningkatan.

BAB 1 PENDAHULUAN. paripurna (komprehensif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pencegahan

BAB 1 PENDAHULUAN. Bencana adalah sebuah fenomena akibat dari perubahan ekosistem yang terjadi

BAB I PENDAHULUAN. kanan Kota Palu terdapat jalur patahan utama, yaitu patahan Palu-Koro yang

PENANGGULANGAN BENCANA (PB) Disusun : IdaYustinA

BAB I PENDAHULUAN. Keadaan darurat (Emergency) menurut Federal Emergency. Management Agency (FEMA) dalam Emergency Management

BAB 1 PENDAHULUAN. alam (natural disaster) maupun bencana karena ulah manusia (manmade disaster).

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terletak pada garis Ring of Fire yang menyebabkan banyak

BUPATI TULUNGAGUNG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TULUNGAGUNG NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. Keadaan Gawat Darurat bisa terjadi kapan saja, siapa saja dan dimana saja.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DIREKTORAT BINA UPAYA KESEHATAN DASAR PERAN FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN DASAR DALAM PENANGGULANGAN BENCANA

BAB 1 : PENDAHULUAN. bumi dan dapat menimbulkan tsunami. Ring of fire ini yang menjelaskan adanya

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Bencana

PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta dalam menghadapi bencana, dapat

QANUN KOTA BANDA ACEH NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA BANDA ACEH

BUPATI NGANJUK PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan yang secara geografis terletak di daerah

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 7. MENGANALISIS MITIGASI DAN ADAPTASI BENCANA ALAMLATIHAN SOAL 7.1

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 6 TAHUN 2011

MANAGEMEN OF DECEASED IN DISASTER (PENATALAKSANAAN KORBAN MATI KARENA BENCANA) D R. I. B. G D S U R Y A P U T R A P, S P F

Powered by TCPDF (

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 40 TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESIAPSIAGAAN BENCANA DI RSUDZA BANDA ACEH. Influencing Factors on Disaster Preparedness in RSUDZA Banda Aceh

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 SERI D.4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG

PEDOMAN PENANGGULANGAN BENCANA (DISASTER PLAN) Di RUMAH SAKIT

BUPATI REMBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. jaringannya (DinKes Jawa Timur, 2013). Instalasi Gawat Darurat sebagai gerbang

CHECKLIST KEGAWATDARURATAN RUMAH SAKIT. Belum Terlaksana

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. kematian dan kecacatan secara terpadu dengan melibatkan berbagai multi

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 56 TAHUN 2014 TENTANG URAIAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA KEDIRI

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan penelitian studi kasus digunakan untuk memberikan penjelasan

KOMUNITAS MASYKUR KHAIR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG

KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KRISIS KESEHATAN

KESIAPSIAGAAN KOMUNITAS SEKOLAH UNTUK MENGANTISIPASI BENCANA ALAM DI KOTA BENGKULU LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI), 2006 BENCANA ALAM

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Unit Gawat Darurat menurut Australlian College For Emergency Medicine

DESAIN SISTEM KOMANDO DAN KOMUNIKASI DALAM MENGHADAPI BENCANA DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. hidrologis dan demografis, merupakan wilayah yang tergolong rawan bencana,

PERATURAN BUPATI LANDAK NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU

KERANGKA ACUAN PROGRAM PELATIHAN GAWAT DARURAT (TRIASE) DI UPT PUSKESMAS KINTAMANI I

BUPATI PURBALINGGA PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

BAB 1 : PENDAHULUAN. Samudera Pasifik yang bergerak kearah barat-barat laut dengan kecepatan sekitar 10

BAB I PENDAHULUAN. York pada tanggal 30 Mei Pada tanggal 17 Agustus tahun yang sama,

PERATURAN DAERAH PROVINSIRIAU NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 17 TAHUN2013 TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA ALAM

BAB I PENDAHULUAN. letaknya berada pada pertemuan lempeng Indo Australia dan Euro Asia di

BAB 1 PENDAHULUAN. atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan yaitu bertekad untuk meningkatkan kesehatan masyarakat secara

KERENTANAN (VULNERABILITY)

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI dan BUPATI BANYUWANGI MEMUTUSKAN:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terabaikan oleh lembaga pemerintahan. Menurut undang-undang no 22 tahun 2009

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN, ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA BANJARBARU

D. DAFTAR PENILAIAN PRESTASI KERJA KARYAWAN (PERFORMANCE APPRAISAL) 1

PEMERINTAH KOTA BATU PERATURAN DAERAH KOTA BATU NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA BATU

BAB I PENDAHULUAN. epidemik campak di Nigeria, dan banjir di Pakistan (ISDR, 2009).

