BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Baliwati, dkk,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. dengan Presiden Republik Indonesia pada tahun , yang bertujuan untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial

BAB I PENDAHULUAN. strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional, bahkan politis.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. untuk alasan sebagai berikut (Swindale & Bilinsky 2006):

GUBERNUR SUMATERA BARAT

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 71 TAHUN 2009 TENTANG

BADAN KETAHANAN PANGAN PROPINSI SUMATERA BARAT TAHUN Disampaikan pada : Pertemuan Sinkronisasi Kegiatan dengan Kabupaten/Kota

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 16 TAHUN 2011

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL

I. PENDAHULUAN. pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Buletin IKATAN Vol. 3 No. 1 Tahun

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN. Pertanian. Konsumsi Pangan. Sumber Daya Lokal.

BAB I PENDAHULUAN. untuk jangka waktu tertentu yang akan dipenuhi dari penghasilannya. Dalam

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

WALIKOTA PROBOLINGGO

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG KEBIJAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL

PROGRAM DAN KEGIATAN BIDANG KONSUMSI DAN PENGANEKARAGAMAN PANGAN TAHUN 2017

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

POLA PANGAN HARAPAN (PPH)

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 60 TAHUN 2010 TENTANG PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBERDAYA LOKAL GUBERNUR JAWA BARAT,

BAB I PENDAHULUAN. ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan

PENDAHULUAN Latar Belakang

BUPATI BARITO UTARA PERATURAN BUPATI BARITO UTARA NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat

WALIKOTA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 51 TAHUN 2010 TENTANG

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

PEDOMAN GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BAB I PENDAHULUAN

METODE PENELITIAN. No Data Sumber Instansi 1 Konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar

III. METODE PENELITIAN. A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional

BAB I PENDAHULUAN. laut ini, salah satunya ialah digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan.

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 18/Permetan/HK.140/4/2015 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gizinya (BKP, 2013). Menurut Suhardjo dalam Yudaningrum (2011), konsumsi

5 / 7

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Ketahanan Pangan dan Gizi adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

22/02/2017. Outline SURVEI KONSUMSI PANGAN. Manfaat survei konsumsi pangan. Metode Survei Konsumsi Pangan. Tujuan Survei Konsumsi Pangan

POLA PANGAN HARAPAN PADA MASYARAKAT DI KELURAHAN BANMATI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN SUKOHARJO

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2010 NOMOR 5 SERI E

BAB I PENDAHULUAN. dekade ini termasuk di Indonesia. Berdasar Undang-undang Nomor 18 tahun 2012

I. PENDAHULUAN. cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok

PENGEMBANGAN KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI (KRPL) Bunaiyah Honorita

BUPATI KUDUS. PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 20 Tahun 2010 TENTANG

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) DI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN SUKOHARJO

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PEDOMAN GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN (P2KP) TAHUN 2014

I. PENDAHULUAN. rumah tangga. Menurut (Hanafie, 2010) ketahanan pangan bagi suatu negara

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

METODE. Keadaan umum 2010 wilayah. BPS, Jakarta Konsumsi pangan 2 menurut kelompok dan jenis pangan

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 15/Permentan/OT.140/2/2013 TENTANG

PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama, 2008).

KATA PENGANTAR. Semoga bermanfaat. Kepala Badan Ketahanan Pangan. Achmad Suryana. P a n d u a n T e k n i s P 2 K P t a h u n

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 5 TAHUN 2017

Langkah-langkah yang telah dilakukan untuk mengatasi kendala dalam pencapaian indikator kinerja antara lain:

PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 36 TAHUN 2011 TENTANG

PENDAHULUAN Latar Belakang

PERANAN PKK DALAM MENDUKUNG PEMANFAATAN LAHAN PEKARANGAN SEBAGAI SUMBER GIZI KELUARGA. Oleh: TP. PKK KABUPATEN KARANGANYAR

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. 1. Model Pengembangan Pangan Pokok Lokal (MP3L)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BUPATI MALUKU TENGGARA

