BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

SIMULASI PENGARUH SEDIMENTASI DAN KENAIKAN CURAH HUJAN TERHADAP TERJADINYA BENCANA BANJIR. Disusun Oleh: Kelompok 4 Rizka Permatayakti R.

I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I.2 Tujuan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daur Hidrologi

PENDUGAAN DEBIT PUNCAK MENGGUNAKAN MODEL RASIONAL DAN SCS-CN ( SOIL CONSERVATION SERVICE-CURVE NUMBER

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan

PENDAHULUAN. tempat air hujan menjadi aliran permukaan dan menjadi aliran sungai yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Hidrologi

Oleh : PUSPITAHATI,STP,MP Dosen Fakultas Pertanian UNSRI (2002 s/d sekarang) Mahasiswa S3 PascaSarjana UNSRI (2013 s/d...)

1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km 3 : 97,5% adalah air

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aliran Permukaan 2.2. Proses Terjadinya Aliran Permukaan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kawasan perkotaan yang terjadi seiring dengan semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk pada

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F

STUDI PERBANDINGAN ANTARA HIDROGRAF SCS (SOIL CONSERVATION SERVICE) DAN METODE RASIONAL PADA DAS TIKALA

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009,

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

PERSYARATAN JARINGAN DRAINASE

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DAERAH ALIRAN SUNGAI

dasar maupun limpasan, stabilitas aliran dasar sangat ditentukan oleh kualitas

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan

KEMAMPUAN LAHAN UNTUK MENYIMPAN AIR DI KOTA AMBON

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Lokasi Kabupaten Pidie. Gambar 1. Siklus Hidrologi (Sjarief R dan Robert J, 2005 )

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BIOFISIK DAS. LIMPASAN PERMUKAAN dan SUNGAI

Surface Runoff Flow Kuliah -3

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah yang

BAB III LANDASAN TEORI

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak Geografis. Daerah penelitian terletak pada BT dan

BAB I PENDAHULUAN. Gabungan antara karakteristik hujan dan karakteristik daerah aliran sungai

PENDUGAAN EROSI DAN SEDIMENTASI PADA DAS CIDANAU DENGAN MENGGUNAKAN MODEL SIMULASI AGNPS (Agricultural Non Points Source Pollution Model)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hujan atau presipitasi merupakan jatuhnya air dari atmosfer ke permukaan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Universitas Gadjah Mada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Modul 3 ANALISA HIDROLOGI UNTUK PERENCANAAN SALURAN DRAINASE

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS LIMPASAN LANGSUNG MENGGUNAKAN METODE NAKAYASU, SCS, DAN ITB STUDI KASUS SUB DAS PROGO HULU

PENGENDALIAN OVERLAND FLOW SEBAGAI SALAH SATU KOMPONEN PENGELOLAAN DAS. Oleh: Suryana*)

BAB I PENDAHULUAN. secara topografik dibatasi oleh igir-igir pegunungan yang menampung dan

I. PENDAHULUAN. Intervensi manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang makin

MODEL HIDROGRAF BANJIR NRCS CN MODIFIKASI

BAB I PENDAHULUAN. topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan

TINJAUAN PUSTAKA. Gambaran umum Daerah Irigasi Ular Di Kawasan Buluh. Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai pada 18 Desember 2003, semasa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. erosi, tanah atau bagian-bagian tanah pada suatu tempat terkikis dan terangkut

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun

1267, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lem

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih baik. Menurut Bocco et all. (2005) pengelolaan sumber daya alam

PERTEMUAN II SIKLUS HIDROLOGI

ESTIMASI DEBIT PUNCAK BERDASARKAN BEBERAPA METODE PENENTUAN KOEFISIEN LIMPASAN DI SUB DAS KEDUNG GONG, KABUPATEN KULONPROGO, YOGYAKARTA

Balai Penelitian Kehutanan Solo. Jl. A. Yani PO Box 295 Pabelan. Telepon/Fax.: ( ) /

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Aliran Permukaan dan Infiltrasi dalam suatu DAS. pengangkut bagian-bagian tanah. Di dalam bahasa Inggris dikenal kata run-off

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. tersebut relatif tinggi dibandingkan daerah hilir dari DAS Ciliwung.