TIM CMHN BENCANA DAN INTERVENSI KRISIS

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur. kesejahteraan umum dari tujuan nasional.

menyiratkan secara jelas tentang perubahan paradigma penanggulangan bencana dari

JURNAL KESIAPAN KELOMPOK SIAGA BENCANA SMA DI WILAYAH ZONA MERAH DI KOTA PADANG DALAM MENGHADAPI BENCANA GEMPA DAN TSUNAMI

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2011 NOMOR 32 SERI E

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 11 TAHUN 2009

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PANGKAJENE DAN KEPULAUAN NOMOR 2 TAHUN 2011

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANJAR dan BUPATI BANJAR

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah Indonesia merupakan gugusan kepulauan terbesar di dunia.

BAB I PENDAHULUAN. Australia dan Lempeng Pasifik (gambar 1.1). Pertemuan dan pergerakan 3

BAB 1 PENDAHULUAN. pelayanan kepada masyarakat dalam lingkup lokal maupun internasional.

PERATURAN WALIKOTA TEGAL

KEBIJAKAN PENGELOLAAN MASALAH PENANGGULANGAN BENCANA BIDANG KESEHATAN

RANCANGAN TENTATIF WAWANCARA

PELATIHAN TEKNIK PENYELAMATAN DIRI DARI DAMPAK BENCANA ALAM GEMPABUMI BAGI KOMUNITAS SLB B KARNNA MANOHARA YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sistem pelayanan kesehatan di Indonesia saat ini telah menunjukkan

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 2 TAHUN : 2010 SERI : D PERATURAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. kelemahan dan kematian sel-sel jantung (Yahya, 2010). Fenomena yang terjadi

PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR: 10 TAHUN 2010

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 1 PENDAHULUAN. Penanganan gawat darurat ada filosofinya yaitu Time Saving it s Live

BAB III LANDASAN TEORI

BAB 1 : PENDAHULUAN. faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menempati wilayah zona tektonik tempat pertemuan tiga

Oleh. Lila Fauzi, Anita Istiningtyas 1, Ika Subekti Wulandari 2. Abstrak

Transkripsi:

I.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bencana menjadi topik perbincangan banyak kalangan saat ini. Bencana merupakan peristiwa yang disebabkan oleh faktor alam dan non alam yang merusak fungsi sosial, material dan lingkungan serta menimbulkan korban jiwa sehingga dibutuhkan bantuan penanganan (CRED, 2014 ; WHO, 2013 ; UU No 24 tahun 2007). Sampai saat ini bencana baik di indonesia maupun di dunia belum mampu dikendalikan sehingga angka kejadian bencana ini selalu meningkat. Indonesia sebagai negara kepulauan rawan terhadap bencana alam. Kejadian bencana alam mengalami peningkatan setiap tahun, dilaporkan sejak tahun 2012 terdapat 1.811 kejadian dan meningkat hingga tahun 2016 dengan 1.986 kejadian bencana (BNPB, 2016 ; Gaffar, 2015 ; BNPB, 2013). Sumatera Barat menjadi salah satu provinsi di Indonesia yang menjadi 5 provinsi tertinggi kejadian bencana. Kondisi ini disebabkan karena geografis Sumbar yang berada pada jalur patahan sehingga beresiko terhadap bencana, dan Kota Padang menjadi urutan pertama daerah yang paling beresiko tinggi. (BNPB, 2014). Besarnya angka kejadian bencana membutuhkan upaya dalam penanggulangan bencana. Kejadian bencana membutuhkan penanggulangan untuk meminimalisir kerugian bencana. Penanggulangan bencana adalah upaya sistematis dan 1