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

II. TINAJUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap makhluk hidup

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. keseluruhan pembangunan yang tengah dilakukan di Indonesia. Terbukti

padi-padian, umbi-umbian, sayuran, buah-buahan, dan pangan dari hewani yaitu

Ketahanan Pangan dan Pertanian. disampaikan pada : Workshop Hari Gizi Nasional (HGN) ke-55

II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI. 1. Program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP)

RENCANA STRATEGIS PUSAT PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI DAN KEAMANAN PANGAN

GUBERNUR SULAWESI BARAT

Pola Konsumsi Pangan Penyandang Disabilitas di Kota Malang

PERBEDAAN POLA PANGAN HARAPAN DI PEDESAAN DAN PERKOTAAN KABUPATEN SUKOHARJO (Studi di Desa Banmati dan Kelurahan Jetis)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Konsumsi yang berkualitas dapat diwujudkan apabila makanan yang. kesadaran terhadap pangan beragam, bergizi, seimbang dan aman.

KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN YANG DIANJURKAN

PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DAN GIZI : FAKTOR PENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Analisis Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Perkotaan Dalam Mewujudkan Diversifikasi Konsumsi Pangan (Studi Kasus di Kota Bandar Lampung)

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 5 TAHUN 2013

Kontribusi Pemanfaatan Lahan Pekarangan terhadap Pemenuhan Gizi Keluarga dan Pengeluaran Pangan Rumah Tangga

BAB I PENDAHULUAN. peradaban masyarakat untuk memenuhi kualitas hidup semakin dituntut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seseorang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan

BAB I PENDAHULUAN. adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) BADAN KETAHANAN PANGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

BAB 1 PENDAHULUAN. berlanjut hingga dewasa bila tidak diatasi sedari dini.

Transkripsi:

2.1 Pola Konsumsi Pangan BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Baliwati, dkk, 2010). Pola konsumsi pangan berfungsi untuk mengarahkan agar pola pemanfaatan pangan secara nasional dapat memenuhi kaidah mutu, keanekaragaman, kandungan gizi, keamanan dan kehalalan, di samping juga untuk efisiensi makan dalam mencegah pemborosan. Pola konsumsi pangan juga mengarahkan agar pemanfaatan pangan dalam tubuh (utility food) dapat optimal, dengan peningkatan atas kesadaran pentingnya pola konsumsi yang beragam, dengan gizi seimbang mencakup energi, protein, vitamin dan mineral serta aman (Badan Ketahanan Pangan, 2012). Pola makan yang baik mengandung makanan pokok, lauk-pauk, buah-buahan dan sayur-sayuran serta dimakan dalam jumlah cukup sesuai dengan kebutuhan. Pola makan yang baik dan jenis hidangan yang beraneka ragam dapat menjamin terpenuhinya kecukupan sumber tenaga, zat pembangun dan zat pengatur bagi kebutuhan gizi seseorang, sehingga status gizi seseorang akan lebih baik dan memperkuat daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit (Baliwati, dkk, 2010). 2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Konsumsi Pangan Pola konsumsi pangan dibentuk oleh beberapa faktor yang mempengaruhinya. Secara umum adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pola konsumsi pangan tersebut adalah : 6

7 1. Jumlah anggota keluarga Jumlah anggota keluarga dapat mempengaruhi jumlah dan pembagian ragam pangan yang dikonsumsi dalam keluarga. Semakin banyak anggota keluarga, maka makanan untuk setiap orang akan berkurang terutama pada keluarga dengan ekonomi lemah (Suhardjo, dkk,1986). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fransiska (2013) tentang analisis diversifikasi konsumsi pangan beras dan pangan non beras, dijumpai bahwa jumlah anggota rumah tangga berpengaruh nyata dan positif terhadap konsumsi pangan rumah tangga. Hal ini juga didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bangun (2013) menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga berpengaruh nyata dengan tingkat konsumsi beras dimana semakin banyak anggota keluarga semakin banyak beras yang dikonsumsi. 2. Pendidikan Menurut Husaini (1989) dalam penelitian Ampera dkk perilaku konsumsi pangan seseorang atau keluarga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan atau pengetahuan tentang pangan itu sendiri, dalam satu keluarga biasanya ibu yang bertanggung jawab terhadap makanan keluarga. Karena pengetahuan gizi bertujuan untuk mengubah perilaku konsumsi masyarakat kearah konsumsi pangan yang sehat dan bergizi. Penelitian yang dilakukan oleh Mapandin (2005) dalam tesisnya yang berjudul hubungan faktor-faktor sosial budaya dengan konsumsi makanan pokok rumah tangga pada masyarakat di kecamatan Wamena, kabupaten

