SASANANING PENDETA HINDU DALAM TEKS GEGURITAN SIDHA YOGA KRAMA (GSYK) Ni Putu Parmini Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FPBS IKIP Saraswati, Tabanan Indonesia Abstrak Objek penelitian ini adalah teks Geguritan Sidha Yoga Krama (selanjutnya disingkat GSYK). Teks GSYK mengandung narasi-narasi yang sangat menarik dan aktual untuk dibahas pada masyarakat kekinian. Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana sasananing kependetaan dalam teks GSYK. Jawaban atas permasalahan sasananing kependetaan dalam teks GSYK merupakan tujuan khusus penelitian ini. Hasil análisis data menunjukkan bahwa GSYK merupakan wacana naratif yang dibangun oleh pupuh-pupuh, didalamnya menarasikan sasana kependetaan. Sasana kependetaan dalam teks yakni pendeta harus mengikuti sasana kependetaan sebagai berikut. (1) mengalahkan sadripu, (2) melaksanakan Tri Kaya Parisudha, (3) memahami Catur Asrama dan Catur Purusa Artha, (4) memahami Kamendria dan Yama Niama Brata, (5) hormat/bakti kepada nabe, (6) yakin terhadap Panca Srada, dan (7) memahami dan melaksanakan kemoksan. Dari uraian di atas pendeta wajib memahami pelaksanaan Tri Jnana Sandi. Simpulan dalam karya tulis ini dapat dijadikan sasana kependetaan yang dikemas dalam bentuk geguritan sehingga lebih mudah dan menarik. Lewat geguritan sasana kependetaan dapat disimak dengan lebih komprehensif, bukan hanya pendidikan juga sambil menikmati hiburan. Selanjutnya yang menstransfer sasana tersebut kepada masyarakat kependetaan. Kata kunci: Sasananing, kependetaan, dan geguritan. Abstract The object of this study is the text Geguritan Sidha Yoga Krama (hereinafter abbreviated GSYK). Text GSYK narratives contain very interesting and actual for discussion on contemporary society. The analysis conducted in this study to answer the question of how sasananing GSYK clergy in the text. The answer to the problem of clergy in the text sasananing GSYK a particular purpose of this study. The results of the data analysis showed that GSYK a narrative discourse built-stanza by stanza, narrated therein gym clergy. Sasana pastor clergy in the text should follow the following clergy gym. (1) beat sadripu, (2) implement the Tri Kaya Parisudha, (3) understand the Dormitory Chess and Chess Purusa Artha, (4) understand Kamendria and Niama Yama Brata, (5) respect / devotion to the nabe, (6) are sure to Five Srada, and (7) to understand and implement kemoksan. From the above description are required to understand the implementation of the Tri pastor Jnana password. The conclusions in this paper can be used as a gym clergy geguritan packaged in the form of making it easier and interesting. Through geguritan gym clergy can be listened to with more comprehensive, not only education while also enjoying the entertainment. Furthermore the gym to the public menstransfer clergy. Keywords: Sasananing, clergy, and geguritan. 1. Pendahuluan Geguritan adalah hasil karya sastra tradisional Bali yang berbentuk puisi naratif. Disebut puisi naratif karena dilihat dari bentuknya adalah puisi, sedangkan dari isinya adalah naratif atau bercerita (Tinggen, 1994:31). Pandangan itu perlu direvisi karena ditemukan juga geguritan yang tidak bercerita, seperti geguritan dalam sarascamuscaya. Proses penciptaan geguritan masih berlangsung terus di masyarakat dengan berbagai topik utama dan tema aktual yang sedang hangat di masyarakat. Salah satu bukti lahirnya Geguritan Sidha Yoga Krama yang sarat dengan nilai kehidupan khususnya dalam hal kewajiban-kewajiban pendeta Siwa- Buddha di Bali. Dalam GSYK terdapat narasi yang menarik dan memang perlu dibahas karena memuat petunjuk tentang kewajiban-kewajiban pendeta Siwa- Buddha sehingga tindakan pendeta relevan dengan sasana kependetaan. Fungsi dan makna pendeta perlu disosialisasikan dan dikembangkan sebagai pembina dan penuntun umat dalam melaksanakan upacara keagamaan di Bali. Pendeta dalam tatanan kehidupan beragama Hindu di Bali memiliki posisi sentral, baik ditinjau dari segi sosial kemasyarakatan maupun sosial keagamaan. Widiantara (2010:73) menyatakan pendeta di mata masyarakat 546