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR xiii BAB I PENDAHULUAN... 1

TINJAUAN PUSTAKA. Neraca Air

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan

BAB III LANDASAN TEORI. A. Hidrologi

Limpasan (Run Off) adalah.

KONSEP PENGEMBANGAN SUMUR RESAPAN DI KAMPUNG HIJAU KELURAHAN TLOGOMAS KOTA MALANG

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Menurut Triatmodjo (2008), Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya,

BAB III LANDASAN TEORI

Teknik Konservasi Waduk

Manfaat Penelitian. Ruang Lingkup Penelitian

BAB III METODOLOGI 3.1 METODE ANALISIS DAN PENGOLAHAN DATA

MODEL PENANGGULANGAN BANJIR. Oleh: Dede Sugandi*)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Gambaran Umum Daerah Irigasi Ular Kabupaten Serdang Bedagai

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

tidak ditetapkan air bawah tanah, karena permukaan air tanah selalu berubah sesuai dengan musim dan tingkat pemakaian (Sri Harto, 1993).

II. TINJAUAN PUSTAKA. Embung berfungsi sebagai penampung limpasan air hujan/runoff yang terjadi di

Dana Rezky Arisandhy (1), Westi Susi Aysa (2), Ihsan (3) Abstrak

Tujuan: Peserta mengetahui metode estimasi Koefisien Aliran (Tahunan) dalam monev kinerja DAS

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

DocuCom PDF Trial. ANALISIS TINGGI LIMPASAN UNTUK KETERSEDIAAN AIR PADA DAS MANIKIN KOTA/KABUPATEN KUPANG

REKAYASA HIDROLOGI SELASA SABTU

Transkripsi:

3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Siklus Hidrologi Siklus hidrologi (hydrological cycle) merupakan rangkaian proses perubahan fase dan pergerakan air dalam suatu sistem hidrologi (Hendrayanto 2009). Menurut Seyhan (1990) siklus hidrologi merupakan tahapan yang dilalui air dari atmosfer ke bumi dan kembali ke atmosfer. Air yang berada di atmosfer mengalami kondensasi membentuk awan, kemudian menjadi hujan atau disebut presipitasi. Hujan dari atmosfer tidak semuanya akan sampai ke bumi karena ada sebagian akan berkondensasi kembali (virga), sebagian lagi hujan ada yang tertahan oleh permukaan vegetasi pada suatu lahan (intersepsi). Air hujan yang sampai ke permukaan tanah sebagian akan masuk ke dalam tanah (infiltrasi) sebagian lagi akan menjadi aliran permukaan (run off). Air yang masuk ke dalam tanah mengisi air tanah (ground water) mengalir secara perlahan-lahan di dalam tanah kemudian keluar dari tanah di tempat-tempat yang lebih rendah. Air tersebut kemudian mengalami penguapan (evaporasi) dan pada tumbuhan disebut transpirasi. Air yang menguap ini akan menuju ke atmosfer kembali (Hendrayanto 2009). Menurut Sosrodarsono dan Takeda (2006) sebagian air hujan yang sampai ke permukaan tanah akan masuk ke dalam tanah (infiltrasi). Sisanya yang tidak terinfiltrasi akan mengisi permukaan tanah, kemudian mengalir ke daerah-daerah yang rendah, masuk ke sungai-sungai dan akhirnya sampai ke laut. Tidak semua air yang mengalir akan sampai ke laut. Dalam perjalanan ke laut sebagian akan menguap dan kembali ke udara. Sebagian air yang masuk ke dalam tanah keluar melalui sungai (interflow). Tetapi sebagian besar akan tersimpan sebagai air tanah (groundwater) yang akan keluar ke permukaan tanah melalui daerah yang lebih rendah (groundwater run off) sedikit demi sedikit dalam jangka waktu yang lama. 2.2 Sistem Hidrologi Daerah Aliran Sungai Daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu wilayah daratan yang dipisahkan oleh pemisah alam topografi seperti punggungan bukit atau gunung,