8 Jayawijaya didapatkan bahwa kontribusi energi makanan pokok dengan kategori pada rumah tangga dengan ibu rumah tangga berpendidikan dasar jauh lebih besar dibandingkan pada rumah tangga dengan ibu rumah tangga berpendidikan lanjut. 3. Budaya Kebudayaan juga menentukan kapan seseorang boleh atau tidak boleh memakan suatu makanan (tabu), walaupun tidak semua tabu rasional, bahkan banyak jenis tabu yang tidak masuk akal. Oleh karena itu kebudayaan mempengaruhi seseorang dalam konsumsi pangan yang menyangkut pemilihan jenis pangan, serta persiapan serta penyajiannya (Siregar, 2009). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mapandin (2005) ditemukan bahwa faktor budaya juga sangat berperan dalam konsumsi makanan pokok rumah tangga beragam. Semakin kuat faktor budaya yang dianut, semakin sedikit jenis makanan pokok yang dikonsumsi. 4. Lingkungan Faktor lingkungan cukup besar pengaruhnya terhadap pembentukan perilaku makan. Lingkungan yang dimaksud dapat berupa lingkungan keluarga, sekolah, serta adanya promosi melalui media elektronik maupun cetak (Handayani, 2012). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sebayang (2012) tentang gambaran pola konsumsi makanan mahasiswa di Universitas Indonesia dijumpai bahwa 90,6% responden memiliki pengaruh yang kuat dari teman sebaya dalam hal

9 konsumsi makanan dan sisanya memiliki pengaruh yang lemah terhadap pola konsumsi. 5. Peraturan/program pemerintah Adanya dukungan baik berupa peraturan ataupun program pemerintah dapat menyebabkan kepatuhan peserta program (Nahampun, 2009), sehingga akan membantu masyarakat atau peserta dari program tersebut untuk memperbaiki pola konsumsinya menjadi lebih baik. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sihotang (2008) diketahui bahwa semakin keluarga sadar gizi maka status gizi balita baik. Terlihat dari persentase status gizi balita dimana pada keluarga yang telah melaksanakan indikator sadar gizi, balita dengan status gizi baik adalah 100%. Sementara keluarga yang tidak sadar gizi masih ditemukan status gizi kurang dan status gizi buruk. 2.3 Pola Pangan Harapan Penilaian keberhasilan upaya percepatan penganekaragaman pola konsumsi pangan memerlukan suatu parameter. Parameter yang digunakan adalah PPH. Pola Pangan Harapan adalah susunan beragam pangan atau kelompok pangan yang didasarkan atas sumbangan energinya, baik secara absolut maupun relatif terhadap total energi baik dalam hal ketersediaan maupun konsumsi pangan sehingga mampu mencukupi kebutuhan konsumsi pangan penduduk sekaligus mempertimbangkan keseimbangan gizi yang didukung dengan citarasa, daya cerna, daya terima masyarakat, kuantitas dan kemampuan daya beli masyarakat (Baliwati,dkk, 2010).

10 Pola Pangan Harapan mencerminkan susunan konsumsi pangan anjuran untuk hidup sehat, aktif dan produktif. Dengan pendekatan PPH dapat dinilai mutu pangan berdasarkan skor pangan dari sembilan bahan pangan. Ketersediaan pangan sepanjang waktu, dalam jumlah yang cukup dan hanya terjangkau sangat menentukan tingkat konsumsi pangan di tingkat rumah tangga. Selanjutnya pola konsumsi pangan rumah tangga akan berpengaruh pada komposisi konsumsi pangan (Depkes RI, 2010). Tiap negara mempunyai potensi dan sosial budaya yang berbeda-beda. Bagi Indonesia menurut hasil Workshop on Food and Agriculture Planning for Nutritional Adequacy di Jakarta tanggal 11-13 Oktober 1989 direkomendasikan sebagai berikut: kelompok padi-padian sekitar 50%, makanan berpati sekitar 5%, pangan hewani sekitar 15-20%, minyak dan lemak lebih dari 10%, kacang-kacangan sekitar 5%, gula 6-7%, buah dan sayur 5% (FAO-MOA, 1989). Menurut Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) VII tahun 2004, susunan PPH nasional yang telah disepakati terdapat pada Table 2.1 dengan target pencapaian energi sebesar 2000 kkal/kapita/hari.

