BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi Bali (Bos sondaicus, Bos javanicus, Bos/Bibos banteng) merupakan plasma nutfah nasional Indonesia, hasil domestikasi dari banteng liar beratus-ratus tahun yang lalu. Populasinya secara nasional mencapai 40% populasi sapi potong atau sekitar 5,5 juta ekor, tersebar di luar pulau Jawa. Sapi Bali mempunyai sifat sangat adaptif, mempunyai keunggulan kuantitatif dan kualitatif, selain itu sapi bali merupakan sapi yang fertil dibanding jenis sapi yang lain. Fertilitas sapi Bali di Indonesia mencapai 80% bahkan di Australia dapat mencapai 90-100%. Permasalahan yang mengemuka pada sapi Bali di Indonesia adalah rendahnya mutu genetis sapi Bali, tingginya kejadian silang dalam (inbreeding), serta adanya penyakit khusus sapi Bali, tercatat pada tahun 1998 populasi sapi Bali 3.013.174 juta namun tahun 2001 dilaporkan populasi sapi bali menjadi ± 2.965.610 (Talib, et al., 2003). Sapi Bali mempunyai proentase karkas terbesar yaitu 54% dibandingkan dengan sapi lokal Indonesia lainnya (sapi Madura 47%, sapi Peranakan Ongole 44%). Prosentase karkas sapi Bali mendekati sapi Australian Commercial Cross (ACC) yang hanya mencapai 51% (Fatah, 2007). Hal ini menunjukkan bahwa sapi Bali sangat potensial untuk dikembangkan sebagai ternak potong. 1
Perhatian terhadap upaya mempertahankan mutu genetik sapi Bali telah di mulai sejak lama, National Research Council (1983) mencatat bahwa sejak tahun 1913 pemerintah telah menjalankan peraturan yang melarang persilangan pada sapi Bali untuk mempertahankan kemurnian bangsa sapi tersebut. Perhatian pemerintah yang lebih besar terhadap upaya pengembangbiakan ternak di Indonesia diwujudkan dengan dikeluarkannya Undang-undang No 6 tahun 1967 yang merupakan landasan bagi upaya pengembangbiakan ternak untuk mempertahankan dan meningkatkan mutu bangsa ternak di Indonesia melalui upaya pemurnian atau melalui persilangan, khusus untuk sapi Bali telah ditetapkan program nasional yang meliputi pemurnian dan peningkatan mutu genetik. Saat ini sapi Bali merupakan pemasok daging utama di Indonesia Timur, jika dihitung dengan angka kematian maka akan mencapai 26% dari total populasi. Hal ini menjadi masalah besar jika tidak diikuti dengan peningkatan populasi karena akan berdampak pada habisnya populasi sapi Bali galur asli Indonesia. Sapi Bali masih mempunyai sifat liar meskipun sudah di domestikasi. Penelitian yang mengungkap tentang profil hormon reproduksi khususnya estrogen pada sapi bali sangat terbatas. Hal ini kemungkinan disebabkan karena masih adanya sifat liar pada sapi bali. Sifat liar ini yang menjadi kendala di lapangan saat akan diterapkan aplikasi teknologi. Penelitian Putro (2012), sapi Bali yang dipelihara di peternakan rakyat di Barito Kuala tercatat bahwa umur pertama beranak (age of first parturition) 37,22 bulan, birahi pertama pascapartus (postpartum estrus) 180,64 hari, hari-hari 2
kosong (days open) 210,82 hari, jarak beranak (calving interval) 16,82 bulan. Menurut Siswanto (2013), sapi Bali yang dikembangkan secara intensif di Instalasi Pembibitan Pulukan mempunyai rata-rata melahirkan pertama, birahi pertama dan jarak beranak berturut-turut pada umur 1104,51 ± 23,88; 718,57 ± 12,65; 350,46 ± 37,8 hari, dengan angka konsepsi 1,65 ± 0,87. Pengembangan sapi bali di peternakan rakyat terkendala pada keberhasilan reproduksi. Keberhasilan IB pada sapi dara masih jauh dari capaian. Program IB yang diharapkan dapat mempertahankan mutu genetik belum dapat dilakukan pada sapi dara. Data mengenai keberhasilan IB dilapangan hanya mencapai 80%. Produktivitas sapi Bali dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan dan interaksi keduanya. Peningkatan produktivitas sapi Bali dapat dilakukan baik melalui perbaikan genetik atau perbaikan lingkungan dan juga bisa kedua-duanya, produktivitas