BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Hallyu dan K-Pop sebagai Trendsetter Selera Pasar

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Globalisasi budaya pop Korea yang biasa dikenal dengan Korean Wave,

REALITA BELAKANG PANGGUNG K-POP CROSS COVER DANCE (STUDI PADA GRUP K-POP CROSS COVER DANCE WAR SCHOOL )

BAB I PENDAHULUAN. konsumen, yaitu pada bagian sales product. Bagian ini terdiri dari beberapa divisi,

Realita Belakang Panggung K-Pop Cross Cover Dance (Studi pada Grup K-Pop Cross Cover Dance War School )

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. manusia, namun kita sering melupakan betapa besar peranannya.

BAB I PENDAHULUAN. Korea menghasilkan sebuah fenomena demam budaya Korea di tingkat. global, yang biasa disebut Korean wave. Korean wave atau hallyu

BAB I PENDAHULUAN Konteks Penelitian. Dalam kehidupan sehari- hari kita tidak dapat terlepas untuk berinteraksi

BAB I PENDAHULUAN. kemunculannya Instagram sudah mencuri perhatian para penggunanya, menurut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Presentasi Diri Ayam Kampus Di Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN. diajak bicara mempunyai kesan tertentu tentang si pembicara. Pengelolaan kesan

BAB II DRAMATURGI: ERVING GOFFMAN. yang namanya teori dramaturgi, Dramaturgi adalah teori yang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. bahasa dan sastra Indonesia. Materi pembelajaran drama yang diajarkan di tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena pengidolaan Korean pop belakangan ini sedang banyak terjadi, Kpop atau

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. di dalam mempertahankan hidupnya. Hal ini terbukti dari salah satu seni di

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gaya hidup baru. Terlebih lagi dengan pencintraan terhadap kebaya semikin

BAB I PENDAHULUAN. kelompok yang lain, bahkan memecahkan suatu permasalahan. 1 Kelompok adalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sebagai makhluk sosial yang saling berinteraksi dalam masyarakat, banyak

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Aktivitas-aktivitas yang dilakukan penggemar boyband Korea

BAB II. a. Rasionalitas alat-tujuan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Pendekatan Teoritik Dalam Komunikasi Politik. Oleh: Adiyana Slamet, S.IP., M.Si

BAB I PENDAHULUAN. timur dunia. Kebudayaan barat memang sudah tidak asing lagi dan sudah lebih

BAB V PENUTUP. 1. Representai Budaya Pop Korea dalam Masyarakat Subkultur Di Kota Surakarta

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

TEORI DRAMATURGI. A. Latar Belakang Teori Dramaturgi

I. PENDAHULUAN. dan berkomunikasi dengan manusia lainnya dalam kehidupan sehari-hari, baik itu

BAB I PENDAHULUAN. anak-anak, remaja hingga orang dewasa. Kerap kali di toko-toko buku atau pun

Kuliah ke-8 Teori Sosiologi Kontemporer Amika Wardana, Ph.D.

BAB I PENDAHULUAN. terkait dengan merebaknya popularitas K-pop dengan cepat dinegeri tirai bambu

BAB I PENDAHULUAN. serta kebiasaan dan lingkungan yang berbeda-beda, itulah yang sebagian besar

ARTIKEL TENTANG SENI TARI

BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

dapat dilihat bahwa media massa memiliki pengaruh yang besar dalam

, 2015 FANATISME PENGGEMAR KOREAN IDOL GROUP PELAKU AGRESI VERBAL DI MEDIA SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Komunikasi merupakan suatu kebutuhan pokok setiap manusia, karena

BAB I PENDAHULUAN. memaknai bahwa kebudayaan itu beragam. Keragamannya berdasarkan norma norma serta

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Manusia terlahir dibumi telah memiliki penyesuaian terhadap lingkungan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti

BAB I PENDAHULUAN. musik pop yang berasal dari Negara Korea. Menurut Chua dan Iwabuchi 2008

BAB I PENDAHULUAN. hal yang dikomunikasikan yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak.

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. untuk mengetahui Front Stage dan Back Stage yang dibangun oleh

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Masalah

HARAJUKU STYLE : KREATIVITAS DAN NILAI-NILAI HIDUP PARA PELAKU SENI COSPLAY PADA KOMUNITAS HARJUKJA DI KOTA SOLO

BAB I PENDAHULUAN. kecil seperti inilah yang memunculkan ide dasar dunia kosmetika.

BAB III METODE PENELITIAN. The Great queen Seondeok dan kemudian melihat relasi antara teks tersebut

BAB I PENDAHULUAN. rambut dan tata rias wajah yang mengusung gaya ketimuran khususnya tren

BAB I PENDAHULUAN. Konsep diri merupakan suatu bagian yang penting dalam setiap

BAB VI PENUTUP. Berdasarkan kajian tentang Dimensi Epistemologi dalam Sosiologi Peter. Ludwid Berger dan Relevansinya terhadap Pengembangan Studi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Dalam penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. bergaul, bersosialisasi seperti masyarakat pada umumnya. Tidak ada salahnya

repository.unisba.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Manusia tidak dapat menghindari interaksi sosial untuk mengungkapkan

BAB I PENDAHULUAN. dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. Dalam meningkatkan hal tersebut,

KOMUNIKASI INTRAPERSONAL PERSEPSI INTERPERSONAL DAN KONSEP DIRI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

HOBI COSTUME PLAY (COSPLAY) DAN KONSEP DIRI. (Studi Korelasional Hubungan Antara Hobi Cosplay dengan Konsep Diri Anggota Komunitas Cosplay Medan)

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari, kita ketahui terdapat beberapa jenis seni yang di

BAB 4 KONSEP DESAIN. 4.1 Landasan Teori/Metode Teori membuat Komik. Dalam bukunya, Scott McCloud mengatakan bahwa komik adalah

BAB I PENDAHULUAN. seberapa besar peran minat terhadap perilaku pembelajaran budaya Korea.

