BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dalam melakukan perawatan tidak hanya terfokus pada susunan gigi dan rahang saja

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. perawatan ortodonti dan mempunyai prognosis yang kurang baik. Diskrepansi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. susunannya akan mempengaruhi penampilan wajah secara keseluruhan, sebab

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 1. Fotometri Profil 16. Universitas Sumatera Utara

BAB 2 MALOKLUSI KLAS III. hubungan lengkung rahang dari model studi. Menurut Angle, oklusi Klas I terjadi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. displasia dan skeletal displasia. Dental displasia adalah maloklusi yang disebabkan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tiga puluh orang menggunakan sefalogram lateral. Ditemukan adanya hubungan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Ukuran lebar mesiodistal gigi permanen menurut Santoro dkk. (2000). 22

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. gigi-gigi dengan wajah (Waldman, 1982). Moseling dan Woods (2004),

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sejak tahun 1922 radiografi sefalometri telah diperkenalkan oleh Pacini dan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perawatan ortodontik bertujuan memperbaiki fungsi oklusi dan estetika

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Maloklusi adalah keadaan yang menyimpang dari oklusi normal dengan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dengan estetis yang baik dan kestabilan hasil perawatan (Graber dkk., 2012).

SEFALOMETRI. Wayan Ardhana Bagian Ortodonsia FKG UGM

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. cepat berkembang. Masyarakat makin menyadari kebutuhan pelayanan

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. wajah dan jaringan lunak yang menutupi. Keseimbangan dan keserasian wajah

BAB 1 PENDAHULUAN. Hal yang penting dalam perawatan ortodonti adalah diagnosis, prognosis dan

BAB 2 PROTRUSI DAN OPEN BITE ANTERIOR. 2.1 Definisi Protrusi dan Open Bite Anterior

PERBEDAAN SUDUT MP-SN DENGAN KETEBALAN DAGU PADA PASIEN DEWASA YANG DIRAWAT DI KLINIK PPDGS ORTODONSIA FKG USU

BAB 1 PENDAHULUAN. menghasilkan bentuk wajah yang harmonis jika belum memperhatikan posisi jaringan

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. (Alexander,2001). Ortodonsia merupakan bagian dari ilmu Kedokteran Gigi yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. dari struktur wajah, rahang dan gigi, serta pengaruhnya terhadap oklusi gigi geligi

I.PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Nesturkh (1982) mengemukakan, manusia di dunia dibagi menjadi

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Saluran pernafasan merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. Desain penelitian ini adalah analitik dengan pendekatan retrospective

Nama: Tony Okta Wibowo Nrp : Dosen Pembimbing : Bp. Moch Hariadi, ST M.Sc PhD Bp. Dr. I ketut eddy Purnama, ST,MT

BAB 1 PENDAHULUAN. Crossbite posterior adalah relasi transversal yang abnormal dalam arah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ada berbagai pedoman, norma dan standar yang telah diajukan untuk

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Penggunaan fotografi di bidang ortodonti telah ada sejak sekolah kedokteran

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

III. RENCANA PERAWATAN

Gambar 1. Anatomi Palatum 12

BAB I PENDAHULUAN. Maloklusi adalah istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan

MATERI KULIAH ORTODONSIA I. Oleh Drg. Wayan Ardhana, MS, Sp Ort (K) Bagian Ortodonsia

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. sagital, vertikal dan transversal. Dimensi vertikal biasanya berkaitan dengan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pharynx merupakan suatu kantong fibromuskuler yang berbentuk seperti

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. sampai CV7). Diantara ruas-ruas tersebut, ada tiga ruas servikal yang memiliki

BAB 2 KANINUS IMPAKSI. individu gigi permanen dapat gagal erupsi dan menjadi impaksi di dalam alveolus.