4 yang menerima, menampung dan mengalirkan air hujan melalui suatu jaringan sungai utama ke suatu outlet, yaitu laut/danau (Asdak 2002). Menurut Asdak (2002) DAS mempunyai karakteristik yang spesifik dalam hubungannya dengan jenis tanah, tataguna lahan, topografi, kemiringan dan panjang lereng. Karakter DAS tersebut dalam merespon curah hujan yang jatuh di tempat tersebut dapat memberikan pengaruh terhadap besar kecilnya evapotranspirasi, infiltrasi, perkolasi, laju aliran permukaan, aliran permukaan, kandungan air tanah, dan aliran sungai. Suatu DAS dapat dianggap sebagai ekosistem yang saling terkait antara ekosistem alam dengan ekosistem buatan manusia, dimana manusia dengan segala aktivitasnya akan mempengaruhi tanggapan atau respon DAS terhadap input air hujan yang jatuh di dalam DAS. Aktivitas manusia tersebut merupakan manifestasi dari tindakan pengelolaan terhadap sumber daya alam yang ada di dalamnya baik vegetasi, tanah maupun air dalam rangka pengelolaan DAS (Supangat dan Murtiono 2002). Komponen biotik maupun abiotik dalam ekosistem DAS sangat berpengaruh terhadap perubahan siklus hidrologi. Jika ekosistem DAS mengalami perubahan, maka komponen-komponen dalam siklus hidrologi juga akan berubah. Perubahan ekosistem DAS umumnya diakibatkan oleh aktivitas manusia dalam upaya penggunaan lahan yang ada dalam suatu DAS. Bertambahnya jumlah manusia menuntut bertambahnya kebutuhan manusia terhadap lahan. Hal inilah yang menjadi dasar utama terjadinya perubahan penggunaan lahan (Murtiono 2008). Perubahan penggunaan lahan dampaknya akan mulai dirasakan secara bertahap. Perubahan musim kemarau dan musim hujan, khusunya di daerah tropik mengalami defisit dan surplus air. Pada musim kemarau mulai mengalami kekeringan (defisit) dan pada musim hujan mengalami banjir (surplus). Untuk itu perlu dilakukan pengeloaan DAS secara terpadu dalam mengalami permasalahan tersebut, agar sistem hidrologi dalam suatu ekosistem DAS tetap baik (Murtiono 2008).

5 2.3 Periode Ulang Kejadian Hujan Asdak (2002) berpendapat bahwa dalam bidang geomorfologi, kejadian hujan yang sangat besar dapat menjadi penyebab terjadinya tanah longsor dan gerakan tanah lainnya, seperti erosi. Namun pada umumnya kejadian hujan kecil lebih sering terjadi, sehingga pakar geomorfologi lebih tertarik memberi perhatian lebih pada besaran dan frekuensi hujan tertentu disuatu daerah. Menurut Asdak (2002) di daerah tropis curah hujan sangat intensif umumnya berlangsung singkat, sedangkan curah hujan yang berlangsung lama umumnya tidak terlalu deras. Arsyad (2010) berpendapat hujan kecil sering terjadi dan semakin besar hujan, semakin kecil frekuensinya. Frekuensi kejadian hujan adalah jangka waktu rata-rata terjadinya suatu hujan dengan jumlah yang sama atau lebih terhadap suatu besaran tertentu (Arsyad 2010). Konsep periode ulang seharusnya tidak boleh diartikan bahwa suatu kejadian hujan atau banjir besar dengan periode ulang misalnya 20 tahun akan berlangsung setiap 20 tahun, melainkan apabila kejadian terjadi pada tahun ini, maka probabilitas kejadian tersebut akan terulang lagi tahun depan adalah 5% (Asdak 2002). Besarnya periode ulang menunjukkan interval tahun rata-rata berlangsungnya kejadian ekstrem dalam kurun waktu yang sangat panjang (Asdak 2002). Interval kejadian hujan 10 tahun umum digunakan untuk merencanakan pembangunan bangunan yang menggunakan tanah dan vegetasi, sedangkan untuk bangunan permanen digunakan interval yang lebih besar (menggunakan hujan maksimum yang lebih besar) (Arsyad 2010). 2.4 Aliran Permukaan Aliran permukaan (run off) adalah bagian dari air hujan yang mengalir di atas permukaan tanah (Murtiono 2008). Menurut Rahim (2006) air hujan yang menjadi run off sangat bergantung kepada intensitas hujan, penutupan tanah, dan ada tidaknya hujan yang terjadi sebelumnya (kadar air tanah sebelum terjadinya hujan). Kadar air tanah sebelum terjadinya hujan biasa disebut AMC (Antecedent Moisture Content).

