KAJIAN KONDISI ATMOSFER SAAT KEJADIAN ASAP KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI PALANGKA RAYA (STUDI KASUS TANGGAL 21 SEPTEMBER, 10 DAN 15 OKTOBER 2014)

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Skema proses penerimaan radiasi matahari oleh bumi

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

Buletin Analisis Hujan Bulan April 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2013 KATA PENGANTAR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

KAJIAN DOUBLE SEA BREEZE MENGGUNAKAN PERMODELAN WRF-ARW TERHADAP KONDISI CUACA DI NABIRE

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

ANALISIS UNSUR CUACA BULAN FEBRUARI 2018 DI STASIUN METEOROLOGI MALIKUSSALEH-ACEH UTARA. Oleh Febryanto Simanjuntak S.Tr

ANALISIS KONDISI ATMOSFER TERKAIT HUJAN LEBAT DI WILAYAH PALANGKA RAYA (Studi Kasus Tanggal 11 November 2015)

Buletin Analisis Hujan Bulan Februari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan April, Mei dan Juni 2013 KATA PENGANTAR

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

I. INFORMASI METEOROLOGI

FENOMENA KABUT ASAP DITINJAU DARI DATA LUARAN MODEL ARPEGE SYNERGIE (Studi Kasus Tanggal 25 dan 28 Februari 2014, Riau)

ANALISIS SEBARAN ASAP KEBAKARAN HUTAN DI SULAWESI TENGAH (STUDI KASUS TANGGAL OKTOBER 2015)

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

ANALISIS UNSUR CUACA BULAN JANUARI 2018 DI STASIUN METEOROLOGI KLAS I SULTAN AJI MUHAMMAD SULAIMAN SEPINGGAN BALIKPAPAN

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan April 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2012 KATA PENGANTAR

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

TINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008).

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

Gambar 1. Peta Prakiraan Cuaca Hujan Mei 2018 (Sumber : Stasiun Klimatologi Karangploso Malang)

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

global warming, periode iklim dapat dihitung berdasarakan perubahan setiap 30 tahun sekali.

Buletin Analisis Hujan Bulan Januari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Maret, April dan Mei 2013 KATA PENGANTAR

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BADAN METEOROLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

ANALISIS HUJAN BULAN OKTOBER 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN DESEMBER 2011, JANUARI DAN FEBRUARI 2012 PROVINSI DKI JAKARTA 1.

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan Desember 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Februari, Maret dan April 2013 KATA PENGANTAR

I. INFORMASI METEOROLOGI

HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS III MALI

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI NABIRE

TINJAUAN SECARA METEOROLOGI TERKAIT BENCANA BANJIR BANDANG SIBOLANGIT TANGGAL 15 MEI 2016

BAB I PENDAHULUAN. Agro Klimatologi ~ 1

Kajian Curah Hujan untuk Pemutahiran Tipe Iklim Beberapa Wilayah di Kalimantan Tengah

Informasi Data Pokok Kota Surabaya Tahun 2012 BAB I GEOGRAFIS CHAPTER I GEOGRAPHICAL CONDITIONS

Iklim / Climate BAB II IKLIM. Climate. Berau Dalam Angka 2013 Page 11

ANALISIS KUALITAS UDARA JAKARTA TANGGAL JUNI 2017

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI MALI - ALOR

Analisis Pola Distribusi Unsur-Unsur Cuaca di Lapisan Atas Atmosfer pada Bulan Januari dan Agustus di Manado

ANALISA KEJADIAN HUJAN EKSTRIM DI MUSIM KEMARAU DI WILAYAH SIDOARJO DAN SEKITARNYA.

STASIUN METEOROLOGI TANJUNGPANDAN

Propinsi Banten dan DKI Jakarta

PRISMA FISIKA, Vol. I, No. 2 (2013), Hal ISSN :

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS III MALI

Perubahan iklim dunia: apa dan bagaimana?

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Analisis Karakteristik Intensitas Curah Hujan di Kota Bengkulu

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan Juli 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan September, Oktober dan November 2012 KATA PENGANTAR

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-4 Tahun Stasiun Meteorologi kelas III Nangapinoh-Melawi,Kalimantan Barat 2

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG-TANGERANG

DAMPAK DAN ANTISIPASI KEBAKARAN HUTAN

Analisis Korelasi Suhu Muka Laut dan Curah Hujan di Stasiun Meteorologi Maritim Kelas II Kendari Tahun

BAB I Pendahuluan I.1 Latar Belakang I.1.1 Historis Banjir Jakarta

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

STASIUN METEOROLOGI PATTIMURA AMBON

Analisis Hujan Ekstrim Berdasarkan Parameter Angin dan Uap Air di Kototabang Sumatera Barat Tia Nuraya a, Andi Ihwan a*,apriansyah b

KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM?