2 terpadu untuk mengelola bencana dan mengurangi dampak diantaranya. penetapan kebijakan dalam bencana, pengelolaan resiko berupa usaha pencegahan bencana, mitigasi dan kesiapsiagaan serta upaya pemulihan berupa rehabilitasi dan rekontruksi (Veenema, 2016 ; Loke, 2014 ; KPBD, 2005). Penanggulangan bencana akan maksimal apabila dilakukan upaya kesiapsiagaan yang terus menerus dalam bencana. Upaya kesiapsiagaan menjadi aspek penting untuk mengelola dan mengurangi dampak dari bencana. Menurut Usher (2016) kesiapsiagaan adalah perpaduan antara ilmu, keterampilan, kemampuan dan tindakan yang perlu dipersiapkan dalam menghadapi bencana baik alam ataupun non alam. Sedangkan Magnaye (2011) menyebutkan kesiapsiagaan adalah tindakan antisipasi terkait sistem, prosedur dan sumber daya yang tersedia dalam memberikan bantuan kepada korban bencana. Fung (2008) mendefenisikan kesiapsiagaan merupakan langkah penting dan efektif untuk mempersiapkan diri dalam mengurangi dampak bencana. Jadi kesiapsiagaan adalah aktivitas yang perlu dipersiapkan dalam menghadapi bencana. Upaya kesiapasiagaan dibutuhkan untuk semua disiplin ilmu dalam penanggulangan bencana salah satunya ilmu bagian kesehatan. Bidang kesehatan menjadi salah satu disipin ilmu yang mempersiapkan pelayanan kesehatan dalam kesiapsiagaan bencana. Pelayanan kesehatan pada saat bencana merupakan faktor yang sangat penting untuk mencegah terjadinya kematian, kecacatan dan kejadian penyakit akibat bencana. Sharma (2016) menyebutkan kesiapsiagaan bidang kesehatan adalah

3 persiapan untuk menangani korban akibat bencana. Magnaye (2011) menyebutkan kesiapsiagaan kesehatan adalah garda utama melawan hilangnya nyawa manusia akibat bencana. Sedangkan Depkes (2006) menyatakan kesiapsiagaan kesehatan adalah upaya untuk meminimalkan jumlah, penderitaan, masalah kesehatan dan pemulihan yang cepat pada korban. Jadi kesiapsiagaan dalam kesehatan adalah pengembangan rencana bidang kesehatan untuk meminimalisir terjadinya kematian, kecacatan dan kejadian penyakit akibat bencana. Untuk memaksimalkan kesiapsiagaan bidang kesehatan, pelayanan kesehatan harus mempersiapkan tenaga kesehatan yang profesional dalam kesiapsiagaan bencana. Perawat sebagai tenaga kesehatan terbesar mempunyai peran yang sangat penting dalam kesiapsiagaan bencana. Veenema (2016) menyebutkan perawat merupakan tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dalam penanggulangan bencana yang terangkum dalam disaster nursing. Rokkas (2014) menyebutkan perawat sebagai tenaga kesehatan memiliki peran sebagai first responden dalam menangani korban bencana. Selanjutnya International Council of Nurses (2009) menyatakan perawat memiliki kompetensi dalam keperawatan bencana untuk memberi tindakan keperawatan pada individu, keluarga dan masyarakat dalam setiap fase bencana. Jadi, perawat memiliki kompetensi dalam memberikan tindakan keperawatan yang terangkum dalam keperawatan bencana. Peran perawat dalam kompetensi keperawatan bencana salah satunya adalah kesiapsiagaan.

