BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KLASIFIKASI KELAPA SAWIT Dalam ilmu tumbuhan, tanaman kelapa sawit dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Ordo : Palmales Famili : Palmae Subfamili : Cocoideae Genus : Elaeis Spesies : 1. Elaeis guineensis Jacq (kelapa sawit Afrika) 2. Elaeis oleifera Cortes (kelapa sawit Amerika Latin) 2.2 BIOLOGI KELAPA SAWIT 2.2.1.Bunga Tanaman Kelapa sawit termasuk tanaman yang berumah satu, artinya pada suatu tanaman terdapat bunga jantan dan bunga betina. Pada umumnya, bunga jantan dan bunga betina terdapat dalam dua tandan yang terpisah. Akan tetapi, ada juga bunga jantan dan bunga betina dalam satu tandan. Tanaman kelapa sawit mulai berbunga pada umur 2 tahun. Tandan bunga terletak di ketiak daun. Pertumbuhan bunga sangat di pengaruhi oleh kesuburan tanah. Bunga jantan dan bunga betina tidak dapat matang secara bersamaan. Bunga jantan selalu matang lebih dahulu daripada bunga betina,
sehingga penyerbukan sendiri dalam satu tandan jarang terjadi. Oleh karena itu, pada tanaman terjadi penyerbukan silang. Penyerbukan dilakukan oleh angin atau oleh serangga. Masa reseptif (masa subur) bunga betina adalah 3 x 24 jam, setelah itu putik akan berwarna hitam dan mengering (Indriarta, 2007) 2.2.2 Akar Tanaman kelapa sawit termasuk ke dalam tanaman berbiji satu(monokotil) Yang memiliki akar serabut. Saat awal perkecambahan, akar pertama muncul dari biji yang berkecambah (radikula). Setelah itu, radikula akan mati dan membentuk akar sekunder, tersier dan kuartener. Perakaran kelapa sawit yang telah terbentuk sempurna umumnya memiliki akar primer dengan diameter 5-10 mm,akar sekunder 2 4 mm, akar tersier 1 2 mm, dan akar kuartener 0,1 0,3 mm. Akar yang paling aktif menyerap air dan unsur hara adalah akan tersier dan kuartener yang berada di kedalaman 0 60 cm dengan jarak 2 3 meter dari pangkal pohon (Lubis dan Widanarko, 2011). 2.2.3 Batang Tanaman kelapa sawit termasuk tanaman monokotil, sehingga batangnya tidak berkambium dan umumnya tidak mempunyai cabang. Batang tanaman kelapa sawit tumbuh tegak lurus ke atas, berbentuk silinder dengan diameter antara 25 75 cm dan pada bagian pangkalnya membesar. Pada awal pertumbuhan, batang tanaman kelapa sawit tidak terlihat karena tertutup rapat oleh pelepah daun. Setelah tanaman berumur 4 tahun, batang mulai tumbuh dengan pertumbuhan batang 25 40 cm per tahun. Dalam kondisi lingkungan yang sesuai pertumbuhan batang dapat mencapai 100 cm per tahun (Lubis dan Agus, 2011).
