Vol.4/No.1 Januari - Maret 2015 ISSN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Vol.4/No.1 Januari - Maret 2015 ISSN"

Transkripsi

1 Vol.4/No.1 ISSN

2 Diterbitkan oleh Pusat Sains Antariksa (Pussainsa) LAPAN Pelindung Kepala LAPAN Deputi Bidang Sains, Pengkajian dan Informasi Kedirgantaraan Penanggung Jawab Kepala Pusat Sains Antariksa Redaktur Anwar Santoso, M.Si. Editor Fitri Nuraeni, M.Si. Drs. Jiyo, M.Si Kontributor Drs. A. Gunawan Admiranto Dr. Buldan Muslim R. Kesumaningrum, M.Si Rizal Suryana Visca Wellyanita Sri Ekawati Siti Maryam Santi Sulistiani, S.Si. Setyanto Cahyo P. Cucu Eman H. Annis Siradj Mardiani,A.Md Varuliantor Dear, S.T. Irvan Fajar Syidik, S.T. Neneng Destiani Penata Letak Endah Oktaviani, S.Ds. Sekretariat Jaja Sudrajat Sudirman Sujana Alamat Jl. Dr. Djundjunan No.133 Bandung Telepon: (022) / Fax: (022) / HP: Untuk pemesanan Buletin Cuaca Antariksa Kirim faks permohonan langganan Buletin Cuaca Antariksa ke : (022) Perbandingan Interaksi Matahari - Bumi dengan Interaksi Matahari dengan Planet lain 7 Penentuan Profil Kerapatan Elektron Ionosfer menggunakan Teknik Okultasi GPS 9 Sistem Pengamatan Geomagnet di Balai Produksi dan Pengujian Roket (BPPR) Pameungpeuk 12 Informasi Ionosfer dari Jaringan International GNSS Service (Bagian- 5) 13 Sistem Informasi Siaga Cuaca Antariksa 15 Manajemen Data Sains Antariksa (BCA) Vol. 4 No. 1 edisi Januari-Maret 2015 ini telah hadir di hadapan Anda. Dalam kesempatan ini, Redaksi mengucapkan Selamat Natal 2014 dan Selamat Menyongsong Tahun Baru Dalam rangka menyongsong tahun baru, kami hadir dengan semangat baru dalam memberikan berbagai informasi cuaca antariksa dan dampaknya di lingkungan bumi kepada para pembaca yang budiman. Dampak dan pengaruh cuaca antariksa terhadap aktivitas kehidupan di Bumi, masih menjadi pembahasan menarik dalam edisi Buletin Cuaca Antariksa kali ini. Dengan semburan energi dan partikel-partikelnya, matahari mampu menciptakan kondisi yang tidak menentu dan berdampak buruk bagi teknologi modern. Pada edisi ini dipaparkan review kondisi cuaca antariksa 3 bulan yang sudah berlalu dan estimasi 3 bulan yang akan datang. Pusat Sains Antariksa, yang memiliki kompetensi dan tugas di bidang sains antariksa tentu harus menjawab tantangan untuk melakukan mitigasi terhadap dampak cuaca antariksa yang m e r u g i k a n. P e n e l i t i a n d a n pengembangan dilakukan di bidang matahari, lingkungan antariksa, geomagnet dan magnet antariksa, serta ionosfer dan telekomunikasi, dengan didukung oleh bidang teknologi pengamatan yang terintegrasi dalam program cuaca antariksa. Pemantauan Cuaca Antariksa daftar isi 17 Aktivitas Matahari 18 Aktivitas Geomagnet 20 Koneksitas Jaringan ALE- Lapan dan Indeks T Regional 22 Review Cuaca Antariksa 24 Profil LPD Sumedang 26 Warta Lapan 27 Kalender Astronomi : Jan. - Maret Teka Teki Silang Berhadiah ISSN cuaca antariksa dilakukan oleh Pusat Sains Antariksa LAPAN sejak tahun Pemantauan dilakukan secara terus menerus dan terintegrasi untuk menghasilkan informasi cuaca antariksa dalam suatu sistem yang diberi nama Sistem Pemantauan dan Informasi Cuaca A n t a r i k s a ( S P I C A ) y a n g t e l a h diluncurkan pada tanggal 27 Januari 2014 dan diresmikan oleh Kepala LAPAN. Beberapa artikel lain seperti Perbandingan Interaksi Matahari-Bumi Dengan Matahari-Planet Lain, Penentuan Profil Kerapatan Elektron Ionosfer Menggunakan Teknik Okultasi GPS, Informasi Ionosfer Dari Jaringan International Gnss Service, Sistem Pengamatan Geomagnet di Balai Produksi dan Pengujian Roket Pameungpeuk, Manajemen Data Sains Antariksa, Aktivitas Cuaca Antariksa dan Sistem Informasi Siaga Cuaca Antariksa. Beberapa agenda fenomena antariksa dapat dilihat pada Kalender Astronomi serta beberapa kejadian yang berasal dari langit dapat dilihat pada Galeri Antariksa. Semua informasi tersebut dikemas dengan gaya bahasa ilmiah populer sehingga Pembaca bisa mudah memahami f e n o m e n a c u a c a a n t a r i k s a d a n dampaknya. Akhir kata, selamat membaca semoga mendapat pencerahan dan pengayaan pengetahuan. Salam Bandung, Desember 2014 Redaksi

3 Perbandingan Interaksi Matahari-Bumi dengan Interaksi Matahari dengan Planet Lain Oleh : A. Gunawan Admiranto Bidang Matahari dan Antariksa Sebagai pusat tata surya, matahari memberikan pengaruh yang cukup besar bagi seluruh anggota tata surya. Pancaran partikel dan radiasi y a n g d a t a n g d a r i m a t a h a r i menghasilkan dampak berbedabeda bagi setiap planet anggota tata surya ini, tergantung pada kondisi sik planet dan atmosfernya, terutama medan magnetnya. Artikel ini mencoba meninjau dampak pancaran radiasi partikel dan gelombang elektromagnetik yang datang dari matahari terhadap planet-planet anggota tata surya dan akan dibandingkan dengan yang terjadi di bumi. Di sini akan ditunjukkan bagaimana radiasi matahari itu memberikan dampak yang bermacam-macam pada masing-masing planet, dan hal ini akan dilihat dalam kaitannya dengan yang berlangsung di bumi dalam rangka Angin surya Secara terus-menerus matahari melemparkan materinya dalam bentuk partikel-partikel bermuatan ke ruang angkasa dan aliran ini diberi nama angin surya. Setiap detiknya matahari kehilangan massa satu juta ton yang dibawa oleh angin surya ini. Kecepatan angin surya tidak selalu tetap, saat matahari aktif kecepatan akan lebih tinggi dibandingkan dengan saat matahari tidak aktif, dan kecepatannya saat mencapai daerah di dekat bumi adalah sekitar 400 km/detik. Ekor komet menjadi bukti dari adanya pancaran angin surya yang datang dari matahari. Terlihat bahwa komet ini memiliki ekor seperti layang-layang yang tertiup angin, dan memiliki dua ekor, yaitu ekor debu yang berwarna putih dan ekor ion yang berwarna biru seperti pada gambar 1. Ekor debu muncul karena tumbukan komet dengan partikelpartikel di ruang antar planet, sedangkan ekor ion muncul karena tumbukan komet dengan partikelpartikel angin surya. Bila jauh dari matahari ekor komet akan pendek sekali, atau tidak ada, sedangkan saat berada di dekat matahari ekornya menjadi sangat panjang. A n g i n s u r y a i t u s e n d i r i merupakan pancaran partikelpartikel energi tinggi yang terdiri atas proton, netron, dan elektron dan bergerak dengan kecepatan km/detik. Tekanan termal yang tinggi di korona matahari mengatasi gaya gravitasi dan mengakibatkan pengembangan korona. Kemudian karena ada perbedaan tekanan yang sangat tinggi antara tekanan angin surya dan tekanan di daerah ruang antar bintang (mencapai 10 orde magnitudo) terjadilah angin surya ini. Angin surya terbagi menjadi dua komponen, yaitu komponen lambat dan komponen cepat. Angin surya lambat memiliki kecepatan sekitar 400 km/detik dengan temperatur s e k i t a r 1, 4-1, 6 x K d a n komposisi yang mirip dengan komposisi korona matahari. Angin surya cepat memiliki kecepatan sekitar 750 km/detik dengan komposisi yang mirip dengan Gambar 1 : Dua ekor komet yang muncul ketika komet bergerak mendekati matahari. Yang berwarna biru adalah ekor ion akibat hembusan angin surya, dan yang berwarna putih adalah ekor debu akibat tumbukan komet dengan partikel-partikel yang terdapat di ruang antar planet. (Sumber Gambar : tripod.com/ gcseastronomy/comets.html) 3

4 komposisi fotosfer matahari. Angin surya lambat memiliki kerapatan yang lebih besar daripada angin surya cepat dan variasi kerapatannya lebih besar. Angin surya lambat berasal dari daerah yang terletak di daerah ekuator matahari yang dikenal dengan nama streamer belt. Sedangkan angin surya cepat datang dari daerah-daerah lubang korona yang merupakan daerah dengan garis-garis gaya medan magnet terbuka yang kemudian bisa menghasilkan streamer. Karena kecepatannya cukup tinggi maka angin surya ini kemudian bisa bergerak cukup jauh di ruang antar planet dan bisa mencapai bumi. Angin surya ini terbawa oleh garis-garis gaya medan magnet matahari yang menjulur ke luar, dan karena matahari ini berputar maka aliran angin surya ini akan berputar juga sehingga pola pancaran angin surya akan mirip dengan alat penyiram halaman rumput yang berputar. Selain itu, karena sumbu medan magnet matahari tidak berimpit dengan sumbu rotasinya, maka pancaran angin surya ini tidak berada pada satu bidang dan menghasilkan sebuah efek yang disebut efek rok balerina seperti yang disajikan pada gambar 2, dan akibatnya kadang-kadang orbit bumi berada di bawah dan kadangkadang di atas pancaran angin surya ini. Seperti sudah diuraikan di atas, secara terus menerus matahari memancarkan partikel-partikel ke angkasa luar dalam bentuk angin surya, seperti yang disajikan pada gambar 3. Angin surya yang sampai ke bumi berinteraksi dengan medan magnet bumi sehingga medan ini berbentuk seperti komet dan disebut magnetosfer. Bentuk seperti komet ini terjadi karena hembusan angin surya pada bagian yang menghadap m a t a h a r i ( b a g i a n s i a n g ) m e m a m p a t k a n m a g n e t o s f e r sehingga magnetosfer ini hanya ada sampai pada jarak 10 jari-jari bumi ( km). Sebaliknya pada b a g i a n y a n g m e m b e l a k a n g i matahari (bagian malam) magnetosfer ini meluas sampai pada jarak 1000 jari-jari bumi ( km). Magnetosfer bumi merupakan perisai bumi terhadap pancaran partikel-partikel dari matahari yang bisa membahayakan kehidupan makhluk di bumi. Partikel-partikel yang datang ke arah bumi ditangkap oleh magnetosfer bumi dan terkungkung dalam medan ini. Daerah tempat terkungkungnya partikel-partikel oleh medan magnet bumi dinamakan sabuk radiasi van Allen, mengikuti nama seorang peneliti dari Amerika Serikat yang banyak melakukan penelitian tentang magnetosfer bumi. Bila di matahari terjadi peristiwa pelontaran massa korona, berarti berlangsunglah peningkatan pancaran partikel-partikel energi tinggi dari angkasa matahari yang dipancarkan dalam bentuk angin surya. Bila partikel-partikel ini sampai di bumi akan berinteraksi dengan magnetosfer bumi dan menimbulkan peristiwa badai medan magnet bumi dan aurora. Skema magnetosfer bumi dapat dilihat pada gambar 4. Aurora adalah lengkungan lembaran cahaya berwarna-warni yang selalu bergerak-gerak di langit, seperti yang disajikan pada gambar 5. Peristiwa ini sudah lama diamati manusia, dan sudah banyak juga orang yang berusaha menjelaskan apa sebenarnya aurora ini. Aristoteles pada abad ke empat sebelum Masehi menyebut aurora Gambar 2 : Efek rok balerina pada pancaran angin surya. Pada satu ketika orbit bumi bisa berada di bawah aliran angin surya, tetapi pada kesempatan lain berada di atas pancaran angin surya ini. (Sumber : wiki/solar_wind) Gambar 3 : Gambaran skematis interaksi radiasi dan pancaran partikel dari matahari dengan medan magnet bumi Gambar 4 : Skema magnetosfer bumi 4