adalah merupakan gabungan sifat produksi dan reproduksi dari ternak tersebut. Pengembangan sapi bali sangat tergantung pada efisiensi reproduksi, salah satu faktor yang berperan adalah proses folikulogenesis. Proses folikulogenesis adalah proses dimana folikel primodial akan tumbuh menjadi folikel grafid (matang) yang mempunyai potensi untuk berovulasi ke dalam oviduk atau jika tidak maka folikel tersebut akan atresia (Gregory, 2008). Folikel grafid akan menghasilkan estradiol sehingga profil hormon ini sangat identik dengan proses folikulogenesis. Estradiol merupakan hormon utama pada hewan betina, hormon ini kemungkinan secara tidak langsung juga mempengaruhi banyak aspek selama perkembangan hewan. 3
Fenomena inilah yang menjadi suatu pemikiran perlunya penelitian mengenai profil hormon reproduksi khususnya estrogen pada sapi dara. Estrogen merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh folikel antral (folikel yang berdiameter > 5 ml) sehingga profil estradiol dapat dijadikan gambaran fungsi ovarium. Estradiol yang dihasilkan akan masuk ke dalam sirkulasi darah, beredar ke seluruh tubuh dan akan berespon pada organ-organ target. Selain estrogen, hormon lain yang berperan pada proses folikulogenesis adalah progesteron. Progesterone merupakan hormon yang disekresikan oleh korpus luteum, hormon ini mendominasi selama fase metestrus sampai diestrus, jika terjadi jebuntingan hormon ini berfungsi untuk mempertahankan kebuntingan. Hormon yang telah disekskresikan akan mengalami metabolisme dan akan mengalami proses ekskresi. Proses katabolisme steroid terutama terjadi di hati, walaupun dapat pula terjadi didalam ginjal maupun intestinum sehingga hormon steroid dapat ditemukan didalam feses, urin, susu ataupun saliva (Najamudin, 2010). Pendeteksian hormon ada 2 macam yaitu secara in-vasif dan non in-vasif, pengelompokan ini berdasarkan manipulasi pada hewan, pengambilan sampel dikelompokkanmenjadi invasif (plasma/serum, saliva) maupun non-invasif (feses dan urin) (Brook dan Marshall, 1996). Secara umum terdapat keuntungan dan kerugian dari setiap metode pengambilan sampel. Meskipun pengambilan sampel secara invasif dipercaya dapat menjadi stressor bagi hewan namun metode ini masih banyak digunakan untuk pendeteksian hormon karena hasil pendeteksian merupakan gambaran pada saat pengambilan sampel. Keuntungan pada pengambilan dan 4
pedeteksian secara non invasive adalah cara pengambilan sampel bukan menjadi stressor dan hewan tidak perlu dianestesi (Heistermann, et al. 2001) sedangkan kekurangan metode ini adalah kandungan hormon dalam feses atau urin merupakan metabolit sehingga tidak dapat menggambarkan kondisi fisiologi saat pengambilan sampel, selain itu pakan hewan kadang-kadang dapat mempengaruhi hasil. Menurut Najamudin (2010) jenis metabolit steroid yang dapat dianalisa dalam feses dan urin berbeda untuk satu spesies dengan spesies yang lain, walaupun ada beberapa spesies memiliki kesamaan jenis metabolismenya sehingga untuk metode analisis hormon dalam feses atau urin untuk setiap spesies baru harus dilakukan validasi. Penggunaan sampel feses dikatakan lebih menguntungkan dibanding urin karena sampel masih memungkinkan dikoleksi pada hewan yang dikandangkan atau dikelompokkan pada kandang yang bersamaan.. Menurut Kumar et al (2013), penentuan status endokrin pada sapi menggunakan sampel feses merupakan salah satu cara yang tepat untuk mengefisiensikan managemen. Keberadaan hormon steroid sepeti estrogen dan metabolit steroid pada plasma dan feses akan ditemukan sama (Shwarzenberger, 1996). Penelitian yang dilakukan oleh Isobe et al (2005) menunjukkan bahwa gambaran profil progesteron pada sapi potong selama siklus estrus antara feses dan serum sama. Penelitian mengenai kajian hormon yang berperan dalam folikulogenesis selama siklus estrus pada sapi bali belum pernah dilakukan. Penelitian ini akan menggunakan metode invasif dan non invasif karena meskipun sapi bali sangat 5