2.2.4 Daun Tanaman kelapa sawit mempunyai susunan daun yang mirip dengan tanaman kelapa yaitu membentuk susunan daun majemuk. Daun kelapa sawit bersirip genap dan bertulang sejajar. Pada pangkal pelepah daun terdapat duri-duri atau bulu-bulu halus sampai kasar. Panjang pelepah daun mencapai kurang lebih 7,5-9 meter. Jumlah anak daun pada tiap pelepah antara 250-400 helai. Setiap bulan, biasanya tanaman kelapa sawit akan tumbuh dua lembar daun. Pertumbuhan daun awal dan daun berikutnya berbentuk sudut 135º. Daun pupus yang keluar melekat dengan daun yang lainnya. Daun muda yang masih kuncup berwarna kuning pucat (Indriarta, 2007). 2.2.5 Buah Setiap bunga betina yang dibuahi oleh serbuk sari akan berkembang menjadi buah-buah yang tersusun dalam tandan. Buah yang terletak disebelah dalam tandan berukuran lebih kecil dengan bentuk yang kurang sempurna apabila dibandingkan dengan buah yang berada diluar tandan. Tanaman kelapa sawit dapat mulai berbuah pada saat berumur 18 bulan setelah tanam (Indriarta, 2007). 2.3 Pengendalian Hayati Menurut Sunarno dalam Anonim, ( 2002), menyatakan bahwa pengendalian hayati adalah pengendalian serangga hama dengan cara biologi, yaitu dengan memanfaatkan musuh-musuh alaminya (agen pengendali biologi), seperti predator, parasit dan patogen. Pengendalian hayati adalah suatu teknik pengelolaan hama dengan sengaja dengan memanfaatkan/memanipulasikan musuh alami untuk kepentingan pengendalian, biasanya pengendalian hayati akan dilakukan perbanyakan musuh alami yang dilakukan di Laboratorium, Sedangkan pengendalian alami merupakan Proses pengendalian yang berjalan sendiri tanpa campur tangan manusia, tidak ada proses perbanyakan musuh
alami. Dari segi kepentingan manusia musuh-musuh alam tersebut dimanfaatkan sebagai pengendali hama agar fluktuasi kepadatan rata-rata populasi hama tanaman selalu rendah. Penggunaan metode pengendalian secara hayati mempunyai cakupan yang cukup luas, meskipun kebanyakan program pengendalian hayati ini masih lebih banyak dititikberatkan pada penggunaan serangga-serangga entomofagus. Meskipun demikian, perkembangan metode ini sebenarnya telah lebih luas dari apa yang mungkin diketahui oleh banyak orang. Agenagen pengendalian hayati kini mencakup penggunaan, selain serangga entomofagus, patogen-patogen, seperti virus, bakteri, jamur, nematoda, dan berbagai jenis vertebrata (Tanakaya and kaya, 1993;Steinhaus, 1964). 2.3.1 Perbedaan predator dan parasitoid Perbedaan predator dan parasitoid menurut (van den Bosch et al; Price, 1984) sebagai berikut : a. Pradator membunuh, memakan atau mengisap mangsanya dengan cepat. b. Parasitoid menyedot energi dan memakan selagi inangnya masih hidup. c. Predator (nimfa dan imago) dapat memangsa semua tingkat perkembangan mangsanya (telor, larva/nimfa, pupa, imago). d. Parasitoid pada tingkat perkembangan tertentu (larva) mungkin hanya memarasit telor, pupa atau imago inangnya. e. Kebanyakan pradator bersifat karnivor baik semasa ia masih belum dewasa maupun sesudah menjadi imago dan memangsa jenis yang sama atau beberapa jenis mangsa. f. Parasitoid hanya memarasit ketika ia masih belum dewasa dan berkembang di dalam atau pada satu inang yang binasa perlahanlahan sampai parasitoid berkembang dengan sempurna. Imago
parasitoid biasanya hidup bebas, memakan madu, kadang-kadang cairan inangnya. g. Seekor predator memerlukan dan memakan banyak mangsa selama hidupnya. h. Seekor parasitoid hanya satu ekor dalam hidupmya, tetapi pada akhirnya mematikan sejumlah besar inang. i. Predator memangsa untuk dirinya sendiri. Parasitoid membunuh atau melumpuhkan inangnya untuk keperluan keturunannya j. Ukuran tubuh predator lebih besar dibandingkan dengan tubuh mangsanya, ukuran tubuh parasitoid lebih kecil dari pada inang. k. Metamorfosis predator ada yang sempurna ada yang tidak sempurna l. Metamorfosi parasitoid sempurna 2.3.2 Keunggulan dan Kelamahan Pengendalian Hayati Menurut Sembel, (2010) keunggulan dan kelemahan pengendalian hayati sebagai berikut: a. KEUNGGULAN PENGENDALIAN HAYATI Bebas dari pengaruh sampingan yang merusak Salah satu keunggulan yang penting dari pengendalian hati ialah bebas dari pengaruh sampingan yang merugikan atau merusak. Memiliki derajat yang tinggi Agen-agen hayati yang digunakan dalam pengendalian hayati biasanya mempunyai derajat spesifitas yang tinggi sehingga langsung menekan target organisme yang dikehendaki. Biaya pengendalian kadang-kadang relatif rendah Biaya penelitian untuk pengendalian hayati memang kdangkadang pada awalnya cukup tinggi karena mungkin harus mencari agen hayati yang tepat di tempat-tempat tertentu.
