BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Menular Seksual (PMS) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. PMS merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi permasalahan kesehatan secara global, karena pola penyakitnya hampir terjadi di semua negara. Insidens PMS di berbagai negara di seluruh dunia mengalami peningkatan yang cukup cepat. Peningkatan insidens PMS dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti perubahan demografik, fasilitas kesehatan yang tersedia kurang memadai, pendidikan kesehatan khususnya pendidikan seksual dan belum adanya perubahan sikap dan perilaku (WHO, 2011). Penyakit Sifilis disebabkan oleh infeksi bakteri Treponema Pallidum (CDC, 2010). Penularan penyakit sifilis dapat terjadi melalui kontak langsung ataupun tidak langsung. Penularan sifilis secara langsung melalui perpindahan bakteri Treponema Pallidum yang terdapat pada lesi di area genital dan kulit luar area genital. Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa Treponema pallidum di kulit manusia dan membran mukosa memiliki kecenderungan untuk masuk menembus kulit normal dan membran mukosa. Penularan sifilis secara tidak langsung dapat terjadi seperti melalui penggunaan barang yang bersifat pribadi seperti handuk, pisau cukur, alas tidur dan tinggal dalam kamar yang sama ataupun menggunakan fasilitas toilet secara bersama (WHO, 2011).
WHOmencatat jumlah kasus baru sifilis secara global pada tahun 1999 adalah sebesar 12 juta kasus. Di Amerika Latin dan Karibia pertambahan jumlah kasus baru diperkirakan 3 juta jiwa (WHO 2001). Di Pasifik Barat diketahui tingkat prevalensi sifilis relatif ditemukan tinggi di Kamboja (4%), Papua New Guinea (3,5%) dan Pasifik Selatan (8%) (WHO, 1999). Seropositif Sifilis diantara kelompok lelaki suka lelaki (LSL) yang tidak menunjukkan gejala diperkirakan jumlahnya sekitar 9,3% di Boston (Mimiaga et al, 2003) dan 11% di Peru (Snowden, 2010). Kemudian Larsen (1995) menyatakan bahwa tes RPR (Rapid Plasma Reagen) sifilis yaitu sebesar 86% sensitif pada infeksi awal dan 98% sensitif dan 98% spesifik pada stadium sekunder dan laten. Sementara di Indonesia jumlah kasus Sifilis rata-rata adalah sebesar 6% dari 7 populasi kunci. Di Asia Timur dan Pasifik, cara penularan penyakit sifilis adalah melalui Pengaruh seks dengan pekerja seks, dimana pada tahun 2005 prevalensinya lebih dari 57% (Chin, 2006). Lebih lanjut, Brown dan Soroker (2007) melaporkan bahwa prevalensi sifilis pada kalangan homoseksual di beberapa kota besar Asia cukup tinggi, sekitar 50% dari jumlah kasus baru sifilis pada tahun 2020 di Asia akan disebabkan oleh kaum homoseksual. Keadaan ini memperlihatkan bahwa perilaku seks berisiko di kalangan homoseksual mempunyai peran penting dalam proses penularan sifilis. Diskriminasi sosial terhadap kelompok homoseksual atau LSL mempengaruhi tingginya tingkat depresi, kecemasan, merokok, penggunaan alkohol, penyalahgunaan zat dan bunuh diri sebagai akibat dari stress kronis, isolasi sosial yang diderita
kelompok ini serta pemutusan akses terhadap berbagai jasa pelayanan kesehatan yang dibutuhkan. Hal ini menjadi sorotan dan perhatian Badan Kesehatan Dunia, sehingga pada tahun 2011 WHO mengeluarkan panduan pencegahan dan pengobatan penyakit HIV dan IMS khusus ditujukan bagi kelompok LSL dan LSL di negara miskin dan berkembang. Selain itu perilaku homoseksualitas, berganti-ganti pasangan serta berpindah tempat memperbesar terjadinya risiko penularan (re-infeksi). Lesi sifilis terbuka juga dapat meningkatkan risiko penularan HIV dan transmisi (CDC, 2009). Ada korelasi yang kuat antara penyebaran PMS konvensional dan Penularan HIV dan pada kedua IMS ulseratif dan non-ulseratif telah ditemukan meningkatkan risiko penularan HIV secara seksual (Chin, 2006). Penelitian di Amerika Latin tahun 2009 menunjukkan bahwa prevalensi sifilis pada kelompok LSL adalah sebesar 42,3 % sementara pada kelompok non LSL sebesar 18.1% (Toibaro J,2009). Sementara Ruan Y et.al (2007) dalam penelitiannya tentang korelasi HIV dan Sifilis pada LSL di Cina menyebutkan bahwa Infeksi HIV secara bermakna dikaitkan dengan seropositif sifilis (OR 3,8, 95% CI, 1,3-10,8). Beberapa faktor lain yang mungkin dapat meningkatkan risiko penyakit sifilis adalah konsumsi alkohol dan napza. Pada sebuah studi dikemukakan bahwa penggunaan kondom secara konsisten mampu mengurangi transmisi HIV sebesar 64% dan STI sebesar 43% (CDC, 2009). Pada Survei Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) 2007 faktor risiko yang diukur adalah penggunaan kondom dan pelicin, tingkat pengetahuan, konsumsi alkohol dan napza serta layanan IMS dan HIV.
