BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Setiap budaya dari suatu kelompok masyarakat, pada dasarnya memiliki cara untuk

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV REFLEKSI TEOLOGIS. perempuan atau pun jenis kelamin, semuanya pasti akan mengalaminya. Tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB V PENUTUP. penting yang menjadi pokok atau inti dari tulisan ini, yaitu sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. bertemunya masyarakat yang beragama, yang disebut juga sebagai jemaat Allah. 1

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1 PERMASALAHAN Latar Belakang Masalah

RITUAL KEMATIAN SUKU SABU (KAJIAN PASTORAL TERHADAP RITUAL KEMATIAN BAGI ORANG SABU) TESIS ELSYE YUNITA DJAMI

BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1. Latar Belakang Masalah

Filled Notes. 1. Wawancara dengan Bapak YB. Hari/tanggal : Selasa, 27 Maret : Rumah Bapak YB : WITA.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB I P E N D A H U L U A N. menghargai orang yang menderita itu. Salah satunya dengan memanfaatkan metodemetode konseling dari ilmu psikologi.

BAB I PENDAHULUAN. 1 Dra.Ny.Singgih D.Gunarsa, Psikologi Untuk Keluarga, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1988 hal. 82

UKDW BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG MASALAH

BAB IV ANALISA FUNGSI KONSELING PASTORAL BAGI WARGA JEMAAT POLA TRIBUANA KALABAHI

BAB I PENDAHULUAN. 1 Totok S. Wiryasaputra, Pendampingan Pastoral Orang Sakit, Seri Pastoral 245, Pusat Pastoral Yogyakarta,

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN. kepada semua orang agar merasakan dan mengalami sukacita, karena itu pelayan-pelayan

BAB I PENDAHULUAN. ada sebagian kecil orang yang memilih untuk hidup sendiri, seperti Rasul Paulus

Pdt. Dr. Retnowati, M. Si Pdt. Totok S. Wiryasaputra, Th.M

BAB 1. Pendahuluan. kepada manusia lainnya. Karena itu, manusia disebut sebagai makhluk sosial. Manusia

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan

BAB V KESIMPULAN. Di dalam Alkitab, setidaknya terdapat tiga peristiwa duka dimana Yesus

BAB I PENDAHULUAN. akan berubah entah itu memerlukan proses yang lambat ataupun cepat.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masyarakat dan kebudayaan adalah dua hal yang tidak bisa dilepaspisahkan karena,

UKDW BAB I PENDAHULUAN

Bab I Pendahuluan Bdk. Pranata Tentang Sakramen dalam Tata dan Pranata GKJW, (Malang: Majelis Agung GKJW, 1996), hlm.

BAB II KERANGKA KONSEPTUAL

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia terdiri dari beranekaragam suku bangsa dan memiliki berbagai macam

Bab I Pendahuluan 1. Permasalahan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. Jurnal Teologi Gema Duta Wacana edisi Musik Gerejawi No. 48 Tahun 1994, hal. 119.

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

UKDW BAB I. Pendahuluan. 1.1 Latar belakang permasalahan. 1) Gambaran umum tentang orang Tionghoa yang ada di Indonesia.

BAB IV ANALISA PEMAHAMAN MENGENAI BENTUK-BENTUK PELAYANAN KOMISI DOA DI JEMAAT GPIB BETHESDA SIDOARJO SESUAI DENGAN

lambang dan Citra citra Rakyat (PERSETIA. 1992), hlm.27 6 Scn 3, hlm

BAB I PENDAHULUAN A. PERMASALAHAN

BAB II TEORI PENDAMPINGAN PASTORAL, KEDUKAAN, RITUAL KEAGAMAAN

UKDW BAB I. PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah

Pelayanan Konseling Pastoral Di GKP Jemaat Cimahi Tanpa Pendeta Jemaat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di Indonesia sangat kaya akan berbagai macam budaya baik itu bahasa,

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian

Bab I Pendahuluan UKDW

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab I ini, penulis menjelaskan latar belakang terjadinya penulisan Disiplin

BAB I PENDAHULUAN. sebagai Bapa, Anak dan Roh Kudus. Roh Kudus adalah pribadi Tuhan dalam konsep Tritunggal.