sebagai orang terhormat dan sebagai guru tempatnya masyarakat menimba informasi pelaksanaan ajaran agama. Ajaran kependetaan yang dilukiskan melalui tokoh GSYKitu adalah ajaran yang diarahkan pada prilaku pendeta yang sesuai dengan ajaran agama Hindu, seperti implementasi Tri Jnana Sandi sebagai upaya mencapai Catur Purusa Artha. Tanpa implementasi ajaran tersebut maka seorang pendeta yang kodratnya sebagai manusia biasa akan mudah dikuasai oleh sifat rajas dan tamas. Benang merah yang dapat ditarik dari lukisan tokoh-tokoh GSYK tentang sasananing pendeta Siwa Buddha yakni seorang pendeta Siwa Buddha wajib memahami tatwa, susila, serta acara. Lukisan tokoh-tokoh dalam GSYKmenarik perhatian penulis, sehingga disusun makalah tentang Sasananing Pendeta dalam GSYK. Sasananing pendeta itu mesti dipahami semasih menjadi calon pendeta sehingga setelah diangkat menjadi pendeta siap melakoni profesi kependetaan, agar jangan sampai ada pendeta yang setelah diangkat baru berusaha menemukan sasananing yang mesti dilakukan, karena sasananing pendeta itu belum disiapkan secara jelas, tegas dan spesifik. Kekurangjelasan akan kewajiban sasananingpendeta itu dapat ditemukan titik terangnya dalan wacana GSYK. Dampak dari kurang tegasnya rambu-rambu dan sasananing yang mesti dijalankan seorang pendeta berpengaruh pada guna (sifat)pendeta dalam melayani masyarakat serta tindakannya seharihari. Paparan di atas menunjukkan adanya kesenjangan antara harapan dengan kenyataan. Di satu sisi, seorang pendeta harus menjalankan sasananing seperti ajaran agama Hindu yang dilukiskan dalam GSYK. Di sisi lain pendeta perlu keseriusan dan kedisiplinan dalam memahami secara mendetail sasananing pendeta terutama upaya mengendalikan diri dari pengaruh duniawi. Untuk memenuhi harapan sebagai seorang pendeta maka perlu adanya imbauan kepada calon pendeta maupun pendeta untuk mengikuti penataran dari Parisada Hindu Dharma dan memahami GSYK. Dengan demikian GSYKsignifikan sebab dari wacana yang demikian ringkas tetapi mengandung manfaat dalam kehidupan. Atas dasar adanya kesenjangan antara kenyataan 547 dengan harapan itulah dikaji sasananing pendeta Hindu dalam teks GSYK. 2.Metode Penulisan Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode pustaka. Hal itu dilakukan dengan mengkaji pustaka-pustaka yang relevan dengan sasananing pendeta Siwa - Buddha. 3. Pembahasan Sasananing pendeta berasal dari kata sasana yang artinya perilaku menurut aturan (Kamus Bali Indonesia, Ananda Kusuma, 1986: 178). Dalam konteks kependetaan sasananing pendeta berarti prilaku menurut etika kependetaan. Sesana seorang pendeta adalah hal-hal yang wajib diingat dan dilaksanakan serta pantangan-pantangan yang patut dihindari. Sasananing pendeta menurut Resi Sasana (dalam Subagiasta, 2006: 24) adalah ketentuanketentuan yang mesti dilakukan atau ditaati oleh seorang pendeta. Ketentuanketentuan itu sejalan dengan ajaran kependetaan yang dideskripsikan dalam GSYK mencakup ajaran Tri Jnana Sandhi dalam konteks kependetaan. Implementasi Tri Jnana Sandhi dapat dilakukan melalui unsur-unsur ajaran sebagai berikut. 3.1 Sad Ripu Sad Ripu berasal dari kata sad yang berarti enam dan ripu yang berarti musuh. Jadi Sad Ripu berarti enam musuh. Musuh yang dimaksud adalah musuh yang berasal atau bersumber dari dalam diri sendiri dan patut dienyahkan. Unsur sad ripu terdiri dari kama, lobha, kroda, mada, moha, dan matsarya. Sad Ripu yang diuraikan di atas telah digambarkan melalui tokoh Empu Iswara yakni ketika Empu Iswara, menentang Teken Wuwung agar mampu mengubah prilakunya yang loba dan serakah (pupuh sinom bait 7-13). Teken Wuwung pada mulanya bersikap sombong karena merasa sakti, bersikap sembarangan dan rakus. Akibat perilaku itu, akhirnya terjadi polusi air di arena pasraman Empu Iswara. Hal itu mengganggu pemandangan dan berdampak pada kesehatan. Selanjutnya, Empu Iswara yang marah terhadap Teken Wuwung yang belum mampu mengendalikan diri dari Sad Ripu akhirnya dikejar, dimarahi sampai Teken Wuwung minta maaf dan menyadari kesalahannya. Pada pupuh
