BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kondisi Matahari mengalami perubahan secara periodik dalam skala waktu pendek dan skala waktu panjang (misalnya siklus Matahari 11 tahunan). Aktivitas dari Matahari pada kondisi tersebut dapat menimbulkan perubahan kondisi lingkungan antariksa dan ruang antara Matahari dan Bumi yang dapat berdampak pula terhadap lingkungan Bumi. Hal ini mendorong penulis untuk melakukan penelitian tentang pengaruh badai Matahari terhadap lapisan ionosfer Bumi dan mempelajari lebih dalam mengenai aktivitas Matahari. Salah satu ciri aktivitas Matahari ditandai dengan munculnya bintik Matahari. Bintik Matahari muncul di permukaan Matahari dapat memicu timbulnya ledakan Matahari. Ledakan ini dapat berupa flare maupun lontaran massa korona (Coronal Mass Ejection/CME). Peristiwa CME dan flare besar dapat memicu peningkatan angin Matahari/angin surya dan radiasi gelombang elektromagnet yang terpancar dari Matahari. Jika ini terjadi, cuaca antariksa akan berubah drastis sehingga mempengaruhi kondisi atmosfer dan kemagnetan planet-planet di tata surya, termasuk Bumi. Peristiwa ini yang disebut sebagai badai Matahari. Badai Matahari merupakan fenomena yang sering terjadi pada saat aktivitas Matahari mencapai 1
2 puncak, atau dapat terjadi pula ketika kondisi daerah aktif di permukaan Matahari memungkinkan untuk terjadinya badai. CME yang terdiri dari plasma dan medan magnet Matahari menuju ke Bumi dengan kelajuan berkisar antara 50 km/detik sampai 2.000 km/detik dapat menimbulkan tekanan pada magnetosfer Bumi hingga mengakibatkan badai magnet dan gangguan di lapisan ionosfer di ketinggian 60 km sampai 6.000 km. Pada saat terjadi CME, lapisan magnetosfer Bumi mengalami gangguan, antara lain berupa badai geomagnet dan peristiwa presipitasi partikel energi tinggi, peristiwa badai radiasi dan semburan radiasi elektromagnet (Cuaca Antariksa). Pengamatan terhadap aktivitas Matahari khususnya CME menunjukkan keduanya berkaitan juga dengan badai ionosfer. Ionosfer dapat mengalami pengaruh positif dan negatif sebagai respon terhadap badai geomagnet. Pengaruh pada ionosfer ini dapat ditelusuri dengan pengamatan fof2. Secara umum telah dipahami bahwa penyebab badai ionosfer negatif pada lintang tinggi dan menengah adalah karena penurunan perbandingan konsentrasi [O]/[N 2 ] dalam daerah yang mengalami gangguan selama badai geomagnet (Namgaladze, dalam Kesumaningrum, 2009). Aktivitas geomagnet diakibatkan oleh interaksi CME dengan magnetosfer, karena terjadi alih energi dan alih massa. Kelajuan CME memegang peranan penting yang membuat aktivitas geomagnet menjadi dinamis. Aktivitas akan mengalami peningkatan, bahkan berkembang menjadi badai magnet, apabila gangguan dari CME cukup signifikan.
3 Peristiwa CME dapat merusak jaringan listrik, mengganggu komunikasi, dan menyebabkan sejumlah alat penerima GPS (Global Position System) menjadi tidak akurat (tidak bekerja). Misalnya CME pada bulan Oktober dan November tahun 2003, yang dikenal sebagai badai Halloween, mengakibatkan kegagalan komunikasi radio, dan rusaknya jaringan listrik di Swedia (Lang, dalam Clara, 2009). Menurut Wijayanto (2009: 50-52) pada bulan Oktober 2003 tidak hanya satelit GPS saja yang rusak, tapi juga satelit komunikasi publik, sebagaimana dikemukakannya bahwa : Hal ini pernah terjadi beberapa tahun silam, tepatnya pada bulan Oktober 2003. Ketika itu tidak hanya satelit GPS saja yang rusak, tapi juga satelit komunikasi publik. Namun, yang paling berbahaya adalah bila distribusi listrik terganggu. Pada 28-30 Oktober 2003, hampir seluruh pembangkit listrik di dunia di nonaktifkan untuk sementara. Apabila listrik tidak dimatikan, maka akan terjadi kerusakan pada pembangkit-pembangkit listrik disetiap negara. Hal ini disebabkan karena terjadinya ketidakstabilan medan magnet Bumi. Dari pengamatan lapisan ionosfer di Tanjungsari, Sumedang, diketahui terjadi penurunan kerapatan elektron secara drastis di lapisan tersebut. Bahkan, begitu rendahnya kerapatan elektron di lapisan ionosfer itu membuat peralatan ionosonda IPS-71 tidak mampu merekam keberadaan lapisan tersebut. Keadaan seperti itu disebut blackout dan dalam dunia komunikasi radio ditandai dengan putusnya komunikasi secara tiba-tiba dalam waktu cukup lama. Hal ini terlihat dari hasil