5 sebagai "chasmata", atau letusan yang terjadi di langit. Seorang ahli matematika sekaligus juga astronom dari Prancis yang bernama P. Gassendi pada awal abad 17 menyebutnya aurora borealis atau cahaya utara karena ia mengira bahwa peristiwa ini hanya terjadi di belahan bumi utara saja. Ternyata aurora tidak hanya terdapat di utara saja, sebab seorang penjelajah bangsa Inggris bernama James Cook mengamati peristiwa ini yang berlangsung di belahan langit selatan. Ia lalu menamakannya aurora australis atau cahaya selatan. Sekarang sudah diketahui bahwa aurora adalah peristiwa yang terjadi di atmosfer bumi, yang terjadi pada ketinggian antara 100 sampai 1000 km dari permukaan bumi. Tetapi mengapa aurora tidak pernah diamati di daerah ekuator? Suatu partikel bermuatan yang bergerak dalam medan magnet akan sulit sekali untuk bisa menembus garis-garis gaya medan magnet itu. Partikel ini hanya bisa bergerak searah garis gaya medan magnet yang bersangkutan. Garis-garis gaya medan magnet bumi berawal di kutub-kutub bumi sehingga partikel-partikel bermuatan yang jatuh di daerah kutub akan bergerak searah garis gaya medan. Akibatnya partikel-partikel ini akan mudah masuk ke dalam atmosfer bumi. Meskipun demikian, yang menghasilkan aurora dan badai medan magnet bumi bukanlah partikel-partikel dari peristiwa pelontaran massa korona itu sendiri, melainkan dari arus listrik yang dihasilkan oleh partikel-partikel itu saat memasuki magnetosfer bumi. D a l a m h a l i n i, p a r a a h l i mendapatkan bahwa peristiwa badai medan magnet bumi dan aurora akan terjadi jika arah medan magnet yang dibawa oleh pelontaran massa korona ini adalah ke selatan. Medan m a g n e t y a n g t e r b a w a o l e h p e l o n t a r a n m a s s a k o r o n a menyambung dengan medan magnet bumi yang menghadap matahari (bagian siang) dan melalui garis-garis gaya medan magnet inilah energi magnet dihantarkan ke dalam magnetosfer. Sebagian dari partikel-partikel ini mengikuti arah medan magnet dan sebagian lagi masuk ke lapisan i o n o s f e r. A t o m - a t o m d a n molekul-molekul nitrogen dan oksigen yang banyak terdapat di atmosfer mengalami ionisasi. Di sini molekul-molekul udara terbakar dan dipancarkanlah cahaya dengan warna-warna tertentu sesuai dengan jenis atom/molekul yang mengalami ionisasi. Dalam arah barat timur panjang aurora bisa mencapai ribuan kilometer, tetapi dalam arah utara selatan tebalnya tidak sampai satu kilometer sehingga memberikan penampakan seperti tirai. Bentuk aurora yang tidak selalu tetap (seperti tirai yang bergerak-gerak) bukan disebabkan oleh aliran atmosfer, tetapi akibat adanya perubahan medan magnet pada daerah tempat aurora terbentuk. Hal ini persis seperti pada tabung sinar k a t o d a d i p e s a w a t t e l e v i s i. Perubahan medan magnet yang dialami elektron setelah elektron ditembakkan memberikan gambar yang terus bergerak waktu kita lihat di layar kaca. Dalam hal aurora, layar k a c a n y a a d a l a h u d a r a, d a n elektron-elektronnya adalah partikel yang masuk menembus udara. Peristiwa interaksi antara partikel-partikel yang datang dari matahari dengan planet-planet anggota tata surya tidak terbatas pada bumi saja. Planet-planet lain seperti Merkurius, Venus, Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, dan Neptunus juga mengalami interaksi semacam ini secara berbeda dengan yang dialami bumi, tergantung pada kondisi sik dan proses-proses yang berlangsung di permukaan dan atmosfer planet tersebut. Gambar 5 : Aurora yang muncul setelah terjadinya flare Hari Bastille pada tanggal 14 Juli

6 1. Merkurius Planet ini adalah planet yang terdekat jaraknya dari matahari. Oleh sebab itu, proses yang diminan yang berlangsung di atmosfernya adalah angin surya. Selain itu, kedekatannya dengan matahari membuat magnetosfer Merkurius sangat didominasi medan magnet matahari, meskipun bagian inti Merkurius yang berupa logam berukuran cukup besar relatif terhadap ukuran planet tersebut secara keseluruhan. Pengukuran kuat medan magnet Merkurius yang dilakukan oleh wahana ruang angkasa Mariner 10 menunjukkan bahwa kuat medan magnet Merkurius ini hanya 1,1% kuat medan magnet Bumi. Ini karena inti Merkurius sudah memadat dan dingin sehingga tidak p l a n e t i n i t i d a k b i s a l a g i membangkitkan medan magnet yang cukup kuat. Selain itu, hal lain yang cukup berperan adalah bahwa Merkurius memiliki laju rotasi yang lambat yang membuatnya semakin tidak bisa membangkitkan medan magnet yang kuat, sekuat bumi. 2. Venus Planet ini adalah planet yang agak unik karena diselubungi awan yang sangat tebal sehingga permukaannya tidak bisa diamati menggunakan teleskop. Venus tidak memiliki medan magnet yang dibangkitkan oleh oleh intinya yang disebabkan oleh rotasinya yang lembat (satu hari Venus sama dengan 243 hari bumi) dan tiadanya konveksi di daerah selubung Venus. Oleh sebab itu, medan magnet yang ada di planet ini merupakan medan magnet yang muncul akibat induksi antara medan magnet ruang antar planet yang dibawa oleh angin surya dengan ionion yang terdapat atmosfer atas Venus ini. Akibatnya magnetosfer yang ditimbulkannya tidak sebesar dan semeluas magnetosfer bumi. 3. Mars Mars adalah sebuah planet yang kecil dan kering. Selain itu, di Mars atmosfernya sangat tipis sehingga tidak ada efek rumah kaca yang bisa menghangatkan permukaan planet ini. Mars juga tidak memiliki vulkanisme seperti yang berlangsung di bumi sekarang ini. Mars yang seperti sekarang ini disebabkan oleh ukurannya yang kecil yang membuat proses pemadatan dan pendinginannya menjadi lebih cepat sehingga bagian inti yang tersusun dari besi dan nikel tidak bisa berada dalam keadaan cair yang memungkinkannya menjadi penghantar listrik. Oleh sebab itu, planet ini tidak lagi memiliki medan magnet, dan menurut para ahli medan magnet Mars sudah lenyap 4 miliar tahun yang lalu. Tiadanya medan magnet Mars membuatnya angin surya yang datang dari matahari berinteraksi d e n g a n i o n o s f e r M a r s d a n membentuk magnetosfer dengan cara seperti yang berlangsung di Venus. Hal ini mengakibatkan magnetosfer Mars menjadi sangat kecil bisa dibandingkan dengan Bumi. 6 Sumber Gambar :

7 Penentuan Profil Kerapatan Elektron Ionosfer Menggunakan Teknik Okultasi Gps Oleh : Buldan Muslim Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi Indonesia yang sebagian besar berupa lautan membutuhkan teknik pengukuran pro l kerapatan elektron di atas Indonesia untuk melengkapi ionosonda yang tidak dapat menjangkau seluruh wiayah Indonesia. Salah satu metode penentua pro l kerapatan elektron adalah menggunakan teknik okultasi GPS. Okultasi adalah peristiwa tertutupnya benda langit oleh benda lain yang terletak antara pengamatan dan benda langit tersebut. Salah satu contoh peristiwa okultasi adalah ketika terjadi gerhana matahari. Matahari tertutup sementara oleh adanya bulan yang terletak di antara bumi dan matahari. Okultasi pada peristiwa gerhana matahari adalah tertutupnya cahaya dalam panjang gelombang tampak yang dapat dilihat oleh mata manusia. Okultasi saat gerhana matahari akan berakhir jika posisi bulan sudah tidak segaris dengan matahari dan bumi. Istilah okultasi saat ini sudah meluas sampai pada okultasi radio dari sinyal satelit. Okultasi radio terjadi pada gelombang radio yang dipancarkan dari satelit pada saat lintasannya melalui ionosfer dan atmosfer. Adanya atmosfer dan ionosfer yang terletak antara satelit d a n p e n e r i m a s i n y a l a k a n menghalangi sinyal radio yang diterima di receiver yang terletak dalam satu garis lurus antara satelit dan penerima sinyal radio. Sinyal radio justru akan diterima di lokasi yang tidak segaris dengan arah propagasi sinyal satelit karena adanya pembiasan sinyal radio oleh ionosfer. Jika okultasi benda angkasa tergantung pada ukuran benda langit, maka pada okultasi sinyal radio oleh atmosfer dan ionosfer tergantung pada karakteristik atmosfer dan ionosfer. Oleh karena itu, teknik okultasi berkembang menjadi teknik penginderaan jauh karena dengan diketahuinya efek propagasi sinyal radio ketika melalui atmosfer dan ionosfer, maka kerapatan lapisan-lapisan tersebut dapat diestimasi Efek atmosfer pada okultasi sinyal satelit Global Positioning System (GPS) tergantung pada kerapatan, temperatur, tekanan, dan kelembaban atmosfer. Efek ionosfer pada okultasi sinyal satelit GPS tergantung pada kerapatan ionosfer dan frekuensi yang digunakan. Gambar 1 : Pengamatan ionosfer dengan teknik okultasi GPS ( 7

8 Salah satu data GPS yang dapat digunakan untuk penentuan kerapatan elektron ionosfer menggunakan teknik okultasi adalah data GPS yang diterima di satelit orbit rendah (satelit LEO) yang terletak sekitar km dari bumi kita. Elizabeth Essex dari Latrobe University menjelaskan bahwa teknik okultasi GPS dengan satelit orbit rendah FEDSAT1 dapat digunakan untuk mengamati lapisan-lapisan ionosfer bagian bawah (bottomside ionosphere) dan ionosfer bagian atas (topside ionosphere) serta plasmaphere, seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Ketika melewati ionosfer, sinyal G P S m e n g a l a m i p e r u b a h a n kecepatan, dan pembelokan arah sinyal. Perubahan kecepatan propagasi sinyal GPS terjadi dalam bentuk percepatan untuk kecepatan fase gelombang pembawa dan perlambatan untuk kecepatan grup gelombang yang dibawa oleh sinyal GPS. Perubahan kecepatan sinyal GPS ketika melalui ionosfer tergantung pada frekuensi yang digunakan sehingga memungkinkan untuk mendapatkan jumlah total elektron yang dilalui oleh sinyal GPS dari satelit sampai receiver yang biasa disingkat dengan Slant Total Electron Content (STEC). Fernandez menerangkan dalam disertasi Doktornya yang berjudul Contributions to the 3D ionospheric sounding with GPS data pada tahun 2004 bahwa penentuan kerapatan elektron ionosfer dapat dilakukan berdasarkan 2 tipe data. Pertama, pembelokan arah propagasi yang diukur dari sudut bending dan yang kedua dari data STEC. Untuk cara kedua diasumsikan bahwa sudut bending di ionosfer relatif kecil sehingga bisa diabaikan. Dengan cara ini lintasan sinyal dari satelit GPS ke penerima di satelit orbit rendah dapat dianggap lurus sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2. D a r i d a t a S T E C y a n g ditentukan dari data GPS yang diterima di satelit LEO, data posisi satelit LEO yang dihitung dari data GPS di satelit LEO, dan data satelit GPS yang dihitung dari data n a v i g a s i G P S m a k a d a p a t ditentukan kerapatan elektron pada ketinggian p dari pusat bumi menggunakan teknik inversi Abel. Krankowski seorang peneliti dari Polandia dalam makalahnya yang berjudul Ionospheric electron density o b s e r v e d b y F O R M O S A T- 3/COSMIC over the European region and validated by ionosonda data yang terbit di Journal of Geodesy edisi Mei 2011 telah membandingkan hasil estimasi kerapatan elektron dari teknik okultasi dengan hasil pengamatan ionosonda di tiga stasiun seperti ditunjukkan pada Gambar 3 di bawah ini. Krankowski juga menyimpulkan bahwa validasi keandalan dari pengamatan ionosfer dengan okultasi GPS menggunaan satelit Constellation Observing System for Meteorology, Ionosphere and Climate (COSMIC) adalah pekerjaan berat yang membutuhkan analisis dan statistik generalisasi dari sejumlah besar data. Namun dari validasi dengan sejumlah ionosonda terlihat bahwa teknik ini sudah tampak s a n g a t m e n j a n j i k a n u n t u k menyediakan pro l yang akurat dari kerapatan elektron ionosfer dengan resolusi vertikal tinggi pada skala global. Gambar 2 : Geometri lintasan sinyal GPS dengan mengabaikan sudut bending (Fernandez, 2004) Gambar 3 : Perbandingan profil kerapatan elektron yang diestimasi dengan teknik okultasi GPS dengan pengamatan ionosonda. 8

9 Dari pro l kerapatan elektron, parameter kerapatan maksimum lapisan F2 (NmF2) dapat diturunkan, sehingga parameter frekuensi kritis lapisan F2 (fof2) dapat diperoleh. Berdasarkan hasil penelitian oleh Xinan Yue dari University Corporation for Atmospheric Research, di Boulder, yang telah diterbitkan di Proceedings of the 16th International Technical Meeting of the ION Satellite Division pada tahun 2013, diketahui bahwa akurasi estimasi NmF2 rata-rata sekitar 15 % untuk daerah lintang rendah dan tengah serta tinggi. Validasi fof2 dari teknik okultasi GPS di satelit COSMIC dengan pengamatan ionosonda menunjukkan bahwa korelasi antara kedua pengamatan sekitar 0,9 dan kesalahannya sekitar 0,6 MHz. Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut kita ketahui bahwa untuk wilayah Indonesia teknik okultasi GPS tidak hanya sangat menjanjikan tetapi lebih dari itu akan menghasilkan pengamatan ionosfer dengan resolusi spasial yang tinggi yang tidak mungkin diperoleh hanya dengan beberapa ionosonda. Selain itu, data fof2 COSMIC yang diturunkan berdasarkan teknik okultasi GPS dapat digunakan untuk validasi model fof2 yang telah dikembangkan Lapan seperti model sederhana ionosfer lintang rendah Indonesia (MSILRI) dan model ionosfer lainnya. SISTEM PENGAMATAN GEOMAGNET DI PAMEUNGPEUK Oleh : Cucu Eman Haryanto dan Setyanto C. Pranoto Bidang Geomagnet dan Magnet Antariksa Pemantauan terhadap aktivitas geomagnet di Lapan dilakukan dalam rangka penelitian cuaca antariksa. Untuk mendukung penelitian tersebut maka dioperasikan magnetometer di beberapa tempat di Indonesia, salah satu diantaranya di Balai Produksi dan Pengujian Roket (BPPR) Pameungpeuk. Pengamatan aktivitas geomagnet di BPPR Pameungpeuk telah dilakukan sejak Januari 2013 hingga saat ini dengan lokasi pengamatan berada di koordinat Lat : S 07 38,968 dan Long: E , A d a p u n instrumen yang digunakan di s t a s i u n i n i a d a l a h magnetometer MAGSON. Magnetometer ini melakukan perekaman tiga komponen medan magnet bumi yaitu: komponen H (arah utaraselatan), komponen D (arah timur-barat), dan komponen Z (arah vertikal) dengan sampling data tiap detik. Selain untuk mengetahui variabilitas medan magnet permukaan pengukuran, medan magnet ini juga digunakan untuk menganalisis pulsa magnet seperti Pi2, Pc1 Pc2 Pc3 dan Pc5 (setelah melalui tahapan pengolahan data) serta penelitian yang berkaitan dengan interaksi medan magnet Bumi dengan Matahari, Ionosfer dan lingkungan antariksa. Fluxgate Magnetometer Magson Magnetometer MAGSON merupakan sebuah alat ukur d i g i t a l b e r t i p e fl u x g a t e magnetometer yang memiliki presisi tinggi dan rendah noise seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Selain dilengkapi dengan sensor medan magnet yang ringan dan berukuran kecil bertipe ring core, instrumen ini juga memiliki beberapa t u r y a n g t e r i n t e g r a s i diantaranya: dapat digunakan untuk multi sensor, memiliki koneksi jaringan TCP / IP dan penerima GPS. Instalasi Peralatan Untuk mengetahui lokasi penempatan magnetometer dengan noise lingkungan yang rendah maka dilakukan pengukuran di lokasi yang t e l a h d i r e n c a n a k a n. Pengukuran dilakukan dengan dua cara yaitu dengan stasioner 9