4 Kesiapsiagaan perawat secara profesional dalam penanggulangan bencana menjadi hal yang penting. Ada delapan aspek kesiapsiagaan bagi perawat diantaranya 1) kesiapsiagaan dalam tindakan keselamatan, 2) kesiapsiagaan dalam komando bencana di rumah sakit, 3) kesiapsiagaan mengakses sumber kritis, 4) kesiapsiagaan dalam support psikologis yaitu kemampuan perawat dalam menangani psikologis korban, 5) kesiapsiagaan dalam komunikasi, 6) kesiapsiagaan dalam deteksi agen biologis, 7) kesiapsiagaan dalam isolasi dan dekontaminasi dan 8) kesiapsiagaan dalam pengambilan keputusan klinis kepada korban (Georgino, 2015 ; Baack, 2011 ; Depkes, 2006). Jadi peran perawat dalam kesiapsiagaan ini adalah mempersiapkan kemampuan diri sebagai upaya dalam menangani permasalahan kesehatan korban bencana. Untuk itu, kesiapsiagaan perawat penting untuk menghadapi kedaruratan bencana. Namun beberapa penelitian menunjukkan perawat masih memiliki tingkat kesiapsiagaan yang rendah dalam kedaruratan bencana. Perawat di Taiwan dilaporkan 68,2 % memiliki tingkat kesiapan yang rendah dalam kesiapsiagaan bencana, sedangkan di Tanzania tercatat 78 % perawat memiliki kesiapsiagaan yang rendah dalam tanggap bencana di rumah sakit, untuk kota Atlantis 70% perawat tidak siap siaga dalam kondisi emergensi bencana (Tzeng, 2016 ; Robert, 2014 ; Elizabeth, 2013). Di Indonesia, beberapa penelitian menyebutkan 29% perawat di Blitar memiliki tingkat kesiapsiagaan yang rendah dalam bencana Gunung Kelud, 40% perawat memiliki tingkat kesiapsiagaan yang rendah dalam bencana gempa bumi

5 dan tsunami di Aceh dan 31,9% perawat tidak siap dalam penanggulangan masalah kesehatan di Jakarta (Anam, 2013; Husna, 2011 ; Wursanti, 2010). Angka kesiapsiagaan yang rendah ini akan memiliki dampak yang buruk. Angka ketidaksiapsiagaan perawat dalam kedaruratan bencana akan berdampak pada pasien atau korban, perawat maupun pelayanan kesehatan. Menurut Ibrahim (2014) akan berdampak pada perawatan dan keselamatan pasien serta dapat meningkatkan angka trauma dan kematian pada korban. Kollek (2013) menyatakan berdampak pada pelayanan rumah sakit yang menurun dalam memberi perawatan dan beban kerja perawat semakin meningkat. Selain itu, Phang (2010) menyatakan akan berdampak pada perawatan kesehatan langsung pada korban, menyebabkan trauma massal dan agen infeksius. Ketidaksiapsiagaan perawat tentu saja disebabkan oleh berbagai faktor Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kesiapsiagaan perawat dalam penangulangan masalah kesehatan akibat bencana. Menurut Baack (2011) usia, masa kerja dan pengalaman memberi pelayanan kesehatan pada korban bencana memiliki pengaruh terhadap kesiapsiagaan perawat. Phang (2010) menyebutkan faktor sikap dan frekuensi pelatihan berpengaruh dalam keterampilan kesiapsiagaan. Arbon (2006) menyatakan faktor manajemen organisasi berpengaruh dalam kesiapsiagaan perawat. Jadi dapat disimpulkan faktor yang mempengaruhi kesiapsiagaan perawat dalam bencana yaitu 1) karakteristik individu (usia, lama kerja, pengalaman

6 memberi pelayanan kesehatan pada korban bencana) 2) frekuensi pelatihan 3) sikap, dan 4) manajemen Umur adalah lamanya waktu hidup yaitu terhitung sejak lahir sampai dengan sekarang dan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi fisik, kemampuan dan produktivitas seseorang (Hasibuan, 2008). Menurut Gierlach (2010), perawat yang memiliki profil karakteristik terdapat kesamaan dan perbedaan dalam kinerja. Penelitian Adriani (2012) di RS Achmad Mochtar Bukittinggi menyebutkan perawat pelaksana yang berumur kisaran 30 tahunan yang digolongkan usia produktif memiliki kinerja yang lebih baik dibanding kategori umur lainnya. Penelitian Munawaroh (2008) pada perawat di RSUD Dr Harjono Ponorogo didapatkan bahwa perawat yang umurnya lebih dari 30 tahun cenderung memiliki kinerja yang lebih baik. Masa kerja adalah suatu kurun waktu atau lamanya tenaga kerja bekerja di suatu tempat dimana dapat mempengaruhi baik kinerja positif maupun negatif (Siagian, 2008). Penelitian Harmiyeti (2016) menunjukkan bahwa perawat yang masa kerja 10 tahun memiliki kinerja baik dibandingkan dengan perawat yang memiliki masa kerja < 10 tahun. Hasil penelitian Wilfin (2012) didapatkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara masa kerja dengan kinerja perawat. Perawat dengan masa kerja lebih dari 10 tahun memiliki pengetahuan lebih baik dibandingkan perawat yang memiliki masa kerja kurang dari 10 tahun. Semakin lama tenaga kerja