11 No Tabel 2.1. Pola Konsumsi Pangan Beragam, Bergizi dan Berimbang Nasional Kelompok Pangan Porsi (gram) Pola Pangan Harapan Nasional Konsumsi Energi (kkal) % AKE Bobot Skor Mutu (PPH) 1 Padi-padian 275 1,000 50,0 0,5 25,0 2 Umbi-umbian 100 120 6,0 0,5 3, 0 3 Pangan hewani 150 240 12,0 2,0 24,0 4 Minyak dan 20 200 10,0 0,5 5,0 lemak 5 Biji berminyak 10 60 3,0 0,5 1,5 6 Kacang-kacangan 35 100 5,0 2,0 10,0 7 Gula 30 100 5,0 0,5 2,5 8 Sayur dan buah 250 120 6,0 5,0 30,0 9 lain-lain 60 3,0 0,0 0,0 Jumlah 2,000 100,0 100,0 Sumber: Pusat Penganekaragaman Konsumsi Dan Keamanan Pangan, 2013 Pada konsep PPH, setiap kelompok pangan dalam bentuk energi mempunyai pembobot yang berbeda tergantung dari peranan pangan dari masing-masing kelompok terhadap pertumbuhan dan perkembangan manusia. Sebagai contoh, pembobot pada kelompok padi-padian, umbi-umbian dan gula hanya 0,5 karena pangan tersebut hanya sebagai sumber energi untuk pertumbuhan manusia. Sebaliknya pangan hewani dan kacang-kacangan sebagai sumber protein yang berfungsi sebagai pertumbuhan dan perkembangan manusia mempunyai pembobot 2 dan sayur/buah sebagai sumber vitamin dan mineral, serat, dan lain-lain mempunyai pembobot 5. Dengan mengkalikan proporsi energi dengan masing-masing pembobotnya, maka dalam konsep PPH akan diperoleh skor sebesar 100. Dalam arti diversifikasi konsumsi pangan sesuai konsep PPH harus mempunyai skor 100 (Ariani, 2005).

12 Penilaian untuk keberhasilan penganekaragaman (diversifikasi) konsumsi pangan berdasarkan skor mutu PPH yang dicapai dibagi dalam 3 (tiga) kategori sebagai berikut (Suhardjo dalam Sembiring (2002)) : a. Segitiga perunggu Skor mutu pangan kurang dari 78, dengan ciri-ciri antara lain : - Energi dari padi-padian dan umbi-umbian masih tinggi diatas norma PPH - Energi dari pangan hewani, sayur dan buah serta kacang-kacangan masih rendah dibawah norma PPH - Energi dari minyak dan gula relatif sudah memenuhi norma PPH b. Segitiga Perak Skor mutu pangan 78-87, dengan ciri-ciri antara lain : - Energi dari padi-padian dan umbi-umbian makin menurun, namun masih diatas norma PPH - Energi dari pangan hewani, sayur dan buah serta kacang-kacangan masih rendah masing- masing antara 8-12% dan 4-5% - Energi dari minyak, kacang-kacangan dan gula relatif sudah memenuhi norma PPH c. Segitiga Emas Skor mutu pangan 88 keatas dengan ciri-ciri antara lain : - Energi dari padi-padian sedikit diatas norma PPH atau relatif sama - Energi dari pangan hewani diatas 12% atau relatif sama dengan norma PPH - Energi dari kelompok pangan lain sudah relatif memenuhi norma PPH