10 untuk melihat variasi medan magnetnya dan kedua dilakukan dengan mobile untuk kemudian dilakukan pembuatan plot peta anomali medan magnet di lokasi tersebut. Gambar 2 menunjukkan lokasi magnetometer dimana pengukuran dilakukan pada 44 lokasi. Lingkaran yang terdapat pada gambar tersebut menunjukan titik pengukuran dengan jarak antaa tiap lokasi sejauh 5 meter. Pada Gambar 1 tersebut kontur dengan warna biru m e r u p a k a n d a e r a h d e n g a n gangguan medan magnet yang rendah dan merupakan area yang baik untuk penempatan sensor. I n s t a l a s i m a g n e t o m e t e r MAGSON di BPPR Pameungpeuk telah dilakukan pada bulan Januari 2013, namun pada bulan Juni 2013 sensornya mengalami kerusakan akibat terendam air rembesan. Pada saat itu sensor disimpan dalam rumah sensor berupa lubang sedalam kurang lebih 1 meter. Pada instalasi kedua dilakukan beberapa perubahan diantaranya; (1) mengubah ketinggian dudukan sensor dan, (2) mengubah ukuran penutup rumah sensor menjadi sedikit lebih tipis dari sebelumnya. Tabel 1 : Fitur MAGSON - Digital Fluxgate Magnetometer No Fitur No Fitur Pengukuran 3 atau 6 komponen medan magnet (rentang pengukuran ± nt) Pengukuran elektronik dan suhu sensor Pengukuran kemiringan (2 sumbu masing-masing sensor)-opsional. Pengukuran sudut rotary encoder- Opsional. Kontrol magnetometer dan output data melalui layar sentuh, layanan jaringan dan antarmuka serial. H a l i n i d i l a k u k a n u n t u k memudahkan perawatan, terutama pada saat proses kalibrasi sensor. Ilustrasi dari perubahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 3. Instalasi Magson juga meliputi instalasi perangkat lunak yang berfungsi untuk mengirimkan secara realtime data medan magnet dari stasiun Pameungpeuk ke server data di Bandung melalui internet via GPRS. Blok diagram Sistem Pengamat Geomagnet dan Transfer Data di stasiun Pameungpeuk ditunjukan pada Gambar 4. Sistem Kontrol magnetometer dan output data melalui layar sentuh, layanan jaringan dan antarmuka serial. Perekaman data pada SD Card dengan tingkat sampling yang berbeda (ASCII atau format data biner) : 1 Hz, 10 Hz dan 50 Hz Akses data dan perekaman data dilakukan secara simultan Sinkronisasi waktu dan penentuan posisi dengan penerima GPS Kontrol suhu - Opsional akuisisi MAGSON menyimpan data medan magnet ke dalam compact- ash. Perangkat lunak yang diinstal pada embedded PC mengunduh data tersebut melalui FTP dan selanjutnya dikirimkan ke server di Bandung melalui jaringan i n t e r n e t. D a n G a m b a r 5 m e n u n j u k a n K o m p o n e n pengamat medan magnet dan t r a n s f e r d a t a d i B P P R Pameungpeuk. Panel atas bagian kiri menunjukan sensor beserta rumah sensor dalam keadaan terbuka, panel atas bagian kanan menunjukan data y x G a m b a r 1 : T i t i k l o k a s i magnetometer untuk menentukan anomali medan magnet Gambar 2 : titik penempatan magnetometer untuk mengetahui lokasi anomali medan magnet lokal di BPPR Pamengpeuk. 10

11 loger beserta rumahnya. Sensor dan data loger dihubungkan oleh kabel yang panjangnya 20 meter. Sumber listrik untuk sensor dan data loger diperoleh dari baterai 60A dengan tegangan 12V. Charging baterai tersebut menggunakan panel surya yang ditunjukan pada panel bawah bagian kiri. Sedangkan panel bawah b a g i a n k a n a n m e n u n j u k a n embedded PC yang dilengkapi oleh sistem transfer data. Embeded PC dan data loger dihubungkan melalui switch hub dengan menggunakan kabel LAN. Panjang kabel dari data loger ke switch hub adalah 50 meter sedangkan dari embedded PC adalah 1 meter. Variasi Data Medan Magnet Di BPPR Pameungpeuk Gambar 6 menunjukkan variasi harian komponen H, D, dan Z hasil pengamatan tanggal 1 Mei 2013, serta di erensiasinya. Dilihat dari gra k tersebut diketahui nilai di erensiasinya kurang dari 0,8 nt yang menggambarkan bahwa data pengamatan di BPPR Pameungpeuk memiliki level noise yang relatif rendah sehingga dapat digunakan untuk penelititan geomagnet dan cuaca antariksa. Gambar 3 : Perubahan Konstruksi Rumah sensor. Gambar 4 : Blok diagram sistem pengamatan geomagnet Pameungpeuk. Gambar 5 : Komponen pengamat medan magnet dan transfer data di Pameungpeuk (a) (b) Gambar 6 : variasi harian medan magnet bumi (a), dan differensiasinya (b) hasil pengamatan di BPPR Pameungpeuk 1 Mei

12 Informasi Ionosfer dari Jaringan International GNSS Service Bagian (5) Oleh : Sri Ekawati Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi Informasi yang cukup penting dari hasil pengolahan data jaringan International GNSS Service (IGS) bagian (5) atau bagian terakhir ini adalah data lintang dan bujur. Dari data tersebut kita dapat mengetahui dimana tepatnya pengukuran ionosfer tersebut bila diproyeksikan diatas permukaan bumi. Seperti yang telah dibahas pada bagian (3) dan (4), data hasil pengolahan menjadi le *.CMN dengan format ASCII pada kolom 6 adalah Lintang (IPP, Ionospheric Pierce Point) dan pada kolom 7 adalah bujur (IPP). Apakah IPP itu? dan seberapa pentingkah informasi tersebut? Ionospheric Pierce Point (IPP) Titik potong ionosfer atau IPP adalah titik perpotongan antara garis lurus, yang menghubungkan penerima ke satelit GNSS/GPS, dengan garis lurus dari titik pusat bumi ke titik ionosfer 350 km dari permukaan bumi. Gambar-1 menunjukkan ilustrasi konsep IPP. J a r a k p e n e r i m a k e s a t e l i t GNSS/GPS adalah sekitar Gambar-1. Ilustrasi konsep Ionospheric Pierce Point (IPP) Tabel 1 : Contoh data posisi koordinat pengukuran ionosfer tanggal 10 April 2014 Julian Date Waktu PRN Azimut Elevasi Lintang Bujur STEC VTEC S Gambar-2. Variasi TEC terhadap waktu dan Lintang kilometer dan titik temu ionosfer di sekitar 350 kilometer. Gambar-1 merupakan ilustrasi saja dan bukan gambaran sebenarnya karena perbandingan jarak antara penerima GNSS/GPS ke titik IPP dengan j a r a k p e n e r i m a k e s a t e l i t GNSS/GPS mencapai 1 : 63. Pemilihan ketinggian ionosfer di titik ~350 km diatas permukaan bumi telah dijelaskan di artikel bagian (3). Dengan konsep ini maka Latitude (Lintang Selatan) Index S4 terhadap Posisi Koordinat Pengukuran Longitude (Bujur Timur) Gambar-3 Variasi Indeks S4 terhadap posisi koordinat pengukuran 12

13 p e n e n t u a n l o k a s i t e m p a t pengukuran ionosfer tersebut dapat diketahui. Bahkan dengan adanya koordinat posisi diatas permukaan bumi, pemetaan ionosfer, baik itu pemetaan sintilasi ataupun Total Electron Content (TEC), dapat dengan mudah dilakukan. Posisi koordinat pengukuran ionosfer File *.CMN berformat ASCII yang diperoleh dari jaringan IGS (telah dijelaskan pada bagian (3) dan (4)) menyediakan informasi koordinat (lintang dan bujur) pengukuran ionosfer seperti yang ditunjukkan Tabel-1. Ada 32 satelit (PRN) yang berputar melewati penerima GNSS/GPS di bumi secara bergantian sehingga pada suatu waktu terdapat 4 11 sinyal Sistem Informasi Siaga Cuaca Antariksa Oleh : Siti Maryam Bidang Teknologi Pengamatan C u a c a a n t a r i k s a a d a l a h perubahan kondisi di matahari dan antariksa. Untuk memudahkan pemahaman, istilah dalam cuaca antariksa dianalogikan dengan cuaca di bumi. Bila di bumi ada angin, maka di antariksa ada angin surya. Bila di bumi ada badai, maka di antariksa ada badai matahari, badai geomagnet, dan badai ionosfer. Bila di bumi ada hujan, maka di antariksa juga ada istilah hujan meteor. Tidak seperti cuaca di permukaan yang dampaknya bisa langsung dirasakan oleh manusia dan makhluk hidup lainnya yang ada di permukaan bumi, maka dampak cuaca antariksa satelit yang diterima oleh suatu penerima GNSS/GPS. Tabel-1 merupakan contoh data posisi dari konsep IPP yang telah dibahas sebelumnya. Sebagai ilustrasi contoh pada kasus satelit PRN 14 memiliki posisi dengan sudut elevasi 30,16 dan sudut azimuth 45,42 dan dengan konsep IPP dapat di - proyeksikan ke permukaan bumi di koordinat LS dan 110,26 BT. Variasi TEC terhadap waktu dan lintang G a m b a r - 2 m e n u n j u k k a n perubahan nilai TEC terhadap waktu dan lintang. Pada bagian ini akan dibahas TEC terhadap posisi lintang karena pembahasan TEC terhadap waktu telah dijelaskan pada bagian (1), (3) dan (4). Nilai TEC tinggi terlihat setiap puncak-puncak terhadap kehidupan manusia lebih pada sistem atau teknologi yang dikembangkan untuk membantu kehidupan manusia, seperti satelit navigasi dan komunikasi, jaringan listrik dan komunikasi radio. Hal paling penting dalam mitigasi dampak cuaca antariksa adalah lengkapnya informasi tentang kondisi cuaca antariksa pada w a k t u t e r t e n t u. Un t u k i t u diperlukan dukungan berbagai peralatan yang akan menghasilkan informasi kondisi matahari, geomagnet, dan ionosfer. Dari situs SWPC (Space Weather Prediction Center, noaa.gov), sistem informasi siaga cuaca antariksa (Space Weather Alerts) bisa dijadikan acuan untuk melengkapi informasi kondisi cuaca antariksa (Gambar 1). Situs ini mampu memberikan informasi yang bisa dipelajari dan difahami pengukuran berwarna hijau berada di daerah sekitar -5 LS. Nilai TEC rendah terlihat berwarna biru yaitu berada di daerah -14 LS. Informasi posisi tersebut dapat menjelaskan area/titik distribusi dengan kerapatan elektron yang tinggi atapun rendah. G a m b a r - 3 m e n u n j u k k a n cakupan pengukuran ionosfer oleh satelit GNSS/GPS. Selain itu, pada gambar tersebut juga diberikan i n f o r m a s i m e n g e n a i l o k a s i terjadinya fenomena sintilasi ionosfer sedang (0,25<S4 0,5) dan kuat (0,5<S4 1). Apa itu sintilasi ionosfer telah dibahas dibagian (2). Sintilasi sedang pada Gambar-3 berada di sebelah barat laut dan barat daya dari titik penerima GNSS/ GPS. pengguna. Sistus ini menyajikan informasi kondisi cuaca antariksa dengan dukungan basis data yang lengkap dan mutakhir. Informasi mitigasi disajikan dalam format gra k dan narasi dan dimuat pada halaman situs web. Informasi mitigasi terdiri dari peristiwa X-ray Flux, semburan matahari (Radio Events), Geomagnetic Sudden Impulse, Geomagnetic K-index, Electron Flux, Proton 10MeV dan 100MeV Flux yang disampaikan bentuk simbol-simbol dengan kemampuan clickability. Hanya menekan simbol mitigasi, maka informasi kondisi cuaca antariksa akan ditampilkan. Informasi gra k menunjukan produk kondisi cuaca antariksa selama seminggu yaitu enam hari terakhir dan hari saat ini (hari yang berjalan). Gra k ini juga menyajikan informasi Peringatan kondisi cuaca 13