I.PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah. Secara umum bentuk wajah (facial) dipengaruhi oleh bentuk kepala, jenis kelamin

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 BEDAH ORTOGNATI PADA MAKSILA. akan terlihat jelas ketika masa tumbuh kembang ataupun juga akibat trauma. 7

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 3 DIAGNOSA DAN PERAWATAN BINDER SYNDROME. Sindrom binder merupakan salah satu sindrom yang melibatkan pertengahan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. RPE adalah suatu alat yang digunakan di klinik, bertujuan untuk mengoreksi

CROSSBITE ANTERIOR. gigi anterior rahang atas yang lebih ke lingual daripada gigi anterior rahang

Perawatan ortodonti Optimal * Hasil terbaik * Waktu singkat * Biaya murah * Biologis, psikologis Penting waktu perawatan

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. Eksperimental kuasi dengan desain one group pre dan post. Tempat : Klinik Ortodonti RSGMP FKG USU

BAB II KLAS III MANDIBULA. Oklusi dari gigi-geligi dapat diartikan sebagai keadaan dimana gigi-gigi pada rahang atas

BAB I PENDAHULUAN. hubungan yang ideal yang dapat menyebabkan ketidakpuasan baik secara estetik

Tugas Online 2 Fisika 2 Fotometri

BAB 1 PENDAHULUAN. Dewasa ini masyarakat semakin menyadari akan kebutuhan pelayanan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BIONATOR Dikembangkan oleh Wilhelm Balters (1950-an). Populer di Amerika Serikat tahun

PENGENALAN SEFALOMETRI RADIOGRAFIK

BAB 1 PENDAHULUAN. dan harmonis.pada saat mendiagnosis dan membuat rencana perawatan perlu diketahui ada

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. mengganggu kesehatan gigi, estetik dan fungsional individu.1,2 Perawatan dalam

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Hubungan antara derajat konveksitas profil jaringan keras dan jaringan lunak wajah pada suku Bugis dan Makassar

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Oklusi secara sederhana didefinisikan sebagai hubungan gigi-geligi maksila

BAB I PENDAHULUAN. atau bergantian (Hamilah, 2004). Pertumbuhan berkaitan dengan perubahan

DAFTAR ISI... Hal HALAMAN JUDUL.. HALAMAN PENGESAHAN... HALAMAN PERNYATAAN HALAMAN PERSEMBAHAN. DAFTAR GAMBAR.. DAFTAR TABEL... DAFTAR LAMPIRAN..

BAB I PENDAHULUAN. Ortodontik berasal dari bahasa Yunani orthos yang berarti normal atau

Penetapan Gigit pada Pembuatan Gigi Tiruan Lengkap

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

III. KELAINAN DENTOFASIAL

I. PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Masalah. Ilmu Ortodonti menurut American Association of Orthodontics adalah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Radiografi Sefalometri Ditemukannya sinar X di tahun 1985 oleh Roentgen merupakan suatu revolusi di bidang kedokteran gigi yang merupakan awal mula dari ditemukannya radiografi sefalometri. 10,19 Penemuan ini memfasilitasi suatu metode untuk mendapatkan gambaran kraniofasial dengan akurat. Radiografi sefalometri adalah suatu metode standar untuk mendapatkan gambaran tulang tengkorak yang dapat digunakan sebagai alat diagnostik dalam membuat rencana perawatan dan mengevaluasi perubahan-perubahan yang disebabkan perawatan ortodonti. 10,18-19 2.1.1 Kegunaan Radiografi Sefalometri Sefalometri merupakan alat yang dapat digunakan untuk membuat rencana perawatan dan mengikuti perkembangan serta perubahan selama perawatan ortodonti. Beberapa kegunaan radiografi sefalometri adalah sebagai berikut 10 : a. Mempelajari pertumbuhan kraniofasial Sefalogram dapat memberikan infromasi yang berkaitan dengan variasi pola pertumbuhan, gambaran standar kraniofasial,memprediksi pola pertumbuhan dan memprediksi konsekuensi-konsekuensi dari rencana perawatan. b. Diagnosis deformitas kraniofasial Sefalogram dapat digunakan dalam identifikasi, menentukan dan mengukur kelainan kraniofasial.dalam hal ini, permasalahan yang paling utama adalah perbedaan antara malrelasi skeletal dan dental. c. Rencana perawatan Alat untuk menegakkan diagnosis, memprediksi morfologi kraniofasial dan pertumbuhan di masa yang akan datang. Oleh karena itu, sefalometri dapat membantu dalam menyusun suatu rencana perawatan yang baik dan jelas.