13 Penelitian yang dilakukan oleh Rosida tentang pola konsumsi pangan keluarga dan pola pangan harapan (PPH) di Desa Kampong Jeumpa Kecamatan Glumpang Tiga Kabupaten Pidie ditemukan bahwa rata-rata konsumsi energi penduduk Desa Kampong Jeumpa sebesar 2045 kalori lebih tinggi dari kecukupan energi yaitu 2000 kalori. Komposisi pangan yang dikonsumsi belum berimbang antar kelompok pangan dan gizi, dimana konsumsi padi-padian dan pangan hewani cukup tinggi sebesar 67,2% dan 15,5% sedangkan, kelompok pangan lain sangat rendah dibanding PPH Nasional yang telah ditetapkan. Komposisi pangan yang tidak seimbang tersebut menyebabkan skor mutu PPH menjadi rendah yaitu 68,2. Hal ini mengindikasikan bahwa sekalipun kecukupan energi terpenuhi tidak menjamin skor mutu PPH menjadi lebih baik. 2.4 Angka Kecukupan Gizi Angka kecukupan gizi yang dianjurkan (AKG) adalah banyaknya masingmasing zat essensial yang harus dipenuhi dari makanan mencakup hampir semua orang sehat untuk mencegah defisiensi zat gizi. Angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan pada masing-masing orang per hari bervariasi tergantung pada umur, jenis kelamin, dan keadaan fisiologis individu tersebut (Almatsier, 2005). Tubuh manusia membutuhkan aneka ragam makanan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi tersebut. Kekurangan atau kelebihan zat gizi tersebut akan menyebabkan kelainan atau penyakit bagi tubuh. Oleh karena itu, perlu diterapkan kebiasaan mengkonsumsi makanan yang seimbang sejak usia dini dengan jumlah yang sesuai untuk mencukupi kebutuhan masing-masing individu, sehingga tercapai kondisi kesehatan yang prima (Sebayang, 2012).

14 2.5 Penganekaragaman Pangan Penganekaragaman pangan adalah upaya peningkatan ketersediaan dan konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan berbasis pada potensi sumber daya lokal (UU RI No 18 Tahun 2012 Tentang Pangan). Penganekaragaman konsumsi pangan selama ini sering diartikan terlalu sederhana, berupa penganekaragaman konsumsi pangan pokok, terutama pangan non beras. Penganekaragaman konsumsi pangan seharusnya mengonsumsi aneka ragam pangan dari berbagai kelompok pangan, baik pangan pokok, lauk pauk, sayuran maupun buah dalam jumlah yang cukup. Tujuan utama penganekaragaman konsumsi pangan adalah untuk meningkatkan mutu gizi konsumsi dan mengurangi ketergantungan konsumsi pangan pada salah satu jenis atau kelompok pangan (Baliwati, dkk, 2010). Menurut Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015, penganekaragaman pangan atau diversifikasi pangan adalah upaya peningkatan konsumsi aneka ragam pangan dengan prinsip gizi seimbang. Pola makan yang bermutu gizi seimbang mensyaratkan perlunya diversifikasi pangan dalam menu sehari-hari. Pangan yang beranekaragam sangat penting karena tidak ada satu jenis panganpun yang dapat menyediakan gizi bagi seseorang secara lengkap. Melalui konsumsi pangan yang beranekaragam maka kekurangan zat gizi dari satu jenis pangan akan dilengkapi oleh gizi dari pangan yang lain. Kecuali Air Susu Ibu (ASI) untuk bayi baru lahir sampai berusia enam bulan. Hal ini disebabkan karena ASI dapat mencukupi kebutuhan untuk tumbuh dan berkembang dengan optimal, serta sesuai dengan kondisi fisiologis pencernaan dan fungsi lainnya dalam tubuh bayi.

