BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut pandangan Piaget (Suprihatiningrum, 2013: 24) bahwa

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. maupun kewajiban sebagai warga negara yang baik. Untuk mengetahui

II. KERANGKA TEORETIS. kebiasaan yang rutin dilakukan. Oleh karena itu diperlukan adanya sesuatu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Efektivitas berasal dari kata efektif yang berarti dapat membawa hasil atau

BAB II KAJIAN PUSTAKA. a. Pengertian Matematika

BAB I PENDAHULUAN. manusia, dengan pendidikan manusia berusaha mengembangkan potensi yang

MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TSTS ( TWO STAY TWO STRAY )

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Percaya diri adalah sikap yang timbul dari keinginan mewujudkan diri bertindak dan

BAB II KAJIAN TEORITIK. dalam diri peserta didik untuk belajar secara aktif, kreatif, efektif,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERKOMUNIKASI MAHASISWA PENDIDIKAN ADMINISTRASI PERKANTORAN MELALUI PEMBELAJARAN TWO STAY-TWO STRAY (TS-TS)

PENINGKATAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TWO STAY TWO STRAY

II. TINJAUAN PUSTAKA. Salah satu alternatif pendekatan pembelajaran yang dapat meningkatkan

II. KERANGKA TEORITIS. Belajar merupakan peristiwa sehari-hari di sekolah. Belajar merupakan hal yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Belajar meruapakan suatu perubahan di dalam diri seseorang dari tudak

BAB II KAJIAN PUATAKA. tujuan (Mc. Donald dalam Sardiman A.M, 2001:73-74). Menurut Mc. Donald. motivasi mengandung 3 elemen penting, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

I. PENDAHULUAN. Bagian ini akan dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan pengalaman peneliti mengajar mata pelajaran fisika di. kelas VIII salah satu SMP negeri di Bandung Utara pada semester

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbuka, artinya setiap orang akan lebih mudah dalam mengakses informasi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan suatu usaha yang dilakukan secara sadar dan

BAB I PENDAHULUAN. mutu pendidikan dari bangsa itu sendiri karena pendidikan yang tinggi dapat

METODE PEMBELAJARAN JIGSAW MENGGUNAKAN PETA KONSEP UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian masalah bilangan pengertian tersebut terdapat pada Kamus Besar

I. PENDAHULUAN. Sistem pendidikan nasional di era globalisasi seperti saat ini menghadapi

BAB II KAJIAN TEORETIS

BAB II KAJIAN TEORETIS

BAB II KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS. baik dari segi kognitif, psikomotorik maupun afektif.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Mata pelajaran Biologi memiliki peran penting dalam peningkatan mutu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. seseorang. Ada beberapa teori belajar salah satunya adalah teori belajar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keberhasilan proses pendidikan di Indonesia tidak terlepas dari

BAB II KAJIAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. berbangsa, dan bernegara di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh perubahan

BAB I PENDAHULUAN. otoritas tertinggi keilmuan (teacher centered). Pandangan semacam ini perlu

sekolah dasar (SD/MI). IPA merupakan konsep pembelajaran alam dan Pembelajaran IPA sangat berperan dalam proses pendidikan dan juga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Seperangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh orang yang. berkedudukan dalam masyarakat.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. sadar merencanakan kegiatan pengajarannya secara sistematis dengan

II. KAJIAN TEORI. 2.1 Belajar dan Pembelajaran Pengertian Belajar dan Pembelajaran. Belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Anna Revi Nurutami Universitas PGRI Yogyakarta

BAB II KAJIAN TEORI. aktivitas untuk mencapai kemanfaatan secara optimal. yang bervariasi yang lebih banyak melibatkan peserta didik.

BAB I PENDAHULUAN. belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi

BAB II LANDASAN TEORI. A. Pembelajaran SAVI (Somatis, Auditori, Visual, Intelectual)

TINJAUAN PUSTAKA. Pembelajaran adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. laku individu melalui interaksi dengan lingkungan. Aspek tingkah laku tersebut

II. TINJAUAN PUSTAKA. solusi dari masalah tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Alhadad (2010: 34)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

tingkah laku yang dapat dicapai melalui serangkaian kegiatan, misalnya dengan membaca, mengamati, mendengarkan, dan meniru.

UPAYA MENINGKATKAN KREATIVITAS DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA DENGAN METODE TWO STAY TWO STRAY PADA SISWA SMP NEGERI 10 PADANGSIDIMPUAN.