Sinom terkandung makna bahwa, Empu Iswara menjalankan dharma. Marah ketika melihat sikap Teken Wuwung yang masih diselimuti Sad Ripu, kemarahan itu hanya strategi untuk mengubah prilaku Teken Wuwung agar terhindar dari Sad Ripu. Kemarahan Empu Iswara juga dapat dimaknai sebagai upaya memberikan pelajaran tentang sasananing kependetaan pada muridnya sehingga mau mengubah sikapnya. 3.2 Tri Hita Karana Realitas imbauan tokoh cerita tentang perlakuan alam ditunjukkan dalam GSYK pada pupuh Sinom bait 8 14 yang melukiskan tentang larangan mencemari air dan lingkungan. Pesan pengarang melalui tokoh cerita akan semakin konkrit dengan membaca pupuh Sinom bait 8 14 yang melukiskan hal sejalan dengan paparan yang dinyatakan oleh Wiana (2007:159-164), bahwa air tidak boleh dikotori. Ketika lingkungan dan air di pasraman Empu Iswara dikotori oleh Teken Wuwung, Empu Iswara marah dan sedih melihat lingkungan kotor. Empu Iswara memberikan imbauan tentang sasananing pendeta kepada Teken Wuwung sampai muncul kesadarannya tentang air dan lingkungan perlu dijaga kelestariannya. Air dan lingkungan yang kotor akan merusak pikiran, perasaan, dan pemandangan serta tidak akan memberikan kesejahteraan dan kenyamanan kepada umatnya. 3.3 Kamoksan Moksa adalah keyakinan kelima ajaran agama Hindu. Menurut Swastikarana (2013:20), moksa berarti kembalinya Atman kepada asalnya, yaitu Brahman. Atau dengan kata lain, moksa berarti bersatunya kembali Atman dengan Brahman. Moksa merupakan tujuan akhir umat Hindu. Sebagaimana tersirat dalam bait-bait GSYK moksa dicapai berdasarkankeyakinan terhadap Panca Srada. 3.4 Tri Kaya Parisudha Tri Kaya Parisudha adalah tiga gerak perilaku manusia yang harus disucikan yang terdiri atas manacika, wacika, kayika. Tri kaya Parisuda terlukis pada cuplikan pupuh Dangdang Gula sebagai berikut. 31. Mangenangen sidha yoga mangkin.manuptupang.jagi wacanayang.ring sang sri bhupala mangkē.ring indik-indik humatur.mangda tan minab babēki.ri sang manemu lara.taler ring sang prabhu.tan ngawinang iwang arsa.yatna-yatna.pidabdab aturē aris.tur galang katarima : Terjemahan: Berfikir Empu Sidha Yoga kemudian, menutupi, apa yang akan dibicarakankepada sri maha raja sekarang, tata cara bicara, biar tidak dikira meledek, pada orang yang ada dalam keadaan sakit, begitu juga sang prabhu, tidak menyebabkan salah terima, siapsiapkemudian bicara, biar bisa diterima dengan baik. 3.5 Catur Asrama Catur Asrama dalam ajaran agama Hindu adalah tahapan hidup yang mesti ditempuh manusia. Catur Asrama terdiri dari brahmacari, grehasta, wanaprasta, dan biksuka. Catur Asrama dalam GSYK dilukiskan pada bait 3-9 pupuh Durma, yakni bait 3 dilukiskan Sidha Yoga menjalani kehidupan berumah tangga berputra dua laki-laki. Sidha Yoga selalu memberikan nasihatnasihat kepada putranya agar selalu menjalani ajaran Dharma. Sidha Yoga mengimbau kepada putranya agar selalu bertindak sesuai dengan sastra agama. Kedua putranya diimbau mampu menjalankan sasananing kependetaan sehingga dapat dijadikan contoh oleh masayarakat. Dijelaskan lagi agar catur asrama sebagai tahapan hidup wajib ditempuh sesuai dengan kebenaran dalan sastra. 3.6 Catur Purusartha Moksa dalam GSYKlebih ditekankan pada keseimbangan dan kedamaian hidup. Dalam mencapai tujuan hidup tersebut disebutkan dapat ditempuh melalui empat landasan yakni Catur Purusartha. Dalam Agama Hindu dijelaskan Catur berarti empat, Purusa artinya hidup jiwa dan Artha adalah tujuan dapat juga berarti kebendaan, terdiri dari: Dharma, Artha, Kama, dan Moksah. 548