d. Evaluasi pasca perawatan Hasil sefalogram dari awal hingga akhir perawatan dapat digunakan oleh dokter gigi spesialis ortodonti sebagai alat untuk megevaluasi dan melihat perkembangan dalam perawatan serta dapat digunakan sebagai pedoman pada perubahan perawatan yang diinginkan. e. Penelitian relaps di bidang ortodonti Sefalometri juga dapat membantu dalam mengidentifikasi penyebab-penyebab relapsnya perawatan ortodonti dan stabilitas dari pasca perawatan ortodonti. 2.1.2 Tipe Sefalogram Ada dua jenis tipe sefalogram, yaitu 19 : a) Sefalogram frontal Memberikan gambaran frontal atau anterior-posterior dari tengkorak kepala (Gambar 6A). b) Sefalogram lateral Memberikan gambaran tulang tengkorak dari arah lateral (samping). Sefalogram ini diambil dengan posisi kepala yang berada pada jarak yang spesifik dari sumber sinar X (Gambar 1B). A B Gambar 1.(A) Sefalogram frontal, (B) Sefalogram lateral 10

2.1.3 Penggunaan Titik-titik Sefalometri dalam Menentukan Analisis Jaringan Keras Berikut ini adalah titik-titik pada sefalometri yang biasa digunakan dalam analisis jaringan keras (Gambar 2) 10,17,19 : a. Nasion (N) : titik paling anterior yang berbeda diantara tulang frontal dan tulang nasalis pada sutura fronto nasalis b. Orbitale (O) : titik terendah dari dasar rongga mata yang terdepan c. Sella (S) : titik pusat geomtri dari fossa pituitary d. Sub-spina (A) : titik paling cekung di maksila, biasanya berada di dekat apeks akar gigi insisivus sentralis maksila e. Supra-mental (B) : titik paling cekung diantara infra dental dan pogonion dan biasanya dekat apeks akar gigi insisivus sentralis mandibula. f. Pogonion (Pog) : titik paling depan atau anterior dari tulang dagu g. Gnathion (Gn) : titik diantara Pogonion dan Menton h. Menton (Me) : titik paling bawah atau inferior dari tulang dagu i. Articulare (Ar) : titik perpotongan antara batas posterior ramus dan batas inferior dari basal kranial posterior j. Gonion (Go) : titik paling posteroinferior di sudut mandibula. Titik ini merupakan pertemuan dari dataran ramus dan dataran mandibula k. Porion (Po) : titik paling superior dari meatus acuticus externus l. Pterygomaxilary (PTM) : kontur fisura pyterygomaxilary yang dibentuk di anterior oleh tuberositas retromolar maksila dan di posterior oleh kurva anterior dari prosesus pterygoid dari tulang sphenoid. m. Spina Nasalis Posterior (PNS) : titik paling posterior dari palatum durum n. Spina Nasalis Anterior (ANS) : titik paling anterior dari prosesus maksila pada batas bawah dari cavum nasal o. Basion (Ba) : titik paling bawah dari forame magnum

Gambar 2. Titik-titik jaringan keras pada sefalometri lateral 17 2.1.4 Penggunaan Titik-titik Sefalometri dalam Menentukan Analisis Jaringan Lunak Berikut ini adalah titik-titik pada sefalometri yang biasa digunakan dalam analisis jaringan lunak (Gambar 3) 17,21 : a. Glabella (G) : titik paling anterior dari dahi pada dataran midsagital b. Jaringan lunak Nasion (N ) : titik paling cekung pada pertengahan dahi dan hidung c. Pronasale (Pr) : titik paling anterior dari hidung d. Subnasale (Sn) : titik septum nasal berbatasan dengan bibir atas e. Labrale superior (Ls) : titik perbatasan mukotaneous dari bibir atas f. Superior labial ulkus (SLS) : titik tercekung di antara Sn dan Ls g. Stomion superior (Stm s ) : titik paling bawah di vermilion dari bibir atas h. Stomion inferior (Stm i ) : titik paling atas pada vermilion dari bibir bawah i. Labrale inferius (Li) : titik perbatasan dari membran bibir bawah j. Inferior labial sulkus (ILS) : titik paling cekung di antara Li dan Pog k. Jaringan lunak Pogonion (Pog ) : titik paling anterior jaringan lunak dagu