BAB I PENDAHULUAN UKDW

UKDW. Bab I. Pendahuluan

Pentingnya peran saksi dalam pernikahan (Suatu tinjauan terhadap pendampingan saksi nikah di jemaat GMIT Efata Benlutu)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Gereja adalah komunitas yang saling berbagi dengan setiap orang dengan

BAB I PENDAHULUAN. seperti marsombuh sihol dan rondang bittang serta bahasa (Jonris Purba,

BAB I PENDAHULUAN A. MASALAH. A.1. Latar belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN. Yogyakarta sebagai Runggun dan termasuk di dalam lingkup Klasis Jakarta-Bandung.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia, dijumpai berbagai tradisi atau budaya

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia tergambar dalam berbagai keragaman suku, budaya, adat-istiadat, bahasa

BAB 1 PENDAHULUAN Kematian

BAB I PENDAHULUAN. keunikan tersendiri yang melambangkan kekhasan masing-masing daerah.

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN. 1 Dr. Harun, Iman Kristen (Jakarta: PT.BPK Gunung Mulia), 2001, hlm

BAB IV MAKNA PELAKSANAAN UPACARA ADAT ALAWAU AMANO BAGI KEHIDUPAN ORANG NOLLOTH. A. Mendiskripsikan Upacara Adat Kematian Alawau Amano

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH. Dalam era globalisasi yang sarat dengan teknologi dan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

BAB II GEREJA DAN PASTORAL

Pendampingan Pastoral Holistik di Megachurch (Sebuah Studi Tentang Pendampingan Pastoral Gereja Jemaat Kristen Indonesia Injil Kerajaan di Semarang)

BAB IV ANALISA DAN REFLEKSI TEOLOGI

UKDW. BAB I Pendahuluan. A. Latar Belakang

UKDW. Bab 1 Pendahuluan. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI PENELITIAN. tersebut memiliki kaitan erat dengan cara pandang orang Sabu tentang sesama

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia tidak terlepas dari adat dan kebudayaan. Adat

BAB I PENDAHULUAN. 1 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1976, p. 5

BAB V PENUTUP. Pada bab ini dipaparkan tentang (1) kesimpulan dan (2) saran :

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH

A. LATAR BELAKANG MASALAH

MILIK UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Obor Indonesia, 1999, p Jane Cary Peck, Wanita dan Keluarga Kepenuhan Jati Diri dalam Perkawinan dan Keluarga, Yogyakarta:

BAB I PENDAHULUAN. dan penderitaan, dan kebanyakan datang terlalu cepat". 1

BAB I PENDAHULUAN. kenal dengan istilah agama primitif, agama asli, agama sederhana. 1 Agama suku adalah

PEMAHAMAN ORANG YAHUDI TERHADAP PENDERITAAN MENURUT KITAB AYUB DAN RELEVANSINYA BAGI PENDAMPINGAN PASTORAL KEDUKAAN TESIS

BAB I PENDAHULUAN. memiliki adat istiadat (kebiasaan hidup) dan kebudayaan masing-masing,

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk yang. terdiri dari ribuan pulau-pulau dimana masing-masing penduduk dan suku

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1.LATAR BELAKANG

@UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN UKDW

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN UKDW

MILIK UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani. Kebutuhan mencakup

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Bima itu. Namun saat adat istiadat tersebut perlahan-lahan mulai memudar, dan

BAB I PENDAHULUAN. bukan hanya sekedar mengawetkan budaya dan meneruskannya dari generasi ke generasi,

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB IV ANALISA DATA. A. Makna Penanaman Anak Pohon Pisang Bagi Jenazah Orang Yang. bagaimana hendaknya manusia memperlakukan lingkungannya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. Hanna, 2004, p Prapti Nitin, Buku Lustrum ke-25 Panti Wreda Hanna dalam Pendampingan Para Lanjut Usia di Panti Wreda