14 antariksa selama tujuh hari, tetapi lebih difokuskan pada hari saat ini. Sistem informasi siaga cuaca antariksa dilengkapi denga arsip sejak bulan Februari 2002 dengan deskripsi informasi peringatan cuaca antariksa yang bermanfaat dan untuk mendukung proses ploting pada mitigasi yang disesuaikan dengan skala NOAA (dalam Koordinat Universal Time - UTC). Simbol-simbol yang muncul pada gra k mewakili produk informasi fenomena cuaca antariksa. Terdapat tujuh simbol yang merupakan informasi yang diplot pada waktu kondisi waspada (Tabel 1). Fitur lainnya dari sistem informasi siaga cuaca antariksa adalah sajian informasi mitigasi dalam bentuk teks yang lengkap dengan kode dan nomor seri pesan (Tabel 2). Informasi kondisi cuaca antariksa pada tur ini adalah informasi bulan berjalan dan bulan sebelumnya. Pusat Sains Antariksa melalui Sistem Pemantau Informasi Cuaca Antariksa (SPICA) berupaya melakukan mitigasi terhadap dampak yang merugikan akibat cuaca antariksa. Walaupun belum s a m p a i k e p a d a i n f o r m a s i clickability, sebagai unit kerja yang memiliki kompetensi di bidang sains antariksa, Pussainsa terus berupaya mengembangkan sistem basis data kondisi matahari, geomagnet, dan ionosfer untuk mendukung layanan informasi cuaca antariksa. Tabel 1. Simbol Informasi Mitigasi Kondisi Cuaca Antariksa Simbol Arti Keterangan Tabel 2. Fitur Format Teks Informasi Siaga Cuaca Antariksa Gambar 1. Informasi Siaga Cuaca Antariksa 14

15 Manajemen Data Sains Antariksa Oleh : Rizal Suryana Bidang Teknologi Pengamatan Data merupakan sebuah catatan atas fakta yang dapat berupa angka, simbol, huruf atau merupakan gabungan dari ketiga hal tersebut. Data belum memiliki arti atau informasi secara lengkap sehingga memerlukan pengolahan lebih lanjut. Data sains antariksa m e r u p a k a n c a t a t a n h a s i l pengamatan atau pengukuran yang meliputi matahari, ionosfer dan geomanget. Pengamatan akitivitas matahari, ionosfer dan geomanget menggunakan berbagai macam jenis peralatan pengamat seperti teleskop optik, radio teleskop, ionosonda, penerima Global Navigation System Satellite (GNSS), radar, jaringan Automatic Link Establishment (ALE) dan ugate magnetometer. Setiap data hasil pengamatan memiliki format dan struktur data yang berbeda-beda tergantung pada alat pengamatannya. Perbedaan struktur data hasil pengamatan berdampak pada kesulitan dalam pengelolaan, penggunaan dan pengembangan basis data sains antariksa. Repositori Data Sains Antariksa (RDSA) merupakan tempat/wadah penyimpan data hasil pengamatan yang berasal dari Balai/Loka Pengamatan Dirgantara berupa sistem aplikasi berbasi web yang disediakan oleh bidang teknologi pengamatan. Peneliti LAPAN Bandung dapat mengambil data dengan mengakses alamat website rdsa.bdg. lapan.go.id. Pada a p l i k a s i t e r s e b u t p e n g g u n a mengalami kesulitan untuk m e n d a p a t k a n d a t a h a s i l pengamatan, ketika pengguna akan mendapatkan data hasil pengamatan berdasarkan tanggal. Pengguna harus melakukan pencarian data dari ribuan data yang tersedia dan pengembangan aplikasi mengalami kesulitan. Pengembangan aplikasi RDSA dibutuhkan sebuah kata kunci, penentuan indeks dan metode pencarian yang tepat. Data hasil pengamatan yang dibuat secara otomatis oleh sistem, maka metode pencarian data dapat dilakukan dengan menggunakan kata kunci atau penentuan indeks. Tetapi untuk data hasil pengamatan yang dilakukan secara manual tidak dapat dilakukan dengan cara yang sama. Penggunaan kata kunci dan penentuan indeks menjadi tidak tepat, hal ini disebabkan struktur data dan penamaan data yang tidak konsisten sehingga sulit untuk mencari kata kunci ataupun penentuan indeks. STRUKTUR DIREKTORI HASIL PENGAMATAN Struktur direktori dari masingmasing alat pengamatan memiliki struktur yang berbeda-beda dan tergantung dari jenis peralatan. Struktur data hasil pengamatan SUNSPOT IPS71 Tahun BULAN Sket-sunspot TAHUN Data BULAN Bilangan-sunspot (a) Struktur Data Sunspot Tahun Bulan TAHUN Hari (b) Struktur Data IPS71 Beacon RAW BULAN Data Data SUR DOP VIS Data Data Data Data RAW Data (c) Struktur Data GNU Beacon Gambar 1. Contoh Struktur Direktori Peralatan Pengamatan 15

16 GNU Beacon memiliki struktur d i r e k t o r i p e n y i m p a n N a m a A l a t P e n g a m a t DataHasilPengamatan. Pembeda antara satu data hasil pengamatan yang satu dengan yang lainya, d i t e n t u k a n d e n g a n c a r a memberikan nama le hasil p e n g a m a t a n d e n g a n l o k a s i p e n g a m a t a n d a n t a n g g a l pengamatan. Struktur data S U N S P OT memiliki struktur data yang relatif jelas tetapi mengalami duplikasi data. Struktur data SUNSPOT memiliki struktur NamaAlat Tahun/NamaParameter Bulan D a t a H a s i l P e n g a m a t a n. Duplikasi data akan mengakibatkan kebingungan untuk memastikan data yang benar. Struktur data IPS71 memiliki struktur data yang sudah terstruktur dengan baik namun masih memiliki struktur data paling bawah yang tidak sama. Struktur data IPS71 yaitu NamaAlat Tahun Bulan Hari Raw N a m a P a r a m e t e r Data/Raw Data. Struktur data tersebut merupakan contoh struktur data hasil pengamatan untuk semua peralatan yang ada. Nama data/alat Tahun BULAN Hari RE-STRUKTURISASI DATA HASIL PENGAMATAN Struktur data seperti pada gambar 1 akan dilakukan restrukturisasi data, hal ini bertujuan untuk membuat struktur data yang sama dengan data lainnya. Ketika data pengamatan sains antariksa memiliki struktur data yang ssama, maka akan memudahkan pengguna d a l a m p e n g a m b i l a n d a t a berdasarkan tanggal pengamatan dan pengembangan aplikasi menjadi lebih mudah. Proses re-strukturisasi data akan membuat struktur data baru sesuai dengan format sebagai berikut NamaData Tahun Bulan Hari DataHasilPengamatan. Nama data hasil pengamatan tidak mengalami perubahan terkecuali pada data hasil pengamatan secara manual dengan format nama data sebagai berikut : namadata_ namalokasi_tanggalpengamatan. Restruktur data dibuat berdasarkan Struktur data pada gambar 2 menjadi struktur data yang akan selalu digunakan pada manajemen Data Parameter Data Gambar 2. Struktur Data Hasil dari Restruktur Tahun data hasil pengamatan sains antariksa. Apabila sebuah peralatan pengamatan menyimpan data hasil pengamatan satu hari kedalam satu le data maka strukturnya menjadi NamaData/Alat Tahun B u l a n D a t a H a s i l Pengamatan. Ketika satu peralatan pengamat menghasilkan lebih dari satu le data dalam satu kali pengamatan dan setiap le data t e r s e b u t m e n y a t a k a n parameter/hasil tertentu, misalnya IPS71 dalam satu kali pengamatan akan menghasil 3 le data yang b e r b e d a, m a k a s t r u k t u r n y a NamaData/Alat Tahun Bulan Hari Parameter DataHasilPengamatan. 16

17 AKTIVITAS MATAHARI September November 2014 Oleh : Santi Sulistiani Bidang Matahari dan Antariksa Selama bulan September 2014 dicatat 146 are kelas C, 12 are kelas M, dan 1 are kelas X. Flare terkuat selama bulan September diklasi kasikan sebagai X1.6 yang mencapai puncak tanggal 10 September pukul 17:45 UT. Kilatan radiasi ultraviolet dari are mengionisasi lapisan atas atmosfer Bumi, mengganggu komunikasi radio HF selama lebih dari satu jam. Flare ini berasal dari daerah aktif NOAA (posisi N14 E02), disertai semburan radio tipe II dan lontaran massa korona (CME) halo dengan laju proyeksi-bidang-langit sekitar 1200 km/det. Meskipun d e m i k i a n, C M E i n i t i d a k menimbulkan badai geomagnet kuat karena medan magnetnya sebagian besar mengarah ke utara. A k t i v i t a s m a t a h a r i b u l a n Oktober lebih tinggi dibandingkan sebelumnya, dengan lebih banyak are kelas C dan M, dan enam buah are kelas X. Keenam are kelas X ini berasal dari daerah aktif NOAA yang berada di belahan selatan matahari. Sejauh ini, NOAA adalah daerah aktif terbesar (mencapai luas maksimum sebesar 16 kali permukaan Bumi pada tanggal 26 Oktober) selama siklus matahari 24, menghasilkan 26 are kelas M dan 6 are kelas X selama keberadaannya di piringan matahari yang menghadap ke Bumi tanggal Oktober. Kesemua are kuat tersebut tidak disertai oleh CME kecuali are M4.0 yang terjadi tanggal 24 Oktober. Namun CME itu pun tidak mengarah ke Bumi. LASCO C2 SOHO mendeteksi CME mulai pukul 05:00 UT tanggal 1 November. CME ini berkaitan dengan erupsi lamen di kuadran selatan-timur sekitar pukul 04:00 UT dan berasosiasi dengan sebuah are Hyder kelas C2.7 yang dimulai pukul 04:44 UT dan mencapai puncak pukul 05:34 UT (Gambar 1). Flare di posisi S22 E52 yang tidak berasosiasi dengan grup bintik ini termasuk Long Duration Event (LDE) dengan durasi lebih dari 2 jam. Karena berasal dari belahan timur, CME ini tidak menimbulkan gangguan di Bumi. A k t i v i t a s m a t a h a r i b u l a n November s e d i k i t m e n u r u n dibandingkan Oktober. Flare paling kuat terjadi di daerah aktif NOAA tanggal 7 November, yaitu are X1.6 yang mencapai puncak pukul 17:26 UT (Gambar 2). Daerah aktif NOAA muncul kembali di piringan matahari sebagai NOAA tanggal 13 November (Gambar 3). Flare terkuat dari daerah aktif ini adalah are M5.7 tanggal 16 November yang mencapai puncak pukul 17:48 UT. Gambar 1 : CME yang mulai dideteksi oleh LASCO C2 SOHO tanggal 1 November 2014 pukul 05:00 UT. (Sumber: Solar and Heliospheric Observatory) Tabel 1 : Prediksi bilangan sunspot bulanan periode Desember November 2015 Bulan Desember 2014 Januari 2015 Februari 2015 Maret 2015 April 2015 Mei 2015 Juni 2015 Juli 2015 Agustus 2015 September 2015 Oktober 2015 November 2015 Prediksi Bilangan Sunspot 71.5 ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ±11 (metode filter Kalman, products/kalfil): Gambar 2 : CME yang menyertai flare X1.6 tanggal 10 September 2014 di daerah aktif NOAA (Sumber: Solar and Heliospheric Observatory) Gambar 3 : Daerah aktif NOAA dan perbandingannya dengan ukuran Bumi. (Sumber: The Solar- Terrestrial Centre of Excellence (STCE), Belgia) 17

18 AKTIVITAS GEOMAGNET September November 2014 Oleh : Visca Wellyanita dan Cucu Eman H. Bidang Geomagnet dan Magnet Antariksa Pada tanggal 9 September 2014, bintik matahari melepaskan energinya yang mengakibatkan are yang berlangsung terus menerus. Flare yang terjadi ini disertai lontaran massa korona (CME) yang mengarah ke bumi. Ketika CME terbawa angin surya menuju Bumi dan medan magnetik ruang antar planet (IMF) berarah selatan, maka akan meghasilkan rekoneksi yang mengakibatkan sejumlah partikel yang terbawa oleh CME akan masuk ke dalam bumi. Peristiwa tersebut menyebabkan badai geomagnet skala menengah pada tanggal 12 September 2014 dengan nilai Dst turun sampai -75 nt (Gambar 1). Gangguan geomagnet ini tidak terlalu besar dikarenakan arah medan magnetik ruang antar planet berputar menuju arah utara sehingga rekoneksi terputus. Loka Pengamatan Dirgantara (LPD) Tanjungsari dan Balai Penginderaan Jauh (BPJ) Pare-pare pada tanggal 10 September 2014 menunjukan nilai indeks K = 4 (Gambar 2). Sedangkan stasiun Menado menunjukan nilai K = 4 dan pada tanggal 12 September Indeks tersebut menandakan bahwa gangguan yang berupa badai geomagnet terdeteksi secara lokal pada setiap stasiun pengamatan tersebut. Aktivitas geomagnet pada bulan Oktober 2014 mengalami 4 kali badai geomagnet lemah (Gambar 3). Gambar 1 : Indeks Dst bulan September 2014 memperlihatkan 1 kejadian badai menengah pada tanggal 12 September Gambar 2 : Indeks K bulan September 2014 stasiun BPJ Pare-pare Gambar 3 : Indeks Dst bulan Oktober 2014 memperlihatkan 4 kali badai geomagnet lemah yaitu pada tanggal 9, 14,20 dan 28 Oktober Gambar 4 : Indeks K bulan Oktober 2014 BPJ Pare-pare 18