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2011 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2015 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2015/2016

ANALISIS KEJADIAN HUJAN LEBAT TANGGAL 02 NOVEMBER 2017 DI MEDAN DAN SEKITARNYA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG ANALISIS MUSIM KEMARAU 2013 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2013/2014

KAJIAN DAMPAK GELOMBANG PLANETER EKUATORIAL TERHADAP POLA KONVEKTIFITAS DAN CURAH HUJAN DI KALIMANTAN TENGAH.

LAPORAN KEJADIAN BANJIR DAN CURAH HUJAN EKSTRIM DI KOTA MATARAM DAN KABUPATEN LOMBOK BARAT TANGGAL JUNI 2017

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian

HIDROMETEOROLOGI TATAP MUKA KEEMPAT (RADIASI SURYA)

ANALISIS CUACA TERKAIT BANJIR DI KELURAHAN WOLOMARANG, KECAMATAN ALOK, WILAYAH KABUPATEN SIKKA, NTT (7 JANUARI 2017)

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

ANALISA VALIDASI PERALATAN METEOROLOGI KONVENSIONAL DAN DIGITAL DI STASIUN METEOROLOGI SAM RATULANGI oleh

ANALISIS KLIMATOLOGI HUJAN EKSTRIM BULAN JUNI DI NEGARA-BALI (Studi Khasus 26 Juni 2017)

IDENTIFIKASI AREAL BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN)

ANALISIS KLIMATOLOGIS CURAH HUJAN EKSTREM DI KABUPATEN LOMBOK TIMUR TANGGAL NOVEMBER 2017

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG-TANGERANG

Suhu Udara dan Kehidupan. Meteorologi

Air dalam atmosfer hanya merupakan sebagian kecil air yang ada di bumi (0.001%) dari seluruh air.

Transkripsi:

KAJIAN KONDISI ATMOSFER SAAT KEJADIAN ASAP KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI PALANGKA RAYA (STUDI KASUS TANGGAL 21 SEPTEMBER, 10 DAN 15 OKTOBER 2014) Lian Adriani, Kukuh Ribudiyanto Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG), Tangerang Selatan E-mail: lhiyand.adriani@gmail.com ABSTRAK Hampir setiap tahunnya di Kalimantan Tengah terjadi kebakaran hutan dan lahan. Faktor cuaca juga mempengaruhi potensi mudahnya terjadi kebakaran hutan. Pembakaran yang tidak sempurna menghasilkan asap yang dapat mengganggu keadaan atmosfer permukaan. Asap juga merupakan aerosol berukuran kecil yang dapat memancarkan radiasi matahari dan mengurangi jarak pandang. Semakin tinggi konsentrasi aerosol, maka radiasi matahari yang sampai di permukaan bumi semakin berkurang. Besarnya pengaruh aerosol terhadap radiasi matahari dapat dinyatakan dalam AOD atau Aerosol Optical Depth (tanpa satuan). Penyebaran asap terjadi tidak hanya secara gerak horizontal yang terbawa oleh angin, tetapi juga terjadi secara gerak vertikal. Dengan membandingkan unsur cuaca saat asap dengan cuaca rata-ratanya, maka dapat diketahui bahwa faktor cuaca seperti curah hujan rendah, suhu tinggi, dan kelembaban udara rendah yang terjadi dalam beberapa hari secara terus menerus, bisa mempercepat proses pengeringan bahan bakar sehingga mempermudah terjadinya kebakaran hutan. Asap pekat juga menyebabkan nilai AOD tinggi, radiasi matahari berkurang dan jarak pandang menurun hingga < 500 m. Penyebaran asap secara vertikal, umumnya lebih pekat di dekat permukaan karena kondisi atmosfer yang stabil ditandai dengan kecepatan vertikal di permukaan bernilai positif, menandakan tidak ada gerak vertikal ke atas sehingga asap pekat tertahan di permukaan. Kata kunci: Asap kebakaran hutan, AOD (Aerosol Optical Depth), Gerak vertikal ABSTRACT Forest and land fires happens in Central Kalimantan almost every year. Weather condition also suspected can interfere the occurrence of these disaster. Unfinished burn could create smoke which can disturb surface weather. Smoke is kind of small size aerosol which can differ the sunlight radiation that will decrease the visibility. When aerosol concentration increase, sunlight radiation on the surface will decrese. How much aerosol interfering the sunlight radiaton is measured by AOD. Not only horizontally move caused by wind, smoke also move in vertical direction. By comparing the elements of the weather at forest fire smoke with the average, it can be seen that the weather factors like low rainfall period, high temperature, and low humidty that runs continuously in a few days, could accelerate the dried of the surface. It makes the surface easier to burn and initiate the forest fires. Thick smoke rise the AOD point, make the sunlight radiation decrease and visibility drop until below 500 m. In a vertical atmospehere, smoke generally thicker in the near surface because it tend to be more stable, as we can see in the vertical velocity spacial chart that shows positive point. It means there is no vertical upward, so that smoke forced to spread in a surface. Keywords: Forest fires smoke, AOD (Aerosol Optical Depth), Vertical motion I. PENDAHULUAN Hampir setiap tahunnya di Indonesia, khususnya di daerah Sumatera dan Kalimantan terjadi kebakaran hutan dan lahan. Hal ini terjadi baik ulah manusia maupun alam. Umumnya kondisi cuaca sangat ekstrim antara lain : suhu udara naik, kelembaban udara turun dan curah hujan sangat kurang