6 Jumlah dan kecepatan aliran permukaan selain bergantung kepada luas areal tangkapan, juga yang tidak kalah pentingnya kepada koefisien run off dan intensitas hujan maksimum. Aliran permukaan dengan jumlah dan kecepatan yang besar sering menyebabkan pemindahan atau pengangkutan massa tanah secara besar-besaran. Inilah yang sering diistilahkan dengan banjir. Banjir ini meluapkan sedimentasi depresi alami, saluran-saluran, anak-anak sungai, sungai-sungai, dan selanjutnya waduk-waduk (Rahim 2006). Menurut Arsyad (2010) faktor-faktor yang mempengaruhi aliran permukaan adalah: 1. Curah hujan: jumlah, intensitas, dan distribusi 2. Temperatur 3. Tanah: tipe, jenis substratum, dan topografi 4. Luas daerah aliran 5. Tanaman/tumbuhan penutup tanah 6. Sistem pengelolaan tanah. Faktor-faktor diatas sangat kompleks, sehingga untuk menduga aliran permukaan hanya dapat dihitung dengan pendekatan keadaan sebenarnya. Untuk itu perlu adanya penelitian keadaan setempat, agar prediksi aliran permukaan mendekati keadaan sebenarnya. Sehingga dapat diketahui seberapa besar tingkat keakuratan suatu model dalam menduga aliran permukaan di lapangan (Arsyad 2010). Menurut Rahim (2006) ada dua tujuan dalam mengetahui jumlah dan laju aliran permukaan, yaitu (a) merancang jumlah dan dimensi saluran atau struktur lain untuk menyimpan aliran permukaan, (b) mengetahui besarnya laju aliran permukaan di suatu wilayah yang digunakan sebagai dasar untuk melakukan mitigasi. 2.5 Banjir Banjir dapat diberi batasan sebagai laju aliran permukaan yang menyebabkan aliran sungai melebihi kapasitas saluran-saluran drainase (Lee 1990). Menurut Lee (1990) di bagian hulu yang berhutan tidak banyak dibangun tanggul oleh manusia dan banjir-banjir yang utama sedikit menyebabkan

7 kerusakan. Tetapi di bagian hilir, banjir merupakan bencana alam yang paling merusak. Debit puncak sering terjadi di DAS-DAS yang berhutan dengan presipitasi lebih besar, tanah-tanah lebih dangkal, dan topografi lebih curam (Lee 1990). Sebagian besar banjir dapat dikendalikan dengan menggunakan bangunanbangunan keteknikan, pengelolaan lahan bagian hulu dan vegetasi secara umum. Bendungan (reservoir) pengendali banjir diperkirakan mengurangi kerugian ekonomis sekitar 60% (Holt dan Langbein 1955 dalam Lee 1990). Sedimen-sedimen organik dan anorganik meningkatkan volume banjir, dan apabila mengendap dalam suatu saluran sungai akan mengurangi daya dukung dan meningkatkan kemungkinan banjir melintasi atau melebihi tepi sungai. Pendangkalan waduk-waduk yang disebabkan sedimen tersebut menurunkan kegunaan sebagai pengendalian banjir dan maksud-maksud lainnya (Lee 1990). Umumnya air banjir yang kotor lebih merusak daripada air yang relatif jernih dan sedimen yang ditinggalkan oleh suatu banjir dapat mengakibatkan suatu bagian besar dari kerusakan totalnya (Anderson, Hoover dan Reinhart 1976). Hal tersebut dapat disimpulkan jika penutupan hutan menghambat erosi dan memberikan sumbangan yang berarti terhadap pencegahan kerusakan akibat terjadinya banjir (Lee 1990). Hutan memberikan penutupan terbaik yang mungkin untuk pencegahan kerusakan-kerusakan banjir, khususnya kerusakan-kerusakan yang terjadi sebagai akibat dari erosi dan pendangkalan (sedimentasi). Kegiatan-kegiatan penebangan hutan dengan sistem tebang habis, pembuatan jalan, dan pengelolaan hutan lainnya, bahkan penambangan permukaan, dapat dilakukan tanpa meningkatkan erosi atau aliran-aliran puncak secara substansional, namun seringkali perawatan dan biaya tambahan yang terlibat telah menghalangi penggunaan prosedurprosedur yang dianjurkan. Pencegahan kebakaran hutan, pembatasan-pembatasan penggembalaan, reboisasi lahan yang ditinggalkan dan pengawasan penebangan hutan yang lebih ketat dan lain-lain gangguan DAS merupakan cara-cara dimana pengelolaan hutan dapat memberikan sumbangan kepada pengurangan kerusakan akibat banjir (Lee 1990).