LANDASAN TEORI. A. Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya

BAB I PENDAHULUAN. setinggi-tingginya dalam aspek fisik intelektual, emosional, sosial dan spiritual

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN TEORETIK. memiliki ide atau opini mengenai sesuatu (Sudarma, 2013). Selain itu,

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Kajian Teori. 1. Aktivitas Belajar. Anak senantiasa berinteraksi dengan sekitarnya dan selalu berusaha

Hesti Yunitasari Universitas PGRI Yogyakarta

BAB II KAJIAN TEORITIK. 1. Kemampuan Pemecahan Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN TEORITIK. sebagai proses dimana pelajar menemukan kombinasi aturan-aturan yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Corey, ( 1998 : 91 ) adalah suatu proses dimana. dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi khusus atau menghasilkan respons

PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR SISWA MELALUI PENDEKATAN PEMBELAJARAN COOPERATIVE LEARNING TIPE TWO STAY TWO STRAY

Bimafika, 2016, 8, 10 15

Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Two Stay Two Stray

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN NUMBER HEADS TOGETHER (NHT) UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS VIIA SMP NEGERI 2 TUNTANG PADA MATERI SEGITIGA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. yang berkaitan dengan perilaku siswa meliputi tiga ranah yaitu kognitif,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II KAJIAN TEORETIK

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Slameto (2003:1) dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah,

II. KERANGKA TEORETIS. pembelajaran fisika masalah dipandang sebagai suatu kondisi yang sengaja

PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF TEKNIK TWO STAY TWO STRAY

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN Hakikat Kemampuan Siswa Menyelesaikan Masalah Yang Berkaitan Dengan Bangun Datar Dan Bangun Ruang

Dyah Ayu Pramoda Wardhani Mahasiswa S1 Universitas Negeri Malang. Pembimbing : Dr. Sri Mulyati, M.Pd Dosen Universitas Negeri Malang

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR, DAN PARADIGMA. Dalam tinjauan pustaka ini akan memaparkan pengertian-pengertian konsep yang

BAB I PENDAHULUAN. Begitu pula dengan sumber belajar yang akan digunakan karena dari sumber

Syahriani S.Pd.,M.Pd Dosen Non PNS Jurusan Biologi Fakultas Tarbiyah dan keguruan UIN Alauddin Makassar. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. menuntut lembaga pendidikan untuk lebih dapat menyesuaikan dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA. hidup manusia sebagai makhluk sosial. Pembelajaran kooperatif merupakan. semua mencapai hasil belajar yang tinggi.

BAB II KAJIAN TEORETIS. 1. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw. pelajaran untuk mencapai prestasi yang maksimal Aronson (Abidin, 2014,

BAB II KAJIAN TEORI Pengertian Belajar Menurut Teori Konstruktivisme. mencoba merumuskan dan membuat tafsirannya tentang belajar.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam proses penyampaian pelajaran dibutuhkan pendekatan-pendekatan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kompetensi (SK) : 13. Memahami pembacaan cerpen (KD) : 13.1

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. teknologi. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu faktor penting yang memengaruhi kualitas. Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas

BAB II KAJIAN TEORI. Komalasari (2010, h. 57) menyebutkan bahwa model pembelajaran

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pembelajaran kooperatif merupakan pemanfaatan kelompok kecil dua hingga

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Belajar a. Teori Konstruktivistik Piaget Menurut pandangan Piaget (Suprihatiningrum, 2013: 24) bahwa pengetahuan datang dari tindakan. Jadi, perkembangan kognitif sebagian besar bergantung kepada seberapa jauh anak aktif memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungannya. Menurut Dahar (dalam Suprihatiningrum, 2013: 24). Ada tiga aspek perkembangan intelektual, yaitu struktur, isi, dan fungsi. Struktur atau skema merupakan organisasi mental tingkat tinggi yang terbentuk pada individu ketika ia berinteraksi dengan lingkungannya. Isi merupakan pola perilaku khas anak yang tercermin pada responnya terhadap berbagai masalah atau situasi yang dihadapinya. Sementara fungsi adalah cara yang digunakan organisme untuk membuat kemajuan intelektual. Perkembangan kognitif sebagian besar ditentukan oleh manipulasi dan interaksi aktif anak dengan lingkungan. Piaget yakin bahwa pengalamanpengalaman fisik dan manipulasi lingkungan penting bagi terjadinya perubahan perkembangan. Sementara itu, interaksi sosial dengan teman sebaya, khususnya berargumentasi dan berdiskusi membantu memperjelas pemikiran yang pada akhirnya memuat pemikiran itu menjadi lebih logis. Teori belajar Piaget mewakili teori belajar konstruktivistik, yang memandang perkembangan kognitif sebagai 9