sehingga memberikan peluang terjadinya kebakaran hutan (Cahyani, 2006). Dampak yang paling terasa hasil pembakaran ini adalah asap yang dihasilkan. Asap hasil pembakaran hutan dan lahan mengandung berbagai gas dan juga partikel debu dalam jumlah besar yang sangat mempengaruhi udara. Udara yang sudah tercampur oleh asap kebakaran hutan menyebabkan konsentrasi aerosol tinggi dan udara semakin kabur. Partikel-partikel kecil tersebut merusak pandangan dengan menyebarkan cahaya dan menyebabkan udara kabur sehingga mengurangi jarak pandang. Di sektor transportasi udara, menurunnya jarak pandang pada saat kejadian asap dapat mengganggu jadwal penerbangan (Puruitaningrum, 2010). Penyebaran asap terjadi tidak hanya secara gerak horizontal yang terbawa oleh angin, tetapi penyebaran asap juga terjadi secara gerak vertikal terkait stabilitas atmosfer (stabil, tidak stabil dan netral). Pada keadaan atmosfer stabil dimana massa udara akan mengalami pengangkatan sampai ketinggian tertentu dan akan turun kembali, maka hal ini akan sangat berbahaya karena akan menyebabkan asap terangkat, tetapi kemudian dapat turun kembali di daerah lain (Saharjo, 2003). Tujuan dari kajian ini adalah untuk mencoba mengetahui kondisi atmosfer lapisan permukaan di Stasiun Meteorologi Tjilik Riwut Palangka Raya pada saat kejadian asap kebakaran hutan dan lahan yang ditinjau dari unsur meteorologi seperti suhu udara dan kelembaban udara, selain itu untuk mengetahui kekaburan udara yang terjadi saat asap terkait aerosol di atmosfer sehingga menurunkan jarak pandang, serta untuk mengetahui ketinggian asap terkait penyebaran asap secara vertikal dilihat dari kecepatan vertikalnya. II. DATA DAN METODE 2.1 Data Penelitian Penelitian ini mengambil studi kasus asap kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Lokasi penelitian dilakukan di Stasiun Meteorologi Tjilik Riwut Palangka Raya dengan koordinat wilayah penelitian pada peta adalah 002 13' 34'' LS 113 56' 42'' BT. Adapun waktu penelitian pada kajian ini adalah Bulan September-Oktober Tahun 2014. Pada bulan tersebut diambil beberapa hari dimana terjadi asap pekat yang menyebabkan kekaburan udara sehingga turunnya jarak pandang kurang dari 500 m, yaitu pada tanggal 21 September, 10 dan 15 Oktober 2014. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari Stasiun Meteorologi Tjilik Riwut Palangka Raya, antara lain: 1. Data normal curah hujan 30 tahun (tahun 1981-2010) untuk menggambarkan pola musim di Palangka Raya dan dijadikan pedoman deskripsi distribusi waktu kejadian asap kebakaran hutan dan lahan. 2. Jumlah titik panas (hotspot) di Kalimantan Tengah selama 5 tahun (tahun 2010-2014) dari Dinas Kehutanan, untuk menggambarkan waktu terjadinya jumlah hospot tertinggi maupun terendah. 3. Data suhu dan kelembaban udara selama 5 tahun (tahun 2010-2014) untuk menggambarkan suhu dan kelembaban udara rata-rata tiap jam di Palangka Raya. 4. Data pengamatan unsur cuaca permukaan (suhu udara, kelembaban udara, jarak pandang mendatar, dan curah hujan) tiap jam pada waktu penelitian. 5. Data Kedalaman Optik Aerosol (Aerosol Optical Depth / AOD) tahun 2014 dari AERONET di Stasiun Meteorologi Tjilik Riwut Palangka Raya atau diunduh dari http://aeronet.gsfc.nasa.gov/new_web/in dex.html. 6. Data dukung: a) Data hotspot pada waktu dan lokasi penelitian. b) Data FNL yang diunduh dari http://rda.ucar.edu/ dan diolah dengan menggunakan model WRF- ARW, pada waktu penelitian untuk melihat penyebaran asap secara vertikal ditinjau dari kecepatan vertikalnya sehingga diketahui ketinggian asap sampai pada lapisan tertentu.

