PENGANTAR. Latar Belakang. Itik lokal di Indonesia merupakan plasma nutfah yang perlu dilestarikan dan

Transkripsi

1 PENGANTAR Latar Belakang Itik lokal di Indonesia merupakan plasma nutfah yang perlu dilestarikan dan ditingkatkan produktivitasnya untuk meningkatkan pendapatan peternak. Produktivitas itik lokal sangat bervariasi dan mempunyai keragaman genetik yang tinggi (Ismoyowati, 2014). Itik Tegal merupakan itik lokal Indonesia yang potensial dalam menghasilkan telur. Produksi telur itik Tegal dari total populasi selama 3 bulan awal produksi rata-rata 70,5 ± 10,01% dan produksi telur itik hasil seleksi dengan intensitas seleksi 30% sebesar 89,4 ± 2,37% (Subiharta et al., 2010). Produksi telur itik dapat turun sangat drastis, karena manajemen yang masih kurang mendapat perhatian peternak, terutama dalam penanganan terjadinya molting. Periode molting adalah periode rontok bulu dari seekor unggas yang diikuti dengan periode berhenti bertelur selama 3 4 bulan. Periode molting pada itik Tegal yang dipelihara secara tradisional berlangsung mulai umur 17 bulan (Suswoyo, 1990). Lamanya molting pada itik tersebut tentu saja sangat merugikan peternak itik petelur, sehingga perlu dicari penyebabnya dan cara mengatasinya. Molting dipengaruhi hormon prolaktin, yang secara langsung pada gonad dapat menyebabkan terjadinya regresi ovarium atau secara tidak langsung dengan cara berkompetisi dengan hormon progesteron yang dihasilkan ovarium (Anwar dan Safitri, 2005). Rendahnya kandungan progesteron yang dihasilkan ovarium akan menyebabkan umpan balik negatif pada hypothalamus dan hipofisa anterior sehingga menekan pelepasan hormon gonadotropin yang dihasilkan oleh hipofisa anterior (Gan et al., 1987). Hormon gonadotropin seperti follicle stimulating hormone (FSH) dan luteinising hormone (LH) yang sangat rendah akan menyebabkan tidak terjadinya pertumbuhan folikel, karena kedua hormon gonadotropin tersebut diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan folikel serta proses oviposisi telur (Anwar dan Safitri, 2005). Molting juga dipengaruhi oleh hormon tiroksin yang disekresikan oleh kelenjar tiroid yang dipacu oleh tirotropin dari pituitari anterior (Yuwanta, 2004).

2 Upaya untuk tetap mempertahankan terjadinya pertumbuhan dan perkembangan folikel salah satunya dapat ditempuh dengan merangsang sekresi FSH dan LH dengan prekursor hormon gonadotropin. Prekursor hormon gonadotropin yang dapat digunakan untuk merangsang sekresi FSH dan LH adalah kolesterol dari pakan. Kolesterol selain sangat diperlukan dalam berbagai proses metabolisme tubuh, juga dibutuhkan untuk membuat vitamin D dan juga berperan sebagai bahan untuk membuat hormon-hormon seks dan kortikosteroid. Gonad menghasilkan hormon seks dan mengatur fungsi reproduksi. Hormon seks pada itik betina dihasilkan di ovarium, yaitu estrogen dan progesteron dan pada itik jantan dihasilkan oleh testis yang disebut androgen, yang paling populer dan penting adalah testosteron, sehingga dapat meningkatkan daya tunas telur. Kolesterol alami adalah komponen terbesar dari senyawa sterol pada struktur organ tubuh manusia dan hewan termasuk unggas, dengan fungsi biologis yang terkait di dalamnya. Khususnya pada unggas penghasil telur, sebagian kolesterol dideposisi di dalam kuning telur secara alami yang merupakan persediaan untuk kelangsungan perkembangan embrio di luar induk, karena diperkirakan selama periode embrional calon individu ini belum memiliki enzim yang bertanggung jawab terhadap sintesis kolesterol, sehingga dapat meningkatkan daya tetas telur (Sutton et al., 1984). Kolesterol berasal dari dua sumber, yaitu dari makanan yang dimakan dan diproduksi sendiri oleh tubuh di dalam hati. Kolesterol yang terdapat di dalam darah, 80% diproduksi oleh tubuh sendiri dan 20% berasal dari makanan (Witjaksono, 2001). Kolesterol sintetis dengan kandungan 95% harganya mahal, sehingga perlu dicari alternatif sumber kolesterol. Salah satu sumber kolesterol adalah bagian jeroan sapi (rumen, retikulum, omasum atau abomasum). Makanan seperti kuning telur, otak dan jeroan sapi mengandung lemak jenuh. Telur itik mengandung kolesterol 223,36 mg/100 g (Yuwanta et al., 2004), kandungan kolesterol daging itik Tegal sebanyak 188,41 mg/100 g (Ismoyowati dan Widiyastuti, 2003) dan jeroan sapi mengandung kolesterol sebanyak 380 mg per 10 g (Anonim, 2009).