10 suatu proses, yang mana anak secara aktif membangun sistem makna dan pemahaman realitas melalui pengalaman-pengalaman dan interaksi-interaksi mereka. Kesimpulan dari uraian diatas, bahwa pembelajaran menurut teori konstruktivistik Piaget dilakukan dengan memusatkan perhatian kepada berpikir atau proses mental anak, tidak sekedar pada prestasinya dan mengutamakan peran siswa dalam kegiatan pembelajaran serta memaklumi adanya perbedaan individu dalam kemajuan perkembangan yang dapat dipengaruhi oleh perkembangan intelektual anak (Suprihatiningrum, 2013: 26). Teori kognitif ini mengarahkan siswa untuk aktif dalam pembelajaran. Tanpa keaktifan siswa dalam belajar, tidak akan dapat membuat kesimpulan. Teori ini menuntut siswa untuk mampu mencari, menemukan, dan menggunakan pengetahuan yang diperolehnya untuk dapat memahami sendiri konsep segi empat dalam model TSTS bernuansa PBL. b. Teori belajar Ausebel Menurut Ausebel belajar haruslah bermakna. Pembelajaran bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif siswa (Warsita, 2008: 73). Proses belajar tidak sekadar menghafal konsep-konsep atau fakta-fakta belaka, tetapi merupakan kegiatan menghubungkan konsep-konsep untuk menghasilkan pemahaman yang utuh sehingga konsep yang dipelajari akan dipahami secara baik dan tidak mudah dilupakan, dengan demikian agar terjadi belajar bermakna maka para guru harus selalu berusaha mengetahui dan menggali konsep-konsep yang telah dimiliki

11 siswa dan membantu memadukannya secara harmonis dengan pengetahuan baru yang akan dipelajari (smith et al, 2009: 125). Secara garis besar langkah-langkah pembelajaran bemakna menurut Ausebel dalam merancang pembelajaran adalah: 1) menentukan tujuan-tujuan pembelajaran; 2) melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal, motivasi, minat, gaya belajar, dan sebagainya); 3) memilih materi pembelajaran sesuai dengan karakteristik siswa dan mengaturnya dalam bentuk konsep-konsep inti; 4) menentukan topik-topik yang dapat dipelajari siswa dalam bentuk advance organizers; 5) mengembangkan bahan belajar yang berupa contoh-contoh, ilustrasi, tugas, dan sebagainya untuk dipelajari siswa; 6) mengatur topik-topik pembelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari yang konkret ke abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik, sampai ke simbolik; dan 7) melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa (Warsita, 2008: 74). Berdasarkan penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kegiatan proses pembelajaran haruslah bermakna agar konsep-konsep dalam materi pelajaran yang disampaikan dapat dipahami dengan baik dan tidak mudah untuk dilupakan siswa, dan dengan adanya langkah-langkah pembelajaran bermakna dapat memberikan kontribusi terhadap model pembelajaran TSTS bernuansa PBL. c. Teori John Dewey Menurut John Dewey, model reflektif di dalam memecahkan masalah, yaitu suatu proses berfikir aktif, hati-hati, yang dilandasi proses berfikir ke arah kesimpulan-kesimpulan yang definitif melalui lima langkah (Suprihatiningrum, 2013: 28).

12 1) siswa mengenali masalah, masalah tersebut datang dari luar diri siswa itu sendiri; 2) siswa akan menyelidiki dan menganalisis kesulitannya dan menentukan masalah yang dihadapinya; 3) siswa menghubungkan uraian-uraian prestasi analisisnya itu, dan mengumpulkan berbagai kemungkinan guna memecahkan masalah tersebut, serta dalam bertindak siswa dipimpin oleh pengalamannya sendiri; 4) kemudian, siswa menimbang kemungkinan jawaban atau hipotesis dengan akibatnya masing-masing; 5) selanjutnya, siswa mencoba mempraktikkan salah satu kemungkinan pemecahan yang dipandangnya terbaik. Kesimpulan dari uraian diatas, bahwa teori John Dewey merupakan teori yang menuntut siswa untuk aktif menemukan sendiri pemecahan masalah yang berdasarkan pada pengalaman yang dimiliki siswa, hal ini sesuai dengan konsep pengajaran PBL dimana pembelajarannya berorientasi pada proses belajar siswa yang dalam mencari pemecahan masalah melalui serangkaian pembelajaran seperti mengidentifikasi, merumuskan, menemukan, dan mengaplikasikannya. 2.1.2 Pembelajaran Kooperatif Tipe Three Stay Two Stray (TSTS) Pembelajaran (instruction) adalah suatu usaha untuk membuat siswa belajar atau suatu kegiatan untuk membelajarkan siswa, dengan kata lain pembelajaran merupakan upaya menciptakan kondisi agar terjadi kegiatan belajar (Warsita, 2008: 85). Pendapat lain menurut Darsono et al (2000: 24) pembelajaran secara umum adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru sedemikian rupa