15 Pada sisi lain, kesadaran akan pentingnya konsumsi pangan beranekaragam menyebabkan ketergantungan terhadap satu jenis pangan dapat dicegah sehingga akan memantapkan ketahanan pangan rumah tangga (Khomsan, 2012). Semakin banyak jenis pangan yang dikonsumsi, semakin kuat ketahanan pangan (Khaeron, 2012). Penganekaragaman pangan atau diversifikasi pangan terbagi menjadi 3 (tiga) golongan yaitu (Cahyani, 2008) : 1. Diversifikasi horizontal merupakan upaya penganekaragaman produk yang dihasilkan (dari sisi penawaran) dan produk yang dikonsumsi (dari sisi permintaan) pada tingkat individu, rumah tangga maupun perusahaan. Secara prinsip diversifikasi horizontal adalah pengekaragaman antar komoditas. 2. Diversifikasi vertikal merupakan upaya pengembangan produk pangan pokok menjadi produk baru untuk keverluan pada tingkat konsumsi. Secara prinsip diversifikasi pangan vertikal adalah upaya pengembangan produk setelah panen didalamnya termasuk kegiatan pengolahan hasil dan limbah pertanian. Diversifikasi vertikal ini dimaksudkan untuk meningkatkan nilai tambah dari komoditas pangan agar lebih berdaya guna bagi kebutuhan manusia. 3. Diversifikasi regional merupakan diversifikasi antara wilayah dan sosial budaya yaitu upaya penganekaragaman pangan yang dikonsumsi berdasarkan potensi pangan lokal. 2.6 Program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Pelaksanaan kegiatan P2KP merupakan implementasi dari Rencana Strategis Kementerian Pertanian yaitu Empat Sukses Pertanian. Salah satu dari Empat Sukses

16 tersebut adalah Peningkatan Diversifikasi Pangan, yang merupakan salah satu kontrak kerja antara Menteri Pertanian dengan Presiden Republik Indonesia pada tahun 2009-2014. Tujuannya adalah untuk meningkatkan keanekaragaman pangan sesuai dengan karakteristik wilayah. Kontrak kerja ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal, yang ditindaklanjuti oleh Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43/Permentan/OT.140/10/2009 tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Peraturan tersebut kini menjadi acuan untuk mendorong upaya penganekaragaman konsumsi pangan dengan cepat melalui basis kearifan lokal serta kerja sama terintegerasi antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Di tingkat provinsi, kebijakan tersebut telah ditindaklanjuti melalui surat edaran atau Peraturan Gubernur (Pergub), dan di tingkat kabupaten/kota ditindaklanjuti dengan surat edaran atau Peraturan Bupati/Walikota (Perbup/Perwalikota) (Badan Ketahanan Pangan, 2014). 2.6.1 Ruang Lingkup Kegiatan P2KP 1. Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan melalui Konsep KRPL Optimalisasi pemanfaatan pekarangan merupakan upaya pemberdayaan wanita dalam mengoptimalkan pekarangan sebagai sumber pangan. Upaya ini dilakukan dengan membudidayakan berbagai jenis tanaman sesuai kebutuhan keluarga seperti aneka sayuran, buah serta budidaya ternak dan ikan sebagai tambahan untuk ketersediaan sumber karbohidrat, vitamin, mineral dan protein bagi keluarga di kawasan perumahan/warga yang berdekatan. Dengan demikian akan terbentuk sebuah kawasan yang kaya akan sumber pangan. Pendekatan

17 pengembangan ini dilakukan dengan mengembangkan pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture), antara lain dengan membangun kebun bibit dan mengutamakan sumber daya lokal disertai dengan pemanfaatan pengetahuan lokal (local wisdom),sehingga kelestarian alampun tetap terjaga. Implementasi kegiatan ini disebut Kawasan Rumah Pangan Lestari (Badan Ketahanan Pangan, 2014). Kelompok sasaran kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan adalah kelompok wanita yang beranggotakan minimal 30 rumah tangga yang berdomisili berdekatan dalam satu desa sehingga membentuk kawasan. Setiap anggota wajib memanfaatkan pekarangan dengan menanam tanaman sumber pangan (sayur, buah, umbi) ataupun memelihara ternak dan ikan. Tujuannya adalah mencukupi ketersediaan pangan dan gizi di tingkat rumah tangga. Hasil dari usaha pekarangan ini diutamakan untuk dikonsumsi oleh rumah tangga bersangkutan dan apabila berlebih dapat dibagikan/disumbangkan kepada anggota kelompok atau secara bersama-sama dijual oleh kelompok (Badan Ketahanan Pangan, 2014). Adapun kriteria-kriteria yang harus dipenuhi oleh calon kelompok ini yaitu : a. Kelompok wanita yang beranggotakan minimal 30 rumah tangga yang berdomisili berdekatan dalam satu kawasan, sehingga dapat membentuk kawasan pekarangan dengan konsep KRPL. b. Bukan kelompok penerima bansos lainnya ditahun berjalan. c. Memiliki struktur organisasi yang jelas dan diketahui kepala desa. d. Mampu menyediakan lahan untuk kebun bibit (bukan menyewa lahan) dan memeliharanya untuk kepentingan anggota kelompok dan masyarakat desa lainnya (surat pernyataan).