parameter hasil keluarannya adalah kecepatan vertikal yang bisa ditampilkan dalam bentuk gambar dengan menggunakan aplikasi GRADS. Data kecepatan vertikal digunakan untuk mengetahui gerak vertikal penyebaran asap sampai pada lapisan tertentu sehingga diketahui ketinggian asapnya. III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Data Klimatologi Palangka Raya Gambar 1. Peta Palangka Raya, Kalimantan Tengah (Sumber : Google.com) 2.2 Metode Penelitian Data normal curah hujan dan data jumlah hotspot di Palangka Raya digunakan untuk menggambarkan pola musim dan distribusi waktu kejadian asap kebakaran hutan dan lahan di Palangka Raya. Kebakaran hutan dan lahan sering terjadi pada musim kemarau yaitu sekitar bulan Juli-Oktober, dan kemudian pada penelitian ini dikhususkan pada bulan September-Oktober dan dipilih tiga waktu penelitian pada saat asap pekat terjadi yaitu tanggal 21 September, 10 dan 15 Oktober 2014. Data unsur cuaca seperti suhu dan kelembaban udara pada waktu penelitian dan ditambah dengan data 3 hari sebelum waktu penelitian dibandingkan dengan rata-rata selama 5 tahun, maka dapat dilihat dan dianalisis pengaruh faktor cuaca dalam memberikan peluang mudahnya terjadi kebakaran hutan. Selain itu, dilihat juga curah hujan selama bulan September-Oktober dan visibility pada waktu penelitian. Data Kedalaman Optik Aerosol (Aerosol Optical Depth / AOD) digunakan untuk melihat aerosol selama tahun 2014 tertinggi pada bulan apa dan mengetahui nilai AOD pada waktu penelitian. Asap merupakan aerosol berukuran kecil yang dapat memancarkan radiasi matahari dan mengurangi jarak pandang. Semakin tinggi konsentrasi aerosol, maka radiasi matahari yang sampai di permukaan bumi semakin berkurang. Data FNL yang diolah dengan menggunakan model WRF-ARW, salah satu Gambar 1. Grafik Normal Curah Hujan Palangka Raya Dari grafik normal curah hujan di atas, wilayah Palangka Raya memiliki rentang waktu musim kemarau yang cukup pendek yaitu sekitar tiga bulan (Juli-September). Gambar 2. Grafik Jumlah Hotspot di Kalimantan Tengah Tahun 2010-2014 Berdasarkan grafik jumlah hotspot di atas, hotspot di wilayah Kalimantan Tengah selama lima tahun terakhir, mulai meningkat pada Bulan Juli dan umumnya tertinggi terjadi pada Bulan September-Oktober.

Gambar 3. Grafik Jumlah Hotspot dan Curah Hujan di Palangka Raya Tahun 2014 Berdasarkan grafik di atas, antara grafik curah hujan dan jumlah hotspot di Palangka Raya pada Tahun 2014 memiliki pola berbanding terbalik. Jumlah hotspot lebih tinggi terjadi pada musim kemarau (Juli- September). Umumnya kebakaran hutan dan lahan di Palangka Raya terjadi pada musim kemarau (Juli-September), dimana masyarakat sekitar memiliki kebiasaan membuka hutan dan lahan untuk bercocok tanam dengan cara membakarnya. Faktor cuaca yang mendukung di musim kemarau, seperti curah hujan yang rendah, suhu udara lebih tinggi dan kelembaban udara yang kering bisa mempermudah terjadinya kebakaran. Faktor angin juga mempengaruhi kebakaran meluas sehingga membakar lahan lain. Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi menimbulkan asap pekat sehingga udara menjadi kabur dan dapat mengganggu pernapasan, selain itu asap juga menyebabkan jarak pandang menurun yang dapat mangganggu transportasi, baik darat dan udara. Mode, sedangkan untuk partikel > 1 μm dimasukkan ke dalam bagian Coarse Mode AERONET menggunakan alat yang dinamakan Sun Photometer, cara kerjanya mengukur sinar matahari dengan menggunakan prinsip Hukum Beer-Lambert- Bouger, bila seberkas sinar melalui media transparan maka sinar itu sebagian akan dipantulkan, diabsorpsi dan dipancarkan, bila suatu sinar monokromatis dilewatkan pada suatu media yang transparan, maka bertambah atau turunnya intensitas sinar yang di teruskan/dipancarkan/ditransmisikan sebanding dengan bertambah tebal dan kepekatan dari media tersebut. Aerosol yang berukuran kecil dapat memancarkan radiasi matahari yang mengenainya, sehingga radiasi matahari yang sampai ke permukaan bumi dapat berkurang dan merusak pandangan dengan menyebarkan cahaya dan mengurangi jarak pandang. Besarnya pengaruh aerosol terhadap radiasi dapat dinyatakan dalam AOD (tanpa satuan). Semakin tinggi nilai AOD, berarti semakin besar pengaruhnya terhadap pengurangan radiasi, yang mengindikasikan semakin tinggi konsentrasi aerosol (Puruitaningrum, 2010). 3.2 Data Kedalaman Optik Aerosol (Aerosol Optical Depth / AOD) di Palangka Raya Aerosol Optical Depth (AOD) adalah kedalaman optik aerosol yang merupakan ukuran transparasi, yang tidak tersebar atau terserap di jalan (kolom udara). AERONET merupakan pengamatan global yang digunakan untuk mengukur Kedalaman Optik Aerosol di atmosfer. AERONET mengukur partikel yang ada di atmosfer, dengan ukuran partikel dari 0,1< r <20 μm, untuk partikel < 1 μm dimasukkan ke dalam bagian Fine Gambar 4. Grafik AOD di Palangka Raya Tahun 2014 Kebakaran hutan dan lahan yang menghasilkan asap pekat menyebabkan aerosol meningkat. Jika dilihat dari grafik di atas, AOD meningkat pada saat bulan Agustus-Oktober, dimana bulan tersebut merupakan musim kemarau di Palangka Raya. Dan pada musim kemarau, AOD di Palangka Raya lebih didominasi oleh Fine Mode atau aerosol yang berukuran kecil (< 1 µm), ini dibuktikan dengan grafik antara AOD dan Fine Mode yang saling berhimpit, sedangkan