Tetapi setelah agen hayati ditemukan sudah tepat maka biaya pengendalian akan sangat rendah dan tanpa ada resiko yang berarti dalam proses penanganan di lapangan dan tanpa adanya pengaruh yang merugikan bagi kesehatan manusia atau kemanan manusia dan organisme-organisme lain. Memiliki sifat-sifat yang dapat memperbanyak diri Agen hayati ysng digunakan untuk pengendalian hayati biasanya bersifat memperbanyak diri. Setelah musuh alami tersebut dilepaskan di lapangan makan organisme itu akan berbiak dan berkembang sendiri di lapangan, tanpa adanya pelepasan berulang-ulang sebagaimana dengan cara pengendalian kimia. Pengendalian dapat bersifat permanen Setelah berkembang di lapangan, agen hayati tersebut akan secara permanen menekan populasi hama secara terus-menerus dan akan tetap menjaga keseimbangan hayati dalam ekosistem tersebut. Mudah untuk diterapkan Pengendalian secara hayati kadang-kadang sangat mudah untuk ditetapkan, agen hayati dapat dibeli di tempat-tempat tertentu dan dapat secara langsung dilepaskan dilapangan pada waktu-waktu tertentu dan tanpa membutuhkan keterampilan khusus, terutama setelah diketahui cara penerapan yang tepat. Agen hayati mencari musuhnya Serangga-serangga parasitoid atau predator yang dilepaskan di lapangan dengan aktif akan mencari musuh-musuhnya. b. KELEMAHAN PENGENDALIAN HAYATI Kemampuan agen hayati menekan populasi hama terbatas Kemampuan agen hayati untuk menekan populasi hama kadang-kadang terbatas. Jika populasi hama terlalu tinggi
makan agen hayati yang mempunyai kemampuan reproduktif yang rendah tidak akan dapat mengajar populasi hama. Pencarian agen hayati yang tepat cukup rumit Pencarian agen hayati yang tepat kadang-kadang cukup rumit dan memakan waktu serta penelitian yang lama. Dalam hal ini maka baik dana awal maupun tenaga terampil untuk melaksanakan penelitian. Tidak semua agen biotik dapat dilakukan di laboratorium Terdapat juga banyak jenis agen biotik (parasitoid atau preadator) yang tidak dapat dengan mudah dibiakkan di laboratorium karena sulitnya mendapatkan inang dalam jumlah cukup besar atau karena inangnya sulit diperbanyak di laboratorium. Sukses hanya terbatas pada daerah-daerah dan jenis hama tertentu Ada pendapat yang mengatakan bahwa pengendalian hayati biasanya hanya sukses di tempat-tempat tertentu, yaitu pulaupulau kecil saja. Demikian pula dikatakan bahwa sukses pengendalian hama secara hayati hanya untuk jenis-jenis hama yang menyerang tanaman tahunan telah ditentang oleh DeBach (1964) dan Wilson dan Huffaker (1976). Mereka mengemukakan bahwa telah banyak sukses dalam pengendalian hayati dan sukses ini telah terlihat untuk berbagai jenis hama tanaman dan habitat yang berbeda, baik di pulau maupun di benua. Banyak yang berpendapat bahwa sukses dalam pengendalian hayati telah dicapai di banyak negara dan sukses tersebut berhubungan langsung dengan usaha penelitian yang telat diberikan dan bukan karena jenis hama, tanaman ataupun iklim. Pengendalian hayati memerlukan waktu yang lama