Gambar 1.1 Gambar spoiler media sosial ask.fm Sumber :

]BAB I PENDAHULUAN. memiliki nilai dan kebanggaan tersediri. Mereka tidak segan-segan merubah

BAB I PENDAHULUAN. merupakan pengindonesiaan dari kata tattoo yang berarti goresan, gambar, atau

BAB I PENDAHULUAN. negara harus memiliki Soft Power (kekuatan lunak). Kekuatan lunak memiliki

SOSIOLOGI KOMUNIKASI. KOMUNIKASI SEBAGAI PROSES INTERAKSI Rika Yessica Rahma,M.Ikom. Modul ke: Fakultas Ilmu Komunikasi. Program Studi Penyiaran

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. hidup dengan orang lain dalam kesehariannya. Hal tersebut menciptakan

MENCIPTA TOKOH DALAM NASKAH DRAMA Transformasi dari Penokohan Menjadi Dialog, Suasana, Spektakel

2015 PENGARUH BUDAYA K-POP TERHADAP NASIONALISME REMAJA

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Pada zaman modernisasi ini banyak dijumpai remaja yang sering ikutikutan

BAB I PENDAHULUAN. sangat mendunia. Menurut Korean Culture and Information Service (2011),

Bab I Pendahuluan. di Indonesia ialah budaya korea. Budaya korea disebut juga Hallyu atau "Korean

BAB I PENDAHULUAN. penting mengenai peran serta posisi seseorang di kehidupan sosial.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Suatu hubungan dalam kehidupan manusia, tidak pernah terlepas dari adanya

Team project 2017 Dony Pratidana S. Hum Bima Agus Setyawan S. IIP

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Globalisasi sebagai sebuah fenomena saat ini semakin banyak

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu dari sekian banyaknya kesenian di Pulau Jawa adalah kesenian wayang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dihargai keberadaannya. Penenelitian tentang tattoo artist bernama Awang yang

1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Semenjak lahir, kita tidak dapat hidup sendiri untuk mempertahankan

BAB I PENDAHULUAN. Ini bisa dilihat dengan begitu maraknya shopping mall atau pusat

BAB I PENDAHULUAN. gaya berbusana, atau fashion secara etimologis fashion berasal dari bahasa Latin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. beberapa tahun belakangan ini di Indonesia. Hallyu Wave merupakan istilah yang

TINJAUAN PUSTAKA. mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian adalah ciptaan dari segala pikiran dan perilaku manusia yang

BAB IV ANALISIS DATA. Film sebagai salah bentuk komunikasi massa yang digunakan. untuk menyampaikan pesan yang terkandung didalamnya.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Budaya lokal menjadi media komunikasi di suatu daerah yang dapat

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II. Tindakan Sosial Max Weber dan Relevansinya dalam Memahami Perilaku. Peziarah di Makam Syekh Maulana Ishak

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

Transkripsi:

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka 1. Hallyu dan K-Pop sebagai Trendsetter Selera Pasar Gelombang Korea mengarah pada fenomena hiburan Korea dan budaya populer yang bersinergi dengan musik pop, drama, dan juga film. Dalam bahasa korea dikenal dengan istilah hallyu, yang pertama kali diperkenalkan oleh jurnalis asal Beijing, pada akhir 1990-an yang dimaksudkan untuk menggambarkan semakin populernya budaya pop Korea di Cina. Korea muncul sebagai pusat baru untuk produksi budaya pop transnasional, dengan keberhasilannya sebagai eksportir budaya. Hal itu sering dikaitkan dengan menjual produk-produk budaya yang berkualitas tinggi dengan memasukkan unsur Barat tanpa menghilangkan nilai-nilai tradisional Korea dan identitas budayanya (Wahyudi, 2012) Gelombang Korea pada hakikatnya adalah perwujudan atau representasi dari industri budaya pada era yang sangat kapitalistik dan manipulatif. Karya yang dihasilkan dari gelombang ini khususnya dalam bidang seni, baik itu film ataupun musik, merupakan karya-karya yang dikreasi dengan penekanan utama atau yang berorientasi pada suatu pasar atau profit. Seluruh produk yang dihasilkan dari hallyu, sesungguhnya tidak tepat diberi istilah memenuhi selera pasar seperti musik ataupun film, yang pada kenyataannya justru mereka yang telah menciptakan sebuah pasar. Gelombang inilah yang menciptakan pasar. Munculnya demam Gangnam Style oleh PSY, yang bukan sebagai pemenuhan selera pasar, justru menciptakan selera pasar (Wahyudi, 2012) 9

Karya-Karya yang dikategorikan ke dalam gelombang korea ini disebut seni populer yang lebih mengutamakan kesementaraan dalam lingkup yang menggairahkan dan mampu menyihir pendengar atau penonton dengan dikemas semenawan mungkin. Kemewahan dalam busana, tata cahaya panggung, maupun bentuk fisik para penyanyi, telah melewati semacam sulapan atau teknik manipulasi yang pada akhirnya memang mampu menyilaukan para penggemar. Aksi panggung mereka pada umumnya telah mampu menciptakan semacam reaksi yang dapat dikatakan sebagai penuh dengan pemujaan. Fanatisme, istilah yang cukup tepat dalam penggambaran kondisi semacam ini. Pada realitas ini, dalam wilayah psikologis para remaha atau anak muda yang umumnya tengah berada dalam tahap mencari-cari identifikasi atas diri dan lingkungannya (Wahyudi, 2012) Karya-karya yang dihasilkan dari gelombang Korea, tidaklah semua dibuat atas dasar pemenuhan selera pasar atau yang sudah dikenal luas. Beberapa karya yang sudah ditampilkan oeh PSY dengan Gangnam Style atau H.O.T di tahun 1990-an maupun serial drama Winter Sonata, jelas bukan karya yang hanya mengikuti selera pasar namun justru mereka lah yang menciptakan selera pasar itu. Tidak sedikit karya-karya tersebut bertindak sebagai pencipta pasar atau trendsetter, yang dengan kata lain ada sesuatu keunggulan pada karya tersebut. Seluruh produk yang dihasilkan dari hallyu merupakan bagian atau pelaksanaan dari apa yang disebut sebagai seni populer atau seni pop, yaitu seni yang secara sederhananya adalah karya yang dibuat dengan lebih menonjolkan orientasi yang menempatkan khalayak atau masyarakat awam sebagai sasaran. Para pencipta seni 10

populer lebih berkehendak untuk memuaskan pendengar atau penonton daripada dibebani oleh ide-ide artistik pada karyanya yang akan dibuat (Wahyudi, 2012). Musik populer Korea atau dikenal dengan istilah K-Pop, merupakan salah satu produk yang dihasilkan oleh hallyu pada bidang musik. Daya tarik terbesar dari aliran musik ini dapat ditemukan dalam lagu-lagu yang easy listening, para artis, dan efek panggung. Sejarah K-Pop dimulai dengan kedatangan grup Seo Taiji and Boys pada tahun 1992. Grup ini memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam merubah berbagai kebiasaan dari musik lokal dan mengenalkan berbagai jenis dan gaya dari luar negeri. Musik yang dipadukan dengan seni tari menjadi bagian yang penting dalam aliran musik pop korea ini, dan melahirkan banyak idola baru (KOCIS, 2011). Aliran musik pop Korea memang identik dengan boyband dan girlband. Boyband adalah sebutan untuk vokal grup yang beranggotakan para laki-laki muda dan berpenampilan menarik. Sedangkan girlband yang beranggotakan para perempuan. Boyband dan girlband sebenarnya sudah ada sejak dulu, namun pada aliran musik ada perbedaan dari yang terdahulu. Mereka mengemas sedemikian bagus dan rapih. Dimulai dari perpaduan antara kualitas suara yang baik dan enak didengar bagi pendengarnya, gerakan olah tubuh yang indah, serta penampilan yang bisa dibilang cantik, tampan, imut, hingga menggemaskan pun bisa kita lihat dari anggota-anggota grup tersebut. Boyband dan girlband baru terus muncul meramaikan industri musik negara tersebut. Dengan penampilan yang menawan, ternyata tidak hanya menarik perhatian dari negeri Korea Selatan saja, Eropa, Amerika, Jepang, Asia, bahkan di Indonesia pun termasuk (KOCIS, 2011). 11