3 Jeroan sapi banyak terdapat di rumah potong hewan (RPH), hasil samping atau limbah pada penyembelihan sapi. Di luar negeri jeroan sapi tidak dikonsumsi manusia, tetapi untuk pakan hewan atau dibuat tepung sebagai bahan pakan unggas. Di Indonesia jeroan masih dikonsumsi manusia, namun dengan permasalahan kolesterolnya tinggi, maka sekarang banyak orang yang menghindarinya. Hal ini merupakan peluang bagi peternak untuk memanfaatkan jeroan sapi tersebut sebagai bahan pakan yang kaya akan kolesterol, yaitu sebanyak 380 mg per 10 g (Anonim, 2009). Untuk itu perlu dilakukan penelitian penggunaan kolesterol jeroan sapi dalam pakan itik untuk meningkatkan produksi dan kualitas telur tetas itik Tegal. Kolesterol dapat menjadi prekursor dalam pembentukan hormon gonadotropin, diantaranya FSH dan LH, sehingga dapat meningkatkan sekresi hormon FSH dan LH. Peningkatan sekresi hormon FSH dan LH dapat menyebabkan proses pembentukan folikel, pertumbuhan dan perkembangannya, serta proses ovulasi dapat berlangsung secara kontinyu, sehingga proses molting dapat ditunda. Disamping itu daya tunas dan daya tetas telur dapat ditingkatkan karena FSH dapat menstimulasi spermatogenesis dan sel Sertoli (pada itik jantan), menstimulasi pembentukan ovum, menstimulasi sintesis progesteron, mengontrol testosteron dan estrogen via teka granulosa, mengontrol deposisi asam lemak di yolk dan perkembangan folikel (pada itik betina). LH yang disekresikan dapat merangsang perkembangan testis, diferensiasi sel Leydic dan menstimulasi produksi testosteron (pada itik jantan), perkembangan ovarium, perobekan stigma ovum, menstimulasi progesteron dan sekresi steroid dan ovulasi (pada itik betina). Oleh karena itu kolesterol mempunyai peranan yang sangat penting dalam peningkatan produksi dan kualitas telur itik, namun seberapa besar kolesterol yang harus dikonsumsi oleh itik tersebut agar dapat memenuhi kebutuhan itik untuk menghasilkan hormon tersebut belum diketahui. Berdasarkan latar belakang tersebut maka perlu dicoba menggunakan sumber kolesterol dari bagian jeroan sapi yang dibuat tepung, sehingga penelitian Tahap I akan menjawab permasalahan : Tepung bagian jeroan sapi (dibatasi hanya rumen, retikulum,