8 2.6 Pendugaan Debit Puncak Sebagian besar DAS yang akan dilakukan perencanaan pengelolaan DAS kurang tersedia data hidrologi yang memadai, untuk itu diperlukan suatu pemodelan hidrologi yang sesuai dengan kondisi biofisik DAS tersebut (Murtiono 2008). Pemodelan hidrologi sudah sejak lama diterapkan (Murtiono 2008). Prediksi debit maksimum (metode rasional) yang berdasarkan pada curah hujan, luas DAS, dan karakteristik DAS telah diperkenalkan pada tahun 1850 oleh Mulvaney (Fleming 1979 dalam Murtiono 2008). Metode rasional dalam menentukan laju puncak aliran permukaan (debit puncak) mempertimbangkan waktu konsentrasi, yaitu waktu yang dibutuhkan air yang mengalir di permukaan tanah dari tempat yang terjauh sampai tempat keluarnya (outlet) di suatu daerah aliran (Arsyad 2010). Persamaan dalam menghitung debit puncak dengan model rasional (United State Soil Conservation Service 1987) adalah sebagai berikut (Asdak 2002; Arsyad 2010): Qp = 0,0028 CiA... (1) yang menyatakan Qp adalah debit puncak untuk suatu hujan dengan interval tertentu, dalam m 3 detik -1, C adalah koefisien aliran permukaan, i adalah intensitas hujan yaitu banyaknya curah hujan per satuan waktu dari hujan maksimum yang diharapkan lamanya hujan yang terjadi sama dengan waktu konsentrasi suatu DAS, dalam mm jam -1, dan A luas suatu DAS dalam hektar. Model rasional seperti yang dikemukakan oleh Larson dan Reich (1973) mengasumsikan, bahwa frekuensi jatuhnya hujan dan aliran permukaan adalah sama. Menurut Rahim (2006) dan Arsyad (2010) model rasional mengasumsikan bahwa waktu konsentrasi DAS sama dengan hujan yang terjadi dengan intensitas yang seragam di seluruh DAS. Menurut Arsyad (2010) dalam model rasional perlu diperhatikan; (a) penetapan interval kejadian hujan yang akan digunakan, (b) luas DAS dan (c) sistem penggunaan lahan, topografi dan sifat-sifat tanah dalam DAS tersebut. Informasi ini diperlukan untuk penetapan koefisien aliran permukaan dan waktu konsentrasi.