mudah beradaptasi namun jenis sapi ini sangat mudah terkena stres, mengingat sapi bali merupakan hasil domestikasi yang masih mempunyai sifat dasar liar. Belum adanya kajian mengenai profil hormon selama folikulogenesis menjadi kendala saat akan dilakukan aplikasi teknologi seperti inseminasi buatan (IB). Pemeriksaan kadar hormon estrogen dengan sampel secara metode invasif yang dipadukan dengan pemeriksaan hormon secara non invasif yang disertai pemeriksaan ovaria dengan menggunakan ultrasonografi merupakan introduksi baru dalam upaya pengembangan sapi Bali. Rencana Pemecahan Masalah Permasalah yang muncul adalah data mengenai fisiologi reproduksi sapi bali yang sangat terbatas. Hal ini menjadi kendala saat terjadi gangguan reproduksi yang tidak menimbulkan gejala eksternal yang tampak. Pemecahan permasalahan direncanakan dengan penelitian dinamika folikel dominan selama siklus estrus yang dipadukan dengan pengukuran level hormon secara invasif dan noninvasif. Meskipun pengambilan sampel secara invasif memerlukan penanganan khusus dan kemungkinan dapat menjadi stressor bagi sapi Bali namun pengukuran hormon secara invasif tetap dilakukan. Hal ini dikarenakan masih terbatasnya data mengenai hormon reproduksi khususnya hormon yang berkaitan erat dengan prosses 6
folikulogenesis seperti estrogen seta digunakan sebagai data konfirmasi dari pengukuran diameter folikel. Pengukuran hormon dengan kedua metode akan didukung dengan data tingkah laku dan perubahan eksternal. Hasil penelitian mengenai profil hormon metabolit akan sangat membantu pemahaman fertilitas sapi bali mengingat sifat liar sapi Bali yang masih ada menjadi salah satu faktor penghambat saat akan dilakukan aplikasi teknologi. Keaslian Penelitian Pada penelitian ini menggunakan 10 ekor sapi Bali yang berada di Kebun Pengembangan Penelitian Pertanian dan Peternakan, Berbah, Kalitirto, Sleman. Penelitian mengenai dinamika perkembangan folikel dominan serta perubahan profil estrogen dalam darah dan feses selama siklus estrus secara komprehensif pada sapi Bali belum pernah dilakukan. Penelitian terdahulu yang telah dilakukan berfokus pada strategi peningkatan populasi (Sukanata et al, 2012) seperti yang telah dilakukan oleh Karel et al (2010) mengenai estimasi dinamika populasi dan produkstivitaa sapi Bali yang ada di kabupaten Yapen Papua. Penelitian lain mengenai karakteristik genetik (Chamidi, 2006), jenis tanduk pada sapi Bali jantan dan betina (Adryani et al, 2012), penampilan reproduksi pada peternekan intensif di pulukan (Mahmud et al, 2013), tampilan birahi dan tingkat kesuburan sapi Bali di Timor (Kune dan sholihati, 7
2007). Penelitian hormonal yang telah dilakukan adalah pemeriksaan progesteron secara invasif (Arimbawa dan Pembayun, 2012). Pemeriksaan hormon secara noninvasif pada sapi Bali belum pernah dilakukan. Aplikasi pemeriksaan folikel ovarium menggunakan teknik ultrasonografi (USG) yang dipadukan dengan pengukuran hormone secara invasif dan non invasif merupakan introduksi baru untuk pengembangan populasi sapi Bali. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini akan memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu reproduksi khususnya untuk sapi Bali. Pengukuran hormon secara noninvasif merupakan introduksi baru pada sapi Bali, diharapkan hasil pemeriksaan hormon secara invasif ini dapat digunakan untuk acuan penelitian mengenai reproduksi sapi Bali ataupun dapat diaplikasikan untuk pengembangan sapi Bali Tujuan Penelitian Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui dinamika perkembangan folikel dominan selama siklus estrus pada sapi Bali yang secara 8
komprehensif akan dipadukan dengan profil level hormone estrogen dalam serum dan dalam feses. 9