pada musim selain musim kemarau, AOD lebih didominasi oleh Coarse Mode (> 1 µm). 3.3 Kejadian Asap Kebakaran Hutan dan Lahan di Palangka Raya a) Tanggal 21 September 2014 Gambar 5. Grafik AOD di Palangka Raya Bulan September-Oktober 2014 Berdasarkan grafik tersebut dapat diketahui AOD tertinggi terjadi pada beberapa tanggal, yaitu tanggal 21 September 2014 mempunyai nilai AOD yang cukup tinggi juga yaitu sebesar 3,28, Fine Mode sebesar 2,86 dan Coarse Mode sebesar 0,42. Tanggal 10 Oktober 2014 dengan nilai AOD sebesar 3,68, Fine Mode sebesar 3,54 dan Coarse Mode sebesar 0,14. Dan tanggal 15 Oktober 2014 mempunyai nilai AOD yang cukup tinggi juga yaitu sebesar 3,69, Fine Mode sebesar 2,99 dan Coarse Mode sebesar 0,70. Gambar 7. Data Hotspot Tanggal 21 September 2014 (Sumber : http://www.indofire.org/indofire/hotspot) Jumlah titik panas (hotspot) merupakan salah satu indikator terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Dari pemantauan satelit NOAA 18 pada tanggal 21 September 2014, di Kalimantan Tengah terdapat 25 titik api yang tersebar di beberapa wilayah. Gambar 6. Grafik Perbandingan AOD di Palangka Raya Berdasarkan grafik di atas, dapat diketahui bahwa nilai AOD pada ketiga tanggal terebut jauh meningkat daripada rataratanya. Nilai AOD rata-rata kurang dari 0,5, baik Fine Mode maupun Coarse Mode. Sedangkan pada ketiga tanggal tersebut, nilai AOD meningkat hingga kisaran 3,0 4,0, dengan Fine Mode yang lebih tinggi daripada Coarse Mode. Gambar 8. Grafik Perbandingan Suhu Udara Tanggal 21 September 2014 grafik suhu udara pada tanggal 18, 19, 20, dan 21 September 2014 berada di atas grafik ratarata September pada siang hari yang berarti bahwa suhu udara lebih tinggi daripada rataratanya, bahkan suhu udara maksimum mencapai 34 C. Suhu udara yang tinggi mempercepat proses pengeringan bahan bakar seperti dedauanan, sehingga mempermudah terjadinya kebakaran hutan.