2. K-Pop Cover Dance dan Cross Cover Dance Cover Dance adalah bentuk tarian yang mereproduksi koreografi artis favorit mereka. Selain koreografi, penampilan seperti kostum yang dikenakan pada saat tampil, make up, serta gaya rambut sengaja dirancang sama seperti artis aslinya (KOCIS, 2011). Arti dari kata covering adalah membawakan suatu karya dari orang lain tanpa mengakuinya sebagai karya sendiri. Lumrah dilakukan oleh para band, penyanyi, dan juga penari diseluruh dunia. Baik band ataupun penyanyi, covering adalah hal yang pasti dilakukan dikarenakan belum memiliki lagu sendiri. Dalam seni peran, seperti pertunjukan teater, merupakan salah satu bentuk dari kegiatan covering, hanya saja penggunaan istilahnya saja berbeda. Covering berbeda dengan plagiat. Arti dari plagiat menurut kamus besar bahasa Indonesia, adalah pengambilan karangan orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan sendiri (Rahmadi, 2012). Cross cover dance adalah meng-cover idol grup lawan jenis. Hampir sama dengan cover dance, hanya berbeda pada grup yang ditirunya saja. Dimulai dari kostum yang dikenakan, konsep tari yang digunakan, make up, dan gaya rambut yang cenderung feminim, merupakan perbedaan dari cross cover dance. Baik cover dance dan cross cover dance, sekarang diidentikkan dengan K-Pop. Di Korea Selatan sendiri, cover dance dan cross cover dance sangat tinggi peminatnya meskipun artis yang ditiru berasal dari negera tersebut. Bahkan, keberadaannya diakui dan tidak dianggap plagiat atau perusak nama baik dari artis tersebut selagi dilakukannya wajar dan tidak menyimpang (Rahmadi, 2012). 12

K-Pop menjadi salah satu genre musik yang berkembang dengan cepat di dunia. Hal ini menyebabkan cover dance dan cross cover dance K-Pop menjadi sebuah trend diberbagai negara, baik itu Amerika, Eropa, Jepang, Asia, bahkan di Indonesia. K-Pop cover dance adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan meniru koreografi tarian K-Pop artis. Pengakuan keberadaan cover dance oleh negera Korea, dibuktikan dengan diselenggarakannya K-Pop Cover Dance Festival dalam perayaan Visit Korea Year dan peserta yang berpartisipasi dalam festival ini adalah grup-grup yang berasal dari berbagai negara. Hal ini sebagai pembuktian bahwa fenomena K-Pop sudah terjadi di dunia. Moon Chang Ho, Produser Eksekutif 2011 K-Pop Cover Dance Festival menyatakan: The cover dance boom has created a platform for fans from all around the world to actively participate and enjoy K-Pop; and therefore, it is helping expand K-Pop as a truly international form of social entertainment. (boomingnya cover dance telah menciptakan sebuah platform untuk para penggemar dari seluruh dunia untuk secara aktif berpartisipasi dan menikmati K- Pop, dan karena itu program ini membantu memperluas K-Pop sebagai bentuk dari hiburan sosial bertaraf internasional)" 3. Presentasi Diri dan Pengelolaan Kesan di Depan Panggung Presentasi diri adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh individu tertentu untuk memproduksi definisi situasi dan identitas sosial bagi para aktor dan definisi situasi tersebut mempengaruhi ragam interaksi yang layak dan tidak layak bagi para aktor dalam situasi yang ada (Mulyana, 2008: 110). Maksud dari definisi tersebut bisa diartikan sebagai upaya individu untuk menumbuhkan suatu kesan yang diharapkan di hadapan orang lain dengan cara 13

menata perilaku-perilaku agar dapat dimaknai identitas dirinya sesuai dengan yang diinginkan. Pada proses produksi identitas, ada suatu pertimbangan yang dilakukan mengenai atribut simbol yang dikenakan dan mampu mendukung identitas yang ditampilkan secara menyeluruh, seperti busana yang dipakai, cara berjalan dan berbicara, rumah yang kita huni dan cara kita melengkapi perabotan rumah, pekerjaan yang kita lakukan dan cara kita menghabiskan waktu luang (Mulyana, 2008: 112). Dalam teori diri, Goffman berpendapat bahwa, diri adalah suatu hasil kerjasama (collaborative manufacture) yang harus diproduksi-baru dalam setiap peristiwa interaksi sosial. Kutipan kata-kata yang dilontarkan oleh Goffman tentang diri (Mulyana, 2008: 109). Diri menurut Goffman bersifat temporer dalam arti bahwa diri tersebut memiliki jangka pendek, bermain peran karena selalu dituntut oleh peran-peran sosial yang berlainan yang interaksinya dengan masyarakat berlangsung dalam episode-episode pendek. Selain itu juga, diri bukanlah sesuatu yang dimiliki oleh seorang individu, melainkan yang dipinjamkan orang lain kepadanya (Mulyana, 2008). Ketika orang-orang berinteraksi, mereka ingin menyajikan suatu gambaran-diri yang akan diterima orang lain. Goffman menyebut upaya tersebut itu sebagai pengelolaan kesan (impression management), yaitu teknik-teknik yang digunakan aktor untuk memupuk kesan-kesan tertentu dalam situasi tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam buku Psikologi Komunikasi karya Jalaluddin Rakhmat, proses pembentukan kesan ada tiga, yaitu (Rakhmat, 2001: 91-96): 14