4 omasum atau abomasum) yang cocok sebagai sumber kolesterol. Penelitian Tahap II akan menjawab permasalahan berapa persen tepung retikulum sapi yang harus digunakan dalam pakan sebagai sumber kolesterol untuk mengetahui: (1) Seberapa besar peningkatan lama penundaan molting; (2) Seberapa besar peningkatan produksi telur tetas; (3) Seberapa besar peningkatan kualitas telur tetas (bobot telur, bobot kuning telur, kandungan kolesterol kuning telur, ketebalan kerabang, daya tunas, daya tetas) dan (4) Seberapa besar peningkatan bobot day old duck (DOD). Penelitian Tahap III akan menjawab permasalahan berapa persen tepung retikulum sapi yang harus digunakan dalam pakan sebagai sumber kolesterol untuk mengetahui: (1) Seberapa besar penurunan lama periode molting; (2) Seberapa besar peningkatan kecepatan bertelur kembali setelah molting; (3) Seberapa besar peningkatan produksi telur tetas setelah molting; (4) Seberapa besar peningkatan kualitas telur tetas setelah molting (bobot telur, bobot kuning telur, kandungan kolesterol kuning telur, ketebalan kerabang, daya tunas, daya tetas) dan (5) Seberapa besar peningkatan bobot DOD. Penelitian yang telah dilakukan untuk mengatasi periode molting masih dilakukan secara konvensional, yaitu dengan cara pemuasaan dan pembatasan pakan selama hari (Sainsbury, 1995; Barton, 2003; Poultry, 2003). Penggunaan kedua cara di atas banyak ditentang oleh beberapa organisasi keselamatan dan penyayang binatang seperti United Poultry Concern dan The Association of Veterinarians di United States (Allen, 2002). Hal ini didasari bahwa pemuasaan dan pembatasan pakan dalam waktu lama dapat menyebabkan stres yang berakibat penurunan fungsi imun sehingga ayam mudah terserang penyakit (Alodan dan Mashaly, 1999). Penelitian yang dilakukan kebanyakan hanya untuk mempercepat proses molting, bukan mencari penyebab terjadinya proses molting dan bagaimana cara mengatasinya. Dalam penelitian yang penulis lakukan adalah mencari penyebab molting. Oleh karena itu originalitas penelitian ini adalah: 1. Upaya menunda proses terjadinya molting pada itik dengan menambahkan kolesterol dari retikulum sapi sebagai prekursor dalam sekresi hormon FSH dan LH, sehingga

5 proses pertumbuhan dan perkembangan folikel tetap berjalan, begitu juga dengan proses ovulasi. 2. Upaya mempercepat periode molting pada itik dengan menggunakan kolesterol dari retikulum sapi. 3. Upaya meningkatkan daya tunas dan daya tetas telur dengan menggunakan kolesterol dari retikulum sapi, sehingga dalam menetaskan telur itik tidak terpengaruh dengan umur itik tersebut. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mempelajari proses fisiologi dan reproduksi dari penggunaan kolesterol tepung retikulum sapi dalam pakan mulai menjelang molting sampai dengan sesudah molting untuk meningkatkan produksi dan kualitas telur tetas itik Tegal. Tujuan Khusus penelitian adalah: 1) untuk menetapkan bagian jeroan sapi yang akan digunakan sebagai campuran pakan yang mengandung kolesterol tinggi, 2) untuk mengetahui level tepung retikulum sapi yang dapat meningkatkan produksi dan kualitas telur tetas itik Tegal sebelum terjadi molting dan 3) untuk mengetahui level tepung retikulum sapi yang dapat meningkatkan produksi dan kualitas telur tetas itik Tegal setelah terjadi molting. Manfaat Penelitian 1) Sebagai pedoman bagi peternak itik dalam pemberian kolesterol dari retikulum sapi melalui pakan untuk meningkatkan produksi telur tetas dengan menunda terjadinya molting. 2) Sebagai cara untuk mengatasi rendahnya daya tunas dan daya tetas telur sebagai akibat bertambahnya umur itik dengan pemberian kolesterol dari retikulum sapi. 3) Sebagai alternatif solusi permasalahan ketersediaan bahan pakan itik dengan menggunakan retikulum sapi sebagai sumber kolesterol.

6 4) Merupakan peluang bagi peternak itik untuk memanfaatkan retikulum sapi tersebut sebagai bahan pakan sekaligus untuk meningkatkan produksi telur tetas, daya tunas dan daya tetas telur. 5) Memberikan rekomendasi kepada pabrik pakan tentang penggunaan retikulum sapi dalam pakan sebagai sumber kolesterol yang dapat meningkatkan performan itik sebelum dan sesudah molting.