19 Badai geomagnet skala menengah yang pertama terjadi pada tanggal 9 Oktober 2014 dengan penurunan nilai indeks Dst sampai dengan -38 nt. Badai geomagnet yang kedua terjadi pada tanggal 14 Oktober 2014 dengan penurunan nilai indeks Dst sampai dengan -31 nt. Badai geomagnet yang ketiga terjadi pada tanggal 20 Oktober 2014 dengan penurunan nilai indeks Dst sampai dengan -36 nt. Badai geomagnet yang keempat terjadi pada tanggal 2 8 O k t o b e r d e n g a n penurunan nilai indeks Dst sampai dengan -39 nt. Di matahari pada tanggal 24 Oktober 2014 terdeteksi adanya CME tetapi berasal dari balik matahari sehingga tidak mengarah ke Bumi. Loka Pengamatan Atmosfer (LPA) Kototabang pada tanggal 15 Oktober 2014 dan 24 Oktober 2014 memiliki nilai indeks K = 5 yang artinya bahwa terdeteksi adanya gangguan geomagnet pada daerah sekitar stasiun pengamatan ini, akan tetapi tidak terdeteksi pada stasiun pengamat geomagnet lainnya (Gambar 4 dan 5). Ini menandakan bahwa gangguan yang terjadi di stasiun Kototabang tersebut merupakan gangguan lokal. Pada awal November, yaitu tanggal 1 November 2014 dan 4 November 2014 terdeteksi adanya CME di matahari, akan tetapi tidak mengarah ke Bumi, sehingga tidak menyebabkan terjadinya badai geomagnetik di Bumi. Pada tanggal 7 November 2014 terdeteksi halo CME dengan kecepatan 600 km/detik dan arahnya menyapu Bumi sehingga menyebabkan badai m a g n e t i k p a d a t a n g g a l 1 0 November 2014 dengan penurunan nilai Dst -55 nt (Gambar 6). Badai magnetik tersebut tidak terlalu besar dikarenakan medan magnetik ruang Gambar 5 : Indeks K bulan Oktober 2014 LPA Kototabang Gambar 6 : Indeks Dst bulan Novemberr 2014 memperlihatkan 1 kali badai geomagnet skala menengah pada tanggal 10 November 2014 dan 1 kali badai berskala lemah pada tanggal 16 November Gambar 7 : Indeks K bulan November 2014 LPA Kototabang antar planet kembali berarah utara yang menyebabkan rekoneksi terputus. Gangguan geomagnet berskala kecil lainnya juga terjadi pada tanggal 16 November 2014 dengan nilai Dst terendah -39 nt. Gangguan geomagnet tersebut teramati juga di LPD Sumedang, L PA Ko t o t a b a n g d a n B P D Pontianak pada tanggal 4, 10 dan 16 November 2014 dengan nilai indeks K = 4 di stasiun Tanjungsari dan Pontianak dan K = 5 di LPA Kototabang (Gambar 7). Indeks tersebut menandakan bahwa gangguan yang berupa badai geomagnet terdeteksi secara global sehingga dapat teramati pada beberapa stasiun geomagnet di Indonesia. 19

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi Matahari mengalami perubahan secara periodik dalam skala waktu

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi Matahari mengalami perubahan secara periodik dalam skala waktu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kondisi Matahari mengalami perubahan secara periodik dalam skala waktu pendek dan skala waktu panjang (misalnya siklus Matahari 11 tahunan). Aktivitas dari Matahari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Matahari adalah sebuah objek yang dinamik, banyak aktivitas yang terjadi

BAB I PENDAHULUAN. Matahari adalah sebuah objek yang dinamik, banyak aktivitas yang terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Matahari adalah sebuah objek yang dinamik, banyak aktivitas yang terjadi didalamnya. Beragam aktivitas di permukaannya telah dipelajari secara mendalam dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tidak hanya di Bumi, cuaca juga terjadi di Antariksa. Namun, cuaca di

BAB I PENDAHULUAN. Tidak hanya di Bumi, cuaca juga terjadi di Antariksa. Namun, cuaca di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tidak hanya di Bumi, cuaca juga terjadi di Antariksa. Namun, cuaca di Antariksa bukan berupa hujan air atau salju es seperti di Bumi, melainkan cuaca di Antariksa terjadi

Lebih terperinci

ANALISA KEJADIAN LUBANG KORONA (CORONAL HOLE) TERHADAP NILAI KOMPONEN MEDAN MAGNET DI STASIUN PENGAMATAN MEDAN MAGNET BUMI BAUMATA KUPANG

ANALISA KEJADIAN LUBANG KORONA (CORONAL HOLE) TERHADAP NILAI KOMPONEN MEDAN MAGNET DI STASIUN PENGAMATAN MEDAN MAGNET BUMI BAUMATA KUPANG ANALISA KEJADIAN LUBANG KORONA (CORONAL HOLE) TERHADAP NILAI KOMPONEN MEDAN MAGNET DI STASIUN PENGAMATAN MEDAN MAGNET BUMI BAUMATA KUPANG 1. Burchardus Vilarius Pape Man (PMG Pelaksana Lanjutan Stasiun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Yoana Nurul Asri, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Yoana Nurul Asri, 2013 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bumi setiap saat selalu dihujani oleh atom-atom yang terionisasi dan partikel subatomik lainnya yang disebut sinar kosmik. Sinar kosmik ini terdiri dari partikel yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Matahari merupakan sumber energi terbesar di Bumi. Tanpa Matahari

BAB I PENDAHULUAN. Matahari merupakan sumber energi terbesar di Bumi. Tanpa Matahari 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Matahari merupakan sumber energi terbesar di Bumi. Tanpa Matahari mungkin tidak pernah ada kehidupan di muka Bumi ini. Matahari adalah sebuah bintang yang merupakan

Lebih terperinci

DAMPAK AKTIVITAS MATAHARI TERHADAP CUACA ANTARIKSA

DAMPAK AKTIVITAS MATAHARI TERHADAP CUACA ANTARIKSA DAMPAK AKTIVITAS MATAHARI TERHADAP CUACA ANTARIKSA Clara Y. Yatini Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN email: clara@bdg.lapan.go.id RINGKASAN Perubahan cuaca antariksa dapat menimbulkan dampak

Lebih terperinci

Medan Magnet Benda Angkasa. Oleh: Chatief Kunjaya KK Astronomi ITB

Medan Magnet Benda Angkasa. Oleh: Chatief Kunjaya KK Astronomi ITB Medan Magnet Benda Angkasa Oleh: Chatief Kunjaya KK Astronomi ITB Kompetensi Dasar XII.3.4 Menganalisis induksi magnet dan gaya magnetik pada berbagai produk teknologi XII.4.4 Melaksanakan pengamatan induksi

Lebih terperinci

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT JENDRAL PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH DIREKTORAT PENDIDIKAN MENENGAH UMUM

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT JENDRAL PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH DIREKTORAT PENDIDIKAN MENENGAH UMUM DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT JENDRAL PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH DIREKTORAT PENDIDIKAN MENENGAH UMUM Tes Seleksi Olimpiade Astronomi Tingkat Provinsi 2004 Materi Uji : ASTRONOMI Waktu :

Lebih terperinci

CUACA ANTARIKSA. Clara Y. Yatini Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN RINGKASAN

CUACA ANTARIKSA. Clara Y. Yatini Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN   RINGKASAN CUACA ANTARIKSA Clara Y. Yatini Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN email: clara@bdg.lapan.go.id RINGKASAN Cuaca antariksa meliputi kopling antara berbagai daerah yang terletak antara matahari

Lebih terperinci

seperti sebuah bajak, masyarakat Cina melihatnya seperti kereta raja yang ditarik binatang, dan masyarakat Jawa melihatnya seperti bajak petani.

seperti sebuah bajak, masyarakat Cina melihatnya seperti kereta raja yang ditarik binatang, dan masyarakat Jawa melihatnya seperti bajak petani. GALAKSI Pada malam yang cerah, ribuan bintang dapat kamulihat di langit. Sesungguhnya yang kamu lihat itu belum seluruhnya, masih terdapat lebih banyak lagi bintang yangtidak mampu kamu amati. Di angkasa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menerapkan metode deskripsi analitik dan menganalisis data

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menerapkan metode deskripsi analitik dan menganalisis data BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Penelitian ini menerapkan metode deskripsi analitik dan menganalisis data sekunder yang diperoleh dari hasil akuisisi data yang dilakukan oleh Lembaga Penerbangan

Lebih terperinci

KAJIAN AWAL ABSORPSI IONOSFER DENGAN MENGGUNAKAN DATA FMIN (FREKUENSI MINIMUM) DI TANJUNGSARI

KAJIAN AWAL ABSORPSI IONOSFER DENGAN MENGGUNAKAN DATA FMIN (FREKUENSI MINIMUM) DI TANJUNGSARI Berita Dirgantara Vol. 10 No. 3 September 2009:86-91 KAJIAN AWAL ABSORPSI IONOSFER DENGAN MENGGUNAKAN DATA FMIN (FREKUENSI MINIMUM) DI TANJUNGSARI Prayitno Abadi Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi,

Lebih terperinci

ANCAMAN BADAI MATAHARI

ANCAMAN BADAI MATAHARI ANCAMAN BADAI MATAHARI 1. Gambaran Singkat Badai Matahari (Solar Storm) adalah gejala terlemparnya proton dan elektron matahari, dan memiliki kecepatan yang setara dengan kecepatan cahaya. Badai Matahari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tari Fitriani, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tari Fitriani, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Matahari merupakan sumber energi utama perubahan kondisi lingkungan antariksa. Matahari terus-menerus meradiasikan kalor, radiasi elektromagnetik pada seluruh panjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang landas bumi maupun ruang angkasa dan membahayakan kehidupan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang landas bumi maupun ruang angkasa dan membahayakan kehidupan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cuaca antariksa adalah kondisi di matahari, magnetosfer, ionosfer dan termosfer yang dapat mempengaruhi kondisi dan kemampuan sistem teknologi baik yang landas bumi

Lebih terperinci

SOAL PILIHAN GANDA ASTRONOMI 2008/2009 Bobot nilai masing-masing soal : 1

SOAL PILIHAN GANDA ASTRONOMI 2008/2009 Bobot nilai masing-masing soal : 1 SOAL PILIHAN GANDA ASTRONOMI 2008/2009 Bobot nilai masing-masing soal : 1 1. [SDW] Tata Surya adalah... A. susunan Matahari, Bumi, Bulan dan bintang B. planet-planet dan satelit-satelitnya C. kumpulan

Lebih terperinci

DISTRIBUSI POSISI FLARE YANG MENYEBABKAN BADAI GEOMAGNET SELAMA SIKLUS MATAHARI KE 22 DAN 23

DISTRIBUSI POSISI FLARE YANG MENYEBABKAN BADAI GEOMAGNET SELAMA SIKLUS MATAHARI KE 22 DAN 23 DISTRIBUSI POSISI FLARE YANG MENYEBABKAN BADAI GEOMAGNET SELAMA SIKLUS MATAHARI KE 22 DAN 23 Tiar Dani dan Jalu Tejo Nugroho Peneliti Matahari dan Antariksa Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN Jl.

Lebih terperinci

Atmosfer Bumi. Ikhlasul-pgsd-fip-uny/iad. 800 km. 700 km. 600 km. 500 km. 400 km. Aurora bagian. atas Meteor 300 km. Aurora bagian. bawah.

Atmosfer Bumi. Ikhlasul-pgsd-fip-uny/iad. 800 km. 700 km. 600 km. 500 km. 400 km. Aurora bagian. atas Meteor 300 km. Aurora bagian. bawah. Atmosfer Bumi 800 km 700 km 600 km 500 km 400 km Aurora bagian atas Meteor 300 km Aurora bagian bawah 200 km Sinar ultraviolet Gelombang radio menumbuk ionosfer 100 km 80 km Mesopause Stratopause 50 km

Lebih terperinci

FENOMENA ASTRONOMI SISTEM BUMI, BULAN & MATAHARI

FENOMENA ASTRONOMI SISTEM BUMI, BULAN & MATAHARI FENOMENA ASTRONOMI SISTEM BUMI, BULAN & MATAHARI Resti Andriyani 4001411044 KONDISI FISIK Bumi Bulan Matahari BUMI Bumi merpakan planet yang KHAS dan ISTIMEWA Terdapat lautan, kegiatan vulkanik dan tektonik,

Lebih terperinci

PERBANDINGAN ANTARA MODEL TEC REGIONAL INDONESIA NEAR-REAL TIME DAN MODEL TEC GIM (GLOBAL IONOSPHERIC MAP) BERDASARKAN VARIASI HARIAN (DIURNAL)

PERBANDINGAN ANTARA MODEL TEC REGIONAL INDONESIA NEAR-REAL TIME DAN MODEL TEC GIM (GLOBAL IONOSPHERIC MAP) BERDASARKAN VARIASI HARIAN (DIURNAL) Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 5 No. 1 Maret 2010 : 40-53 PERBANDINGAN ANTARA MODEL TEC REGIONAL INDONESIA NEAR-REAL TIME DAN MODEL TEC GIM (GLOBAL IONOSPHERIC MAP) BERDASARKAN VARIASI HARIAN