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Setiap budaya dari suatu kelompok masyarakat, pada dasarnya memiliki cara untuk menghadapi siklus kehidupan, salah satunya kematian. Didalamnya terdapat nilai-nilai pendampingan pastoral yang secara tidak sadar telah ada sejak zaman dahulu, namun tidak diketahui istilahnya seperti sekarang ini. Nilai-nilai pendampingan pastoral inilah yang membuat masyarakat atau individu secara sadar atau tidak sadar merasakan adanya pendampingan pastoral sebagai upaya saling menolong dalam budaya tersebut, terutama ketika menghadapi kematian, kehilangan dan kedukaan. Hal ini juga terjadi dalam budaya Sabu. Pendampingan adalah proses perjumpaan pertolongan antara pendamping dan orang yang didampingi. Perjumpaan itu bertujuan untuk menolong orang yang didampingi agar dapat menghayati keberadaannya dan mengalami pengalamannya secara penuh dan utuh, sehingga dapat menggunakan sumber-sumber yang tersedia untuk berubah, bertumbuh, dan berfungsi penuh secara fisik, mental, spiritial, dan sosial. 1 Menurut Holifield, pastoral berkaitan erat dengan jabatan, wewenang, fungsi, dan tugas seorang pastor (yang tertahbiskan). Sedangkan pastoral care (cure of the souls), yang dalam bahasa Indonesia bearti pendampingan pastoral diartikan lebih pada perorangan (praktik umum), artinya dapat dilakukan oleh siapa saja yang ingin melayani sesama yang membutuhkan. 2 Seseorang yang bersifat pastoral (pastoral adalah kata sifat dari pastor) 1 Totok S.Wiryasaputra, Ready to Care, (Yogyakarta : Galang Press, 2006) hal. 57-58 2 Bahan kuliah Teori Pastoral,(Salatiga: 2011), oleh Totok S. Wiryasaputra 1

adalah seseorang yang bersedia merawat, memelihara, melindungi, dan menolong orang lain. Jadi warna khas kristen dari pendampingan digambarkan melalui istilah pastoral. 3 Menilik makna pastoral yang seperti dimaksudkan diatas, maka dapat dikatakan bahwa yang menjadi objek pendampingan adalah manusia, khususnya anggota jemaat dimana pastor atau pelayan melakukan tugas-tugas pastoralnya. Namun dalam perkembangan pemahaman terhadap tugas-tugas gereja, pemaknaan pastoral pun mengalamai perkembangan, sehingga sering disebut bahwa pastoral juga mencakup pelayanan gereja secara khusus, maupun pelayanan di luar gereja, kepada semua manusia. Orang Sabu memiliki sifat mobilitas tinggi. Hal ini mengakibatkan penyebarannya ke seluruh wilayah di Nusa Tenggara Timur cukup menyolok. Daerah yang biasa menjadi tujuan rantauan adalah Ende, Kupang, Sumba, dan beberapa daerah lainnya. Hampir semua orang Sabu yang merantau bertujuan untuk mencari pekerjaan dan sebagianya ada yang tinggal dan menetap selamanya di daerah tersebut. Jenis pekerjaan yang dicari beragam, sesuai dengan latar belakang pendidikan yang mereka punya. Sebagian bekerja sebagai pembantu rumah tangga, penjaga toko, kuli bangunan dan lain-lain. Sedangkan yang telah lama tinggal menetap di daerah tertentu atau yang orang Sabu yang lahir dan besar di luar daerah asal orang tuanya biasanya bekerja sebagai pegawai negeri dan beberapa pekerjaan lain. Suku Sabu memiliki budaya yang unik dan menarik yang tampak dari berbagai seni (yang menonjol adalah seni tari dan tenun) dan upacara-upacara adat, seperti kematian, kelahiran dan lain-lain. Dapat dikatakan, kehidupan orang Sabu berjalan dari upacara satu ke upacara yang lain. Selain yang berkaitan dengan kegiatan musiman, ada upacara yang berkaitan dengan tahap-tahap hidup manusia, mulai dari upacara kelahiran, permandian, 3 Aart Van Beek, Konseling Pastoral, (Semarang: Satya Wacana, 1987), hal. 6 2

