BAB I PENDAHULUAN. dekade 1990-an. Degradasi dan deforestasi sumberdaya hutan terjadi karena

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penurunan kualitas dan kuantitas hutan di Indonesia sudah dirasakan

BAB I PENDAHULUAN. memilikinya,melainkan juga penting bagi masyarakat dunia.

BAB I PENDAHULUAN. Buku laporan State of the World's Forests yang diterbitkan oleh Food and

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 35/Menhut-II/2009 TENTANG TATA CARA PENERBITAN REKOMENDASI EKSPOR PRODUK KAYU ULIN OLAHAN

BAB 1 PENDAHULUAN. dan telah mencapai 2 juta ha per tahun pada tahun 1996 (FWI & GWF,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Buku laporan State of the World's Forests yang diterbitkan oleh Food

Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan Departemen Kehutanan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap Negara tidak mampu untuk memproduksi suatu barang atau jasa

BAB I PENDAHULUAN. secara optimal. Pengelolaan hutan di Negara Indonesia sepenuhnya diatur dan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.141, 2009 DEPARTEMEN KEHUTANAN. Penilaian. Kinerja. Verifikasi. Legalitas. Pemegang Izin. Pedoman.

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN HAK DI KABUPATEN LAMONGAN

KEYNOTE SPEECH MENTERI PERINDUSTRIAN

Ekspansi Industri Pulp: Cara Optimis Penghancuran Hutan Alam

I. PENDAHULUAN. ekonomi dan sosial budaya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang

SISTEM VERIFIKASI LEGALITAS KAYU

BAB I PENDAHULUAN. Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan sebagai penopang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 7/Menhut-II/2009 TENTANG PEDOMAN PEMENUHAN BAHAN BAKU KAYU UNTUK KEBUTUHAN LOKAL

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 18 TAHUN 2007

2 Mengingat : kembali penilaian kinerja pengelolaan hutan produksi lestari dan verifikasi legalitas kayu pada pemegang izin atau pada hutan hak; c. ba

BAB II LANDASAN TEORI. Perdagangan Republik Indonesia Nomor 20/M-DAG/PER/5/2008 Tentang

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : 24-34

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGEMBANGAN INDUSTRI KEHUTANAN BERBASIS HUTAN TANAMAN penyempurnaan P.14/2011,P.50/2010, P.38 ttg SVLK) dan update peta P3HP.

I. PENDAHULUAN. (UKM) dengan sistem home industry yang bekerjasama dengan industri-industri

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 38/Menhut-II/2009 TENTANG STANDARD DAN PEDOMAN PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL BINA USAHA KEHUTANAN J A K A R T A

BAB I PENDAHULUAN. peradaban umat manusia di berbagai belahan dunia (Maryudi, 2015). Luas hutan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.47, 2009 DEPARTEMEN KEHUTANAN. Tata Cara. Sanksi Administratif. Pemegang Izin. Pengenaan. Pencabutan.

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR TABEL... xvi DAFTAR GAMBAR... xvii DAFTAR LAMPIRAN.. xix

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 17/Menhut-II/2009 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF TERHADAP PEMEGANG IZIN USAHA INDUSTRI

3. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan MARI DUKUNG! I M P L E M E N T A S I P E N U H. oleh Agus Justianto

K E P U T U S A N KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN Nomor : SK. 126 /Dik-2/2012 KURIKULUM DIKLAT PENDAMPINGAN SVLK BAGI PENYULUH

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2001 TENTANG

KERANGKA PROGRAM. Lokasi : Kab. Kuningan, Kab. Indramayu, Kab. Ciamis. Periode Waktu :

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 9 TAHUN 2008 TENTANG

Form. Surat Keputusan Pembaharuan IUI

KONSULTANSI SISTEM VERIFIKASI LEGALITAS KAYU

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 251 TAHUN 2006 TENTANG

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN

dari Indonesia demi Indonesia

KONSULTANSI SISTEM VERIFIKASI LEGALITAS KAYU

TANGGAPAN DAN KLARIFIKASI TERHADAP LAPORAN JPIK DAN EIA

Beberapa perkembangan Internasional sehubungan dengan produk kayu ilegal yang harus dicermati:

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 18 TAHUN 2005 TENTANG

GUBERNUR GORONTALO KEPUTUSAN GUBERNUR GORONTALO NOMOR 252 / 17 / VI /2015 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 248 TAHUN 2006 TENTANG

ARAHAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN

GUBERNUR GORONTALO KEPUTUSAN GUBERNUR GORONTALO NOMOR 251 / 17 / VI /2015 TENTANG

Kota, Negara Tanggal, 2013

I. PENDAHULUAN. ekonomi. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya

I. PENDAHULUAN. menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 07 TAHUN 2006 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 56/Menhut-II/2007 TENTANG PENGADAAN DAN PEREDARAN TELUR ULAT SUTERA MENTERI KEHUTANAN,

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL BINA USAHA KEHUTANAN

PR MENTERI LKH: TUTUP CELAH KORUPSI MELALUI REVISI REGULASI SEKTOR KEHUTANAN

DAMPAK KEBIJAKAN LARANGAN EKSPOR KAYU BULAT TERHADAP SEKTOR KEHUTANAN INDONESIA. Oleh: E.G. Togu Manurung, Ph.D.

Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah

A. PERKEMBANGAN IUPHHK-HA. 1. Jumlah HPH/IUPHHK-HA per Bulan Desember 2008 sebanyak 312 unit dengan luas ha.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Hutan Desa Oleh: Arief Tajalli dan Dwi P. Lestari. Serial: BADAN USAHA MILIK DESA (BUM Desa)

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG RETRIBUSI PEREDARAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK,

PERATURAN DAERAH KOTA BIMA NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BIMA,

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PEREDARAN DAN PENERTIBAN HASIL HUTAN KAYU DI KABUPATEN BARITO UTARA

: Kepala Dinas Provinsi dan Kepala Dinas Kabupaten melakukan pengendalian terhadap pelaksanaan Keputusan ini.

Catatan Pengarahan FLEGT

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

LUAS KAWASAN (ha)

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pembalakan liar di Indonesia dianggap sebagai salah satu pendorong

KONSEP. Revisi Permenhut Nomor P.43/Menhut-II/2014 jo. PermenLHK Nomor P.95/Menhut-II/2014

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. tingkat lokal (tanah adat) (Suhardjito & Darusman, 1998). Jenis hutan ini terbukti

PEDOMAN PELAKSANAAN PENGECEKAN DEKLARASI KESESUAIAN PEMASOK

PERATURAN DAERAH KOTA BIMA NOMOR 6 TAHUN 2004 TENTANG TATA CARA PEMASUKKAN KAYU DARI LUAR DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SGS INDONESIA (Associated Documents)

Identitas LV-LK : Identitas Auditee :

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 15 TAHUN 2010 T E N T A N G TATA CARA IZIN USAHA INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU RAKYAT

BAB II LANDASAN TEORI

Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

e. bahwa berdasarkan Pasal 50 ayat (3) huruf j dan k Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, bahwa setiap orang dilarang membawa

PENGUMUMAN PERUBAHAN SERTIFIKAT LEGALITAS KAYU (S-LK) DI CV SAUDARA BANGUN SEJAHTERA, KOTA SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH

Kajian Sistem Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sektor Kehutanan 2015

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI,

Direktur Jenderal, Ttd

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

this file is downloaded from

Oleh Kepala Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

SUMATERA BARAT, SEBAGAI JANTUNG SUMATERA UNTUK PERLINDUNGAN HUTAN MELALUI SKEMA HUTAN NAGARI DAN HKM, DAN KAITANNYA DENGAN SKEMA PENDANAAN KARBON

bebas murni oleh pengadilan. Sementara itu vonis hukuman bagi pelaku IL di Indonesia selama ini bervariasi, yaitu antara 1 bulan sampai dengan 9

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU UTARA

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penurunan kualitas dan kuantitas hutan di Indonesia sudah dirasakan sejak dekade 1990-an. Degradasi dan deforestasi sumberdaya hutan terjadi karena tindakan pengelolaan hutan yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah kelestarian hutan. Menurut Irwanto (2012), bencana banjir yang terjadi dibeberapa tempat di Indonesia adalah akibat kerusakan hutan, sehingga deforestasi dan degradasi menjadi masalah yang serius dan terlambat untuk disadari dalam upaya pencegahannya. Menurut statistik Kementrian Kehutanan (2011) yang dipublikasikan bulan Juli 2012, Indonesia memiliki hutan seluas 99,6 juta hektar atau 52,3% dari luas daratan Indonesia. Pada periode 2000-2009 luas hutan di Indonesia yang mengalami deforestasi adalah sebesar 15,16 juta ha. Laju deforestasi pada periode tersebut lebih tinggi dibanding pada periode 1985-1998 (Dephutbun, 2000). Penyebab dari degradasi dan deforestasi ini sangat kompleks. Salah satu penyebabnya adalah adanya pencurian kayu (illegal logging). Setiap tahun diperkirakan lebih dari 10 juta m 3 kayu bulat dan kayu gergajian ukuran besar diselundupkan. Total kerugian secara ekonomi akibat praktik pencurian kayu yang diperkirakan oleh Departemen Kehutanan RI mencapai Rp. 30-40 trilliun per tahun (Kementrian Lingkungan Hidup, 2013). 1