dagu. l. Jaringan lunak Menton (Me ) : titik paling inferior dari jaringan lunak Gambar 3. Titik-titik jaringan lunak pada sefalometri lateral 21 2.2 Proporsi wajah Proporsi wajah dapat dievaluasi dalam arah vertikal dan horizontal. Pengetahuan tentang proporsi wajah berperan penting dalam perencanaan bedah dentofasial. Secara horizontal, proporsi wajah dibagi menjadi 3 bagian, yaitu (Gambar 4): 21,22 1. Sepertiga wajah atas: batas rambut (trichion) ke glabella. 2. Sepertiga wajah tengah: glabella ke subnasal. 3. Sepertiga wajah bawah: subnasal ke menton jaringan lunak.

Gambar 4. Proporsi vertikal wajah 22 2.2.1 Sepertiga wajah bawah Sepertiga wajah bawah dibagi atas 3 (tiga) segmen, yaitu bibir atas, bibir bawah dan dagu (Gambar 5). 3,4 Pengukuran jaringan lunak pada profil wajah untuk menentukan proporsi yang tepat dari ukuran dan posisi dari hidung, bibir dan dagu dapat membantu individu untuk mengukur karakteristik wajah dan norma. 23 Gambar 5. Sepertiga wajah dibagi kepada tiga segmen 3

2.3 Komponen jaringan keras pada sepertiga wajah bawah 2.3.1 Maksila Maksila bergerak ke bawah dan depan, tetapi remodeling ke atas dan ke dalam. Pertumbuhan maksila dan struktur yang saling berhubungan terjadi dari kombinasi pertumbuhan pada sutura dan remodeling langsung pada tulang. Maksila cenderung ke arah bawah dan ke depan seiring dengan pertumbuhan wajah dan pertumbuhan tulang pada sutura. Jaringan lunak disekitarnya memainkan peran sebagai matriks fungsional yang berkontribusi pada pertumbuhan maksila. Pertumbuhan cartilage pada septum hidung berperan dalam arah pertumbuhan maksila. 17,24 2.3.2 Mandibula Pertumbuhan pada kepala kondilus terjadi dalam arah ke atas dan ke dalam. Pertumbuhan mandibula dinyatakan sebagai perpindahan ke arah bawah dan ke depan, yang merupakan contoh translasi utama. Proses translasi ini dan perubahan kompleks nasomaxillary memungkinkan untuk pertumbuhan faring, lidah, dan struktur lain yang terkait. Pertumbuhan pada kondilus berkompensasi untuk perpindahan vertikal mandibula dan mengakomodasikan erupsi gigi secara vertikal. Selain itu, resorpsi tulang pada batas anterior dan deposisi pada batas posterior dari kedua-dua ramus mempengaruhi pertumbuhan anteroposterior dari ramus dan badan mandibula. Perubahan ini meningkatkan panjang badan mandibula posterior untuk mengakomodasikan erupsi gigi molar permanen. 17 2.3.2.1 Analisis skeletal dalam arah vertikal Penilaian skeletal dalam arah vertikal dapat digunakan untuk menentukan perbedaan tipe wajah vertikal dan tipe wajah horizontal. Hal ini berkaitan dengan arah pertumbuhan mandibula yang berhubungan dengan kranial atau dasar maksila yang berbeda. 25 Menurut Creekmore dkk., diketahui bahwa pertumbuhan wajah terdiri dari pertumbuhan horizontal dan vertikal. Schudy meneliti interaksi antara displasia wajah vertikal dan horizontal serta menekankan pentingnya dimensi wajah vertikal dalam perawatan ortodontik. Beliau menggambarkan pertumbuhan horizontal dan vertikal sebagai kekuatan yang berlawanan, masing-masing berdominasi untuk menguasai bagian