a. Stereotyping Pada saat guru menghadapi murid-murid yang sudah jelas bersifat heterogen, ia akan mengelompokkan pada konsep-konsep tertentu, seperti cerdas, pintar, bodoh, malas, rajin, cantik, atau jelek. Penggunaan konsep ini menyederhanakan begitu banyak stimuli yang diterimanya. Tetapi, begitu anak-anak itu diberi kategori cerdas, persepsi guru terhadapnya akan konsisten. Semua sifat anak cerdas akan dikenakan pada mereka. Inilah yang disebut stereotyping. Dengan kata lain, stereotype adalah mengelompokan atau proses pencantuman label terhadap sesuatu berdasarkan pengalaman, atau pengetahuan yang tersimpan di dalam memori seseorang. Dalam stereotyping akan terjadinya primacy effect dan halo effect. Primacy effect adalah menunjukan bahwa kesan pertama sangat menentukan dikarenakan kesan tersebut menentukan kategori. Sedangkan halo effect, persona stimuli yang sudah kita senangi telah mempunyai kategori tertentu yang positif, dan pada kategori itu sudah disimpan semua sifat yang baik. b. Implicit Personality Theory Setiap orang mempunyai konsepsi tersendiri tentang sifat-sifat apa berkaitan dengan sifat-sifat apa. Ketika membuat konsep, sama dengan memberikan kategori pada suatu hal. Konsepsi ini merupakan teori yang dipergunakan orang ketika membentuk kesan tentang orang lain. Salah satu contohnya yaitu, konsep bersahabat meliputi konsep-konsep ramah, suka menolong, tidak jahat, dan lain-lain. Kita mempunyai asumsi orang ramah pasti suka menolong, toleran, tidak jahat, dan tidak akan mencemooh. 15

c. Atribusi Atribusi adalah proses menyimpulkan motif, maksud, dan karakteristik orang lain dengan melihat pada perilakunya yang tampak. Ada dua jenis atribusi, yaitu kausalitas dan kejujuran. Menurut Fritz Heider (1958) orang yang pertama menelaah kausalitas, mendefinisikannya sebagai proses pemahaman sebab orang berperilaku. Ketika akan mengamati perilaku sosial, pertamatama tentukan faktor penyebabnya, situasional (eksternal) atau personal (internal). Setelah mengetahui proses pembentukan kesan, maka pengelolaan kesan adalah suatu usaha persona stimuli dalam menampilkan petunjuk-petunjuk tertentu untuk menimbulkan kesan tertentu pada diri penanggap. Peralatan yang digunakan pada saat akan menampilkan diri disebut front yang terdiri dari panggung (setting), penampilan (appearance), dan gaya bertingkah-laku (manner). Panggung adalah rangkaian peralatan ruang dan benda yang akan digunakan. Penampilan berarti menggunakan petunjuk artifaktual, seperti menggunakan dasi pada kemeja merk terkenal, sepatu mengkilat, pada saat akan bertemu calon mertua dan berharap akan dinilai sebagai orang yang mapan. Gaya bertingkah laku menunjukkan cara kita berjalan, duduk, berbicara, memandang, dan sebagainya. Contoh seorang yang baru mendapatkan jabatan yang tinggi, akan mengurangi humornya, berbicara teratur dan baku, berjalan tegap, karena dia ingin menumbuhkan kharismanya (Mulyana, 2008) Erving Goffman menyebut aktivitas untuk mempengaruhi orang lain itu sebagai pertunjukkan (performance), yaitu presentasi diri yang dilakukan individu 16

pada ungkapan-ungkapan yang tersirat, suatu ungkapan yang lebih bersifat teateris, kentekstual, non-verbal dan tidak bersifat intensional (Mulyana, 2008). Goffman menyatakan bahwa hidup layaknya teater yang di dalamnya terdapat aktor (individu) dan penonton (masyarakat). Dalam pelaksanaannya, selain panggung tempat pementasan peran, juga memerlukan ruang ganti yang berfungsi utuk mempersiapkan segala sesuatunya sebelum melakukan kegiatan pentas. Pada saat di dalam panggung, individu akan menggunakan simbol-simbol yang berkaitan untuk memperkuat identitas karakternya, tetapi ketika masa pementasannya selesai, maka di belakang panggung akan terlihat tampilan yang sebenarnya dari individu tersebut. Kehidupan seperti teater dikaji dalam studi dramaturgi (Mulyana, 2008). 4. Kajian Tentang Dramaturgi Pada dasarnya interaksi manusia menggunakan simbol-simbol, cara manusia menggunakan simbol, merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamannya. Itulah interaksi simbolik dan itu pulalah yang mengilhami perspektif dramaturgis. Pandangan Goffman agaknya harus dipandang sebagai serangkaian tema dengan menggunakan berbagai teori. Ia memang seorang dramaturgis, tetapi juga memanfaatkan pendektan interaksi simbolik, fenomenologis Schutz, formalisme Simmel, dan bahkan fungsionalisme Durkhem (Harymawan, 1988). Salah satu kontribusi interaksionisme simbolik adalah penjabaran berbagai macam pengaruh yang ditimbulkan penafsiran orang lain terhadap identitas atau citra diri individu yang merupakan objek interpretasi. Dalam kaitan ini, perhatian Goffman adalah apa yang ia sebut ketertiban interaksi (interaction order) yang 17

meliputi struktur, proses, dan produk interaksi sosial. Ketertiban interaksi muncul untuk memenuhi kebutuhan akan pemeliharaan keutuhan diri. Seperti ini pemikiran kaum interaksionis umumnya. Inti pemikiran Goffman adalah diri (self), yang dijabarkan oleh Goffman dengan cara yang unik dan memikat yaitu Teori Diri Ala Goffman (Mulyana, 2004). Kalau kita perhatikan diri kita itu dihadapkan pada tuntutan untuk tidak ragu-ragu melakukan apa yang diharapkan diri kita. Untuk memelihara citra diri yang stabil, orang melakukan pertunjukan (performance) di hadapan khalayak. Sebagai hasil dari minatnya pada pertunjukan itu, Goffman memusatkan perhatian pada dramaturgi atau pandangan atas kehidupan sosial sebagai serangkaian pertunjukan drama yang mirip dengan pertunjukan drama di panggung. Fokus pendekatan dramaturgi adalah apa yang ingin mereka lakukan, mengapa mereka melakukan, dan bagaimana mereka melakukan. Berdasarkan pandangan Kenneth Burke bahwa pemahaman yang layak atas perilaku manusia harus bersandar pada tindakan, dramaturgi menekankan dimensi ekspresif/ impresif aktivitas manusia. Burke melihat tindakan sebagai konsep dasar dalam dramatisme. Burke memberikan pengertian yang berbeda antara aksi dan gerakan. Aksi terdiri dari tingkah laku yang disengaja dan mempunyai maksud, gerakan adalah perilaku yang mengandung makna dan tidak bertujuan. Masih menurut Burke bahwa seseorang dapat melambangkan simbol-simbol. Seseorang dapat berbicara tentang ucapan-ucapan atau menulis tentang kata-kata, maka bahasa berfungsi sebagai kendaraan untuk aksi. Karena adanya kebutuhan sosial 18