sunat, upacara memasah gigi atau gosok gigi, upacara perkawinan, upacara bagi orang sakit sampai upacara kematian. 4 Dari semua rangkaian upacara adat yang ada dalam budaya orang Sabu, penulis lebih tertarik untuk melakukan penelitian tentang upacara kematian. Dalam pandangan orang Sabu, kematian menandai berakhirnya hubungan yang ada dan sekaligus perpisahan menuju ke dunia gaib nun jauh disana. 5 Orang Sabu mengenal dua jenis kematian, yakni made nata (mati manis) dan made haro (mati asin). Jenis kematian itu didasarkan pada cara terjadinya. Kematian wajar dan melewati proses yang berangsur-angsur seperti menderita panyakit, tergolong mati manis. Sebaliknya kematian yang datang secara tiba-tiba dan dianggap belum saatnya tergolong mati asin, misalnya disambar petir, jatuh dari pohon, tenggelam, kena benda tajam dan bunuh diri dan lain lagi. Kedua jenis kematian itu menyebabkan adanya perbedaan upacara yang dilakukan. 6 Dalam upacara kematian orang Sabu, terdapat berbagai tahap yang harus dilakukan. Dalam setiap bagiannya terdapat makna dan artinya masing-masing. Seperti, jika terjadi kematian maka ada salah satu orang yang dituakan dalam keluarga itu, mendendangkan semacam nyanyian ratapan di samping jenazah mulai dari hari pertama meninggal sampai sebelum dimakamkan. Isi dari nyanyian ratapan ini adalah susunan silsilah dari keluarga (silsilah keturunan) orang yang meninggal sampai kepada yang meninggal. Tujuan umumnya adalah agar keluarga, baik keluarga yang tinggal serumah dengan orang yang meninggal maupun yang datang melayat serta teman dan kenalan orang yang meninggal ini mengetahui dari ratapan tersebut ada hubungan keluarga atau tidak. Menurut penulis hal ini mungkin dilakukan untuk tetap menjaga hubungan baik dengan anggota keluarga lainnya walaupun salah satu anggota keluarga ada yang telah meninggal. 4 Nico L. Kana, Dunia Orang Sawu, (Jakarta Timur: Sinar Harapan, 1983), hal. 37 5 Ibid, hal.42 6 Ibid., hal.57 3

Setiap kebudayaan sebenarnya telah memuat berbagai perangkat dan kebijaksanaan budaya (cultural means and wisdom) untuk membantu warganya dalam menghadapi setiap tahap dari siklus perkembangan manusia. Kematiaan dan kedukaan merupakaan bagian integral dari siklus perkembangan kehidupan manusia, maka pastilah setiap perangkat dan kebijaksanaan budaya dapat membantu warganya melewati kematian dan kedukaan. Dengan perangkat dan kebijaksanaan budaya tersebut, paling tidak anggota masyarakat ditolong secara kultural. Orang yang sedang berduka dibantu sedemikian rupa sehingga tidak merasa sendirian dalam melintasi masa-masa sulit. 7 Kematian merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Siapa saja pasti mengalami hal itu, baik tua maupun muda, miskin maupun kaya, ataupun lelaki dan perempuan, semuanya pasti akan mengalaminya. Kematian sering diibaratkan sebagai pencuri di malam hari ataupun sebagai tamu tak diundang, bahkan ada yang mengibaratkan kematian sebagai musuh yang kejam. 8 Oleh karena itu orang yang berduka perlu terus didampingi selama masa berdukanya sehingga ia tidak mudah jatuh dalam keterpurukan. Salah satu bentuk pendampingan yang dilakukan adalah melalui kebudayaan yang dimiliki oleh orang yang berduka tersebut. Orang Sabu masih memegang tradisi ritual kebudayaan mereka dengan kuat. Akan tetapi jika ada orang yang telah tinggal di luar pulau Sabu, ritual yang dilakukan tidak lagi serumit ritual asli yang masih dilakukan oleh orang-orang di pulau Sabu. Bagi orang yang masih melakukan ritual adat tertentu biasanya dikarenakan orang yang meninggal adalah orang sudah tua atau orang yang dituakan sehingga masih sering melakukan hal itu atau ada anggota keluarga yang mengetahui dengan jelas tata cara ritual itu sehingga mereka melakukan hal tersebut. 7 Totok S.Wiryasaputra, Mengapa Berduka, Kreatif mengelola perasaan berduka, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hal. 29 8 Gladys Hunt, Pandangan Kristen tentang Kematian, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987), hal. 2 4