13 sehingga tingkah laku siswa berubah ke arah yang lebih baik, maksudnya yaitu upaya yang dilakukan oleh guru harus bisa mempengaruhi siswa ke arah yang positif sehingga mempunyai banyak manfaat bagi siswa. Tujuan pembelajaran yaitu memantau para siswa agar memperoleh berbagai pengalaman dan dengan pengalaman itu tingkah laku (pengetahuan, keterampilan, dan nilai atau norma yang berfungsi sebagai pengendali sikap) siswa bertambah, baik kualitas maupun kuantitas (Darsono et al, 2000: 26). Menurut Suprihatiningrum (2013: 191) pembelajaran kooperatif mengacu pada model pembelajaran yang mana siswa bekerja bersama dalam kelompok kecil saling membantu dalam belajar. Strategi pembelajaran kooperatif adalah strategi pembelajaran yang di dalamnya mengkondisikan para siswa untuk bekerja secara bersama-sama di dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu sama lain dalam belajar (Djamarah, 2010: 356). Model pembelajaran kooperatif diyakini dapat memberi peluang siswa untuk terlibat dalam diskusi, berfikir kritis, berani dan mau mengambil tanggung jawab untuk pembelajaran mereka sendiri (Daryanto dan Rahardjo, 2012: 228). Kebanyakan kelas pembelajaran kooperatif berprilaku baik, karena para siswa termotivasi untuk belajar dan terlibat secara aktif dalam kegiatan-kegiatan pembelajaran (Slavin, 2013: 257). TSTS (tiga tinggal-dua tamu) merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif yang dikembangkan oleh Spencer Kagan 1992, yang merupakan variasi dari model TSTS (dua tinggal-dua tamu). Model TSTS merupakan sistem pembelajaran kelompok dengan tujuan agar siswa dapat saling bekerja sama,

14 bertanggungjawab, saling membantu memecahkan masalah, dan saling mendorong satu sama lain untuk berprestasi, serta melatih siswa untuk bersosialisasi dengan baik (Huda, 2013: 207). Hal ini dilakukan karena banyak kegiatan belajar mengajar yang diwarnai dengan kegiatan-kegiatan individu. Siswa bekerja sendiri dan tidak diperbolehkan melihat pekerjaan siswa yang lain. Padahal dalam kenyataannya hidup di luar sekolah, kehidupan dan kerja manusia saling bergantung satu sama lainnya. Model pembelajaran ini melibatkan siswa dihadapkan pada kegiatan mendengarkan apa yang diutarakan oleh temannya ketika sedang bertamu, yang secara tidak langsung siswa akan dibawa untuk menyimak apa yang diutarakan oleh anggota kelompok yang menjadi tuan rumah tersebut, sehingga akan terjadi kegiatan menyimak materi pada siswa. Adapun langkah-langkah pelaksanaan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS seperti yang diungkapkan (Huda, 2013: 207), yaitu: 1. guru membagi siswa dalam beberapa kelompok, setiap kelompoknya terdiri dari 5-6 siswa artinya kelompok yang dibentuk merupakan kelompok heterogen; 2. guru memberikan sub pokok bahasan pada tiap-tiap kelompok untuk dibahas bersama-sama dengan anggota kelompoknya masing-masing; 3. siswa bekerjasama dalam kelompok yang beranggotakan 5-6 orang; 4. setelah selesai, dua orang dari masing-masing kelompok meninggalkan kelompoknya untuk bertamu ke kelompok lain; 5. tiga orang yang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan hasil kerja dan informasi mereka ke tamu mereka;

15 6. tamu mohon diri dan kembali ke kelompok mereka sendiri dan melaporkan temuan mereka dari kelompok lain; 7. kelompok mencocokan dan membahas hasil-hasil kerja mereka; 8. masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerja mereka. Gambaran struktur TSTS, sebagai berikut: Kelompok 1 Kelompok 6 Kelompok 2 Kelompok 5 Kelompok 3 Kelompok 4 Gambar 2.1. Alur Model Pembelajaran TSTS Suatu model pembelajaran pasti memiliki kelebihan dan kelemahan. Adapun kelebihan dari model pembelajaran kooperatif tipe TSTS, yaitu: a. dapat diterapkan pada semua kelas/tingkatan; b. kecenderungan belajar siswa menjadi lebih bermakna; c. lebih berorientasi pada keaktifan; d. diharapkan siswa akan berani mengungkapkan pendapatnya; e. menambah kekompakan dan rasa percaya diri siswa; f. kemampuan berbicara siswa dapat ditingkatkan; g. membantu meningkatkan motivasi dan prestasi belajar siswa.