masyarakat untuk bekerja sama dalam aksi-aksi mereka, bahasapun membentuk perilaku (Mulyana, 2004). Dramaturgi menekankan dimensi ekspresif/ impresif aktivitas manusia, yakni bahwa makna kegiatan manusia terdapat dalam cara mereka mengekspresikan diri dalam interaksi dengan orang lain yang juga ekspresif. Oleh karena perilaku manusia bersifat ekspresif inilah maka perilaku manusia bersifat dramatik. Pendekatan dramaturgis Goffman berintikan pandangan bahwa ketika manusia berinteraksi dengan sesamanya, ia ingin mengelola pesan yang ia harapkan tumbuh pada orang lain terhadapnya. Untuk itu, setiap orang melakukan pertunjukan bagi orang lain. Kaum dramaturgis memandang manusia sebagai aktor-aktor di atas panggung metaforis yang sedang memainkan peran-peran mereka (Littlejohn, 1996: 166). Pengembangan diri sebagai konsep oleh Goffman tidak terlepas dari pengaruh gagasan Cooley tentang the looking glass self. Gagasan diri ala Cooley ini terdiri dari tiga komponen. Pertama, kita mengembangkan bagaimana kita tampil bagi orang lain; kedua, kita membayangkan bagaimana penilaian mereka atas penampilan kita; ketiga, kita mengembangkan sejenis perasaan diri, seperti kebanggaan atau malu, sebagai akibat membayangkan penilaian orang lain tersebut. Lewat imajinasi, kita mempersepsi dalam pikiran orang lain suatu gambaran tentang penampilan kita, perilaku, tujuan, perbuatan, karakter temanteman kita dan sebagainya, dan dengan berbagai cara kita terpangaruh olehnya (Mulyana, 2004). Konsep yang digunakan Goffman berasal dari gagasan-gagasan Burke, dengan demikian pendekatan dramaturgis sebagai salah satu varian 19

interaksionisme simbolik yang sering menggunakan konsep peran sosial dalam menganalisis interaksi sosial, yang dipinjam dari khasanah teater. Peran adalah ekspektasi yang didefinisikan secara sosial yang dimainkan seseorang suatu situasi untuk memberikan citra tertentu kepada khalayak yang hadir. Bagaimana sang aktor berperilaku bergantung kepada peran sosialnya dalam situasi tertentu. Fokus dramaturgi bukan konsep diri yang dibawa sang aktor dari situasi ke situasi lainnya atau keseluruhan jumlah pengalaman individu, melainkan diri yang tersituasikan secara sosial yang berkembang dan mengatur interaksi-interaksi spesifik. Menurut Goffman diri adalah suatu hasil kerjasama (collaborative manufacture) yang harus diproduksi baru dalam setiap peristiwa interaksi sosial (Mulyana, 2004). Menurut interaksi simbolik, manusia belajar memainkan berbagai peran dan mengasumsikan identitas yang relevan dengan peran-peran ini, terlibat dalam kegiatan menunjukkan kepada satu sama lainnya siapa dan apa mereka. Dalam konteks demikian, mereka menandai satu sama lain dan situasi-situasi yang mereka masuki, dan perilaku-perilaku berlangsung dalam konteks identitas sosial, makna dan definisi situasi. Presentasi diri seperti yang ditunjukan Goffman, bertujuan memproduksi definisi situasi dan identitas sosial bagi para aktor, dan definisi situasi tersebut mempengaruhi ragam interaksi yang layak dan tidak layak bagi para aktor dalam situasi yang ada (Poloma: 2010). Goffman mengasumsikan bahwa ketika orang-orang berinteraksi, mereka ingin menyajikan suatu gambaran diri yang akan diterima orang lain. Ia menyebut upaya itu sebagai pengelolaan pesan (impression management), yaitu teknik- 20

teknik yang digunakan aktor untuk memupuk kesan-kesan tertentu dalam situasi tertentu untuk mencapai tujuan tertentu (Harymawan, 1988). Dalam perspektif dramaturgis, kehidupan ini ibarat teater, interaksi sosial yang mirip dengan pertunjukan di atas penggung, yang menampilkan peran-peran yang dimainkan para aktor. Untuk memainkan peran tersebut, biasanya sang aktor menggunakan bahasa verbal dan menampilkan perilaku noverbal tertentu serta mengenakan atribut-atribut tertentu, misalnya kendaraan, pakaian dan asesoris lainnya yang sesuai dengan perannya dalam situasi tertentu. Aktor harus memusatkan pikiran agar dia tidak keseleo lidah, menjaga kendali diri, melakukan gerak-gerik, menjaga nada suara dan mengekspresikan wajah yang sesuai dengan situasi. Menurut Goffman kehidupan sosial itu dapat dibagi menjadi wilayah depan (front region) dan wilayah belakang (back region). Wilayah depan merujuk kepada peristiwa sosial yang menunjukan bahwa individu bergaya atau menampilkan peran formalnya. Mereka sedang memainkan perannya di atas panggung sandiwara dihadapan khalayak penonton. Sebaliknya, wilayah belakang merujuk kepada tempat dan peristiwa yang yang memungkinkannya mempersiapkan perannya di wilayah depan. Wilayah depan ibarat panggung sandiwara bagian depan (front stage) yang ditonton khalayak penonton, sedang wilayah belakang ibarat panggung sandiwara bagian belakang (back stage) atau kamar rias tempat pemain sandiwara bersantai, mempersiapkan diri, atau berlatih untuk memainkan perannya di panggung depan (Harymawan, 1988). Goffman mengakui bahwa panggung depan mengandung anasir struktural, dalam arti bahwa panggung depan cenderung terlembagakan alias mewakili 21

kepentingan kelompok atau organisasi. Sering ketika aktor melaksanakan perannya, peran tersebut telah ditetapkan lembaga tempat dia bernaung. Meskipun berbau struktural, daya tarik pendekatan Goffman terletak pada interaksi. Ia berpendapat bahwa umumnya orang-orang berusaha menyajikan diri mereka yang diidealisasikan dalam pertunjukan mereka di panggung depan, merasa bahwa mereka harus menyembunyikan hal-hal tertentu dalam pertunjukannya. Hal itu disebabkan oleh (Mulyana, 2004: 116) : a. Aktor mungkin ingin menyembunyikan kesenangan-kesenangan tersembunyi. b. Aktor mungkin ingin menyembunyikan kesalahan yang dibuat saat persiapan pertunujkan, langkah-langkah yang diambil untuk memperbaiki kesalahan tersebut. c. Aktor mungkin merasa perlu menunjukan hanya produk akhir dan menyembunyikan proses memproduksinya. d. Aktor mungkin perlu menyembunyikan kerja kotor yang dilakukan untuk membuat produk akhir dari khalayak. Dalam melakukan pertunjukan tertentu, aktor mungkin harus mengabaikan standar lain (misal menyembunyikan hinaan, pelecehan, atau perundingan yang dibuat sehingga pertunjukan dapat berlangsung) (Ritzer, 2011). Aspek lain dari dramaturgi di panggung depan adalah bahwa aktor sering berusaha menyampaikan kesan bahwa mereka punya hubungan khusus atau jarak sosial lebih dekat dengan khalayak daripada jarak sosial yang sebenarnya. Goffman mengakui bahwa orang tidak selamanya ingin menunjukan peran formalnya dalam panggung depannya. Orang mungkin memainkan suatu perasaan, meskipun ia tidak menginginkan peran tersebut, atau menunjukkan 22