9 Koefisien run off (C) didefinisikan sebagai nisbah antara laju puncak aliran permukaan terhadap intensitas hujan. Faktor utama yang mempengaruhi nilai C adalah laju infiltrasi tanah, tanaman penutup tanah, dan intensitas hujan (Arsyad 2010). Menurut Rahim (2006) koefisien merupakan kombinasi dari tiga faktor, yaitu topografi, penggunaan lahan, dan tekstur tanah. Nilai C umumnya sudah diklasifikasikan berdasarkan penelitian-penelitian yang sudah ada. Menurut Volker (1968) dalam Seyhan (1990) koefisien sudah mencakup kehilangan dan keberagaman hujan. Suatu koefisien yang konstan tidak dapat dipergunakan dalam suatu DAS karena karakteristik suatu DAS selalu bersifat dinamis. Koefisien dalam model rasional seperti Bilangan Kurva (Curve Number) dalam model SCS-CN. Perbedaannya, model rasional menggunakan faktor intensitas hujan dalam penentuan nilai koefisien dan model SCS-CN menggunakan kondisi kandungan air tanah sebelumnya biasa disebut AMC yang diketahui dengan akumulasi hujan lima hari terakhir (Arsyad 2010). Menurut Sosrodarsono dan Takeda (2006) pemisahan antara aliran permukaan dan aliran dasar adalah sulit. Namun kesalahan pemisahan dengan cara tersebut tidak terlalu besar, sehingga sebagai pendekatan cara ini umum digunakan. Sebagaimana yang juga juga dikemukaan oleh Gray (1973) dalam Seyhan (1990) bahwa belum ada metode yang tepat dalam memisahkan aliran dasar dan aliran permukaan. Semua teknik pada dasarnya adalah alat-alat analitik untuk memperoleh pembagian yang mendekati. Intensitas hujan (i) adalah banyaknya curah hujan per satuan waktu. Menurut Sosrodarsono dan Takeda (2006) intensitas hujan berbeda-beda karena lamanya hujan atau frekuensinya. Intensitas hujan berbanding lurus dengan debit puncak. Jika intensitas hujan meningkat, maka debit puncak akan meningkat pula. Menurut Rahim (2006) fenomena yang menarik dengan aliran permukaan adalah waktu konsentrasi, lamanya hujan diasumsikan sama dengan waktu konsentasi. Maka persamaan untuk menghitung intensitas hujan adalah (Subarkah 1980 dalam Pramono et al. 2009):...(2)

10 dimana I adalah intensitas hujan dalam mm jam -1, R adalah hujan harian dalam mm dan Tc adalah waktu konsentrasi dalam jam. Asdak (2002) berpendapat bahwa intensitas hujan terbesar dalam suatu DAS ditentukan dengan memperkirakan waktu konsentrasi dalam suatu DAS tersebut, serta intensitas hujan maksimum untuk periode ulang tertentu dan untuk lama waktu hujan sama dengan waktu konsentrasi. Waktu konsentrasi (Tc) suatu daerah aliran adalah waktu yang diperlukan oleh air untuk mengalir dari titik yang paling jauh ke tempat keluar yang ditentukan, setelah tanah menjadi jenuh air dan depresi-depresi kecil terpenuhi (Arsyad 2010). Salah satu metode yang umum untuk menghitung waktu konsentrasi adalah yang dikembangkan oleh Kirpich (1940) dalam Arsyad (2010), sebagai berikut: Tc = 0,0195 L 0,77 S -0,385 g...(3) yang menyatakan Tc adalah waktu konsentrasi dalam menit, L adalah panjang aliran dalam meter dan S g adalah lereng daerah aliran dalam meter per meter atau perbedaan elevasi antara tempat keluar dengan titik terjauh dibagi panjang aliran (Seyhan 1990; Asdak 2002; Rahim 2006). Berdasarkan penelitian Murtiono (2008) pendugaan debit puncak menggunakan model rasional di DAS Keduang dengan luas DAS 35.993 ha terjadi over estimate sebesar 49,96% dibandingkan dengan nilai aktualnya dari hasil pengamatan hidrologi (SPAS). Nilai tersebut didasarkan pada kejadian hujan maksimum 108 mm dan tinggi muka air 3,30 m pada tanggal 20 Desember 2005. Pramono et al. (2009) dalam menerapkan model rasional untuk pendugaan debit puncak di Sub DAS Tapan (161 ha) dan Wuryantoro (1.792 ha) terjadi over estimate, masing-masing sebesar 185% dan 615%. Sedangkan di Sub DAS Ngunut I (596 ha) memberikan hasil yang hampir sesuai dibandingkan dengan hasil pengukuran, yaitu under estimate sebesar 4%. Berdasarkan penelitian tersebut Pramono et al. (2009) menyimpulkan bahwa model rasional memberikan hasil yang paling baik di Sub DAS yang secara umum datar, dimana hujan terjadi lebih merata. Sedangkan di Sub DAS kecil yang memiliki topografi sangat curam, dimana curah hujan terjadi tidak merata di seluruh Sub DAS, hasil pendugaan mengalami penyimpangan yang