18 e. Mampu mengelola keuangan kelompok dan melaksanakan kegiatan secara berkesinambungan (surat pernyataan). f. Khusus untuk daerah yang sulit memenuhi jumlah anggotanya dapat mengambil anggota kelompok dari desa terdekat dan nama desa yang ditetapkan sebagai penerima manfaat adalah desa dengan jumlah anggota rumah tangga terbanyak. Kelompok wanita pelaksana optimalisasi pemanfaatan pekarangan dengan konsep KRPL ini diberikan dana bantuan sebesar Rp. 47.000.000,- (empat puluh tujuh juta rupiah) yang dimanfaatkan untuk pengembangan pekarangan anggota dan demplot, kebun bibit, pengembangan kebun sekolah, serta pengembangan menu B2SA dari hasil pekarangan. Apabila kelompok tidak dapat memanfaatkan bantuan sosial ini maka pemberi bantuan berhak mencabut seluruh dana tersebut secara sepihak. Rincian kegiatan yang dilaksanakan oleh kelompok ini adalah : 1. Melaksanakan sosialisasi optimalisasi pemanfaatan pekarangan oleh penyuluh pendamping kepada kelompok penerima manfaat melalui metode Sekolah Lapangan (SL). 2. Melaksanakan pengembangan demplot pekarangan sebagai Laboratorium Lapangan (LL) sekaligus sebagai pekarangan percontohan. 3. Mengembangkan kebun bibit kelompok yang diarahkan untuk menjadi cikal bakal kebun bibit desa

19 4. Mengembangkan pekarangan milik anggota kelompok penerima manfaat sesuai hasil musyawarah anggota sesuai dengan potensi wilayah maupun kebutuhan anggota. 5. Setiap desa P2KP harus membina satu sekolah untuk mengembangkan kebun sekolah dengan tanaman sayuran, buah-buahan dan umbi-umbian. 6. Tanaman yang dibudidayakan adalah sayur, buah maupun umbi-umbian dengan memperhatikan sistem rotasi tanaman. 7. Membudidayakan unggas atau ternak kecil. 8. Mengenalkan beberapa organism pengganggu tanaman. 9. Melakukan pertemuan kelompok secara periodik minimal satu kali sebulan. 10. Melakukan penyuluhan tentang pangan yang beragam, bergizi seimbang dan aman untuk hidup sehat, aktif dan produktif. 11. Demonstrasi penyiapan pangan dan penyiapan menu makanan yang beragam, bergizi, seimbang dan aman. 2. Model Pengembangan Pangan Pokok Lokal (MP3L). Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengembangkan pangan lokal sumber karbohidrat selain beras dan terigu yang secara khusus dipersiapkan untuk mendukung pelaksanaan program pangan bersubsidi bagi keluarga berpendapatan rendah. Kegiatan ini dilaksanakan melalui kerja sama dengan perguruan tinggi dan berbagai instansi terkait yang bertujuan untuk (Badan Ketahanan Pangan, 2014): a. Mengembangkan beras/nasi non beras sumber karbohidrat yang dapat disandingkan dengan beras/nasi, berbahan baku sumber pangan lokal;