Lebih terperinci

PENGARUH PERUBAHAN fmin TERHADAP BESARNYA FREKUENSI KERJA TERENDAH SIRKIT KOMUNIKASI RADIO HF

PENGARUH PERUBAHAN fmin TERHADAP BESARNYA FREKUENSI KERJA TERENDAH SIRKIT KOMUNIKASI RADIO HF PENGARUH PERUBAHAN fmin TERHADAP BESARNYA FREKUENSI KERJA TERENDAH SIRKIT KOMUNIKASI RADIO HF Varuliantor Dear Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, LAPAN e-mail : Varuliant@bdg.lapan.go.id RINGKASAN

Lebih terperinci

IPA TERPADU KLAS VIII BAB 14 BUMI, BULAN, DAN MATAHARI

IPA TERPADU KLAS VIII BAB 14 BUMI, BULAN, DAN MATAHARI IPA TERPADU KLAS VIII BAB 14 BUMI, BULAN, DAN MATAHARI KOMPETENSI INTI 3. Memahami dan menerapkan pengetahuan (faktual, konseptual, dan prosedural) berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan,

Lebih terperinci

KALIBRASI MAGNETOMETER TIPE 1540 MENGGUNAKAN KALIBRATOR MAGNETOMETER

KALIBRASI MAGNETOMETER TIPE 1540 MENGGUNAKAN KALIBRATOR MAGNETOMETER Kalibrasi Magnetometer...(Harry Bangkit dan Mamat Ruhimat) KALIBRASI MAGNETOMETER TIPE 1540 MENGGUNAKAN KALIBRATOR MAGNETOMETER Harry Bangkit, Mamat Ruhimat Pusat Sain Antariksa Lembaga Penerbangan dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Aktivitas Matahari merupakan faktor utama yang memicu perubahan cuaca

BAB 1 PENDAHULUAN. Aktivitas Matahari merupakan faktor utama yang memicu perubahan cuaca BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aktivitas Matahari merupakan faktor utama yang memicu perubahan cuaca antariksa. Aktivitas Matahari sendiri ditandai oleh kemunculan bintik Matahari (Sunspot) yang

Lebih terperinci

PENGARUH BADAI MATAHARI OKTOBER 2003 PADA IONOSFER DARI TEC GIM

PENGARUH BADAI MATAHARI OKTOBER 2003 PADA IONOSFER DARI TEC GIM Jurnal Fisika Vol. 3 No. 1, Mei 2013 63 PENGARUH BADAI MATAHARI OKTOBER 2003 PADA IONOSFER DARI TEC GIM Buldan Muslim 1,* Pusat Sains Antariksa Deputi Bidang Pengakajian, Sains dan Informasi Kedirgantaraan,

Lebih terperinci

SMP kelas 9 - FISIKA BAB 4. SISTEM TATA SURYALatihan Soal 4.1. (1) Yupiter Berupa gas dan massanya terbesar diantara planet tata surya

SMP kelas 9 - FISIKA BAB 4. SISTEM TATA SURYALatihan Soal 4.1. (1) Yupiter Berupa gas dan massanya terbesar diantara planet tata surya 1. Perhatikan ciri-ciri planet pada tabel berikut. SMP kelas 9 - FISIKA BAB 4. SISTEM TATA SURYALatihan Soal 4.1 Nama Planet Ciri Ciri (1) Yupiter Berupa gas dan massanya terbesar diantara planet tata

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus

BAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus 26 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode dan Desain Penelitian 3.1.1 Metode penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus mempergunakan data semburan radio Matahari tipe II yang

Lebih terperinci

STRUKTUR BUMI. Bumi, Tata Surya dan Angkasa Luar

STRUKTUR BUMI. Bumi, Tata Surya dan Angkasa Luar STRUKTUR BUMI 1. Skalu 1978 Jika bumi tidak mempunyai atmosfir, maka warna langit adalah A. hitam C. kuning E. putih B. biru D. merah Jawab : A Warna biru langit terjadi karena sinar matahari yang menuju

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Pada penelitian ini dilakukan indentifikasi terhadap lubang korona, angin

BAB III METODE PENELITIAN. Pada penelitian ini dilakukan indentifikasi terhadap lubang korona, angin 30 BAB III METODE PENELITIAN Pada penelitian ini dilakukan indentifikasi terhadap lubang korona, angin surya, dan badai geomagnet selama selang waktu tahun 1998-2003. Berikut dijelaskan metode penelitian

Lebih terperinci

Pengertian Planet, Macam-Macam Planet Serta Ciri-Cirinya

Pengertian Planet, Macam-Macam Planet Serta Ciri-Cirinya Pengertian Planet, Macam-Macam Planet Serta Ciri-Cirinya Secara Umum, Pengertian Planet adalah benda langit yang mengorbit atau mengelilingi suatu bintang dengan lintasan dan kecepatan tertentu. Contohnya

Lebih terperinci

Varuliantor Dear Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, Pusat Sains Antariksa, LAPAN RINGKASAN

Varuliantor Dear Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, Pusat Sains Antariksa, LAPAN   RINGKASAN Berita Dirgantara Vol. 13 No. 1 Maret 2012:28-37 TELAAH PERBANDINGAN HASIL UJI KOMUNIKASI MENGGUNAKAN SISTEM AUTOMATIC LINK ESTABLISHMENT (ALE) DENGAN DATA IONOSONDA TANJUNGSARI UNTUK SIRKUIT KOMUNIKASI

Lebih terperinci

BAB VII TATA SURYA. STANDAR KOMPETENSI : Memahami Sistem Tata Surya dan Proses yang terjadidi dalamnya.

BAB VII TATA SURYA. STANDAR KOMPETENSI : Memahami Sistem Tata Surya dan Proses yang terjadidi dalamnya. BAB VII TATA SURYA STANDAR KOMPETENSI : Memahami Sistem Tata Surya dan Proses yang terjadidi dalamnya. KOMPETENSI DASAR 1. Mendeskripsikan karakteristik sistem tata surya 2. Mendeskripsikan Matahari sebagai

Lebih terperinci

PEKERJAAN RUMAH SAS PERTEMUAN-1 DAN PERTEMUAN-2 A.Pilihan Ganda

PEKERJAAN RUMAH SAS PERTEMUAN-1 DAN PERTEMUAN-2 A.Pilihan Ganda PEKERJAAN RUMAH SAS PERTEMUAN-1 DAN PERTEMUAN-2 A.Pilihan Ganda 1. Tinggi bintang dari bidang ekuator disebut a. altitude b. latitude c. longitude d. deklinasi e. azimut 2. Titik pertama Aries, didefinisikan

Lebih terperinci

KEMUNCULAN SINTILASI IONOSFER DI ATAS PONTIANAK TERKAIT FLARE SINAR-X MATAHARI DAN BADAI GEOMAGNET

KEMUNCULAN SINTILASI IONOSFER DI ATAS PONTIANAK TERKAIT FLARE SINAR-X MATAHARI DAN BADAI GEOMAGNET KEMUNCULAN SINTILASI IONOSFER DI ATAS PONTIANAK TERKAIT FLARE SINAR-X MATAHARI DAN BADAI GEOMAGNET Sri Ekawati 1), Asnawi 1), Suratno 2) 1) Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, Pusat Sains Antariksa, LAPAN

Lebih terperinci

PENENTUAN RENTANG FREKUENSI KERJA SIRKUIT KOMUNIKASI RADIO HF BERDASARKAN DATA JARINGAN AUTOMATIC LINK ESTBALISHMENT (ALE) NASIONAL

PENENTUAN RENTANG FREKUENSI KERJA SIRKUIT KOMUNIKASI RADIO HF BERDASARKAN DATA JARINGAN AUTOMATIC LINK ESTBALISHMENT (ALE) NASIONAL Penentuan Rentang Frekuensi Kerja Sirkuit...(Varuliantor Dear) PENENTUAN RENTANG FREKUENSI KERJA SIRKUIT KOMUNIKASI RADIO HF BERDASARKAN DATA JARINGAN AUTOMATIC LINK ESTBALISHMENT (ALE) NASIONAL Varuliantor

Lebih terperinci

ANALISIS AKURASI PEMETAAN FREKUENSI KRITIS LAPISAN IONOSFER REGIONAL MENGGUNAKAN METODE MULTIQUADRIC

ANALISIS AKURASI PEMETAAN FREKUENSI KRITIS LAPISAN IONOSFER REGIONAL MENGGUNAKAN METODE MULTIQUADRIC ANALISIS AKURASI PEMETAAN FREKUENSI KRITIS LAPISAN IONOSFER REGIONAL MENGGUNAKAN METODE MULTIQUADRIC Jiyo Peneliti Fisika Magnetosferik dan Ionosferik Pusat Sains Antariksa, LAPAN jiyolpnbdg@yahoo.com

Lebih terperinci

Analisis Pengaruh Lapisan Ionosfer Terhadap Komunikasi Radio Hf

Analisis Pengaruh Lapisan Ionosfer Terhadap Komunikasi Radio Hf Analisis Pengaruh Lapisan Ionosfer Terhadap Komunikasi Radio Hf Sutoyo 1, Andi Putra 2 1 Dosen Jurusan Teknik Elektro UIN SUSKA RIAU 2 Mahasiswa Jurusan Teknik Elektro UIN SUSKA RIAU Jl HR Soebrantas KM

Lebih terperinci

KETERKAITAN AKTIVITAS MATAHARI DENGAN AKTIVITAS GEOMAGNET DI BIAK TAHUN

KETERKAITAN AKTIVITAS MATAHARI DENGAN AKTIVITAS GEOMAGNET DI BIAK TAHUN Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 3 No. 3 September 08:112-117 KETERKAITAN AKTIVITAS MATAHARI DENGAN AKTIVITAS GEOMAGNET DI BIAK TAHUN 1996 01 Clara Y. Yatini, dan Mamat Ruhimat Peneliti Pusat

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI MODEL FLUKTUASI INDEKS K HARIAN MENGGUNAKAN MODEL ARIMA (2.0.1) Habirun Peneliti Pusat Pemanlaatan Sains Antariksa, LAPAN

IDENTIFIKASI MODEL FLUKTUASI INDEKS K HARIAN MENGGUNAKAN MODEL ARIMA (2.0.1) Habirun Peneliti Pusat Pemanlaatan Sains Antariksa, LAPAN IDENTIFIKASI MODEL FLUKTUASI INDEKS K HARIAN MENGGUNAKAN MODEL ARIMA (2.0.1) Habirun Peneliti Pusat Pemanlaatan Sains Antariksa, LAPAN ABSTRACT The geomagnetic disturbance level called geomagnetic index.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sinar matahari yang sampai di bumi merupakan sumber utama energi yang menimbulkan segala macam kegiatan atmosfer seperti hujan, angin, siklon tropis, musim panas, musim

Lebih terperinci

Gambar tata sury, alam 98

Gambar tata sury, alam 98 TATA SURYA Jika kita terbang mengarungi ruang angkasa meninggalkan bumi. Dari suatu tempat akan dapat melihat bumi bersama delapan planet lainnya bergerak mengedari matahari. Planetplanet (planetai = pengembara)

Lebih terperinci

BADAI MATAHARI DAN PENGARUHNYA PADA IONOSFER DAN GEOMAGNET DI INDONESIA

BADAI MATAHARI DAN PENGARUHNYA PADA IONOSFER DAN GEOMAGNET DI INDONESIA Badai Matahari dan Pengaruhnya pada Ionosfer...(Clara Y.Yatini et al.) BADAI MATAHARI DAN PENGARUHNYA PADA IONOSFER DAN GEOMAGNET DI INDONESIA Clara Y. Yatini, Jiyo, Mamat Ruhimat Peneliti Pusat Pemanfaatan

Lebih terperinci

Ikhlasul-pgsd-fip-uny/iad. Raja Kerajaan Tata Surya

Ikhlasul-pgsd-fip-uny/iad. Raja Kerajaan Tata Surya Raja Kerajaan Tata Surya Matahari merupakan salah satu bintang di antara milyaran bintang yang ada di galaksi kita. Seperti bintang yang lainnya, Matahari merupakan bola gas panas raksasa yang sangat terang.

Lebih terperinci

PEMODELAN DAN VALIDASI HUBUNGAN ANTARA FREKUENSI KRITIS LAPISAN F2 IONOSFER (fof2) DENGAN TOTAL ELECTRON CONTENT (TEC) DARI DATA IONOSONDA DAN GPS

PEMODELAN DAN VALIDASI HUBUNGAN ANTARA FREKUENSI KRITIS LAPISAN F2 IONOSFER (fof2) DENGAN TOTAL ELECTRON CONTENT (TEC) DARI DATA IONOSONDA DAN GPS PEMODELAN DAN VALIDASI HUBUNGAN ANTARA FREKUENSI KRITIS LAPISAN F2 IONOSFER (fof2) DENGAN TOTAL ELECTRON CONTENT (TEC) DARI DATA IONOSONDA DAN GPS Buldan Muslim Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN

Lebih terperinci

Tata Surya. karena planet bergerak mengedari matahari. Planet tidak dapat. planet hampir berbentuk lingkaran. Pada awal abad ke-17 Johanes Kepler

Tata Surya. karena planet bergerak mengedari matahari. Planet tidak dapat. planet hampir berbentuk lingkaran. Pada awal abad ke-17 Johanes Kepler Tata Surya I. Pengertian Tata Surya Tata surya adalah suatu kelompok benda antariksa yang berpusat pada matahari dan bergerak mengedari matahari. Tata surya dapat diartikan sebagai keluarga matahari. Anggota

Lebih terperinci

ATMOSFER BUMI A. Pengertian Atmosfer Bumi B. Lapisan Atmosfer Bumi

ATMOSFER BUMI A. Pengertian Atmosfer Bumi B. Lapisan Atmosfer Bumi ATMOSFER BUMI A. Pengertian Atmosfer Bumi Bumi merupakan salah satu planet yang ada di tata surya yang memiliki selubung yang berlapis-lapis. Selubung bumi tersebut berupa lapisan udara yang sering disebut

Lebih terperinci

BAB 13 STRUKTUR BUMI DAN STRUKTUR MATAHARI

BAB 13 STRUKTUR BUMI DAN STRUKTUR MATAHARI BAB 13 STRUKTUR BUMI DAN STRUKTUR MATAHARI Tujuan Pembelajaran Kamu dapat mendeskripsikan struktur bumi. Bila kita berada di suatu tempat yang terbuka, umumnya dataran sekeliling kita akan terlihat rata.