16 Sedangkan kelemahan dari model pembelajaran kooperatif tipe TSTS, yaitu: a. membutuhkan banyak persiapan, dan b. membutuhkan waktu yang lama. 2.1.3 Problem Based Learning (PBL) Menurut Suprihatiningrum (2013: 215) Problem Based Learning (PBL) adalah suatu model pembelajaran yang mana siswa sejak awal dihadapkan pada suatu masalah, kemudian diikuti oleh proses pencarian informasi yang bersifat student centered, yang bertujuan agar siswa mampu memperoleh dan membentuk pengetahuannya secara efisien, konstektual, dan terintegrasi. Sedangkan menurut Cahyo (2013: 283) definisi pemecahan masalah dalam pembelajaran PBL merupakan suatu proses atau upaya untuk mendapatkan suatu penyelesaian tugas atau situasi yang benar-benar nyata sebagai masalah dengan menggunakan aturanaturan yang sudah diketahui, dengan demikian pembelajaran berdasarkan masalah lebih memfokuskan pada masalah kehidupan nyata yang bermakna bagi siswa. Menurut Suprihatiningrum (2013: 216) PBL mengandung pembelajaran kolaboratif dan kooperatif. Pembelajaran kolaboratif merupakan model instruksi yang mana para siswa bekerja sama dalam kelompok kecil untuk mencapai tujuan pembelajaran secara umum. Para siswa bersama-sama bertanggungjawab sepenuhnya atas proses pembelajaran yang mereka laksanakan. Tiap-tiap individu berperan aktif, saling memberi kontribusi, saling menerima pendapat teman dengan prasangka baik, saling menghargai kemampuan orang lain di dalam kelompok diskusi. Uden & Beaumont (dalam Suprihatiningrum, 2013: 222)

17 menyatakan beberapa keuntungan yang dapat diamati dari siswa yang belajar dengan menggunakan pendekatan PBL, yaitu: a. mampu mengingat dengan lebih baik informasi dan pengetahuannya; b. mengembangkan kemampuan pemecahan masalah, berfikir kritis, dan keterampilan komunikasi; c. menikmati belajar; d. meningkatkan motivasi; e. meningkatkan keterampilan berkomunikasi. Keuntungan lain dari PBL yaitu dapat menumbuhkan-kembangkan kemampuan kreativitas siswa, baik secara individual maupun secara kelompok, karena hampir setiap langkah menuntut adanya keaktifan siswa (Cahyo, 2013: 286). Langkah utama dalam pengelolaan PBL yaitu mengorientasikan siswa pada masalah, mengorganisasikan siswa untuk belajar, memandu menyelidiki secara mandiri atau kelompok, mengembangkan dan menyajikan hasil kerja, serta menganalisis dan mengevaluasi hasil pemecahan masalah (Cahyo, 2013: 287). 2.1.4 Sintaks Pembelajaran TSTS bernuansa PBL Sintaks pembelajaran model TSTS bernuansa PBL dalam penelitian sebagai berikut: 1. guru mengorganisasikan siswa dalam kelompok-kelompok belajar secara heterogen; 2. guru memberikan sub pokok bahasan/permasalahan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari sebagai tugas kelompok;

18 3. siswa bekerjasama dalam kelompoknya masing-masing, dan guru membimbing siswa untuk melakukan penyelidikan terhadap masalah yang dihadapi; 4. setelah selesai, dua siswa dari masing-masing kelompok meninggalkan kelompoknya untuk bertamu ke kelompok lain; 5. tiga siswa yang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan informasi dan hasil kerjanya ke tamu yang datang; 6. tamu mohon diri dan kembali ke kelompok mereka sendiri dan melaporkan temuan mereka dari kelompok lain; 7. kelompok mencocokan dan membahas hasil-hasil kerja mereka serta mengambil keputusan jawaban dari permasalahan yang dihadapi; 8. guru meminta siswa mempresentasikan hasil kerjanya, dan siswa mampu mempertanggungjawabkan hasil yang dipresentasikannya. 2.1.5 Keaktifan Belajar Keaktifan dapat diartikan kegiatan atau kesibukan. Keaktifan belajar adalah kegiatan atau kesibukan siswa dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah maupun di luar sekolah yang menunjang keberprestasian belajar siswa. keaktifan juga diartikan sebagai primus motor dalam kegiatan pembelajaran maupun kegiatan belajar (Dimyati dan Mudjiono, 2013: 51). Menurut Suprihatiningrum (2013: 100) keaktifan memiliki beragam bentuk. Bentuk keaktifan dalam belajar dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu keaktifan yang dapat diamati (konkret) dan sulit diamati (abstrak). Kegiatan yang dapat diamati, misalnya mendengarkan, menulis, membaca, menggambar, dan berlatih. Kegiatan ini biasanya