11 cukup besar dibandingakan dengan hasil pengukuran di lapangan. Menurut Asdak (2002) kelemahan model rasional tidak dapat menerangkan hubungan curah hujan terhadap debit puncak dalam bentuk hidrograf satuan. Medel (Soil Conservation Service-Curve Number) SCS-CN untuk menentukan debit puncak aliran permukaan dikemukakan oleh Dinas Konservasi Tanah Amerika Serikat (1973) untuk curah hujan yang seragam di suatu DAS. Debit puncak aliran permukaan dengan model SCS-CN menggunakan persamaan (Neitsch 2005; Arsyad 2010): Qp = 0,0021 Q A/Tp...(4) dimana Q adalah volume aliran permukaan dalam mm, Qp adalah laju puncak aliran permukaan dalam m 3 detik -1, A adalah luas DAS dalam hektar dan Tp adalah waktu puncak dalam jam. Menurut Neitsch et al. (2005) model SCS-CN merupakan modifikasi dari model rasional. Menurut Asdak (2002) model SCS dikembangkan berdasarkan hasil pengamatan bertahun-tahun yang melibatkan banyak daerah pertanian di Amerika Serikat. Model ini berlaku untuk daerah dengan luas kurang dari 13 km 2 dengan kemiringan lahan kurang dari 30%. Asdak (2002) beranggapan bahwa medel SCS berusaha mengaitkan karakteristik DAS seperti tanah, vegetasi dan tataguna lahan dengan CN yang menunjukkan potensi volume aliran permukaan untuk curah hujan tertentu. Waktu yang diperlukan untuk mencapai laju puncak aliran permukaan diperoleh berdasarkan persamaan (US-SCS 1973 dalam Arsyad 2010): Tp = D/2 + 0,6 Tc...(5) dimana Tp adalah waktu untuk mencapai puncak aliran dalam jam, D adalah lamanya hujan lebih dalam jam dan Tc adalah waktu konsentrasi dalam jam. Waktu lamanya hujan lebih (D) dapat ditentukan dengan persamaan (Seyhan 1990): R = 380 D 0,5...(6) yang menyatakan R adalah curah hujan (mm) dan D adalah lama hujan dalam jam. Dalam menduga debit puncak, nilai R dalam penelitian ini menggunakan curah hujan harian. Waktu puncak (Tc) ditentukan menggunakan persamaan (3a) dan (3b) yang sudah dijelaskan dalam model rasional.

12 Dinas Konservasi Tanah Amerika Serikat (1973) dalam Arsyad (2010) menyatakan bahwa volume aliran permukaan (Q) tergantung besarnya curah hujan (P) dan volume simpanan yang tersedia untuk menahan air (S). Penahanan (retensi) aktual (F) adalah perbedaan curah hujan dan aliran permukaan. Volume air hujan pada permulaan hujan disebut abstraksi awal (Ia). Abstraksi awal tidak akan menjadi aliran permukaan. Model SCS-CN mengasumsikan hubungan curah hujan dan aliran permukaan sebagai berikut:...(7a) dimana S adalah retensi air maksimum potensial. Retensi aktual, dengan memperhitungkan abstraksi aktual awal, persamaannya: F = (P Ia) Q...(7b) dengan mensubtitusi persamaan (7a) ke dalam persamaan (7b), didapatkan persamaan berikut:...(7c) yang dapat disederhanakan menjadi persamaan:...(7d) Abstraksi awal adalah fungsi penggunaan tanah, perlakuan dan kondisi hidrologi, dan kandungan air tanah sebelumnya. Nilai Ia dapat diduga dengan baik menggunakan persamaan: Ia = 0,2 S...(7e) Faktor yang mempengaruhi Ia akan juga mempengaruhi S. Dengan mensubtitusi persamaan (7d) ke dalam persamaan (7e) didapatkan persamaan menjadi: Q =...(7f) dimana Q adalah volume aliran permukaan (mm), P adalah curah hujan (mm), dan S adalah retensi potensial maksimum (mm). Dari penelitian empirik didapatkan, bahwa S dapat diduga dengan persamaan:

