Kata Pengantar. Semoga publikasi ini bermanfaat bagi evaluasi dan perencanaan pembangunan di Kota Semarang. Semarang, 2015

dokumen-dokumen yang mirip
Kata Pengantar. Semoga publikasi ini bermanfaat bagi evaluasi dan perencanaan pembangunan di Kota Semarang. Semarang, 2016

Kata Pengantar. Semoga publikasi ini bermanfaat bagi evaluasi dan perencanaan pembangunan di Kota Semarang. Semarang, 2012

I. PENDAHULUAN. cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat.

BAB I PENDAHULUAN. World Bank dalam Whisnu, 2004), salah satu sebab terjadinya kemiskinan

Badan Pusat Statistik Kabupaten Banjarnegara. Badan Pusat Statistik Kabupaten Banjarnegara

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah dipahami. Apabila

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang. berperan di berbagai sektor yang bertujuan untuk meratakan serta

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor-faktor. pembangunan suatu negara (Maharani dan Sri, 2014).

GINI RATIO DAN KONSUMSI RUMAHTANGGA KALIMANTAN TENGAH 2013

PROVINSI JAWA TENGAH. Data Agregat per K b t /K t

DISTRIBUSI PENDAPATAN KOTA PALANGKA RAYA 2014

DISTRIBUSI PENDAPATAN PENDUDUK KOTA PALANGKA RAYA TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan

TABEL 2.1. ESTIMASI KETERSEDIAAN PANGAN JAWA TENGAH 2013 ASEM _2012

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Indikator pembangunan

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama

BAB 5 PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Ringkasan Hasil Regresi

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. sejahtera, makmur dan berkeadilan. Akan tetapi kondisi geografis dan

TABEL 4.1. TINGKAT KONSUMSI PANGAN NASIONAL BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PROVINSI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya

Gambar 1 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Tengah,

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013

ANALISIS GINI RATIO DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA 2017

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. turun, ditambah lagi naiknya harga benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan merangsang proses produksi barang. maupun jasa dalam kegiatan masyarakat (Arta, 2013).

BERITA RESMI STATISTIK

Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2018 TAHUN 2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. keadilan sejahtera, mandiri maju dan kokoh kekuatan moral dan etikanya.

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan tersendiri dalam pembangunan manusia,hal ini karena. sistem pemerintahan menjadi desentralisasi.

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar hidup sehari-hari. Padahal sebenarnya, kemiskinan adalah masalah yang

KATA PENGANTAR. Demikian Buku KEADAAN TANAMAN PANGAN JAWA TENGAH kami susun dan semoga dapat digunakan sebagaimana mestinya.

BPS PROVINSI JAWA TENGAH


BAB IV DISTRIBUSI PENDAPATAN MASYARAKAT

BAB III METODE PENELITIAN. mengemukakan definisi metode penelitian sebagai berikut: mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatan pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) di tingkat

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasarkan status sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusiinstitusi

EVALUASI DAERAH PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENARGETAN BERBASIS WILAYAH

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada

BAB 1 PENDAHULUAN. dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KABUPATEN KENDAL. 0 Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah (LP2KD) Kabupaten Kendal

HASIL SENSUS PERTANIAN 2013 (ANGKA TETAP)

GUBERNUR JAWA TENGAH

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

GUBERNUR JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki struktur pemerintahan dan kualitas pembangunan nasional guna

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. rakyat. Untuk mencapai cita-cita tersebut pemerintah mengupayakan. perekonomian adalah komponen utama demi berlangsungnya sistem

BAB III METODE PENELITIAN

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa waktu terakhir, pemerintah telah menerapkan sistem. pembangunan dengan fokus pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan tingkat

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2011: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,93 PERSEN

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU


BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Keadaan Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Tengah April 2015

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan ke arah desentralisasi. Salinas dan Sole-Olle (2009)

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. oleh suatu bangsa dalam upaya meningkatkan kesejahteraan maupun taraf hidup

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

BAB III METODE PENELITIAN. kepada pemerintah pusat. Penulis melakukan pengambilan data

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

IV. POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA MISKIN DI PULAU JAWA

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BAB III PEMBAHASAN. Analisis cluster merupakan analisis yang bertujuan untuk. mengelompokkan objek-objek pengamatan berdasarkan karakteristik yang