19 berhubungan dengan kerja otot (psikomotorik). Sementara kegiatan yang sulit diamati berupa kegiatan psikis seperti menggunakan khazanah pengetahuan untuk menyelesaikan permasalahan, menyimpulkan prestasi kerja, dan berpikir tingkat tinggi. Sebenarnya semua proses belajar mengajar siswa mengandung unsur keaktifan, tetapi antara siswa yang satu dengan yang lainnya tidak sama. Oleh karena itu, siswa harus berpartisipasi aktif secara fisik dan mental dalam kegiatan belajar mengajar. Keaktifan siswa dalam proses belajar merupakan upaya siswa dalam memperoleh pengalaman belajar, yang mana keaktifan belajar siswa dapat ditempuh dengan upaya kegiatan belajar kelompok maupun belajar secara perseorangan. Menurut Sudjana (2009) indikator keaktifan siswa dalam kegiatan belajar, sebagai berikut: a. turut serta dalam melaksanakan tugas belajarnya; b. terlibat dalam penyelesaian masalah; c. bertanya kepada siswa lain atau kepada guru apabila tidak memahami persoalan yang dihadapinya; d. berusaha mencari berbagai informasi yang diperlukan untuk penyelesaian masalah; e. melaksanakan diskusi kelompok sesuai dengan petunjuk guru; f. melatih diri dalam menyelesaikan soal yang sejenis. Adapun indikator keaktifan yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian di SMP Negeri 33 Semarang, sebagai berikut: 1. melaksanakan diskusi kelompok sesuai dengan petunjuk guru;

20 2. bertanya kepada siswa lain atau kepada guru apabila tidak memahami persoalan yang dihadapi; 3. turut serta memberikan alternatif jawaban dari permasalahan yang dihadapi; 4. berusaha mencari berbagai informasi yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi; 5. dapat mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi; 6. melatih diri dalam memecahkan soal/permasalahan yang sejenis; 7. memberikan kesempatan teman yang lain dalam satu kelompok untuk aktif mengemukakan pendapat/mempresentasikan hasil diskusinya; 8. turut serta dalam melaksanakan tugas belajarnya. 2.1.6 Motivasi Belajar Motivasi memiliki akar kata dari bahasa latin movere, yang berarti gerak atau dorongan untuk bergerak, dengan begitu motivasi bisa diartikan dengan memberikan daya dorong sehingga sesuatu yang dimotivasi tersebut dapat bergerak (Prawira, 2013: 319). Menurut Mc. Donald (dalam Sardiman, 2014: 73) motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya feeling didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan, sehingga dengan pengertian ini, dapat dikatakan bahwa motivasi adalah sesuatu yang kompleks. Motivasi akan menyebabkan terjadinya suatu perubahan energi yang ada pada diri manusia, sehingga akan bergayut dengan persoalan gejala kejiwaan, perasaan dan juga emosi, untuk kemudian bertindak atau melakukan sesuatu (Sardiman, 2014: 74). Berbagai penjelasan tentang motivasi di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa motivasi diartikan sebagai serangkaian usaha

21 untuk menyediakan kondisi-kondisi tertentu, sehingga seseorang mau dan ingin melakukan sesuatu, dan bila ia tidak suka maka akan berusaha untuk meniadakan atau mengelak perasaan tidak suka itu (dalam Sardiman, 2014: 75). Pengertian belajar menurut Slameto (Djamarah, 2011: 13) belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh sesuatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai prestasi pengalaman individu itu sendiri dalam interaksinya dengan lingkungan. Penjelasan-penjelasan di atas yang telah diuraikan dapat diambil kesimpulan bahwa motivasi belajar adalah keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan yang memberikan arahan pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subjek belajar itu dapat tercapai (Sardiman, 2014: 75). Siswa yang memiliki motivasi kuat, akan mempunyai banyak energi untuk melakukan kegiatan belajar. Siswa yang memiliki inteligensia cukup tinggi, boleh jadi gagal karena kekurangan motivasi (Sardiman, 2014: 75). Menurut Sardiman (2014: 83) motivasi yang ada pada diri setiap siswa itu memiliki ciri-ciri/indikator sebagai berikut: a. tekun mengahadapi tugas; b. ulet menghadapi kesulitan (tidak lekas putus asa); c. menunjukan minat terhadap bermacam-macam masalah; d. lebih senang bekerja mandiri; e. dapat mempertahankan pendapatnya; f. tidak mudah melepaskan hal yang diyakini itu;