anterior mandibula. Oleh karena itu, fase akhir pertumbuhan wajah adalah hasil dari efek kombinasi dua komponen pertumbuhan. Beliau kemudian memperkenalkan istilah perbedaan wajah untuk menggambarkan tipe wajah berdasarkan indikator seperti oklusal mandibular (OM) dan sudut MP-SN. Beliau menggunakan istilah hyperdivergent dan hypodivergent untuk menggambarkan perbedaan wajah yang ekstrim. 12,16 2.3.2.2 Tipe Pertumbuhan Vertikal Wajah Schudy membagi tipe pertumbuhan vertikal wajah atas 2, yaitu 27 : a. Hypodivergent Tipe pertumbuhan ini memiliki ciri wajah yang pendek dan lebar, biasanya terdapat sudut bidang mandibular datar dan sudut gonial tertutup. Gigitan dalam (deep bite) sering dijumpai pada pasien dengan jenis wajah ini. Contoh dari jenis wajah yang mempunyai kepala yang pendek dan lebar adalah maloklusi Klas II divisi 2. b. Hyperdivergent Tipe pertumbuhan ini memiliki ciri wajah yang panjang dan sempit. Ini disebabkan rahang atas menunjukkan pertumbuhan vertikal yang berlebihan dan sudut bidang mandibula yang lebih besar dan kadang-kadang menyebabkan gigitan terbuka (open bite). Pola pertumbuhan ini akan mengakibatkan lengkung dentoalveolar yang panjang dan sempit pada lengkung rahang atas dan menghasilkan rotasi searah jarum jam mandibula selama pertumbuhan. 2.3.2.3. Analisis Steiner Steiner mengembangkan analisis ini untuk memperoleh informasi klinis dari pengukuran sefalometri lateral. Steiner membagi analisisnya atas 3 bagian yaitu skeletal, dental dan jaringan lunak. 10 1. Analisis skeletal mencakup hubungan rahang atas dan rahang bawah terhadap tulang tengkorak. 2. Analisis dental mencakup hubungan insisivus rahang atas dan rahang bawah. 3. Analisis jaringan lunak mencakup keseimbangan dan estetika profil wajah bagian bawah.

Gambar 6 menunjukkan analisis skeletal Steiner dengan 5 sudut pengukuran yang digunakan antara lain 17 : a. Sudut SNA Sudut ini terbentuk dari pertemuan garis Sella - Nasion dan garis Nasion - titik A. Besar sudut SNA menyatakan hubungan anteroposterior maksila terhadap basis kranium. Nilai normal rata-rata SNA adalah 82 ± 2. Apabila nilai SNA lebih besar, maka maksila diindikasikan mengalami prognasi. Apabila nilai SNA lebih kecil, maka maksila diindikasikan mengalami retrognasi. b. Sudut SNB Sudut ini terbentuk dari pertemuan garis Sella - Nasion dan garis Nasion - titik B. Besar sudut SNB menyatakan hubungan antero-posterior mandibula terhadap basis kranium. Nilai normal rata-rata SNB adalah 80 ± 2. Apabila nilai SNB lebih besar, maka mandibula diindikasikan mengalami prognasi. Apabila nilai SNB lebih kecil, maka mandibula diindikasikan mengalami retrognasi. c. Sudut ANB Sudut ini terbentuk dari pertemuan garis Nasion - titik A dan garis Nasion - titik B. Besar sudut ANB menyatakan hubungan maksila dan mandibula. Nilai normal ratarata ANB adalah 2 ± 2. Apabila nilai ANB lebih besar, maka diindikasikan kecenderungan hubungan klas II skeletal. Apabila nilai ANB lebih kecil, maka diindikasikan kecenderungan hubungan klas III skeletal. d. Sudut MP-SN Sudut ini mengindikasikan garis bidang mandibula terhadap basis kranial anterior. Garis bidang mandibula ditarik dari gonion (Go) ke gnathion (Gn). Nilai ratarata dari sudut ini adalah 32 ± 5. Isaacson dkk. menyatakan bahwa semakin besar inklinasi mandibula terhadap basis kranial, maka semakin curam dataran mandibula dan dagu bergerak ke arah posterior serta semakin kecil inklinasi mandibula terhadap basis kranial, maka semakin datar dataran mandibula dan dagu bergerak ke arah anterior. 16,21,25 Inklinasi dataran mandibula merupakan indikator terjadinya rotasi mandibular. 12 Rotasi mandibula dapat terjadi dalam dua arah, yaitu searah jarum jam atau berlawanan dengan arah jarum jam. 27 Sudut MP-SN lebih besar dari normal menunjukkan rotasi mandibula searah jarum jam dan mengindikasikan pertumbuhan mandibula ke