Gambar 9. Grafik Perbandingan Kelembaban Udara Tanggal 21 September 2014 grafik kelambaban udara pada tanggal 18, 19, 20, dan 21 September 2014, secara umum berada di bawah grafik rata-rata September yang berarti bahwa kelembaban udara lebih rendah atau lebih kering daripada rata-ratanya, bahkan kelembaban udara minimum mencapai < 50% pada siang hari, sehingga dari faktor cuaca yaitu kelembaban udara yang cukup kering mempermudah terjadinya kebakaran hutan. Gambar 11. Grafik Perbandingan Suhu Udara Tanggal 10 Oktober 2014 secara umum grafik suhu udara pada tanggal 7, 8, 9, dan 10 Oktober 2014 berada di atas grafik rata-rata Oktober yang berarti bahwa suhu udara lebih tinggi daripada rata-ratanya, bahkan suhu udara maksimum mencapai 34,4 C. Suhu udara yang tinggi mempercepat proses pengeringan bahan bakar seperti dedauanan, sehingga mempermudah terjadinya kebakaran hutan. b) Tanggal 10 Oktober 2014 Gambar 10. Data Hotspot Tanggal 10 Oktober 2014 (Sumber : http://www.indofire.org/indofire/hotspot) Dari pemantauan satelit NOAA 18 pada tanggal 10 Oktober 2014, di Kalimantan Tengah terdapat 120 titik api yang tersebar di beberapa wilayah yang merupakan salah satu indikator terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Gambar 12. Grafik Perbandingan Kelembaban Udara Tanggal 10 Oktober 2014 secara umum grafik kelambaban udara pada tanggal 7, 8, 9, dan 10 Oktober 2014 berada di bawah grafik rata-rata Oktober yang berarti bahwa kelembaban udara lebih rendah atau lebih kering daripada rata-ratanya, bahkan kelembaban udara minimum pada siang hari mencapai < 50%. Kelembaban udara yang rendah dalam beberapa hari bisa mempermudah terjadinya kebakaran hutan. c) Tanggal 15 Oktober 2014 Pada tanggal 15 Oktober 2014, tidak ada data jumlah hotspot dari satelit NOAA 18.

sedang pada jam 23.00-02.00 WIB (16.00-19.00 UTC) dengan jumlah curah hujan yang terukur adalah 32 mm. Gambar 13. Grafik Perbandingan Suhu Udara Tanggal 15 Oktober 2014 pada tanggal 12, 13, 14, dan 15 Oktober 2014 secara umum mempunyai pola yang berhimpit dengan suhu udara rata-rata Oktober yang berarti bahwa suhu udara pada tanggal tersebut, nilainya tidak terlalu jauh dari rataratanya. Dan suhu udara maksimum yang tidak terlalu tinggi dimungkinkan karena pemanasan matahari yang kurang sehingga mengurangi proses pengeringan bahan bakar. Gambar 14. Grafik Perbandingan Kelembaban Udara Tanggal 15 Oktober 2014 pada tanggal 12, 13, 14, dan 15 Oktober 2014 secara umum mempunyai pola yang berhimpit dengan kelembaban udara rata-rata Oktober. Bahkan pada dua hari sebelum dan pada tanggal 15 Oktober 2014, grafik kelembaban udara berada di atas rata-ratanya sekitar 60%. Kelembaban udara yang masih cukup basah, bisa mengurangi potensi mudahnya terjadi kebakaran hutan karena kandungan air yang cukup tinggi. Kelembaban udara yang cukup basah ini juga bisa sebagai indikasi potensi terbentuknya awan dan terjadinya hujan karena banyaknya uap air di atmosfer. Berdasarkan data observasi di Stasiun Tjilik Riwut Palangka Raya, pada tanggal 15 Oktober 2014, terjadi hujan dengan intensitas Gambar 15. Grafik Curah Hujan Bulan September- Oktober 2014 Berdasarkan grafik di atas, diketahui bahwa tanggal 15 Oktober 2014 memang terjadi hujan dengan intensitas sedang dan ditunjukkan dengan faktor cuaca seperti suhu dan kelembaban udara dalam dua hari sebelumnya juga mendukung peluang terjadinya hujan. Dari grafik di atas juga dapat dilihat untuk tanggal 10 Oktober 2014, tidak ada hujan dan hujan terakhir terjadi pada tanggal 12 September 2014. Jadi sampai dengan tanggal 10 Oktober 2014, lebih dari tiga minggu tidak ada hujan, sehingga menyebabkan kadar air bahan bakar berkurang, jika ditambah dengan suhu udara yang tinggi dan kelembaban udara yang rendah, maka hal ini dapat mempermudah terjadinya kebakaran hutan. Begitu juga pada tanggal 21 September 2014, selama 10 hari terakhir tidak terjadi hujan meyebabkan kadar air bahan bakar berkurang, ditambah suhu udara yang tinggi dan kelembaban udara yang rendah, maka hal ini bisa mempermudah terjadinya kebakaran hutan. Dilihat dari analisis kejadian di atas dengan tiga tanggal berbeda, yaitu 21 September 2014, 10 Oktober 2014, dan 15 Oktober 2014 yang memiliki nilai AOD tertinggi karena asap pekat kebakaran hutan dan lahan, maka dapat berpengaruh langsung terhadap jarak pandang (visibility). Karena jarak pandang ditentukan oleh distribusi massa udara dan ukuran aerosol di atmosfer (Tjasyono, 2007). Aerosol yang ukurannya cukup kecil dapat melayang di atmosfer dan berasal dari hasil pembakaran seperti