2 Upaya untuk mengatasi illegal logging yang sudah dilakukan oleh penegak hukum (penyidik Polri maupun penyidik Pengawas Pegawai Negeri Sipil yang lingkup tugasnya bertanggung jawab terhadap pengurusan hutan, maupun hakim) telah mempergunakan undang-undang No. 41 tahun 1999 sebagai pedoman. Upaya pencegahan dari aspek kebijakan yang telah dilakukan antara lain melalui SK Menhut No. 541/Kpts-II/2002 yang isinya mencabut SK Menhut No : 051/Kpts-II/2000, untuk menghentikan sementara kewenangan Gubernur atau Bupati/ Walikota dalam menerbitkan HPH/ ijin pemanfaatan hutan. Cara lain yang ditempuh dengan menerbitkan SK Bersama Menteri Kehutanan dan Menteri Perdagangan No: 1132/Kpts-II/2001 dan No: 292/MPP/Kep/10/2001, tentang penghentian ekspor kayu bulat/ bahan baku serpih yang dikuatkan dengan PP No: 34 tahun 2002, yang tegas melarang ekspor log dari Indonesia. Selain itu, upaya yang sudah dilakukan adalah melakukan operasi secara mendadak di lapangan yang berkerjasama dengan TNI-AL dalam pelaksanaan Operasi Wanabahari, serta dengan POLRI dalam pelaksanaan operasi Wanalaga. Berbagai upaya sudah dilakukan, dan upaya tersebut belum memberikan perubahan dan dampak dalam menanggulangi illegal logging. Secara nyata upayaupaya itu belum terlihat efektif. Sehingga perlu dilakukan evaluasi terhadap upaya-upaya tersebut. Selain upaya yang sudah dilakukan di atas, ada upaya yang mulai menjadi sorotan dan sedang diusahakan. Departemen Kehutanan malakukan kerjasama dengan negara lain berupa penanda tanganan Memorandum of Understanding (MOU) dengan Pemerintah Inggris pada tanggal 18 April 2002. Selain dengan Pemerintah Inggris, pemerintah Indonesia juga melakukan

3 kerjasama dengan Pemerintah RRC pada tanggal 18 Desember 2002 dalam rangka memberantas illegal logging dan illegal trade. Upaya yang mulai diterapkan oleh pemerintah adalah dengan memfokuskan kepada penerapan regulasi kebijakan. Salah satu kebijakan yang diambil adalah dengan menerapkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). SVLK merupakan upaya pemerintah Indonesia untuk menjawab tantangan dengan jaminan produk kayu Indonesia adalah legal. SVLK juga merupakan jawaban dari bangsa Indonesia atas keraguan dunia terhadap kayu Indonesia. Selain itu, SVLK sendiri merupakan suatu sistem yang digunakan sebagai alat untuk memastikan keabsahan legalitas kayu sebagai bahan baku oleh suatu industri berbasis kayu. Melalui Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 38/Menhut-II/20009 tentang standar dan pedoman penilaian kinerja pengelolaan hutan produksi lestari dan verifikasi legalitas kayu pada pemegang izin atau pada hutan hak, mulai diberlakukan regulasi yang dimaksud. Regulasi ini mencakup standar dan pedoman pengelolaan hutan produksi dan verifikasi legalitas kayu. SVLK merupakan suatu kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah untuk merespon keinginan produk industri kehutanan yang berasal dari Indonesia menggunakan bahan baku kayu yang legal. Regulasi tentang SVLK tersebut mulai diberlakukan sejak September 2009. Pada akhir 2011, peraturan dimaksud disempurnakan kembali dengan terbitnya Peraturan Menteri Kehutanan P.68/Menhut-II/2011. Terakhir Peraturan Menteri Kehutanan terkait SVLK disempurnakan kembali melalui P.45/Menhut-II/2012 jo. P.42/Menhut-II/2013.