7 bekerja, makin banyak pengalaman yang dimiliki tenaga kerja yang bersangkutan. Pengalaman merupakan sumber pengetahuan dan juga merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan (Notoatmodjo, 2005). Hasil penelitian Ali (2015) menyebutkan bahwa perawat yang memiliki pengalaman dan pernah ikut dalam memberikan layanan kesehatan pada situasi bencana memiliki kesiapsiagaan lebih tinggi dibandingkan dengan perawat yang sama sekali tidak pernah terlibat. Hal ini sejalan dengan penelitian Basnet (2016) yang menyatakan bahwa perawat yang memiliki pengalaman dalam bencana memiliki kesiapsiagaan lebih tinggi dalam mengahadapi bencana yang akan terjadi baik di RS ataupun komunitas dibandingkan perawat yang tidak. Stevenson (2008) mencatat bahwa lamanya pengalaman bencana berdampak pada kesiapsiagaan perawat. Pelatihan merupakan kegiatan dalam melatih kemampuan manajemen penanggulangan bencana cara untuk meningkatkan pengetahuan bagi sumber daya manusia kesehatan dalam penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana (Serdamayanti, 2009). Penelitian Khalaileh (2012) mengatakan perawat yang mengikuti pelatihan rutin, secara klinis lebih terampil dalam penanggulangan bencana. Hal ini didukung studi yang dilakukan Landesman (2006) menyatakan perawat yang berpengalaman dan mengikuti pelatihan dalam situasi bencana, memiliki kinerja yang baik dibanding perawat yang tidak.

8 Sikap merupakan keyakinan yang berasal dari diri responden untuk mengambil tindakan kesiapsiagaan dalam kedaruratan bencana (Magnaye, 2011). Sikap perawat menurut Phang (2010) sangat mempengaruhi perawat dalam bencana terutama sebagai penolong serta sebagai tenaga yang bekerja dalam sebuah sistem penanggulangan bencana. Hasil penelitian Husna (2012) melaporkan bahwa sebanyak 73,3% perawat memiliki sikap positif terhadap kesiapsiagaan bencana di instalasi gawat darurat Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Manajemen keperawatan adalah persepsi perawat terhadap manajemen organisasi yang ada di ruangan yaitu kepemimpinan di ruangan, kondisi lingkungan kerja dan supervisi oleh kepala ruangan (Wahyuni, 2007). Menurut Fahriani (2011) ada hubungan antara manajemen dengan produktivitas dan kinerja perawat. Hasil penelitian Susanti (2014) menyebutkan perawat yang memiliki persepsi manajemen yang baik memiliki produktivitas lebih baik dalam pekerjaannya. Bila dilihat dari faktor diatas, maka perawat dituntut harus memiliki kompetensi kesiapsiagaan dalam kedaruratan bencana. Demikian juga dengan perawat yang ada di RSUP Dr. M Djamil Padang. RSUP Dr. M Djamil merupakan salah satu rumah sakit yang terletak di Provinsi Sumatera Barat tepatnya di Kota Padang. RSUP Dr. M Djamil merupakan rumah sakit yang memiliki Pedoman Perencanaan Penyiaagaan Bencana (P3B) atau dikenal juga dengan istilah Hospital Disaster Plan (Hosdip) di Sumatera Barat dan menjadi wakil koordinator dalam tim