bawah dan ke belakang. Terjadi pola pertumbuhan wajah secara vertikal yang menunjukkan pola pertumbuhan yang hyperdivergent. Sebaliknya, bila sudut MP-SN lebih kecil dari normal menunjukkan rotasi mandibula berlawanan arah jarum jam dan mengindikasikan pertumbuhan mandibula ke atas dan ke depan. Terjadi pola pertumbuhan wajah secara horizontal yang menunjukkan pola pertumbuhan yang hypodivergent. 12,27 e. Sudut Dataran Oklusal Sudut ini terbentuk dari pertemuan garis Sella-Nasion dan dataran oklusal. Nilai normal rata-rata sudut ini adalah 14,5. Besar sudut ini menyatakan hubungan dataran oklusal terhadap kranium dan wajah serta mengindikasikan pola pertumbuhan wajah seseorang.

Gambar 6. (A) Sudut SNA, (B) Sudut SNB, (C) Sudut ANB, (D) Sudut MP-SN, (E) Sudut Bidang Oklusal 19 2.4 Komponen jaringan lunak pada sepertiga wajah bawah 2.4.1 Bibir Bibir atas dan hidung saling berhubungan dan merupakan unit penting pada estetis wajah. Bibir atas biasanya berukuran lebih panjang sekitar 2-3 mm dari bibir bawah, namun ini semua tergantung dari struktur gigi (Gambar 7). Bibir atas merupakan sepertiga atas pada sepertiga bawah wajah. Berdasarkan analisis Holdaway, ketebalan bibir atas diukur secara horizontal 2 mm dari titik luar alveolar ke batas luar bibir atas.

Berdasarkan analisis Burstone, ketebalan bibir bawah diukur secara horizontal dari insisivus inferior ke labial inferior. 21,28 Gambar 7. Bibir yang ideal 29 2.4.2 Dagu Dagu secara visual berkaitan dengan bibir dan leher. Dagu membentuk sepertiga bawah dari wajah. Studi dari referensi estetika dan seni klasik menunjukkan dimana preferensi bibir bawah sedikit ke posterior terhadap bibir atas dan dagu terletak pada garis lurus yang menghubungkan bibir atas dan bibir bawah. Konfigurasi jaringan lunak dagu tidak hanya ditentukan oleh struktur tulang, tetapi juga oleh ketebalan otot mentalis dan faktor lain, termasuk morfologi kraniofasial serta hubungan rahang. Perkembangan yang berlebihan terhadap tinggi dagu mengubah posisi bibir bawah dan mengganggu proses penutupan bibir. Secara umum, kontur dagu dievaluasi dengan kaitannya terhadap posisi bibir bawah dan konfigurasi mentolabial. Profil jaringan lunak dagu tergantung pada posisi dari jaringan lunak dagu. 28 2.4.2.1 Ketinggian Pada pandangan frontal, estetika dagu tergantung terutama pada ketinggian dagu, khususnya pada hubungan antara wajah bawah dengan seluruh ketinggian wajah anterior. 30 Ketinggian dagu dapat diukur pada titik ketinggian bibir bawah superior ke menton pada sepertiga wajah bawah. 24

2.4.2.2 Ketebalan Menurut Holdaway ketebalan jaringan lunak dagu diukur dari titik Pogonion skeletal ke Pogonion kulit (Pog Pog ). Dikatakan tebal jaringan lunak dagu harmonis dan seimbang jika tebalnya berkisar antara 10-12 mm sedangkan jika lebih tipis dagu akan terlihat sangat datar. Dagu datar dapat disebabkan oleh inklinasi insisivus bawah lebih protrusif (Gambar 8). 1,2 Pog Pog. Gambar 8. Nilai normal ketebalan jaringan lunak Holdaway berkisar 10-12mm 21