20 b. Mengembalikan kesadaran masyarakat untuk kembali pada pola konsumsi pangan pokok asalnya melalui penyediaan bahan pangan non-beras/non-terigu dari sumber pangan lokal; c. Perbaikan mutu konsumsi pangan masyarakat melalui penurunan konsumsi beras dan peningkatan konsumsi pangan pokok selain beras yang diimbangi dengan konsumsi pangan hewani serta sayur dan buah. 3. Sosialisasi dan Promosi P2KP Kegiatan Sosialisasi dan Promosi P2KP dimaksudkan untuk memasyarakatkan dan membudayakan pola konsumsi pangan B2SA kepada masyarakat melalui upaya-upaya penyebarluasan informasi, penyadaran sikap dan perilaku serta ajakan untuk memanfaatkan pangan lokal sebagai sumber gizi keluarga demi terciptanya pola hidup yang sehat, aktif dan produktif (Badan Ketahanan Pangan, 2014) 2.6.2 Tujuan Program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Secara umum tujuan program P2KP adalah untuk memfasilitasi dan mendorong terwujudnya pola konsumsi pangan masyarakat yang B2SA yang diindikasikan dengan meningkatnya skor PPH (Badan Ketahanan Pangan, 2014). Adapun tujuan khusus program P2KP adalah untuk (Badan Ketahanan Pangan, 2014): a. Meningkatkan kesadaran, peran, dan partisipasi masyarakat dalam mewujudkan pola konsumsi pangan yang Beragam, Bergizi Seimbang dan Aman (B2SA) serta mengurangi ketergantungan terhadap bahan pangan pokok beras;

21 b. Meningkatkan partisipasi kelompok wanita dalam penyediaan sumber pangan dan gizi keluarga melalui optimalisasi pemanfaatan pekarangan sebagai penghasil sumber karbohidrat, protein, vitamin dan mineral untuk konsumsi keluarga; dan c. Mendorong pengembangan usaha pengolahan pangan skala Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sumber karbohidrat selain beras dan terigu yang berbasis sumber daya dan kearifan lokal.

22 2.7 Kerangka Teori Faktor Predisposisi (Predisposing factors) : Jumlah anggota keluarga Pendidikan Faktor Pendukung (Enabling Factors) : Lingkungan Perilaku (Pola Konsumsi) Faktor pendorong (Reinforcing Factors) : Undang-Undang Peraturan pemerintah Program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Gambar 2.1 Kerangka Teori Lawrence Green (1980) Sebagaimana kita ketahui bahwa pola makan adalah perilaku yang ditempuh seseorang dalam memilih, menggunakan bahan makanan dalam konsumsi pangan setiap hari meliputi jenis makanan, jumlah makanan dan frekuensi makanan yang berdasarkan pada faktor-faktor sosial, budaya dimana mereka hidup. Perilaku sangat

23 mempengaruhi seseorang dalam bertingkah laku. Menurut Green dalam Notoadmodjo (2005), perilaku dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor utama yaitu : 1. Faktor Predisposisi (predisposing factors), yaitu : Faktor-faktor yang dapat mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku pada diri seseorang atau masyarakat, seperti : umur, pengetahuan, pengalaman, pendidikan, sikap, keyakinan, jumlah anggota keluarga dan lain sebagainya. 2. Faktor Pendukung (enabling factors), yaitu : faktor yang mendukung timbulnya perilaku seperti lingkungan fisik, dana dan sumber daya yang ada di masyarakat. 3. Faktor Pendorong (reinforcing factors), yaitu : faktor yang memperkuat atau mendorong seseorang untuk berperilaku. Kadang-kadang sekalipun seseorang tahu dan mampu untuk berperilaku sehat, tetapi tidak melakukannya. Sehingga harus didorong dengan adanya tokoh masyarakat, peraturan, undang-undang, surat keputusan dari para pejabat pemerintahan pusat atau daerah, didalam hal ini adalah Program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan merupakan faktor penguat perilaku pola konsumsi.

24 2.8 Kerangka konsep Kerangka konsep pada penelitian ini diambil dari skema Green (1980) seperti yang dapat dilihat dibawah ini : Program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan: - Optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep KRPL Pola Konsumsi: - - Jenis - - Jumlah - - Frekuensi Gambar 2.2 Kerangka konsep Kerangka konsep diatas dapat dijelaskan bahwa program P2KP dengan kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan dengan konsep kawasan rumah pangan lestari dapat mempengaruhi pola konsumsi yang meliputi jenis, jumlah dan frekuensi. Pola konsumsi dapat mempengaruhi tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan protein dan tingkat keragaman konsumsi pangan. - Tingkat kecukupan energi - Tingkat kecukupan Protein - Tingkat Keragaman Konsumsi Pangan