keengganannya untuk memainkannya padahal ia senang bukan kepalang akan peran tersebut. Akan tetapi menurut Goffman, ketika orang melakukan hal semacam itu, mereka tidak bermaksud membebaskan diri sama sekali dari peran sosial atau identitas mereka yang formal itu, namun karena ada perasaan sosial dan identitas lain yang menguntungkan mereka (Ritzer, 2011). Fokus perhatian Goffman sebenarnya bukan hanya individu, tetapi juga kelompok atau apa yang ia sebut tim. Selain membawakan peran dan karakter secara individu, aktor-aktor sosial juga berusaha mengelola kesan orang lain terhadap kelompoknya, baik itu keluarga, tempat bekerja, parati politik, atau organisasi lain yang mereka wakili. Semua anggota itu oleh Goffman disebut tim pertunjukan (performance team) yang mendramatisikan suatu aktivitas. Kerjasama tim sering dilakukan oleh para anggota dalam menciptakan dan menjaga penampilan dalam wilayah depan. Mereka harus mempersiapkan perlengkapan pertunjukan dengan matang dan jalannya pertunjukan, memain pemain inti yang layak, melakukan pertunjukan secermat dan seefisien mungkin, dan kalau perlu juga memilih khalayak yang sesuai. Setiap anggota saling mendukung dan bila perlu memberi arahan lewat isyarat nonverbal, seperti isyarat dengan tangan atau isyarat mata, agar pertunjukan berjalan mulus. (Mulyana, 2004) Goffman menekankan bahwa pertunjukan yang dibawakan suatu tim sangat bergantung pada kesetiaan setiap anggotanya. Setiap anggota tim memegang rahasia tersembunyi bagi khalayak yang memungkinkan kewibawaan tim tetap terjaga. Dalam kerangka yang lebih luas, sebenarnya khalayak juga dapat dianggap sebagai bagian dari tim pertunjukan. Artinya agar pertunjukan 23

sukses, khalayak juga harus berpartisipasi untuk menjaga agar pertunjukan secara keseluruhan berjalan lancer (Ritzer, 2011). Dalam perspektif Goffman unsur penting lainnya adalah pandangan bahwa interaksi mirip dengan upacara keagamaan yang sarat dengan berbagai ritual, aspek-aspek remeh dalam perilaku yang sering luput dari perhatian orang merupakan bukti-bukti penting, seperti kontak mata antara orang-orang yang tidak saling mengenal ditempat umum. Bagi Goffman, perilaku orang-orang yang terlibat dalam interaksi yang sepintas tampak otomatis itu menunjukan pola-pola tertentu yanbg fungsional. Perilaku saling melirik satu sama lain untuk kemudian berpaling lagi kearah lain menunjukan bahwa orang-orang yang tidak saling mengenal itu menaruh kepercayaan untuk tidak saling mengganggu (Ritzer, 2011). Bagi Goffman, tampaknya hampir tidak ada isyarat nonverbal yang kosong dari makna. Isyarat yang tampak sepelepun, seperti berpaling ke arah lain, atau menjaga jarak dengan orang asing yang dimaksudkan untuk menjaga privasi orang adalah ritual antarpribadi atau dalam istilah Goffman menghargai diri yang keramat, bukan sekedar adat kebiasaan. Tindakan-tindakan tersebut menandakan keterlibatan sang aktor dan hubungan yang terbina dengan orang lain, juga menunjukan bahwa sang aktor layak atau berharga sebagai manusia. Maka penghargaan atas diri yang keramat ini dibalas dengan tindakan serupa, sehingga berlangsunglah upacara kecil tersebut (Ritzer, 2011). Kehidupan manusia tampaknya akan berjalan normal bila kita mengikuti ritual-ritual kecil dalam interaksi ini, meskipun kita tidak selamanya menjalankannya. Etiket adalah yang pantas dan tidak pantas kita lakukan dalam 24

suatu situasi. Goffman menegaskan bahwa masyarakat memang memobilisasikan anggota-anggotanya untuk menjadi para peserta yang mengatur diri-sendiri, yang mengajari kita apa yang harus dan tidak boleh kita lakukan dalam rangka kerjasama untuk mengkonstruksikan diri yang diterima secara sosial, salah satunya adalah lewat ritual. Menurut Goffman keterikatan emosional pada diri yang kita proyeksikan dan wajah kita merupakan mekanisme paling mendasari kontrol sosial yang saling mendorong kita mengatur perilaku kita sendiri. Wajah adalah suatu citra-diri yang diterima secara sosial. Menampilkan wajah yang layak adalah bagian dari tatakrama situasional, yaitu aturan-aturan mengenai kehadiran diri yang harus dikomunikasikan kepada orang lain yang juga hadir (Ritzer, 2011). Untuk menunjukkan bahwa kita orang yang beradab, kita begitu peduli dengan tata krama sebelum kita melakukan sesuatu, tetapi ada kalanya kita melanggar etiket tersebut. Misalnya kita datang terlambat kesuatu pertemuan penting. Ketika kita menyadarinya, kita hampir seperti apa yang oleh Goffman disebut berbagai tindakan perbaikan (remedial work of various kind) yang fungsinya mengubah hal yang ofensif menjadi hal yang diterima (Ritzer, 2011). 5. Kajian Tentang Konstruksi Realita Sosial Teori konstruksi sosial merupakan kelanjutan dari pendekatan teori fenomenologi, pada awalnya merupakan teori filsafat yang dibangun oleh Husserl Hegel, dan kemudian diteruskan oleh Alfreed Schutz. Inti pemikiran Schutz mengenai fenomenologi adalah bagaimana memahami tindakan sosial melalui penafsiran. Manusia merupakan makhluk sosial di mana memiliki kesadaran akan kehidupan dunia sehari-hari untuk saling memahami satu sama lain. Pandangan dekskriptif interpretatif mengenai tindakan sosial dapat diterima hanya bila 25