Metode pengendalian hayati tidak dapat digunakan sebagai suatu cara pengendalian secara langsung yang dapat membunuh hama dalam waktu singkat, seperti halnya dengan penggunaan insektisida yang dapat seketika membunuh hama. Penerapan cara pengendalian hayati membutuhkan tenaga yang terampil. Ada jeni-jenis musuh alami yang memang sulit untuk ditangani dan membutuhkan keterampilan khusus dalam penanganannya. 2.4 BIOLOGI SYCANUS SP Kingdom : Animalia Divisio : Arthopoda Class : Insecta Ordo : Hemiptera Famili : Reduvidae Genus : Sycanus Spesies : Sycanus annulicornis Dohrn 2.5 Siklus hidup Sycanus annulicornis Dohrn. Telur (15-19 hari) Nimfa (75,9 atau 76 hari) Imago (5-6 hari sampai kematian) 2.5.1 TELUR Gambar 2.1 Siklus Hidup S. annulicornis (Sahid dkk, 2016) Sycanus annulicornis meletakkan telurnya yang berwarna coklat secara berkelompok yang direkatkan satu sama lain secara vertikal hingga kelapisan bawah. Imago betina S.annulicornis dapat meletakkan 1-4
kelompok telur dalam sekali siklus hidupnya. Satu kelompok telur terdiri dari 40 telur. Telur-telur yang fertil berubah warna menjadi coklat gelap dan diselimuti oleh selaput yang berwarna putih kekuningan, sedangkan telur yang tidak fertil menjadi mengkerut setelah beberapa hari. Periode inkubasi kelompok telur 15-19 hari. Persentase telur yang menetas dari setiap kelompok telur adalah 18,77% (Sahid dkk, 2016). 2.5.2 NIMFA Nimfa mengalami 5 instar. Nimfa yang baru menetas masih lemah dan berwarna jingga polos. Nimfa yang baru menetas biasanya berkumpul di sekitar kelompok tidur dan memakan sisa-sisa telur yang belum menetas. Setelah 2 hari, nimfa akan menyebar dan bergerak dengan cepat untuk menemukan mangsanya. Gambar 2.2 (A) Nimfa instar 1 yang baru menetas, dan (B) Nimfa instar 1 yang telah menyebar Sumber: Sahid dkk,2016 Rata-rata jumlah nimfa instar 1 yang menetas dari 1 kelompok telur (fertilitasi) adalah sebanyak 18,4 ekor (Sahid dkk, 2016). Data pertumbuhan (panjang dan berat tubuh) dan perkembangan setiap tahap nimfa disajikan dalam tabel 2.1. Nimfa Periode Panjang Berat (hari) (mm) (mg) Instar 1 16,6 17 0,98 Instar 2 15,1 48 2,07 Instar 3 12,0 73 13,25
Instar 4 12,4 113 35,61 TInstar 5 a 19,8 154 89,36 beltabel 2.1 Rata-rata periode perkembangan,ukuran dan berat nimfa S.annulicornis Gambar 2.3 Proses pergantian kulit dari nimfa instar 3 ke instar 4 Sumber: (Sahid dkk,2016) Mortalitas nimfa hanya terjadi pada instar ke-1 dan ke-2 dengan presentase berturut-turut sebesar 6,5 % dan 1,6%. Nimfa instar ke 2 dan ke-3 dan ke-4 berwarna orange dengan abdomen berwarna coklat kehitaman. Nimfa instar ke-5 yang berwarna kuning orange kecoklatan dengan abdomen berwarna hitam (Sahid dkk, 2016). Gambar 2.4 Nimfa S. annulicornis instar 1 hingga instar 5 Sumber: Sahid dkk, 2016 LAMANYA PROSES PERGANTIAN KULIT INI BERLANGSUNG SEKITAR 15-25 MENIT. PADA WAKTU PERGANTIAN KULIT, NIMFA TIDAK AKTIF BERGERAK DAN SANGAT LEMAH. SELAMA PROSES INI, NIMFA KADANG-KADANG DAPAT MENJADI MANGSA BAGI NIMFA LAINNYA KETIKA MANGSANYA TIDAK TERSEDIA. NAMUN BEBERAPA SAAT
SETELAH PROSES TERSEBUT, NIMFA DAPAT BERGERAK DENGAN CEPAT (SAHID DKK, 2016). 2.5.3 IMAGO Nimfa Instar ke-5 yang baru ganti kulit menjadi imago berwarna kuning jingga bagian toraks dan abdomen, dengan sayap transparan dan tungkat berwarna putih (Gambar A). Setelah 3 jam kemudian, warnanya berubah menjadi hitam pada bagian toraks, abdomen dan tungkai, sedangkan sayapnya berwarna jingga kecoklatan (Gambar B). Gambar 2.5 A. S. annulicornis yang baru berganti kulit menjadi dewasa B. S. annulicornis dewasa setelah 4 jam berganti kulit Sumber: Sahid dkk, 2016 Lama hidup imago betina yang diamati mulai dari proses ganti kulit nimfa instar ke 5 menjadi imago hingga kematiaannya adalah 6 hari, sedangkan imago jantan adalah 5 hari. Imago betina dapat dibedakan dari imago jantan dengan melihat abdomen imago. Ujung abdomen imago jantan telihat mendatar, sedangkan ujung abdomen imago betina meruncing (Sahid dkk, 2016).