Bagi penulis hal ini menarik untuk diteliti, karena di zaman sekarang ini orang sering memandang adat istiadat sebagai sesuatu yang dianggap kuno dan sudah tidak sesuai lagi dengan zaman sekarang sehingga tidak dapat dipakai lagi, tanpa mencoba menciptakan metode atau model yang baru yang dapat dipakai untuk mewujudkan kepedulian dan pendampingan masyarakat dalam menghadapi krisis, sehingga menimbulkan semacam kekosongan eksistensial. 9 Bagi penulis cara yang paling tepat adalah merevitalisasi adat istiadat tadi dengan mengisi nuasa baru, seperti menambahkan aspek pendampingan dan nuansa keagamaan. Hal tersebut menurut penulis merupakan cara yang tepat, daripada menghilangkan sama sekali adat istiadatnya. Oleh karena itu lewat ritual kematian yang dilakukan ini pastilah membawa dampak bagi keluarga inti yang sedang berduka, bagi keluarga besar serta teman-teman yang datang melayat dan mengikuti proses ini. Sehingga didalamnya pastilah terdapat semacam pendampingan pastoral tidak langsung yang terjadi. Kedukaan tidak hanya bisa dialami oleh individu saja tetapi juga bisa dialami oleh suatu persekutuan yang bisa berduka karena kehilangan anggotanya. Dengan kata lain, baik individu, maupun persekutuan-persekutuan (seperti : keluarga, suku, bangsa) dapat memberikan reaksi dengan suatu sikap tertentu terhadap suatu kehilangan yang penting. 10 Kedukaan ialah respon terhadap kesedihan emosional karena kehilangan yang besar. Kehilangan seseorang atau sesuatu yang sangat berarti akan mengakibatkan kesedihan. 11 Jika hal ini tidak ditangani dengan baik maka akan berpengaruh ke berbagai aspek kehidupan, seperti jasmani, mental, sosial, dan rohani orang yang mengalaminya. Pastilah ritual ataupun upacara apapun yang diadakan pada saat kematian tidak mengakhiri masa berkabung, tetapi bantuan orang-orang lain dalam menyatakan dukacita sangat bermanfaat secara psikologis dan bahwa waktu berkabung benar-benar bisa menolong 9 Totok S.Wiryasaputra, Ready to Care, (Yogyakarta : Galang Press, 2006), hal. 21 10 J.L. Ch. Abineno, Pelayanan Pastoral Kepada Orang Berduka, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), hal.3 11 Creath Davis, Mengatasi Krisis Kehidupan, (Yayasan Kalng Hidup : Bandung, 1995), hal. 189 5

keluarga dalam menghadapi kehilangan yang kritis yang akan mereka rasakan dalam hidup ini. 12 Menurut pendapat penulis, ritual adat yang dilakukan oleh keluarga (dalam hal ini satu keturunan) pastilah membawa dampak bagi orang-orang yang berduka, karena terlihat rasa kepeduliaan dan rasa kekeluargaan yang sangat kental. Hal ini (ritual budaya) tetap perlu dijaga tetapi harus diberi makna baru (baik secara psikologis maupun agama) sehingga hal tersebut dapat digunakan sebagai bentuk pelayanan pastoral bagi yang berduka. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka judul penelitian yang dirumuskan adalah: Ritual Kematian Suku Sabu (Kajian Pendampingan Pastoral Terhadap Ritual Kematian Bagi Orang Sabu) 1. 2. Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan penulis diatas, maka berikut ini ada dua rumusan masalah yang menjadi fokus dalam penelitian ini, yaitu : 1) Bagaimana proses ritual kematian dalam suku sabu? 2) Apa dan bagaimana makna pastoral yang terkandung didalam ritual kematian suku sabu sebagai bentuk pendampingan pastoral tidak langsung? 1. 3. Batasan Masalah Dalam penelitian yang akan penulis lakukan, penulis membatasi penelitian hanya pada bagi orang Sabu yang berada di kota Kupang, tepatnya di wilayah Oebobo, cabang Air atau yang biasa disebut Kampung Sabu. Dalam penelitian ini juga, penulis ingin melihat 12 Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama,(Yogyakarta : Kanisius, 1992), hal. 107 6