22 g. senang mencari dan memecahkan masalah soal-soal. Adapun indikator motivasi yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian di SMP Negeri 33 Semarang, sebagai berikut: 1. perasaan menyenangi materi pelajaran; 2. tidak mudah putus asa dalam mengerjakan soal matematika; 3. ulet menghadapi tugas apapun yang diberikan guru; 4. memiliki rasa percaya diri dalam mengikuti proses pembelajaran; 5. memiliki rasa percaya diri dalam memunculkan ide alternatif jawaban dari permasalahan yang dihadapi; 6. menunjukkan hasrat dan minat untuk serius dalam mengikuti pelajaran dan memotivasi siswa yang lain; 7. timbulnya dorongan dalam diri siswa/ dari orang tua/guru/teman untuk selalu belajar. Fungsi motivasi belajar menurut Sardiman (2014: 85) yaitu mendorong manusia untuk berbuat, menentukan arah perbuatan, dan menyeleksi perbuatan yang harus dikerjakan guna mencapai tujuan. Menurut Gray dan kawan-kawan (dalam Gintings, 2010: 10) jenis motivasi belajar ada dua yaitu instrinsik (faktor pendorong dari dalam), dan ekstrinsik (faktor pendorong dari luar). Sedangkan menurut Syah (2010: 134) yang termasuk dalam motivasi intrinsik siswa adalah perasaan menyenangi materi, mencapai prestasi, memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk masa depan, adapun yang termasuk motivasi ekstrinsik adalah pemberian pujian dan hadiah, peraturan/tata tertib sekolah, suri tauladan orang tua, guru. Motivasi yang lebih signifikan bagi siswa adalah motivasi intrinsik

23 karena lebih murni dan langgeng serta tidak bergantung pada dorongan atau pengaruh orang lain. 2.1.7 Prestasi belajar Prestasi belajar merupakan hal yang berhubungan dengan kegiatan belajar karena kegiatan belajar merupakan proses sedangkan prestasi belajar adalah sebagai prestasi yang dicapai seseorang setelah mengalami proses belajar dengan terlebih dahulu mengadakan evaluasi dari proses belajar yang dilakukan. Evaluasi merupakan salah satu komponen penting dan tahap yang harus ditempuh oleh guru untuk mengetahui keefektifan pembelajaran (Arifin, 2013: 2). Prestasi yang diperoleh dari evaluasi dapat dijadikan balikan (feed-back) bagi guru dalam memperbaiki dan menyempurnakan program dan kegiatan pembelajaran. Menurut Dimyati dan Mudjiono (2013: 200), evaluasi prestasi belajar merupakan proses untuk menentukan nilai belajar siswa melalui kegiatan penilaian dan/atau pengukuran prestasi belajar. Menurut Daryanto dan Rahardjo (2012: 28) secara umum belajar siswa dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu faktor-faktor yang ada dalam diri siswa yang meliputi faktor fisiologis/jasmani individu, faktor psikologi baik yang intelektual maupun non intelektual dan faktor eksternal yaitu faktor-faktor yang berada di luar diri pelajar yang meliputi faktor sosial, faktor budaya, faktor lingkungan fisik, dan faktor spiritual. Selain faktor di atas menurut Syah (2010: 129) faktor yang mempengaruhi belajar siswa yaitu faktor pendekatan belajar (approach to learning), yakni jenis upaya belajar siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan mempelajari materi-

24 materi pelajaran. faktor-faktor tersebut saling berinteraksi secara langsung atau tidak langsung dalam mempengaruhi prestasi belajar yang dicapai seseorang. 2.1.8 Tinjauan Materi Segiempat Segi empat adalah bangun datar yang mempunyai empat sisi dan mempunyai empat titik sudut. Materi segi empat diajarkan di kelas 7 semester 2. Buku paket matematika yang dipakai oleh peneliti sebagai pegangan mengajar menggunakan Buku Sekolah Elektronik (BSE) milik Atik Wintarti, dkk. 2008, Dewi Nuharini dan Tri Wahyuni. 2008, dan A. Wagiyo, dkk. 2008. Adapun materi yang akan diajarkan tampak pada tabel 2.3, seperti yang ada dibawah ini: Tabel 2.1. Materi Segiempat Kelas VII / Semester Genap SK KD Materi Indikator Memahami konsep segiempat dan segitiga serta menentukan ukurannya 1. mengidentifikasi sifat-sifat persegi panjang, persegi, trapesium, jajargenjang, belah ketupat, dan layang-layang. 2. Menghitung keliling dan luas bangun segiempat serta menggunakannya dalam pemecahan masalah 1. Persegi panjang, Persegi, dan Jajargenj ang 1. Menjelaskan pengertian persegi panjang, persegi, dan jajargenjang menurut sifatnya 2. Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan menghitung keliling bangun persegi panjang, persegi, dan jajargenjang 3. Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan menghitung luas bangun persegi panjang, persegi, dan jajargenjang 2.2 Kerangka Berpikir Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan oleh guru di berbagai tingkat pendidikan, mulai dari SD, SMP, SMA sampai Perguruan