9 penanggulangan bencana bidang kesehatan dalam kesiapsiagaan di Provinsi Sumatera Barat. RSUP M Djamil berperan sebagai ujung tombak pelayanan medik disaat bencana. Adapun tugas RSUP Dr. M Djamil yaitu mengkoordinir semua kegiatan bencana dalam bidang kesehatan seperti pembentukan reaksi cepat, tim mobile RS, pengembangan Hosdip dan terlibat dalam penanggulangan bencana bidang kesehatan. Kegiatan kesiapsiagaan dalam penanggulangan bencana di RSUP M Djamil yaitu kesiapsiagaan dalam penanganan korban, pengeolaan tenaga medis, pengelolaan alat dan kesehatan serta informasi. Kesiapsiagaan perawat menurut Hospital Disaster Plan (Hosdip) RSUP Dr. M Djamil Padang tahun 2010 yaitu kesiapsiagaan identifikasi korban, kesiapsiagaan area tindakan yaitu triase dan pemberian pertolongan pertama pada korban. Selanjutnya kesiapsiagaan dalam komunikasi yaitu kemampuan perawat dalam mengatur komunikasi dan informasi baik berupa panggilan radio dan menjadi pusat komunikasi di ruangan. Lalu kesiapsiagaan dalam sistem komando penanggulangan bencana yaitu pengetahuan perawat dalam memahami SOP penanggulangan bencana di RS dan informasi terkait kesiapsiagaan. Studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 15 April 2013 di ruang IGD RSUP Dr. M Djamil. Ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUP Dr. M Djamil Padang merupakan bagian dari RS yang menjadi tempat utama (first responder) bagi penanganan awal pada korban bencana melalui pelayanan gawat darurat.

10 Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan Sekretaris Kepala Instalasi Gawat Darurat didapatkan informasi bahwa IGD RSUP Dr. M Djamil melibatkan tenaga perawat untuk mengikuti pelatihan kesiapsiagaan dan simulasi bencana. Hal ini dilakukan sebagai persiapan bagi perawat agar memiliki kesiapsiagaan dalam kegawatdaruratan bencana. Berdasarkan hasil kuisioner didapatkan bahwa tiga dari lima perawat tidak mengetahui kesiapsiagaan bagi perawat dalam bencana. Selain itu tiga perawat tidak memiliki pengalaman dalam memberikan pertolongan dan perawatan pada korban ketika bencana baik skala kecil ataupun skala besar. Tiga perawat memiliki persepsi sikap yang negatif terhadap kesiapsiagaan dan tidak siap bila ditugaskan dalam situasi bencana. Dua perawat mengatakan belum pernah mengikuti pelatihan kesiapsiagaan bencana. Tiga perawat memiliki persepsi manajemen yang kurang baik mengenai perencanaan dan pengorganisasian dimana belum mempersiapkan diri secara khusus untuk kesiapsiagaan dalam bencana. Berdasarkan fenomena tersebut membuat penulis tertarik untuk meneliti Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Kesiapsiagaan Perawat di Ruang IGD RSUP Dr. M Djamil Kota Padang tahun 2017

11 1.2 Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah : Untuk menganalisis persepsi perawat dalam kesiapsiagaan bencana di ruang IGD RSUP DR M Djamil Padang tahun 2017 Tujuan khusus dari penelitian ini adalah : a. Mengidentifikasi kesiapsiagaan perawat dalam bencana di ruang IGD RSUP Dr M Djamil Padang tahun 2017 b. Mengidentifikasi distribusi frekuensi faktor karakteristik individu (usia, masa kerja, pengalaman memberi pelayanan kesehatan pada korban bencana) perawat di ruang IGD RSUP Dr M Djamil Padang tahun 2017 c. Mengidentifikasi distribusi frekuensi faktor frekuensi pelatihan perawat di ruang IGD RSUP Dr M Djamil Padang tahun 2017 d. Mengidentifikasi distribusi frekuensi faktor sikap perawat di ruang IGD RSUP Dr M Djamil Padang tahun 2017 e. Mengidentifikasi distribusi frekuensi faktor manajemen organisasi perawat di ruang IGD RSUP Dr M Djamil Padang tahun 2017 f. Menganalisis hubungan faktor usia dengan kesiapsiagaan perawat di ruang IGD RSUP Dr M Djamil Padang tahun 2017 g. Menganalisis hubungan faktor masa kerja dengan kesiapsiagaan perawat di ruang IGD RSUP Dr M Djamil Padang tahun 2017