Lebih terperinci

KAJIAN STUDI KASUS PERISTIWA PENINGKATAN ABSORPSI LAPISAN D PADA TANGGAL 7 MARET 2012 TERHADAP FREKUENSI KERJA JARINGAN KOMUNIKASI ALE

KAJIAN STUDI KASUS PERISTIWA PENINGKATAN ABSORPSI LAPISAN D PADA TANGGAL 7 MARET 2012 TERHADAP FREKUENSI KERJA JARINGAN KOMUNIKASI ALE KAJIAN STUDI KASUS PERISTIWA PENINGKATAN ABSORPSI LAPISAN D PADA TANGGAL 7 MARET 2012 TERHADAP FREKUENSI KERJA JARINGAN KOMUNIKASI ALE Varuliantor Dear Peneliti Ionosfer dan Telekomunikasi e-mail : varuliant@yahoo.com

Lebih terperinci

RESPON IONOSFER TERHADAP GERHANA MATAHARI 26 JANUARI 2009 DARI PENGAMATAN IONOSONDA

RESPON IONOSFER TERHADAP GERHANA MATAHARI 26 JANUARI 2009 DARI PENGAMATAN IONOSONDA Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 2009 RESPON IONOSFER TERHADAP GERHANA MATAHARI 26 JANUARI 2009 DARI PENGAMATAN

Lebih terperinci

SOAL SELEKSI OLIMPIADE SAINS TINGKAT KABUPATEN/KOTA 2014 CALON TIM OLIMPIADE ASTRONOMI INDONESIA 2015

SOAL SELEKSI OLIMPIADE SAINS TINGKAT KABUPATEN/KOTA 2014 CALON TIM OLIMPIADE ASTRONOMI INDONESIA 2015 HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG SOAL SELEKSI OLIMPIADE SAINS TINGKAT KABUPATEN/KOTA 2014 CALON TIM OLIMPIADE ASTRONOMI INDONESIA 2015 Bidang Astronomi Waktu : 150 menit KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

Lebih terperinci

2017, No Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2016 tentang Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2017, No Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2016 tentang Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1814, 2017 BADAN NASIONAL PENCARIAN DAN PERTOLONGAN. Sistem Komunikasi Pencarian dan Pertolongan. PERATURAN BADAN NASIONAL PENCARIAN DAN PERTOLONGAN NOMOR 19 TAHUN 2017

Lebih terperinci

MODEL VARIASI HARIAN KOMPONEN H JANGKA PENDEK BERDASARKAN DAMPAK GANGGUAN REGULER

MODEL VARIASI HARIAN KOMPONEN H JANGKA PENDEK BERDASARKAN DAMPAK GANGGUAN REGULER MODEL VARIASI HARIAN KOMPONEN H JANGKA PENDEK BERDASARKAN DAMPAK GANGGUAN REGULER Habirun Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) email: h a b i r u n @ b d

Lebih terperinci

MATAHARI SEBAGAI SUMBER CUACA ANTARIKSA

MATAHARI SEBAGAI SUMBER CUACA ANTARIKSA Berita Dirgantara Vol. 9 No. 1 Maret 2008:6-11 MATAHARI SEBAGAI SUMBER CUACA ANTARIKSA Neflia Peneliti Bidang Matahari dan Antariksa, LAPAN Neflia103@yahoo.com RINGKASAN Kata cuaca antariksa sangat erat

Lebih terperinci

Komputasi TEC Ionosfer Mendekati Real Time Dari Data GPS

Komputasi TEC Ionosfer Mendekati Real Time Dari Data GPS Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 2009 Komputasi TEC Ionosfer Mendekati Real Time Dari Data GPS Buldan Muslim dan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERHITUNGAN ARAH KIBLAT DENGAN MENGGUNAKAN AZIMUT PLANET. A. Algoritma Penentuan Arah Kiblat dengan Metode Azimut Planet

BAB IV ANALISIS PERHITUNGAN ARAH KIBLAT DENGAN MENGGUNAKAN AZIMUT PLANET. A. Algoritma Penentuan Arah Kiblat dengan Metode Azimut Planet BAB IV ANALISIS PERHITUNGAN ARAH KIBLAT DENGAN MENGGUNAKAN AZIMUT PLANET A. Algoritma Penentuan Arah Kiblat dengan Metode Azimut Planet Pada dasarnya azimut planet adalah busur yang diukur dari titik Utara

Lebih terperinci

Ikhlasul-pgsd-fip-uny/iad. Bumi, Berlian biru alam semesta

Ikhlasul-pgsd-fip-uny/iad. Bumi, Berlian biru alam semesta Bumi, Berlian biru alam semesta Planet Bumi merupakan tempat yang menarik. Jika dilihat dari angkasa luar, Bumi seperti sebuah kelereng berwarna biru. Dengan bentuk awan yang selalu berubah, Bumi menjadi

Lebih terperinci

PETA KONSEP. Revolu si. Rotasi. Mataha ri TATA SURYA. satelit buata n. satelit. alami. satelit. Bulan. palapa. Kalender Masehi. Revolu si.

PETA KONSEP. Revolu si. Rotasi. Mataha ri TATA SURYA. satelit buata n. satelit. alami. satelit. Bulan. palapa. Kalender Masehi. Revolu si. PETA KONSEP TATA SURYA Matahar i Planet Asteroi d Komet Meteor id Pusat Tata Surya Merkuri us Venus Bumi Mars Jupiter Saturnus Uranus Neptunu s Rotasi Revolu si satelit buata n satelit alami Pembagi an

Lebih terperinci

NEAR REAL TIME SEBAGAI BAGIAN DARI SISTEM PEMANTAU CUACA ANTARIKSA

NEAR REAL TIME SEBAGAI BAGIAN DARI SISTEM PEMANTAU CUACA ANTARIKSA Integrasi Perangkat Monitoring Ionosfer Near (Varuliantor Dear) INTEGRASI PERANGKAT MONITORING IONOSFER NEAR REAL TIME SEBAGAI BAGIAN DARI SISTEM PEMANTAU CUACA ANTARIKSA Varuliantor Dear Peneliti Bidang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Agro Klimatologi ~ 1

BAB I PENDAHULUAN. Agro Klimatologi ~ 1 BAB I PENDAHULUAN Klimatologi berasal dari bahasa Yunani di mana klima dan logos. Klima berarti kemiringan (slope) yang diarahkan ke lintang tempat, sedangkan logos berarti ilmu. Jadi definisi klimatologi

Lebih terperinci

Daftar Isi. Tata Surya. Matahari. Gerak edar bumi dan bulan. Lithosfer. Atmosfer.

Daftar Isi. Tata Surya. Matahari. Gerak edar bumi dan bulan. Lithosfer. Atmosfer. Tata Surya L/O/G/O Daftar Isi 1 2 3 4 5 Tata Surya Matahari Gerak edar bumi dan bulan Lithosfer Atmosfer Tujuan Belajar Siswa mampu mendeskripsikan maahari sebagai bintang dan bumi sebagai salah satu planet

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 1 BAB III METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik. Penelitian deskriptif analitik yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran

Lebih terperinci

Antiremed Kelas 9 Fisika

Antiremed Kelas 9 Fisika Antiremed Kelas 9 Fisika Tata Surya - Latihan Ulangan Doc Name : AR09FIS0599 Version : 2012-10 halaman 1 01. Berikut ini adalah planet-planet pada tata surya kita. Urutan yang benar dari yang terdekat

Lebih terperinci

SOAL OLIMPIADE SAINS NASIONAL SMP SELEKSI TINGKAT KABUPATEN/KOTA TAHUN 2007

SOAL OLIMPIADE SAINS NASIONAL SMP SELEKSI TINGKAT KABUPATEN/KOTA TAHUN 2007 SOAL OLIMPIADE SAINS NASIONAL SMP SELEKSI TINGKAT KABUPATEN/KOTA TAHUN 2007 Tes Pilihan Ganda Petunjuk: Pilihlah salah satu opsi jawaban yang paling benar, dengan cara memberikan tanda silang (X) pada

Lebih terperinci

Buldan Muslim Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, Pusat Sains Antariksa, Lapan ABSTRACT

Buldan Muslim Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, Pusat Sains Antariksa, Lapan   ABSTRACT DETEKSI EFEK FLARE SINAR-X PADA IONOSFER DARI DATA TOTAL ELECTRON CONTENT YANG DITURUNKAN DARI PENGAMATAN GPS (DETECTION X-RAY FLARE EFFECT ON IONOSPHERE FROM TOTAL ELECTRON CONTENT DATA DERIVED FROM GPS

Lebih terperinci

PENENTUAN RENTANG FREKUENSI KERJA SIRKUIT KOMUNIKASI RADIO HF BERDASARKAN DATA JARINGAN ALE (AUTOMATIC LINK ESTBALISHMENT) NASIONAL

PENENTUAN RENTANG FREKUENSI KERJA SIRKUIT KOMUNIKASI RADIO HF BERDASARKAN DATA JARINGAN ALE (AUTOMATIC LINK ESTBALISHMENT) NASIONAL PENENTUAN RENTANG FREKUENSI KERJA SIRKUIT KOMUNIKASI RADIO HF BERDASARKAN DATA JARINGAN ALE (AUTOMATIC LINK ESTBALISHMENT) NASIONAL Varuliantor Dear Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi Pusat Sains Antariksa,

Lebih terperinci

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DITJEN MANAJEMEN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH DIREKTORAT PEMBINAAN SMA

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DITJEN MANAJEMEN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH DIREKTORAT PEMBINAAN SMA KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DITJEN MANAJEMEN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH DIREKTORAT PEMBINAAN SMA Soal Test Olimpiade Sains Nasional 2010 Bidang : ASTRONOMI Materi : Teori (Pilihan Berganda) Tanggal

Lebih terperinci

RISET IONOSFER REGIONAL INDONESIA DAN PENGARUHNYA TERHADAP SISTEM KOMUNIKASI DAN NAVIGASI MODERN

RISET IONOSFER REGIONAL INDONESIA DAN PENGARUHNYA TERHADAP SISTEM KOMUNIKASI DAN NAVIGASI MODERN Riset Ionosfer Regional Indonesia dan Pengaruhnya.....(Jiyo) RISET IONOSFER REGIONAL INDONESIA DAN PENGARUHNYA TERHADAP SISTEM KOMUNIKASI DAN NAVIGASI MODERN Jiyo Peneliti Fisika Magnetosferik dan Ionosferik,

Lebih terperinci

KAJIAN HASIL UJI PREDIKSI FREKUENSI HF PADA SIRKIT KOMUNIKASI RADIO DI LINGKUNGAN KOHANUDNAS

KAJIAN HASIL UJI PREDIKSI FREKUENSI HF PADA SIRKIT KOMUNIKASI RADIO DI LINGKUNGAN KOHANUDNAS Kajian Hasil Uji Prediksi Frekuensi HF pada Sirkit Komunikasi... (Jiyo) KAJIAN HASIL UJI PREDIKSI FREKUENSI HF PADA SIRKIT KOMUNIKASI RADIO DI LINGKUNGAN KOHANUDNAS Jiyo Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi,

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI PROGRAM APLIKASI UNDUH FILE DATA REAL TIME INDEKS T GLOBAL UNTUK MENDUKUNG KEGIATAN PENELITIAN

IMPLEMENTASI PROGRAM APLIKASI UNDUH FILE DATA REAL TIME INDEKS T GLOBAL UNTUK MENDUKUNG KEGIATAN PENELITIAN IMPLEMENTASI PROGRAM APLIKASI UNDUH FILE DATA REAL TIME INDEKS T GLOBAL UNTUK MENDUKUNG KEGIATAN PENELITIAN Varuliantor Dear Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi e-mail : varuliant@yahoo.com RINGKASAN

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 5. DINAMIKA ATMOSFERLATIHAN SOAL 5.1. argon. oksigen. nitrogen. hidrogen

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 5. DINAMIKA ATMOSFERLATIHAN SOAL 5.1. argon. oksigen. nitrogen. hidrogen 1. Komposisi gas terbesar di atmosfer adalah gas. SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 5. DINAMIKA ATMOSFERLATIHAN SOAL 5.1 argon oksigen nitrogen hidrogen karbon dioksida Komposisi gas-gas di udara

Lebih terperinci

KELOMPOK I. Raditya Budi Satria ( ) Imelsa Heni Priyayik ( ) Sergius Prastowo ( ) Rina Metasari ( )

KELOMPOK I. Raditya Budi Satria ( ) Imelsa Heni Priyayik ( ) Sergius Prastowo ( ) Rina Metasari ( ) KELOMPOK I Raditya Budi Satria (101134007) Imelsa Heni Priyayik (101134098) Sergius Prastowo (101134116) Rina Metasari (101134131) BERTAMASYA MENJELAJAHI TATA SURYA KI-KD EVALUASI INDIKATOR BERTAMASYA

Lebih terperinci

PENENTUAN INDEKS IONOSFER T REGIONAL (DETERMINATION OF REGIONAL IONOSPHERE INDEX T )

PENENTUAN INDEKS IONOSFER T REGIONAL (DETERMINATION OF REGIONAL IONOSPHERE INDEX T ) Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 7 No. 1 Maret 2012 :38-46 38 PENENTUAN INDEKS IONOSFER T REGIONAL (DETERMINATION OF REGIONAL IONOSPHERE INDEX T ) Sri Suhartini, Septi Perwitasari, Dadang Nurmali

