BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penurunan kualitas dan kuantitas hutan di Indonesia sudah dirasakan sejak dekade 1990-an. Degradasi dan deforestasi sumberdaya hutan terjadi karena tindakan pengelolaan hutan yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah kelestarian hutan. Menurut Irwanto (2012), bencana banjir yang terjadi dibeberapa tempat di Indonesia adalah akibat kerusakan hutan, sehingga deforestasi dan degradasi menjadi masalah yang serius dan terlambat untuk disadari dalam upaya pencegahannya. Menurut statistik Kementrian Kehutanan (2011) yang dipublikasikan bulan Juli 2012, Indonesia memiliki hutan seluas 99,6 juta hektar atau 52,3% dari luas daratan Indonesia. Pada periode 2000-2009 luas hutan di Indonesia yang mengalami deforestasi adalah sebesar 15,16 juta ha. Laju deforestasi pada periode tersebut lebih tinggi dibanding pada periode 1985-1998 (Dephutbun, 2000). Penyebab dari degradasi dan deforestasi ini sangat kompleks. Salah satu penyebabnya adalah adanya pencurian kayu (illegal logging). Setiap tahun diperkirakan lebih dari 10 juta m 3 kayu bulat dan kayu gergajian ukuran besar diselundupkan. Total kerugian secara ekonomi akibat praktik pencurian kayu yang diperkirakan oleh Departemen Kehutanan RI mencapai Rp. 30-40 trilliun per tahun (Kementrian Lingkungan Hidup, 2013). 1
2 Upaya untuk mengatasi illegal logging yang sudah dilakukan oleh penegak hukum (penyidik Polri maupun penyidik Pengawas Pegawai Negeri Sipil yang lingkup tugasnya bertanggung jawab terhadap pengurusan hutan, maupun hakim) telah mempergunakan undang-undang No. 41 tahun 1999 sebagai pedoman. Upaya pencegahan dari aspek kebijakan yang telah dilakukan antara lain melalui SK Menhut No. 541/Kpts-II/2002 yang isinya mencabut SK Menhut No : 051/Kpts-II/2000, untuk menghentikan sementara kewenangan Gubernur atau Bupati/ Walikota dalam menerbitkan HPH/ ijin pemanfaatan hutan. Cara lain yang ditempuh dengan menerbitkan SK Bersama Menteri Kehutanan dan Menteri Perdagangan No: 1132/Kpts-II/2001 dan No: 292/MPP/Kep/10/2001, tentang penghentian ekspor kayu bulat/ bahan baku serpih yang dikuatkan dengan PP No: 34 tahun 2002, yang tegas melarang ekspor log dari Indonesia. Selain itu, upaya yang sudah dilakukan adalah melakukan operasi secara mendadak di lapangan yang berkerjasama dengan TNI-AL dalam pelaksanaan Operasi Wanabahari, serta dengan POLRI dalam pelaksanaan operasi Wanalaga. Berbagai upaya sudah dilakukan, dan upaya tersebut belum memberikan perubahan dan dampak dalam menanggulangi illegal logging. Secara nyata upayaupaya itu belum terlihat efektif. Sehingga perlu dilakukan evaluasi terhadap upaya-upaya tersebut. Selain upaya yang sudah dilakukan di atas, ada upaya yang mulai menjadi sorotan dan sedang diusahakan. Departemen Kehutanan malakukan kerjasama dengan negara lain berupa penanda tanganan Memorandum of Understanding (MOU) dengan Pemerintah Inggris pada tanggal 18 April 2002. Selain dengan Pemerintah Inggris, pemerintah Indonesia juga melakukan
3 kerjasama dengan Pemerintah RRC pada tanggal 18 Desember 2002 dalam rangka memberantas illegal logging dan illegal trade. Upaya yang mulai diterapkan oleh pemerintah adalah dengan memfokuskan kepada penerapan regulasi kebijakan. Salah satu kebijakan yang diambil adalah dengan menerapkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). SVLK merupakan upaya pemerintah Indonesia untuk menjawab tantangan dengan jaminan produk kayu Indonesia adalah legal. SVLK juga merupakan jawaban dari bangsa Indonesia atas keraguan dunia terhadap kayu Indonesia. Selain itu, SVLK sendiri merupakan suatu sistem yang digunakan sebagai alat untuk memastikan keabsahan legalitas kayu sebagai bahan baku oleh suatu industri berbasis kayu. Melalui Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 38/Menhut-II/20009 tentang standar dan pedoman penilaian kinerja pengelolaan hutan produksi lestari dan verifikasi legalitas kayu pada pemegang izin atau pada hutan hak, mulai diberlakukan regulasi yang dimaksud. Regulasi ini mencakup standar dan pedoman pengelolaan hutan produksi dan verifikasi legalitas kayu. SVLK merupakan suatu kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah untuk merespon keinginan produk industri kehutanan yang berasal dari Indonesia menggunakan bahan baku kayu yang legal. Regulasi tentang SVLK tersebut mulai diberlakukan sejak September 2009. Pada akhir 2011, peraturan dimaksud disempurnakan kembali dengan terbitnya Peraturan Menteri Kehutanan P.68/Menhut-II/2011. Terakhir Peraturan Menteri Kehutanan terkait SVLK disempurnakan kembali melalui P.45/Menhut-II/2012 jo. P.42/Menhut-II/2013.