Pengembangan Manajemen Klinik IMS termasuk diagnosis dan penatalaksanaan pengobatan bagi penderita sifilis, Penyediaan suplai dan pemberian kemudahan akses terhadap kondom, Intervensi Perubahan perilaku, kegiatan KIE (Komunikasi Informasi dan Edukasi) sudah termasuk dalam kegiatan berbasis intervensi tersebut. Peninjauan maupun evaluasi terhadap bentuk program intervensi ada baiknya perlu untuk dilakukan termasuk peninjauan terhadap potensial faktor risiko baru yang berpengaruhdengan infeksi sifilis, dan pada kelompok LSL.Walaupun kelompok LSL memiliki pemahaman akan pentingnya berpengaruh seks dengan aman, namun pada kenyataannya tetap saja terjadi kejadian penyakit sifilis. Hal ini disebabkan oleh karena faktor pencapaian seks dengan sesama jenis, kepuasan batin, ketidaknyamanan dan stigma terhadap kondom sebagai salah satu alat pencegahan. Klinik IMS dan VCT Veteran merupakan salah satu dari beberapa tempat yang memberi layanan tes IMS dan HIV di Indonesia. Klinik IMS dan VCT Veteran berada dibawah naungan Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. Dalam peningkatan derajat kesehatan masyarakat, perlu dilakukan cara pemutusan alur penularan penyakit, antara lain dengan mengetahui determinan penyakit.berdasarkan data penyakit sifilispada kelompok LSL jumlah penderita sebanyak 496 orang yang melakukan kunjungan di Klinik IMS-VCT Veteran Kota Medan dari bulan Januari- Desember2013. Sebanyak 200 orang pengunjung melakukan tes sifilisdan sebanyak 84 orang yang terinfeksi sifilis. Terdapatnya stigma serta diskriminasi dari
masyarakat bagi kelompok LSL. Hal ini berpotensi menimbulkan masalah kesehatan dan penularan penyakit sifilis pada kelompok LSL di Kota Medan. 1.2 Permasalahan Belum diketahui determinan penyakit sifilis pada kelompok Lelaki Suka Lelaki di Klinik IMS-VCT Veteran Kota Medan tahun 2013. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuanpenelitian ini adalah untuk mengetahuideterminan penyakit sifilis pada kelompok Lelaki Suka Lelaki di Klinik IMS-VCT Veteran Kota Medan Tahun 2013. 1.4 Hipotesis a. Ada pengaruh umur dengan penyakit sifilis. b. Ada pengaruh tingkat pendidikan dengan penyakit sifilis. c. Ada pengaruh status HIV dengan penyakit sifilis. d. Ada pengaruh penggunaan kondom dengan penyakit sifilis. e. Ada pengaruh penggunaan NAPZA suntik dengan penyakit sifilis f. Ada pengaruh konsumsi alkohol dengan penyakit sifilis. 1.5 Manfaat Penelitian a. Bagi Dinas Kesehatan Kota Medan, memberikan masukan untuk pengembangan program intervensi kesehatan termasuk saran evaluasi terhadap program intervensi yang saat ini sedang berjalan.
b. Bagi klinik IMS-VCT Veteran untuk dapat meningkatkan penyuluhan KIE,pengobatan dan pencegahan terjadinya infeksi sifilis terhadap populasi lelaki suka lelaki yang datang ke klinik IMS-VCT veteran. c. Bagi populasi Lelaki Suka Lelaki, memberikan pengetahuan terhadap pencegahan, diagnosis serta pengobatan penyakit sifilis. d. Bagi Peneliti,mengetahui gambaran karakteristik populasi Lelaki Suka Lelaki (LSL) dan mengetahui faktor risiko dan penatalaksanaan penyakit sifilis pada kelompok Lelaki Suka Lelaki di Kota Medan.