Lebih terperinci

STRUKTUR MATAHARI DAN FENOMENA SURIA

STRUKTUR MATAHARI DAN FENOMENA SURIA STRUKTUR MATAHARI DAN FENOMENA SURIA MATAHARI Bintang terdekat dengan Bumi - jarak purata 149,680,000 kilometer (93,026,724 batu). Mempunyai garis pusat (diameter) 1,391,980 kilometer dengan suhu permukaan

Lebih terperinci

cuaca antariksa fenomena Edisi Revisi sebuah persembahan dari Pusat Sains Antariksa (Pussainsa) Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

cuaca antariksa fenomena Edisi Revisi sebuah persembahan dari Pusat Sains Antariksa (Pussainsa) Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) fenomena cuaca antariksa Edisi Revisi sebuah persembahan dari Pusat Sains Antariksa (Pussainsa) Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) pengantar Buku ini diterbitkan oleh Pusat Sains Antariksa

Lebih terperinci

STUDI TENTANG BADAI MAGNET MENGGUNAKAN DATA MAGNETOMETER DI INDONESIA

STUDI TENTANG BADAI MAGNET MENGGUNAKAN DATA MAGNETOMETER DI INDONESIA 284 Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIV HFI Jateng & DIY, Semarang 10 April 2010 hal. 284-288 STUDI TENTANG BADAI MAGNET MENGGUNAKAN DATA MAGNETOMETER DI INDONESIA Setyanto Cahyo Pranoto Pusat Pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Dalam bab ini menjelaskan tahapan-tahapan yang dilakukan untuk menyelesaikan penelitian dengan menganalisis fonomena ionosfer berdasarkan pengolahan dari data ALE. Oleh karena

Lebih terperinci

Angin Matahari. Pengamatan Matahari. Dampak Sintilasi Ionosfer. dari Ruang Angkasa. Single Event Latch-up pada Satelit LAPAN-TUBSAT

Angin Matahari. Pengamatan Matahari. Dampak Sintilasi Ionosfer. dari Ruang Angkasa. Single Event Latch-up pada Satelit LAPAN-TUBSAT Dampak Sintilasi Ionosfer pada Akurasi Navigasi & Posisi GNSS Single Event Latch-up pada Satelit LAPAN-TUBSAT ISSN 2303-2707 Angin Matahari Pengamatan Matahari dari Ruang Angkasa Review : Cuaca Antariksa

Lebih terperinci

TATA SURYA Susunan Matahari dan anggota tata surya yang mengitarinya. Anggota Tata Surya:

TATA SURYA Susunan Matahari dan anggota tata surya yang mengitarinya. Anggota Tata Surya: TATA SURYA Susunan Matahari dan anggota tata surya yang mengitarinya. Anggota Tata Surya: 1. Planet 2. Asteroid 3. Satelit 4. Meteorid 5. Komet Planet Planet adalah benda langit yang tidak dapat memancarkan

Lebih terperinci

LAPISAN E IONOSFER INDONESIA

LAPISAN E IONOSFER INDONESIA LAPISAN E IONOSFER INDONESIA Sri Suhartini Peneliti Bidang lonosfer dan Telekomunikasi, LAPAN RINGKASAN Karakteristik lapisan ionosfer, baik variasi harian, musiman, maupun variasi yang berkaitan dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu. Menurut Sri Suhartini Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi LAPAN tentang Komunikasi Radio HF untuk Dinas Bergerak disampaikan bahwa: komunikasi

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 09 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK Menggunakan sensor nonkamera atau sensor elektronik. Terdiri dari inderaja sistem termal,

Lebih terperinci

Manajemen Frekuensi Data Pengukuran Stasiun Automatic Link Establishment (ALE) Riau

Manajemen Frekuensi Data Pengukuran Stasiun Automatic Link Establishment (ALE) Riau Manajemen Frekuensi Data Pengukuran Stasiun Automatic Link Establishment (ALE) Riau Sutoyo 1, Rika Susanti 2, Vici Novia Vendlan 3 Dosen Jurusan Teknik Elektro UIN SUSKA RIAU 1,2 Mahasiswa Jurusan Teknik

Lebih terperinci

Analisis Kejadian Corona Mass Ejection (CME) dan Solar Wind di Stasiun Geofisika Kampung Baru Kupang (KPG)

Analisis Kejadian Corona Mass Ejection (CME) dan Solar Wind di Stasiun Geofisika Kampung Baru Kupang (KPG) Analisis Kejadian Corona Mass Ejection (CME) dan Solar Wind di Stasiun Geofisika Kampung Baru Kupang (KPG) 1. Rahmat Setyo Juliatmoko, M.Si (PMG Ahli Stasiun Geofisika Kampung Baru Kupang) 2. Burchardus

Lebih terperinci

B A B IV HASIL DAN ANALISIS

B A B IV HASIL DAN ANALISIS B A B IV HASIL DAN ANALISIS 4.1 Output Sistem Setelah sistem ini dinyalakan, maka sistem ini akan terus menerus bekerja secara otomatis untuk mendapatkan hasil berupa karakteristik dari lapisan troposfer

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Angin bintang dapat difahami sebagai aliran materi/partikel-partikel

BAB I PENDAHULUAN. Angin bintang dapat difahami sebagai aliran materi/partikel-partikel BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Angin bintang dapat difahami sebagai aliran materi/partikel-partikel (plasma) dari permukaan atmosfer bintang dengan kecepatan cukup besar sehingga mampu melawan tarikan

Lebih terperinci

UNTUK PENGAMATAN PROPAGASI GELOMBANG RADIO HF SECARA

UNTUK PENGAMATAN PROPAGASI GELOMBANG RADIO HF SECARA SISTEM (ALE) UNTUK PENGAMATAN PROPAGASI GELOMBANG RADIO HF SECARA Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, Pusat Sains Antariksa, LAPAN email: varuliant@yahoo.com RINGKASAN Sistem Automatic Link Establishment

Lebih terperinci

PROPAGASI GELOMBANG RADIO HF PADA SIRKIT KOMUNIKASI STASIUN TETAP DENGAN STASIUN BERGERAK

PROPAGASI GELOMBANG RADIO HF PADA SIRKIT KOMUNIKASI STASIUN TETAP DENGAN STASIUN BERGERAK Berita Dirgantara Vol. 10 No. 3 September 2009:64-71 PROPAGASI GELOMBANG RADIO HF PADA SIRKIT KOMUNIKASI STASIUN TETAP DENGAN STASIUN BERGERAK Jiyo Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, LAPAN RINGKASAN

Lebih terperinci

DAMPAK PERUBAHAN INDEKS IONOSFER TERHADAP PERUBAHAN MAXIMUM USABLE FREQUENCY (IMPACT OF IONOSPHERIC INDEX CHANGES ON MAXIMUM USABLE FREQUENCY)

DAMPAK PERUBAHAN INDEKS IONOSFER TERHADAP PERUBAHAN MAXIMUM USABLE FREQUENCY (IMPACT OF IONOSPHERIC INDEX CHANGES ON MAXIMUM USABLE FREQUENCY) Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 8 No. Juni :-9 DAMPAK PERUBAHAN INDEKS IONOSFER TERHADAP PERUBAHAN MAXIMUM USABLE FREQUENCY (IMPACT OF IONOSPHERIC INDEX CHANGES ON MAXIMUM USABLE FREQUENCY)

Lebih terperinci

Fisika Ujian Akhir Nasional Tahun 2003

Fisika Ujian Akhir Nasional Tahun 2003 Fisika Ujian Akhir Nasional Tahun 2003 UAN-03-01 Perhatikan tabel berikut ini! No. Besaran Satuan Dimensi 1 Momentum kg. ms 1 [M] [L] [T] 1 2 Gaya kg. ms 2 [M] [L] [T] 2 3 Daya kg. ms 3 [M] [L] [T] 3 Dari

Lebih terperinci

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN MENENGAH DIREKTORAT PEMBINAAN SEKOLAH MENENGAH ATAS

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN MENENGAH DIREKTORAT PEMBINAAN SEKOLAH MENENGAH ATAS Dapatkan soal-soal lainnya di http://forum.pelatihan-osn.com KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN MENENGAH DIREKTORAT PEMBINAAN SEKOLAH MENENGAH ATAS Tes Seleksi Olimpiade Astronomi

Lebih terperinci

ANALISIS PERBANDINGAN DEVIASI ANTARA KOMPONEN H STASIUN BIAK SAAT BADAI GEOMAGNET

ANALISIS PERBANDINGAN DEVIASI ANTARA KOMPONEN H STASIUN BIAK SAAT BADAI GEOMAGNET Seminar Nasional Statistika IX Institut Teknologi Sepuluh Nopember, 7 November 29 ANALISIS PERBANDINGAN DEVIASI ANTARA KOMPONEN H STASIUN BIAK SAAT BADAI GEOMAGNET Oleh : Anwar Santoso Staf Peneliti Bidang

Lebih terperinci

PLANET DAN SATELITNYA. Merkurius

PLANET DAN SATELITNYA. Merkurius PLANET DAN SATELITNYA Merkurius Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/tata_surya Merkurius dikanal juga dengan bulannya Matahari karena Merkurius merupakan planet yang paling dekat dengan Matahari dan planet

Lebih terperinci

Seputar ATMOSFER Asal katanya dari atmos dan shaira (bahasa Yunani), yang artinya atmos : uap, shaira : bulatan. Jadi, atmosfer adalah lapisan gas

Seputar ATMOSFER Asal katanya dari atmos dan shaira (bahasa Yunani), yang artinya atmos : uap, shaira : bulatan. Jadi, atmosfer adalah lapisan gas ATMOSFER ATMOSFER Seputar ATMOSFER Asal katanya dari atmos dan shaira (bahasa Yunani), yang artinya atmos : uap, shaira : bulatan. Jadi, atmosfer adalah lapisan gas yang menyelimuti bulatan bumi. Atmosfir

Lebih terperinci

1. Fenomena Alam Akibat Perubahan Kedudukan Bumi, Bulan, terhadap Matahari. Gerhana Matahari

1. Fenomena Alam Akibat Perubahan Kedudukan Bumi, Bulan, terhadap Matahari. Gerhana Matahari 1. Fenomena Alam Akibat Perubahan Kedudukan Bumi, Bulan, terhadap Matahari Gerhana Matahari Peristiwa gerhana matahari cincin (GMC) terlihat jelas di wilayah Bandar Lampung, Lampung, pada letak 05.21 derajat

Lebih terperinci

MANAJEMEN FREKUENSI DAN EVALUASI KANAL HF SEBAGAI LANGKAH ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN KONDISI LAPISAN IONOSFER

MANAJEMEN FREKUENSI DAN EVALUASI KANAL HF SEBAGAI LANGKAH ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN KONDISI LAPISAN IONOSFER Berita Dirgantara Vol. 12 No. 3 September 2011:110-117 MANAJEMEN FREKUENSI DAN EVALUASI KANAL HF SEBAGAI LANGKAH ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN KONDISI LAPISAN IONOSFER Jiyo, Sri Suhartini, Varuliantor Dear

Lebih terperinci

Wardaya College. Tes Simulasi Ujian Nasional SMA Berbasis Komputer. Mata Pelajaran Fisika Tahun Ajaran 2017/2018. Departemen Fisika - Wardaya College

Wardaya College. Tes Simulasi Ujian Nasional SMA Berbasis Komputer. Mata Pelajaran Fisika Tahun Ajaran 2017/2018. Departemen Fisika - Wardaya College Tes Simulasi Ujian Nasional SMA Berbasis Komputer Mata Pelajaran Fisika Tahun Ajaran 2017/2018-1. Hambatan listrik adalah salah satu jenis besaran turunan yang memiliki satuan Ohm. Satuan hambatan jika

Lebih terperinci

KEMUNCULAN LAPISAN E SEBAGAI SUMBER GANGGUAN TERHADAP KOMUNIKASI RADIO HF

KEMUNCULAN LAPISAN E SEBAGAI SUMBER GANGGUAN TERHADAP KOMUNIKASI RADIO HF Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. No. 3 September 2009 : 11-122 KEMUNCULAN LAPISAN E SEBAGAI SUMBER GANGGUAN TERHADAP KOMUNIKASI RADIO HF Varuliantor Dear Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi,

Lebih terperinci

Sri Suhartini 1, Irvan Fajar Syidik, Slamet Syamsudin Peneliti Pusat Sains Antariksa, Lapan. Diterima 15 Februari 2014; Disetujui 17 April 2014

Sri Suhartini 1, Irvan Fajar Syidik, Slamet Syamsudin Peneliti Pusat Sains Antariksa, Lapan. Diterima 15 Februari 2014; Disetujui 17 April 2014 Karakteristik Indeks Ionosfer (Indeks_T)....(Sri Suhartini et al.) KARAKTERISTIK INDEKS IONOSFER (INDEKS_T) JAM-AN DAN BULANAN SUMEDANG DAN BIAK [SUMEDANG AND BIAK HOURLY AND MONTHLY IONOSPHERIC INDEX

Lebih terperinci

ANALISA PERUBAHAN KARAKTERISTIK TEC AKIBAT LETUSAN GUNUNG MERAPI TAHUN 2010

ANALISA PERUBAHAN KARAKTERISTIK TEC AKIBAT LETUSAN GUNUNG MERAPI TAHUN 2010 ANALISA PERUBAHAN KARAKTERISTIK TEC AKIBAT LETUSAN GUNUNG MERAPI TAHUN Oleh : Widi Hastono dan Mokhamad Nur Cahyadi Program Studi Teknik Geomatika ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 6111 Email : gm729@geodesy.its.ac.id

Lebih terperinci