25 Tinggi. Terbukti bahwa matematika sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah cukup memegang peranan penting dalam membentuk siswa menjadi berkualitas, karena matematika merupakan suatu sarana berpikir untuk mengkaji segala sesuatu secara logis dan sistematis. Umumnya guru menyadari bahwa matematika sering dipandang sebagai mata pelajaran yang kurang diminati, ditakuti, membosankan oleh sebagian besar siswa, ini karena pelajaran matematika memiliki sederetan rumus abstrak dan dapat membosankan siswa, hal tersebut membuat siswa cenderung malas dalam mempelajari matematika. Selain itu pembelajaran yang masih terpusat pada guru mengakibatkan keaktifan siswa menjadi rendah. Oleh karena itu, kegiatan pembelajaran matematika membutuhkan peran serta keaktifan dan motivasi siswa dalam mengikuti proses pembelajaran matematika di kelas, sehingga dapat memberikan kontribusi dalam mencapai prestasi belajar yang optimal. Penyampaian guru dalam pembelajaran matematika di SMP Negeri 33 Semarang, sudah menerapkan pembelajaran kooperatif namun pembelajaran kooperatif masih berpusat pada guru dan sering kali masih menggunakkan model ekspositori sehingga perlu adanya perbaikan proses pembelajaran matematika yang berpusat pada siswa. Sebagai upaya perbaikan proses pembelajaran yang dapat menjadikan siswa aktif dan termotivasi serta dapat memberikan kontribusi terhadap prestasi belajar adalah model pembelajaran TSTS bernuansa PBL. Langkah-langkah model pembelajaran kooperatif tipe TSTS bernuansa PBL yaitu: pertama, guru memberikan permasalahan yang berkaitan dengan

26 kehidupan sehari-hari sebagai tugas kelompok, dan guru membimbing siswa untuk melakukan penyelidikan terhadap masalah yang dihadapi. Langkah yang kedua, setelah selesai, dua siswa dari masing-masing kelompok meninggalkan kelompoknya untuk bertamu ke kelompok lain, dan tiga siswa yang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan informasi dan hasil kerjanya ke tamu yang datang. Langkah yang ketiga, tamu mohon diri dan kembali ke kelompok mereka sendiri dan melaporkan temuan mereka dari kelompok lain. Langkah yang keempat, kelompok mencocokan dan membahas hasil-hasil kerja mereka serta mengambil keputusan jawaban dari permasalahan yang dihadapi. Langkah yang kelima, guru meminta siswa mempresentasikan hasil kerjanya, dan siswa mampu mempertanggungjawabkan hasil yang dipresentasikannya. Berdasarkan paparan diatas, maka model pembelajaran kooperatif tipe TSTS bernuansa PBL mendorong siswa untuk aktif mencari informasi dari teman sebayanya, maka akan terjalin komunikasi yang baik antara siswa dengan siswa ataupun siswa dengan guru. Dengan demikian diharapkan dapat mencapai ketuntasan prestasi belajar siswa secara maksimal, keaktifan dan motivasi belajar akan meningkatkan prestasi belajar siswa, dan rata-rata prestasi belajar siswa lebih baik, sehingga tercipta pembelajaran efektif.

27 Kerangka berfikir dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut: Permasalahan 1. keaktifan dan motivasi siswa dalam pembelajaran matematika rendah sehingga mempengaruhi prestasi belajar. 2. model pembelajaran ekspositori menyebabkan kebosenan/kejenuhan pada siswa, sehingga siswa kurang aktif dan kurang termotivasi dalam memahami dan mengaplikasikan konsep matematika. Kombinasi Model Pembelajaran Kooperatif tipe TSTS bernuansa PBL Model pembelajaran kooperatif tipe TSTS bernuansa PBL, menghasilkan: 1. ketuntasan prestasi belajar 2. pengaruh keaktifan dan motivasi terhadap prestasi belajar meningkat 3. perbedaan rata-rata prestasi belajar antara yang menggunakan model pembelajaran kooperatif TSTS bernuansa PBL lebih baik dibanding ratarata model ekspositori. Pembelajaran efektif Gambar 2.2. Alur Kerangka Berfikir Dalam Penelitian 2.3 Hipotesis Berdasarkan kajian teoritik dan kerangka berfikir diatas, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. prestasi belajar siswa dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS bernuansa PBL mencapai ketuntasan;

28 2. terdapat pengaruh keaktifan dan motivasi belajar terhadap prestasi belajar dalam pembelajaran model TSTS bernuansa PBL; 3. rata-rata prestasi belajar siswa antara yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS bernuansa PBL lebih baik dibanding dengan model pembelajaran ekspositori.