4 pengamatan sinyal gelombang pendek yang dipancarkan dari kota Songkla (Thailand bagian selatan) dan diterima di Tanjungsari. Pada 30 Oktober 2003, komunikasi Songkla-Tanjungsari putus sampai dua kali. Pertama, blackout selama sekitar empat jam terjadi antara pukul 02.36 wib sampai pukul 06.36 wib, dan yang kedua kalinya berlangsung selama lima jam mulai pukul 08.36 wib sampai 13.36 wib. Di antara kejadian blackout pertama dengan yang kedua, sinyal radio masih dapat dieterima di Tanjungsari, namun sangat lemah. Pemantauan sinyal gelombang radio RRI Jakarta pada frekuensi 9,680 Mhz dan ABC Australia pada frekuensi 21,680 MHz juga mengalami gangguan pada hari itu. Bahkan, siaran RRI Jakarta, yang secara rutin dipantau sekitar pukul 9.00 WIB, pada hari itu tidak bisa dipantau. Siaran ABC yang dipantau setiap hari pukul 11.00-11.30 WIB, penerimaannya sangat buruk dan tidak seperti hari-hari sebelumnya masih dapat dipantau, tanggal 31 Oktober 2003 sama sekali tidak dapat dipantau (Wijayanto, 2009) Dampak yang lain adalah meningkatnya ketinggian lapisan ionosfer beberapa saat sebelum blackout, tanggal 30 Oktober 2003, ketinggian lapian ionosfer di atas Tanjungsari cenderung mencapai lebih dari 700 km dari permukaan Bumi. Ketinggian lapisan ionosfer normal biasanya hanya sekitar 300-500 km. Ketinggian abnormal ini juga masih terjadi pada tanggal 31 Oktober 2003. Kenaikan ketinggian lapisan ionosfer secara drastis ini juga akan menyebabkan putusnya komunikasi radio. Keadaan yang tidak normal ini juga akan berdampak
5 pada satelit orbit rendah (LEO). Selain itu, terdeteksi juga adanya kemungkinan ganguan terhadap sinyal satelit pada tengah malam tanggal 30 Oktober 2003 sampai dengan dini hari tanggal 31 Oktober 2003 selama lebih dari 6 jam. Adapun alasan mengapa permasalahan tersebut perlu diangkat, karena kajian mengenai keterkaitan badai geomagnet dengan badai ionosfer dapat menjadi sebuah bahan kajian keilmuan lebih lanjut. Dengan mengetahui kondisi yang disebabkan oleh CME di Bumi, dapat menjadi peringatan dini bagi sistem komunikasi landas Bumi. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan penelitian dirumuskan mengenai keterkaitan badai geomagnet dengan badai ionosfer yang dipicu oleh peristiwa CME. Rumusan masalah tersebut, dapat difokuskan dengan beberapa poin pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pengaruh CME terhadap badai geomagnet dan badai ionosfer? 2. Bagaimanakah keterkaitan antara peristiwa badai geomagnet dengan badai ionosfer?
6 C. Batasan Masalah Batasan masalah pada penelitian ini adalah: 1. Data yang akan dianalisis adalah data kelajuan CME, data peristiwa badai geomagnet berupa nilai indeks Dst (disturbance storm time), dan data frekuensi kritis lapisan ionosfer yang berupa data nilai fof2, dalam rentang waktu Oktober November 2003. 2. Analisis keterkaitan antara badai geomagnet dan badai ionosfer yang dimaksud adalah faktor korelasi grafik antara indeks Dst dengan frekuensi kritis lapisan F2. D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Menentukan pengaruh dari aktivitas Matahari, khususnya CME, terhadap Bumi yang salah satunya ditandai oleh peristiwa badai geomagnet pada bulan Oktober dan November 2003. b. Menentukan keterkaitan peristiwa badai geomagnet dengan badai ionosfer pada bulan Okotober dan November 2003. 2. Manfaat Penelitian a. Memberikan informasi mengenai keterkaitan badai geomagnet dengan badai ionosfer sebagai dampak adanya aktivitas Matahari berupa CME.
7 b. Dapat digunakan untuk kegiatan penelitian lebih lanjut, khususnya pada kajian mengenai sistem peringatan dini komunikasi landas Bumi berbasis satelit. E. Metode Penelitian Penelitian ini menerapkan metode deskripsi analitik dan menganalisis data sekunder yang diperoleh dari hasil akuisisi data yang dilakukan oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dan hasil unduhan dari situs-situs resmi lembaga penelitian astronomi. Data yang diperlukan untuk melakukan penelitian ini berupa data CME, badai geomagnet, dan badai ionosfer. Dalam penelitian ini digunakan data kelajuan CME yang merupakan sumber kejadian badai geomagnet. Selanjutnya akan dibandingkan data badai geomagnet dengan badai ionosfer sehingga dapat diketahui keterkaitan antara badai geomagnet dengan badai ionosfer. F. Tempat Penelitian Lokasi Penelitian ini dilakukan di LAPAN yang berlokasi di Jalan DR. Djunjunan 133 Bandung, Jawa Barat. Penelititan di LAPAN dilakukan setiap 1 2 hari setiap pekannya.