tampak masuk akal bagi pelaku sosial yang relevan. Artinya, pemikiran ini hanya menangkap makna tindakan orang awam, sebagaimana orang tersebut memahami tindakannya (Ritzer, 2011). Lalu, melalui Weber, fenomenologi menjadi teori sosial yang andal untuk digunakan sebagai analisis sosial. Jika teori struktural fungsional dalam paradigma fakta sosial terlalu melebih-lebihkan peran struktur dalam mempengaruhi perilaku manusia, maka teori tindakan terlepas dari struktur di luarnya. Manusia memiliki kebebasan untuk mengekspresikan dirinya tanpa terikat oleh struktur dimana ia berada. Manusia yang hidup dalam konteks sosial tertentu, melakukan proses interaksi secara simultan dengan lingkungannya. Dengan demikian, yang dimaksud dengan realitas sosial adalah hasil dari sebuah konstruksi sosial yang diciptakan oleh manusia itu sendiri (Poloma, 2010). Mendefinisikan tentang kenyataan atau realitas dan pengetahuan. Realitas sosial adalah sesuatu yang tersirat di dalam pergaulan sosial yang diungkapkan secara sosial melalui komunikasi bahasa dan kerjasama melalui bentuk-bentuk organisasi sosial. Realitas sosial ditemukan dalam pengalaman intersubjektif, sedangkan pengetahuan mengenai realitas sosial berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat dengan segala aspeknya, meliputi ranah kognitif, psikomotorik, emosional, dan intuitif (Berger, 1991). Masyarakat menurut Berger merupakan realitas objektif sekaligus subjektif. Sebagai realitas objektif, masyarakat berada di luar diri manusia dan berhadapan dengannya. Sedangkan sebagai realitas subjektif, individu berada di dalam masyarakat sebagai bagian yang tak terpisahkan. Dengan kata lain, bahwa individu adalah pembentuk masyarakat dan masyarakat juga pembentuk individu. 26

Realitas sosial bersifat ganda dan bukan tunggal, yaitu realitas objektif dan subjektif. Realitas objektif adalah realitas yang berada di luar diri manusia, sedangkan realitas subjektif adalah realitas yang berada dalam diri manusia. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Berger dalam teori konstruksi sosialnya, bahwa sistem pengetahuan seseorang tidak bisa terlepas dari latar belakang atau setting yang melatarbelakanginya (Berger, 1991). Berger memandang manusia sebagai pencipta kenyataan sosial yang objektif melalui tiga momen dialektis simultan. Proses tersebut yaitu: (Berger, 1991) a. Eksternalisasi, yaitu usaha ekspresi diri manusia kedalam dunia. Proses ini merupakan bentuk ekspresi diri untuk menguatkan eksistensi individu dalam masyarakat. Pada tahap ini masyarakat dilihat sebagai produk manusia (society is a human product). b. Objektivasi, adalah hasil yang telah dicapai dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Proses interaksi dengan dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami institusionalisasi. Pada tahap ini masyarakat dilihat sebagai realitas yang objektif (society is an objective reality). c. Internalisasi, individu mengidentifikasi dengan lembaga-lembaga sosial, atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya. Melalui internalisasi manusia menjadi hasil dari masyarakat (man is a social product). Tahap eksternalisasi dan objektivasi merupakan pembentukan masyarakat yang disebut sebagai sosialisasi primer, yaitu momen dimana seseorang berusaha mendapatkan dan membangun tempatnya dalam masyarakat. Dalam kedua tahap ini (eksternalisasi dan objektivasi), seseorang memandang masyarakat sebagai 27

realitas objektif (man in society). Sedangkan dalam tahap internalisasi, seseorang membutuhkan pranata sosial (social order), dan agar pranata itu dapat dipertahankan dan dilanjutkan, maka haruslah ada pembenaran terhadap pranata tersebut, tetapi pembenaran itu dibuat juga oleh manusia sendiri melalui proses legitimasi yang disebut objektivasi sekunder. Pranata sosial merupakan hal yang objektif, independen dan tak tertolak yang dimiliki oleh individu secara subjektif. Ketiga momen dialektik itu mengandung fenomena-fenomena sosial yang saling bersintesa dan memunculkan suatu konstruksi sosial atau realitas sosial, yang dilihat dari asal mulanya merupakan hasil kreasi dan interaksi subjektif (Poloma, 2010). B. Penelitian yang Relevan Untuk memberi dasar yang kuat pada penelitian yang dilakukan, maka peneliti memasukan penelitian-penelitian terdahulu yang sejenis yang dianggap dapat mendukung penelitian ini. 1. M. Muchibbur Rochman, 2011, mahasiswa Jurusan Pendidikan Sosiologi, Universitas Negeri Yogyakarta, dengan judul skripsi: Fenomena Cross Gender dalam Raminten 3 Cabaret Show, Mirota Batik, Yogyakarta. Cross gender dalam cabaret show merupakan fenomena sosial yang belum banyak diketahui keberadaannya oleh masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi keikutsertaan individu dalam Raminten 3 Cabaret Show, mengetahui sejarah dan proses terselenggaranya pertunjukan seni Raminten 3 Cabaret Show, serta mengetahui dan mendeskripsikan kehidupan talent cross gender Raminten 3 Cabaret Show. Lokasi dari penelitian ini adalah Raminten 3 Resto dan 28

Cabaret Show. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif deskriptif. Teknik pengumpulan data meliputi observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Berdasarkan hasil penelitian, faktor-faktor pendorong yang melatarbelakangi keikutsertaan individu dalam Raminten 3 Cabaret Show meliputi faktor personal (internal) yang terbagi menjadi hobi, mencari kepuasan batin, mengisi waktu luang, dan kebutuhan ekonomi, serta faktor lingkungan sosial (eksternal) yang terdiri dari ajakan teman dan kompetisi Raminten Got Talent. Pada dasarnya anggota atau talent cross gender yang bergabung dengan Raminten 3 Cabaret Show memiliki aktivitas masingmasing baik di area panggung atau di luar panggung pertunjukan. Sesuai dengan konsep dramaturgi, aktivitas ini dibedakan menjadi front stage setting dan personal front (appearance dan manner), serta aktivitas back stage (belakang panggung). 2. Arfina Rafsanjani, 2010, mahasiswa Jurusan Pendidikan Sosiologi, Universitas Negeri Yogyakarta, dengan judul skripsi: Analisis Perilaku Fanatisme Penggemar Boyband Korea (Studi pada Komunitas Safel Dance Club). Antusiasme dan kecintaan terhadap boyband Korea yang menimbulkan perilaku fanatisme bagi para penggemarnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku penggemar mengekspresikan fanatisme terhadap boyband Korea dan menganalisis perilaku fanatisme penggemar boyband Korea di komunitas Safel Dance Club. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan perilaku fanatisme penggemar meliputi mengikuti perkembangan boyband idola melalui 29