3.7 Menghormati Nabe Dalam GSYK dilukiskan penghormatan Nabe pada pupuh sinom bait 8-19. Dilukiskan pada pupuh durma bait 8-19 bahwa seorang calon pandita mesti hormat kepada guru, Sidha Yoga sangat hormat kepada guru (Sidha Yoga sangat hormat kepada Nabe) terbukti beliau mau menikah dengan perempuan buta. 3.8 Dasa Indria Dalam GSYK Dasa Indria dilukiskan sebagai berikut. 22. Heda cening ampah-ampah, Ipancendria nekain, Lan ipance karmēndria, Musuh nira sang mawiku, Apang tusing kalahanga, Krana sakti, Ngawē rered ka pradnyan: Terjemahan : Jangan nanda gegabah, akan kehadiran Panca Indria, dan juga Panca Karmendria, Musuh beliau yang menjadi seorang pendeta, Supaya tiada di kalahkan, Oleh kesaktiannya, Membuat surut kepintaran ananda Pada bait di atas dilukiskan bahwa indria merupakan alat yang menggerakkan anggota badan berdasarkan olah rasa dan olah pikir. 3.9Yama Niyama Brata Pengendalian Diri Calon Pandita Dalam GSYK dilukiskan sisya calon pandita diberikan tuntunan untuk mengendalikan diri dengan mengikuti tatwa Agama Hindu yang dinamakan Yama Niyama Brata. Seorang Sisya hendaknya memahami mengamalkan ajaran Yama Niyama Brata (Nasihat Empu Iswara kepada Sidha Yoga juga nasihat Sidha Yoga kepada putranya). Sejalan dengan yang diungkap dalam Kitab Silakrama, Yama Niyama Brata sebenarnya merupakan dasar kesusilaan untuk mencapai kesempurnaan rokhani dan kesucian batin guna tercapainya Dharma dan Moksa serta merupakan tata tertib siswa atau sisya calon pendeta. Imbauan Nabe kepada Sisyanya dalamgsyk(pupuh ginadadan durma) bahwa dengan pikiran dan rohani yang bersih dan suci dalam mengimplementasikan sasananing kependetaan maka alam Tuhan akan terbuka semakin lebar. Calon pendetawajib selalu berbuat bersih dan menyucikan dirinya. 3.10Panca Sradha Menurut Upadeça (1978:14-33) Panca Sradha merupakan lima kepercayaan mutlak Agama Hindu. Swastikarana (2013) menyatakan dalam implementasi keseharian termasuk dalam konteks kependetaan agama Hindu tercakup ke dalam suatu ajaran Tri Jnana Sandhi, yaitu: Tattwa, Susila dan Acara. 4. Simpulan GSYKmemberikan pencerahan kepada masyarakat khususnya para pendeta dan calon pendeta dalam rangka implementasi sasana pendeta. Perubahan status dari walaka menjadi sadhaka merupakan suatu perubahan yang sangat signifikan. GSYKyang mewacanakan tentang perubahan status tersebut dengan kemasan yang menarik akan lebih mendapat perhatian masyarakat sehingga benar-benar dapat digunakan sebagai umpan balik dan salah satu sumber ajaran kependetaan (hasil wawancara dengan kelompok pembaca). GSYKdapat dijadikan salah satu tolak ukur dalam upaya pengendalian diri sehingga dapat ditentukan layak tidaknya seseorang untuk didiksa. GSYKyang mewacanakan tentang sasana pendeta dalam tugasnya memberikan tuntunan kepada umat Hindu tentang tata kehidupan beragama, maka GSYKberfungsi sebagai penyelamat Agama Hindu pada generasi mendatang. 5. Daftar Pustaka Anandakusuma, Sri Resi. 1986. Kamus Bahasa Bali Indonesia. Denpasar: Cv. Kayumas Agung. Degung, I Made. 2013. Geguritan Sidha Yoga Krama. Sibetan Karangasem. Parisada Hindu Darma. 1968. Upedesa. Cetakan ke 3. Denpasar : Parisada Hindu Dharma. Putra, Ida Bagus Rai, dkk. 2013. Swastikarana. Denpasar: PT Mahabhakti. 549
Punyatmadja, I.B. Oka. 1994. Çilakrama. Denpasar: Upada Sastra. Srimad, Sri. 2006. Bhagavadgita. Jakarta : Perpustakaan Nasional. Subagiasta, I Ketut. 2006. Tattwa Hindu. Surabaya : Paramita. Swastika, I Ketut Pasek. 2009. Wiku Sesana dan Dasar-Dasar Pokok Ajaran Agama Hindu. Surabaya : Paramita. Sukarta, I Ketut. 2010. Widya Santi Agama Hindu. Denpasar : Pustaka Tarukan Agung. Tinggen, I Nengah. 1994. Aneka sari Gending-Gending Bali. Denpasar : Rhika Dewata. Widyantara, Wayan. 2010. Diksa. Denpasar : PT Offset. 550