12 h. Menganalisis hubungan faktor pengalaman memberi pelayanan kesehatan pada korban bencana dengan kesiapsiagaan perawat di ruang IGD RSUP Dr M Djamil Padang tahun 2017 i. Menganalisis hubungan faktor pelatihan dengan kesiapsiagaan perawat di ruang IGD RSUP Dr M Djamil Padang tahun 2017 j. Menganalisis hubungan faktor sikap dengan kesiapsiagaan perawat di ruang IGD RSUP Dr M Djamil Padang tahun 2017 k. Menganalisis hubungan faktor manajemen organisasi dengan kesiapsiagaan perawat di ruang IGD RSUP Dr M Djamil Padang tahun 2017 l. Menganalisis faktor yang paling dominan terkait dengan kesiapsiagaan perawat dalam bencana di ruang IGD RSUP Dr M Djamil Padang tahun 2017 1.3 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Pengembangan Ilmu Keperawatan Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi tentang kesiapsiagaan perawat dalam penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana dan faktor faktor determinannya sehingga bisa menjadi bahan masukan dan pengembangan pembelajaran di dalam pendidikan ilmu keperawatan terkhusus pada mata ajar manajemen keperawatan dan keperawatan bencana

13 2. Pelayanan Keperawatan Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan bagi pelayanan keperawatan sebagai dasar pertimbangan untuk membuat kebijakan mengenai manajemen kesiapsiagaan bencana agar dapat meningkatkan pelayanan yang semakin baik dan berkualitas 3. Peneliti Selanjutnya Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi / sumber untuk bahan masukan bagi peneliti selanjuthya dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan manajemen keperawatan dan keperawatan bencana khususnya yang berhubungan dengan tingkat kesiapsiagaan perawat dalam kedaruratan bencana 1.4 Hipotesis Hipotesis H 0 = 1. Tidak ada hubungan faktor usia dengan kesiapsiagaan perawat dalam bencana di ruang IGD RSUP Dr M Djamil Padang tahun 2017 2. Tidak ada hubungan faktor lama kerja dengan kesiapsiagaan perawat dalam bencana di ruang IGD RSUP Dr M Djamil Padang tahun 2017 3. Tidak ada hubungan faktor pengalaman memberi pelayanan kesehatan pada korban bencana dengan kesiapsiagaan perawat dalam bencana di ruang IGD RSUP Dr M Djamil Padang tahun 2017

14 4. Tidak ada hubungan faktor pelatihan dengan kesiapsiagaan perawat dalam bencana di ruang IGD RSUP Dr M Djamil Padang tahun 2017 5. Tidak ada hubungan faktor sikap dengan kesiapsiagaan perawat dalam bencana di ruang IGD RSUP Dr M Djamil Padang tahun 2017 6. Tidak ada hubungan faktor manajemen organisasi dengan tingkat kesiapsiagaan perawat dalam bencana di ruang IGD RSUP Dr M Djamil Padang tahun 2017 7. Tidak ada faktor yang paling dominan terkait dengan kesiapsiagaan perawat dalam bencana di ruang IGD RSUP Dr M Djamil Padang tahun 2017 Hipotesis H 1 = 1. Ada hubungan faktor usia dengan kesiapsiagaan perawat dalam bencana di ruang IGD RSUP Dr M Djamil Padang tahun 2017 2. Ada hubungan faktor lama kerja dengan kesiapsiagaan perawat dalam bencana di ruang IGD RSUP Dr M Djamil Padang tahun 2017 3. Ada hubungan faktor pengalaman memberi pelayanan kesehatan pada korban bencana dengan kesiapsiagaan perawat dalam bencana di ruang IGD RSUP Dr M Djamil Padang tahun 2017 4. Ada hubungan faktor pelatihan dengan kesiapsiagaan perawat dalam bencana di ruang IGD RSUP Dr M Djamil Padang tahun 2017

15 5. Ada hubungan faktor sikap dengan kesiapsiagaan perawat dalam bencana di ruang IGD RSUP Dr M Djamil Padang tahun 2017 6. Ada hubungan faktor manajemen organisasi dengan tingkat kesiapsiagaan perawat dalam bencana di ruang IGD RSUP Dr M Djamil Padang tahun 2017 7. Ada faktor yang paling dominan terkait dengan kesiapsiagaan perawat dalam bencana di ruang IGD RSUP Dr M Djamil Padang tahun 2017