13 S = 254...(7g) yang menyatakan CN adalah bilangan kurva yang nilainya berkisar antara 0 100. Nilai CN dapat dihitung berdasarkan prosedur yang dibuat oleh Mc Cuen (1982) dalam Arsyad (2010) dengan mempertimbangkan jenis tanah yang berkaitan dengan laju infiltrasi tanah, penutupan atau penggunaan lahan dalam suatu DAS dan kandungan air tanah. Volume dan laju aliran permukaan bergantung pada sifat-sifat meteorologi dan daerah aliran sungai serta pendugaan aliran permukaan memerlukan suatu indeks yang mewakili kedua faktor tersebut. Volume curah hujan mungkin merupakan satu-satunya sifat meteorologi yang penting dalam menduga volume aliran permukaan. Tipe tanah, penggunaan tanah, dan kondisi hidrologi penutup adalah sifat-sifat daerah aliran yang mempunyai pengaruh paling penting dalam pendugaan volume aliran permukaan. Kandungan air tanah sebelumnya juga penting dalam mempengaruhi volume aliran permukaan (Arsyad 2010). Klasifikasi kelompok hidrologi tanah model SCS-CN dikelompokkan ke dalam empat kelompok dengan simbol huruf A, B, C dan D. Menurut Mc Cuen (1982) dalam Arsyad (2010) kelompok hidrologi tanah dalam SCS-CN dapat ditentukan di tempat dengan menggunakan salah satu dari ketiga cara, yaitu sifatsifat fisik tanah, peta tanah detail dan laju infiltrasi minimum tanah. Peta tanah detail dan sifat fisik tanah untuk memberikan informasi dan deskripsi lokasi terkait dengan sifat-sifat tanah terhadap air. Laju infiltrasi minimum tanah dan sifat-sifat tanah yang sesuai dengan keempat kelompok oleh Mc Cuen (1982) dalam Arsyad (2010) ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1 Hubungan laju infiltrasi minimum dengan kelompok tanah Kelompok Laju Infiltrasi Hidrologi (mm/jam) Tekstur A 8 12 Pasir dalam, loess dalam, debu yang beragregat B 4-8 Loess dangkal, lempung berpasir C 1-4 Lempung berliat, lempung berpasir dangkal, tanah berkadar bahan organik rendah, dan tanah-tanah berkadar liat tinggi D 0-1 Tanah-tanah yang mengembang secara nyata jika basah, liat berat, plastis, dan tanah-tanah saline tertentu

14 Klasifikasi penggunaan lahan dalam model SCS-CN mempengaruhi besarnya aliran permukaan. Lahan yang berhutan akan menyumbangkan aliran permukaan yang lebih sedikit dibandingkan dengan lahan yang kedap air, seperti pemukiman yang lantainya dilakukan pengerasan. Hal ini akan mempengaruhi tingkat infiltrasi tanah (Arsyad 2010). Menurut Arsyad (2010) klasifikasi kompleks penutup penutup tanah (penggunaan lahan) terdiri tiga faktor yaitu penggunaan tanah, perlakuan atau tindakan yang diberikan dan keadaan hidrologi. Penggunaan lahan untuk pertanian diklasifikasikan berdasarkan keadaan di lapangan, seperti penanaman menurut kontur (pembuatan teras) yang merupakan salah satu tindakan konservasi tanah dan air (KTA). Klasifikasi ini diperlukan karena potensi pengaruh terhadap aliran permukaan. Kandungan air tanah sebelumnya mempengaruhi volume dan laju aliran permukaan. Mengingat pentingnya pengaruh faktor ini maka SCS menyusun tiga kondisi kandungan air tanah sebelumnya. Kondisi kandungan air tanah sebelumnya biasa disebut AMC (Antecedent Moisture Content). Batas besarnya curah hujan dan keadaan tanah untuk ketiga kondisi tersebut ditunjukkan pada Tabel 2 (Mc Cuen 1982 dalam Arsyad 2010). Menurut Arsyad (2010) dalam perencanaan pengelolaan DAS, kandungan air tanah sebelumnya seringkali lebih merupakan ketetapan kebijaksanaan bukan merupakan keadaan tanah setempat sebelumnya. Tabel 2 Kondisi kandungan air tanah dan batas besarnya curah hujan AMC Keterangan Total CH 5 hari Sebelumnya (mm) Musim Dorman Musim Tumbuh Tanah dalam keadaan kering tetapi tidak I sampai ke titik layu, telah pernah ditanam < 13 < 35 dengan hasil memuaskan II Keadaan rata-rata 13 28 35 53 III Hujan lebat atau hujan ringan dan temperatur rendah telah terjadi dalam lima hari terakhir, tanah jenuh air > 28 > 53