kebakaran hutan yang berupa asap. Konsentrasi aerosol di atmosfer didominasi oleh aerosol yang lebih kecil. Aerosol yang berukuran kecil dapat memancarkan radiasi matahari yang mengenainya, sehingga radiasi matahari yang sampai ke permukaan bumi dapat berkurang. Partikel-partikel kecil itu juga merusak pandangan dengan menyebarkan cahaya dan mengurangi jarak pandang. Jadi semakin pekat asap maka konsentrasi aerosol semakin tinggi, nilai AOD juga tinggi, membuat udara semakin kabur sehingga jarak pandang semakin rendah. (Puruitaningrum, 2010). Tanggal 21 September 2014 Tanggal 10 Oktober 2014 Tanggal 15 Oktober 2014 Gambar 16. Grafik Perbandingan Visibility Dari grafik di atas dapat diketahui bahwa jarak pandang pada ketiga tanggal tersebut dimana nilai AOD tertinggi bisa mencapai < 500 m untuk jarak pandang terendah. Hal ini membuktikan bahwa nilai AOD tinggi menyebabkan jarak pandang semakin menurun, karena aerosol merusak pandangan dengan menyebarkan cahaya dan mengurangi jarak pandang. Penyebaran asap terjadi tidak hanya secara gerak horizontal yang terbawa oleh angin, tetapi penyebaran asap juga terjadi secara gerak vertikal, baik gerakan ke atas atau ke bawah. Dengan mengetahui gerak vertikalnya, maka dapat juga diketahui ketinggian asap atau penyebaran asap secara vertikal sampai pada lapisan tertentu. Model WRF-ARW digunakan untuk mengetahui kecepatan vertikal di Palangka Raya pada hari kejadian asap, sehingga diketahui penyebaran asap secara vertikal sampai pada lapisan tertentu atau ketinggian asapnya. Menurut teori bahwa kecepatan vertikal bernilai negatif mengindikasikan udara naik dan nilai postif mengindikasikan udara turun (Guide to the Forecast and Analyses). Dan kecepatan vertikal dinyatakan dalam satuan milibar per detik (mb/s). Gambar 17. Kecepatan Vertikal Per-lapisan di Palangka Raya Berdasarkan gambar di atas dapat diketahui bahwa secara umum kecepatan vertikal untuk tanggal 21 September, 10 dan 15 Oktober 2014 bernilai positif di permukaan terutama pada pagi hari. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada gerak vertikal ke lapisan atas sehingga asap tertahan di permukaan. Pada pagi hari, dibuktikan dengan data visibility yang tercatat mencapai < 500 m. Asap yang tertahan di permukaan karena kondisi atmosfer dalam keadaan stabil, dimana massa udara mengalami pengangkatan sampai ketinggian tertentu dan turun kembali, hal ini yang menyebabkan asap terangkat, tetapi kemudian terbawa oleh angin dan dapat turun kembali di daerah lain. Kondisi atmosfer stabil juga menyebabkan asap lebih pekat di permukaan dan jarak pandang juga menurun.