Gambar 2.6 (A).Kelamin imago jantan,(b) kelamin imago betina Sumber: Sahid dkk, 2016 Rasio jenis kelamin jantan : betina adalah 3:4. Imago betina memiliki ukuran dan berat tubuh yang lebih besar dari pada jantan. Siklus hidup imago S. annulicornis betina dan jantan, berturut-turut adalah 7 dan 8 hari (Sahid, 2016). Tabel 2.2 Perbedaan imago jantan dan betina Jantan Betina Lama Hidup imago(hari) 5 hari 6 hari Berat imago (mg) 12,25 27,99 Panjag tubuh (mm) 7 10 Sumber: Sahid dkk, 2016 2.5.4 Perilaku Kawin Setelah 6-10 hari ganti kulit terakhir, imago jantan dan betina digabungkan agar berkopulasi untuk bereproduksi menghasilkan generasi berikutnya. Menurut Sahid dkk (2016), urutan perilaku kawin yang diamati pada S. annulicornis, yaitu : munculnya gairah (arousal), Pendekatan (approach), posisi jantan diatas betina (rading over), kopulasi, dan pasca kopulasi. 2.5.4.1 Gairah dan Pendekatan Perilaku kawin diawali memandang ke alat kelamin lawan jenisnya. Betina yang masih virgin digairahkan dengan cepat
sebelah jantan memandang alat kelaminnya. Jantan yang masih virgin mendekati betina dengan memanjangkan antena dan rostrumnya. Respon pendekatan terjadi setelah jantan menyentuh betina dengan antenanya dan meletakkan kaki depan diatas betina. Waktu yang diperlukan untuk memunculkan gairah hingga proses mendekati adalah 3,4 menit. 2.5.4.2 Posisi jantan dan betina Jantan memegang betina dengan kakinya dan menekan bagian thoraks anterior betina dengan ujung labialnya. Jantan naik ke tubuh dalam posisi dorsoventral. Pada spesies ini, waktu yang diperlukan untuk perilaku ini sangat singkat, yaitu hanya 2,7 detik. 2.5.4.3 Kopulasi Setelah posisi jantan naik ke tubuh betina, jantan memanjangkan alat kelaminnya hingga terkoneksi dengan alat kelamin betina. Selama kopulasi sepasang serangga ini tidak melakukan pergerakan. Lama berlangsungnya kopulasi adalah 3,2 menit. Akhir kopulasi dicirikan oleh terkulainya antena jantan dan betina ke bawah, yang diikuti oleh pemisahan pasangan kawin. Keberhasilan kopulasi dibuktikan dengan ejeksi kapsul spermatofor setelah akhir kopulasi. 2.5.4.4 Pasca Kopulasi Pasca kopulasi, betina mulai berjalan dengan posisi jantan masih di atas tubuh betina. Perilaku ini berlangsung cukup lama yaitu, 188,3 menit. Pasca kopulasi tidak ada perilaku kanibalisme yang terjadi (Sahid, 2016)
Gambar 2.7 (A). Posisi jantan naik ke tubuh betina (riding over) (B). Kopulasi Sumber: Sahid dkk, 2016 2.6 Taksonomi Larva Tenebrio molitor Kingdom : Animalia Phylum : Arthropoda Class : Insecta Order : Coleoptera Family : Tenebrionidae Genus : Tenebrio Spesies : Tenebrio molitor 2.6.1 SIKLUS HIDUP TENEBRIO MOLITOR Gambar 2.8 Siklus Hidup T. Molitor Sumber: OmKicau.com
Siklus hidup ulat hongkong umumnya berlangsung selama 6 bulan 2.6.3 KANDUNGAN DALAM TUBUH LARVA Menurut OmKicau.com Kandungan dalam larva Tenebrio molitor Sebagai berikut: Protein kasar 46% Lemak kasar 42% Kandungan Abu 7% Kandungan ekstrak non-nitrogen 10% Kadar air 55%