4 Dalam implementasinya, kebijakan ini masih membutuhkan strategi yang sinergis baik di tingkat internasional maupun regional. Strategi ini berkaitan dengan penyiapan kelembagaan implementasi standar legalitas kayu, yang akan meliputi akreditasi, sertifikasi, monitoring, dan license. Kesiapan para pihak terhadap kebijakan SVLK masih belum memberikan dampak dalam implementasinya. Hal ini dipengaruhi oleh kurangnya pemahaman para pihak terhadap SVLK tentang apa dan bagaimana kebijakan baru tersebut harus diterapkan. Terlebih bagi pihak yang secara mandatory (wajib) melakukan sertifikasi bagi pengelolaan hutan, legalitas kayu, dan industri kayu. Sebagai peraturan yang tergolong baru, dalam penerapannya memerlukan tingkat pemahaman dan kapasitas kelembagaan yang memadai. Oleh karena itu perlu adanya pembelajaran untuk implementasi kebijakan SVLK. Penatausahaan Hasil Hutan (PUHH) merupakan prosedur pencatatan dokumen secara konsisten dan atau prosedur pemeriksaan hasil hutan pada setiap tahapan sejak dari tebangan hingga pemasaran. Prinsip dari PUHH itu sediri adalah sistem monitoring peredaran hasil hutan secara konsisten dari hulu ke hilir. Abidah (2012) menyebutkan kegiatan dalam PUHH meliputi perencanaan (perijinan), penebangan, penandaan, pengukuran dan pengujian, pengangkutan, pelaporan. Tujuan dari PUHH adalah untuk monitoring dan pengendalian hasil hutan melalui pencatatan dan verifikasi. Sehingga prinsip dari PUHH adalah sistem lacak balak asal-usul kayu guna menjamin bahwa hasil hutan yang beredar berasal dari sumber yang sah melalui proses verifikasi.

5 1.2 Rumusan Masalah Prinsip dari PUHH adalah fungsi kontrol peredaran kayu. Selain itu, PUHH merupakan sebuah sistem lacak balak yang ingin menjamin bahwa hasil hutan berasal dari sumber yang sah dan telah melalui proses verifikasi. Sedangkan SVLK merupakan sebuah sistem yang mengatur legalitas kayu. Sehingga PUHH menjadi salah satu prasyarat untuk tercapainya SVLK. Kebijakan SVLK merupakan regulasi yang tergolong baru dan belum banyak diketahui oleh sebagian pihak, sehingga dalam upaya penerapan kebijakan SVLK masih memerlukan strategi dan usaha yang lebih keras. Berdasarkan fakta diatas, maka penulis terdorong untuk mengkaji lebih dalam tentang analisis kebijakan penatausahaan hasil hutan kayu dalam implementasi sistem verifikasi legalitas kayu di Kabupaten Jepara. Penulis merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana tingkat ketaatan pihak terkait PUHH (industri, pemerintah dan pedagang kayu) dan kesiapannya dalam implementasi SVLK di Kabupaten Jepara? 2. Bagaimana efektifitas penerapan kebijakan SVLK yang sudah diterapkan di kabupaten Jepara? 1.3 Batasan Penelitian Mengingat sertifikasi terkait hutan adalah masalah yang sangat luas, maka pada penelitian ini diberikan pembatasan masalah. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui peran pemerintah dalam melaksanakan kebijakan SVLK serta peran

6 industri dan pedagang kayu sebagai kelompok target kebijakan. Pembahasan PUHH hanya pada proses pendokumentasian asal usul kayu untuk menjamin legalitas kayu sebagai upaya penerapan SVLK. Lokasi penelitian ini dipilih industri yang ada di Kabupaten Jepara. Karena sampai saat ini, Kabupaten Jepara masih menjadi salah satu pusat dan sentra kerajinan kayu, khususnya furniture di Indonesia. 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk: 1. Evaluasi tingkat ketaatan pemenuhan dokumen PUHH oleh industri dan pedagang kayu terpilih dalam implementasi SVLK di Kabupaten Jepara. 2. Menilai efektivitas tingkat kesiapan pihak terkait PUHH dalam pelaksanaan kebijakan SVLK pada pedagang kayu dan industri pengolahan kayu (furniture) di Kabupaten Jepara.