Dari pembahasan yang telah dilakukan, dapat dibuat ringkasan sebagai berikut: Tabel 1. Ringkasan Hasil Penelitian Parameter Jumlah Hotspot Kelembaban Udara (RH) Suhu Udara Tanggal 21 September 2014 10 Oktober 2014 15 Oktober 2014 25 120 Tidak ada data RH terendah selama 3 hari sebelumnya <50% Suhu tertinggi selama 3 hari sebelumnya 32-34 C RH terendah selama 3 hari sebelumnya <50% Suhu tertinggi selama 3 hari sebelumnya 32-34 C RH terendah selama 2 hari sebelumnya <70% Suhu tertinggi selama 3 hari sebelumnya 32-33 C Aerosol Optical Depth 3,28 3,68 3,69 (AOD) Fine Mode 2,86 3,54 2,99 Coarse Mode 0,42 0,14 0,70 Bernilai positif pada Kecepatan Bernilai positif pada Bernilai positif pada pagi, malam dan dini Vertikal pagi dan malam hari pagi-siang dan dini hari hari Jarak Pandang (Visibility) Visibility terendah mencapai < 500 m pada pagi hari Visibility terendah mencapai < 500 m pada pagi hari Visibility terendah mencapai < 500 m pada pagi hari Ringkasan 1. Jumlah Hotspot sebagai indikator terjadinya kebakaran hutan dan lahan 2. RH rendah (<50%) dan suhu tinggi (>32 C), bisa mempercepat proses pengeringan bahan bakar sehingga mempermudah terjadi kebakaran 3. Asap kebakaran hutan dan lahan menyebabkan nilai AOD tinggi mencapai >3,0 terutama Fine Mode (partikel < 1 µm) mencapai >2,5. Tingginya nilai AOD akan memancarkan radiasi matahari sehingga radiasi berkurang dan merusak pandangan dengan menyebarkan cahaya serta mengurangi jarak pandang 4. Kecepatan vertikal bernilai positif berarti tidak ada gerak vertikal ke atas sehingga asap tertahan dekat permukaan menyebabkan udara kabur dan visibility menurun mencapai < 500 m terutama pada pagi hari. Pada kondisi ini atmosfer dalam keadaan stabil dimana asap terangkat kemudian turun kembali, sehingga asap lebih pekat di permukaan. IV. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang didapat, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Faktor cuaca mempengaruhi mudahnya terjadi kebakaran hutan, seperti curah hujan yang rendah, suhu tinggi, dan kelembaban udara rendah yang terjadi dalam beberapa hari secara terus menerus, bisa mempercepat proses pengeringan bahan bakar sehingga mempermudah terjadinya kebakaran hutan. 2. Asap pekat kebakaran hutan menyebabkan nilai AOD (Aerosol Optical Depth) tinggi, terutama kategori Fine Mode, partikel yang berukuran < 1 µm. Asap merupakan hasil pembakaran yang berupa partikel kecil di atmosfer, terbukti dengan grafik Fine Mode yang meningkat daripada Coarse Mode pada bulan-bulan terjadi musim kemarau dimana kebakaran hutan sering terjadi. Aerosol yang berukuran kecil dapat memancarkan radiasi matahari yang sampai ke permukaan bumi, dan merusak pandangan dengan menyebarkan cahaya serta mengurangi jarak pandang. Hal ini terbukti dengan data jarak pandang (visibility) menurun hingga < 500 meter pada tanggal 21 September 2014, 10 dan 15 Oktober 2014, dimana pada tanggal tersebut, nilai AOD tinggi.

3. Penyebaran asap tidak hanya secara horizontal, tetapi juga vertikal. Hal ini dapat dilihat dari kecepatan vertikalnya. Dengan mengetahui gerak vertikalnya, maka dapat juga diketahui ketinggian asap atau penyebaran asap secara vertikal sampai pada lapisan tertentu. Secara umum, pada tanggal 21 September 2014, 10 dan 15 Oktober 2014 kecepatan vertikal bernilai positif di permukaan terutama pada pagi hari, hal ini berarti bahwa tidak ada gerak vertikal ke atas sehingga asap tertahan di permukaan. Kondisi ini juga merupakan kondisi atmosfer dalam keadaan stabil yang menyebabkan asap terangkat kemudian turun kembali, sehingga asap lebih pekat di permukaan. DAFTAR PUSTAKA Adinugroho, Wahyu Catur. 2009. Bagaimana Kebakaran Hutan Bisa Terjadi. Departemen Kehutanan. Cahyani, Ni Putu Lia. 2006. Kondisi Curah Hujan Dan Visibility Di Palangkaraya Setelah Kebakaran Hutan (Study Kasus September 2005). Akademi Meteorologi dan Geofisika. Departemen Kehutanan. Profil Kehutanan Provisnsi Kalimantan Tengah. (http://www.dephut.go.id/uploads/fil es/c31773af5d4ff15ebbfe60d7af9497 27.pdf). Diakses tanggal 8 Februari 2015. Hadi, Tri Wahyu, Dr, dkk. 2011. Pelatihan Model WRF (Weathet Research And Forecasting. Institut Teknologi Bandung.Bandung. Holben, B.N., Eck, T. F., Slutsker, I., Tanre, D., Buis, J. P., Setzer, k A., Vermote, E., Reagan, J. A., Kaufman, Y. J., Nakajima, T., Lavenu, F., Jankowiak, I., dan Smirnov, A. 1998. AERONET A Federated Instrument Network and Data Archive for Aerosol Characterization. Remote Sens. 66:1 16. New York. http://wxmaps.org/pix/fcstkey.html. Guide to the Forecasts and Analyses. Diakses tanggal 6 Agustus 2015. Panjaitan, Andersen L. 2006. Analisa Konsentrasi Partikel Debu, Visibility, Suhu, Tekanan, Kelembaban, Dan Densitas Udara Pada Saat Kabut Asap (Smog) Di Kalimantan Selatan Tahun 2004. Akademi Meteorologi dan Geofisika. Puruitaningrum, Widya Anggit. 2010. Penentuan Kandungan Aerosol di Atmosfera Menggunakan Data TERRA/AQUA MODIS. Universitas Indonesia. Saharjo, B.H. 2003. Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Yang Lestari Perlukah Dilakukan. Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan. Departemen Silvikultur. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Tjasyono, Bayong. 2007. Mikrofisika Awan dan Hujan. Penerbit BMG. Jakarta.