internet, mengoleksi pernak-pernik dan merchandise, menhikuti dance cover, bergabung dalam komunitas penggemar, dan mengunduh musik video, lagu, konser serta variety show. Ekspresi sebagai penggemar juga dilakukan dengan cara mendukung boyband idola, menabung untuk konser, menjadikan idola mereka sebagai motivasi dalam berkarya, imitasi serta identifikasi dalam berfashion. Pengalaman mengenai boyband Korea membentuk suatu kesadaran dan pemahaman sehingga dapat diterima di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Boyband Korea diartikan sebagai simbol yang mengarahkan tindakan penggemar ke arah perilaku fanatik. Makna yang dimiliki bersama semakin mempertegas pemaknaan individu. Bagi sebagian besar masyarakat pada umumnya, menggemari boyband Korea merupakan suatu hal yang aneh dan tidak umum. Apa yang ditampilkan oleh boyband Korea dianggap tidak sesuai dengan budaya di Indonesia. 3. Maria Mawati Puspa, 2011, Mahasiswa Universitas Komputer Indonesia, dengan judul skripsi: Pengelolaan Kesan Pemain Kostum Kartun Jepang dalam Event Second Anniversary Cosplay Bandung di Braga Citywalk. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, bahwa dalam panggung belakang (back stage) pengelolaan kesan yang dilakukan oleh pemain kostum kartun Jepang, ketika tidak sedang memainkan perannya sebagai cosplayer, mereka dapat berbicara sebebas mungkin dan tidak perlu bersandiwara dalam mendiskusikan konsep, pelatihan dubbing, pelaksanaan dubbing, merancang kostum, mempersiapkan alat make up, atribut, properti dan hal teknis lainnya, serta saat melaksanakan latihan intensif. Dalam Panggung tengah (middle 30

stage) pengelolaan kesan yang dilakukan meliputi gaya bicara, penampilan, penguasaan situasi, sikap dan perilaku yang meliputi ruang lingkup latihan ingatan emosi amarah, latihan ingatan peristiwa, adegan tunggal/menghafal adegan sendiri, adegan berpasangan aksi reaksi, adegan kelompok (narrative pantomime, dubbing, three ways conversations, one word, one sentence, singing dialogue), berfoto, atau mengobrol. Dalam panggung depan (front stage), pengelolaan kesan yang dilakukan meliputi gaya bicara, penampilan, sikap dan perilaku yang meliputi ruang lingkup adegan teatrikal, adegan tarian, serta walk street, dan juga jarak peran antar pemain, jarak sosial kepada penonton untuk mendapatkan kesan yang cosplayer inginkan (kesan keren, kreatif, lucu). Setiap cosplayer berlomba-lomba melakukan pengelolaan kesan untuk menampilkan citra diri yang positif. Namun karakter asli cosplayer masih terbawa ke dalam panggung depan yang seharusnya hanya memainkan karakter tokoh mereka saja. C. Kerangka Berpikir Pendekatan dramaturgi Goffman khususnya berintikan pandangan bahwa ketika manusia berinteraksi dengan sesamanya, ia ingin mengelola kesan yang diharapkan tumbuh pada orang lain terhadapnya. Untuk itu, setiap orang melakukan pertunjukan bagi orang lain. Pendekatan ini fokus pada cara individu melakukan sesuatu, bukan apa yang dilakukan, apa yang ingin dilakukan, atau mengapa melakukan hal itu (Mulyana, 2008: 107). Menggunakan konsep dari Deddy Mulyana mengenai Dramaturgi yang diadopsi dari Erving Goffman. Deddy Mulyana dalam bukunya Metode Penelitian Komunikasi menjelaskan bahwa, Tidak hanya ada panggung depan (front stage) 31

dan panggung belakang (back stage) saja, tetapi juga meliputi panggung tengah (middle stage) (Mulyana, 2008: 58). 1. Panggung Depan (Front Stage) Panggung depan adalah ruang publik yang digunakan seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan kesan kepada orang lain melalui pengelolaan kesan (impression management) (Mulyana 2008: 57). Di panggung inilah seorang aktor mencoba menampilkan dirinya melalui peran-peran tertentu yang dipilih dalam berjalan proses interaksi sosial dengan khalayak. Goffman membagi panggung depan menjadi dua bagian, yaitu personal front dan setting, yaitu situasi fisik yang harus ada ketika aktor harus melakukan pertunjukan. Personal front terdiri dari alat-alat yang dapat dianggap khalayak sebagai perlengkapan yang dibawa aktor ke dalam setting. Personal front ini mencakup juga bahasa verbal dan bahasa tubuh sang aktor, seperti berbicara sopan, pengucapan istilah-istilah asing, intonasi, postur tubuh, ekspresi wajah, pakaian, penampakan usia, ciri-ciri fisik, dan sebagainya (Mulyana, 2008: 114-115). Pada panggung inilah cross cover dance melakukan presentasi diri di depan penonton pada saat mereka tampil disetiap pertunjukkan yang diikuti. Setiap anggota dari grup ini berusaha menampilkan peran yang dimainkan dengan karakter yang mereka tiru dari setiap personil girlband Korea. Peran yang dilakukan pada saat panggung ini sangat berbeda dengan kepribadian aslinya, yaitu pada saat berada di panggung belakang. Selain itu, pada panggung ini seluruh aktor melakukan aktivitas sehari-hari dihadapan teman-temannya. Dengan kata lain, pada saat itulah para aktor menggunakan topeng lain 32

dihadapan teman-temannya pada saat beraktivitas sehari-hari. Setting pada front stage adalah panggung pertunjukan dan juga lingkungan sekitar 2. Panggung Tengah (Middle Stage) Merupakan sebuah panggung lain di luar panggung resmi saat sang aktor mengkomunikasikan pesan-pesannya, yakni panggung depan (front stage) saat mereka beraksi di depan khalayak tetapi juga di luar panggung belakang (back stage) saat mereka mempersiapkan pesan pesannya (Mulyana, 2008: 58). Seluruh anggota dari grup cross cover dance akan melakukan pengelolaan kesan pada panggung ini. Hal ini bertujuan agar mendapatkan kesan yang diharapkan pada saat pertunjukan berlangsung. Kegiatan tersebut diantaranya melakukan latihan di sanggar, tempat yang biasa dijadikan untuk berlatih, dan di ruang ganti sebelum pentas dimulai. Macam kegiatannya berupa latihan koreografi, lipsync, penjiwaan karakter berupa ekspresi. 3. Panggung Belakang (Back Stage) Panggung belakang adalah wilayah dimana seorang aktor dapat menampilkan wajah aslinya. Di panggung ini juga seorang aktor menunjukan kepribadian aslinya pada masyarakat sekitar (Mulyana, 2008: 58). Di wilayah inilah para anggota cross cover dance cenderung menunjukan sifat asli yang sangat berbeda jauh ketika berada di panggung depan. Menggunakan bahasa sehari-hari, berpenampilan sesuai dengan kesehariannya, dan menjalani kehidupan seperti biasanya yang terlepas dari kegiatan yang ada pada panggung depan. Panggung belakang sangat identik 33

dengan lingkungan keluarga, dan pada saat itu para aktor tidak menggunakan topeng nya. Mereka melakukan keseluruhan dari aktivitas secara natural. Kerangka Pikir Grup K-Pop Cross Cover Dance War School Faktor Internal Latar Belakang Individual Faktor Eksternal Front Stage Dramaturgi Konstruksi Realitas Sosial Back Stage 34