Bagaimana ritual kematian orang Sabu? Apa dan Bagaimana makna pastoral yang terkandung didalamnya? 1. 4. Tujuan Penelitian i. Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk merumuskan proses ritual kematian suku Sabu ii. Khusus Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi makna dan fungsi pastoral dalam ritual kematian suku Sabu. 1. 5. Sumbangan Penelitian i. Secara teoritis, diharapkan dapat memberi kontribusi bagi Program Pascasarjana Magister Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana dalam melihat berbagai kebudayaan di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan kematian sebagai bentuk pendampingan ataupun konseling pastoral kedukaan, serta diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi peneliti yang akan melakukan penelitian lebih lanjut. ii. Secara praktis, penelitian ini pun diharapkan dapat memberi kontribusi bagi semua elemen dalam masyarakat, baik manusia yang menjalankan adat istiadat itu sendiri dan gereja sebagai perwakilan Allah di dunia yang menjalankan tugas pastoral dalam melihat adat istiadat dengan kacamata atau cara pandang yang baru. 7

1. 6. Metode Penelitian 1) Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif ini bertujuan untuk memecahkan masalah yang diteliti dengan menggambarkan suatu masalah atau keadaan dalam masyarakat atau kelompok tertentu pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. 13 2) Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode kualitatif secara umum menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata yang tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati. 14 3) Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan di kota Kupang, tepatnya di wilayah Oebobo, cabang Air (Kampung Sabu). 4) Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik yang dipakai untuk mengumpulkan data untuk penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Observasi, yakni teknik pengumpulan data dengan menggunakan pengamatan atau penginderaan langsung terhadap kondisi atau situasi lokasi dan objek penelitian. 15 b. Wawancara, yakni dialog yang dilakukan pewawancara/interviewer untuk memperoleh informasi dari key informan. Key informan dalam penelitian adalah orang yang mengetahui ritual kematian dalam budaya Sabu, yaitu orang Sabu yang 13 Faisal Sanapiah, Format-Format Penelitian Sosial, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 20 14 Lexy Maleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1989), hal.139 15 Faisal Sanapiah, Format-Format Penelitian Sosial., hal.52 8

dituakan (tokoh-tokoh adat) yang tinggal di Kupang, orang Sabu yang pernah melakukan ritual tersebut, pendeta dan majelis. Bentuk wawancara yang dilakukan adalah dengan melakukan wawancara mendalam (in depth interview). Jenis wawancara ini dimaksudkan untuk kepentingan wawancara yang lebih mendalam dengan lebih memfokuskan pada persoalan yang menjadi pokok dari minat penelitian. 16 c. Studi Kepustakaan, yakni teknik pengumpulan data dengan menelaah literaturliteratur yang berkaitan dengan penelitian ini, baik dari perputakaan, artikel, jurnal, bahan-bahan di internet dan lain sebagainya. 1. 7. Kerangka Penulisan Secara garis besar penelitian ini akan disusun dalam lima bab dengan sistematika sebagai berikut : Bab I Pendahuluan Dalam bab ini akan dipaparkan latar belakang, tinjauan pustaka, rumusan dan bataasan masalah, tujuan penelitian, sumbangan penelitian, signifikansi penelitian, metode penelitian, dan kerangka penulisan. Bab II Landasan Teori Bab ini berisikan landasan teori dan konsep yang digunakan sebagai dasar analisa, adalah Pendampingan Pastoral dan kedukaan. Bab III Hasil Penelitian dan Analisa Data Bab ini berisikan pemaparan hasil penelitian yang telah dilakukan serta analisanya. Bab IV Refleksi Teologis 16 Ibid, hal.228 9

Dalam bab ini akan dipaparkan tentang Refleksi teologis penulis terhadap penelitian yang telah dilakukan. Bab V Penutup Bab ini berisikan kesimpulan dan saran terhadap penelitian yang telah dilakukan. 10