4 Dalam implementasinya, kebijakan ini masih membutuhkan strategi yang sinergis baik di tingkat internasional maupun regional. Strategi ini berkaitan dengan penyiapan kelembagaan implementasi standar legalitas kayu, yang akan meliputi akreditasi, sertifikasi, monitoring, dan license. Kesiapan para pihak terhadap kebijakan SVLK masih belum memberikan dampak dalam implementasinya. Hal ini dipengaruhi oleh kurangnya pemahaman para pihak terhadap SVLK tentang apa dan bagaimana kebijakan baru tersebut harus diterapkan. Terlebih bagi pihak yang secara mandatory (wajib) melakukan sertifikasi bagi pengelolaan hutan, legalitas kayu, dan industri kayu. Sebagai peraturan yang tergolong baru, dalam penerapannya memerlukan tingkat pemahaman dan kapasitas kelembagaan yang memadai. Oleh karena itu perlu adanya pembelajaran untuk implementasi kebijakan SVLK. Penatausahaan Hasil Hutan (PUHH) merupakan prosedur pencatatan dokumen secara konsisten dan atau prosedur pemeriksaan hasil hutan pada setiap tahapan sejak dari tebangan hingga pemasaran. Prinsip dari PUHH itu sediri adalah sistem monitoring peredaran hasil hutan secara konsisten dari hulu ke hilir. Abidah (2012) menyebutkan kegiatan dalam PUHH meliputi perencanaan (perijinan), penebangan, penandaan, pengukuran dan pengujian, pengangkutan, pelaporan. Tujuan dari PUHH adalah untuk monitoring dan pengendalian hasil hutan melalui pencatatan dan verifikasi. Sehingga prinsip dari PUHH adalah sistem lacak balak asal-usul kayu guna menjamin bahwa hasil hutan yang beredar berasal dari sumber yang sah melalui proses verifikasi.
5 1.2 Rumusan Masalah Prinsip dari PUHH adalah fungsi kontrol peredaran kayu. Selain itu, PUHH merupakan sebuah sistem lacak balak yang ingin menjamin bahwa hasil hutan berasal dari sumber yang sah dan telah melalui proses verifikasi. Sedangkan SVLK merupakan sebuah sistem yang mengatur legalitas kayu. Sehingga PUHH menjadi salah satu prasyarat untuk tercapainya SVLK. Kebijakan SVLK merupakan regulasi yang tergolong baru dan belum banyak diketahui oleh sebagian pihak, sehingga dalam upaya penerapan kebijakan SVLK masih memerlukan strategi dan usaha yang lebih keras. Berdasarkan fakta diatas, maka penulis terdorong untuk mengkaji lebih dalam tentang analisis kebijakan penatausahaan hasil hutan kayu dalam implementasi sistem verifikasi legalitas kayu di Kabupaten Jepara. Penulis merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana tingkat ketaatan pihak terkait PUHH (industri, pemerintah dan pedagang kayu) dan kesiapannya dalam implementasi SVLK di Kabupaten Jepara? 2. Bagaimana efektifitas penerapan kebijakan SVLK yang sudah diterapkan di kabupaten Jepara? 1.3 Batasan Penelitian Mengingat sertifikasi terkait hutan adalah masalah yang sangat luas, maka pada penelitian ini diberikan pembatasan masalah. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui peran pemerintah dalam melaksanakan kebijakan SVLK serta peran
6 industri dan pedagang kayu sebagai kelompok target kebijakan. Pembahasan PUHH hanya pada proses pendokumentasian asal usul kayu untuk menjamin legalitas kayu sebagai upaya penerapan SVLK. Lokasi penelitian ini dipilih industri yang ada di Kabupaten Jepara. Karena sampai saat ini, Kabupaten Jepara masih menjadi salah satu pusat dan sentra kerajinan kayu, khususnya furniture di Indonesia. 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk: 1. Evaluasi tingkat ketaatan pemenuhan dokumen PUHH oleh industri dan pedagang kayu terpilih dalam implementasi SVLK di Kabupaten Jepara. 2. Menilai efektivitas tingkat kesiapan pihak terkait PUHH dalam pelaksanaan kebijakan SVLK pada pedagang kayu dan industri pengolahan kayu (furniture) di Kabupaten Jepara.