I. PENDAHULUAN. negara untuk mengembangkan outputnya (GNP per kapita). Kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan proses kenaikan pendapatan perkapita

KEMISKINAN DAN KETIMPANGAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2017

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Pembangunan di Indonesia secara keseluruhan

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah suatu negara yang mempunyai latar belakang perbedaan antar

ANALISIS DISTRIBUSI PENDAPATAN ANTAR DAERAH DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2011 PUBLIKASI ILMIAH. Disusun Oleh: FREDY ADI SAPUTRO B

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA TENGAH

KATA PENGANTAR BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KOTA SEMARANG. BADAN PUSAT STATISTIK KOTA SEMARANG K e p a l a,

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA 2013

KONDISI KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN KEADAAN MARET 2015

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. mendorong dan meningkatkan stabilitas, pemerataan, pertumbuhan dan

KONDISI KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN KEADAAN SEPTEMBER 2015

sebanyak 158,86 ribu orang atau sebesar 12,67 persen. Pada tahun 2016, jumlah penduduk miskin mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya, yaitu se

Transkripsi:

Kata Pengantar Dengan Rahmat Allah SWT, kita bersyukur atas penerbitan Publikasi Pemerataan Pendapatan dan Pola Konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014. Bahasan pada publikasi ini memuat gambaran tingkat ketimpangan pendapatan dan pola konsumsi penduduk di Kota Semarang. Untuk keperluan tersebut, selain menggunakan hasil survei tahun 2014 juga dilengkapi dengan data lain yang terkait dengan pokok bahasan. Publikasi ini terwujud berkat kerjasama antara Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Semarang dengan Badan Pusat Statistik Kota Semarang. Kami telah mengupayakan untuk menyajikan publikasi ini sebaik-baiknya, namun disadari mungkin masih terdapat kekurangan, untuk itu tanggapan serta saran-saran dari semua pihak sangat diharapkan. Semoga publikasi ini bermanfaat bagi evaluasi dan perencanaan pembangunan di Kota Semarang. Semarang, 2015 KEPALA BAPPEDA KOTA SEMARANG T T D BAMBANG HARYONO Pembina Utama Muda NIP. 19580410 198603 1 010 KEPALA BADAN PUSAT STATISTIK KOTA SEMARANG T T D ENDANG RETNO SRI SUBIYANDANI, S.Si Pembina Tk. I NIP. 19641023 198802 2 001

DAFTAR ISI Halaman Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Gambar... Daftar Tabel... i ii iv v BAB I Pendahuluan 1.1. Latar belakang... 2 1.2. Tujuan... 3 1.3. Sistematika Penulisan... 3 BAB II Tinjauan Pustaka 2.1. Teori Pareto... 5 2.2. Indeks Theil dan Indeks-L... 6 2.3. Teori Gini Ratio... 7 2.4. Kriteria Bank Dunia... 10 BAB III Metodologi 3.1. Sumber Data... 13 3.2. Konsep dan Definisi... 13 3.3. Teknik Analisis... 14 BAB IV Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Kota Semarang 4.1. Gambaran Umum Perekonomian Kota Semarang Tahun 2010 2014... 18 4.2. Pola Konsumsi Rumahtangga... 21 4.3. Kesenjangan Distribusi Pendapatan... 28 a. Koefisien Gini... 28 b. Relatif Ineqauality (Kriteria Bank Dunia)... 33 Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 ii

BAB V Penutup 5.1 Kesimpulan... 38 5.2. Saran... 39 Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 iii

DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Gambar 2. Grafik Laju Pertumbuhan PDRB Kota Semarang Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 2010... 20 Grafik Laju Pertumbuhan PDRB Per Kapita Kota Semarang Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Harga Konstan 2010... 21 Gambar 3. Prosentase Komposisi Konsumsi Penduduk Kota Semarang... 23 Gambar 4. Rata-rata Pendapatan Per-kapita Sebulan Dirinci Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2014... 25 Gambar 5. Pola Konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014... 26 Gambar 6. Koefisien Gini Kota Semarang Tahun 2014... 28 Gambar 7. Gambar 8. Gambar 9. Perkembangan dan Level Gini Ratio Kota Semarang Tahun 2010 2014... 30 Perbandingan Koefisien Gini Kota Semarang dan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010 2014... 33 Ketimpangan Pendapatan di Kota Semarang Berdasarkan Kriteria bank Dunia Tahun 2014... 36 Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 iv

DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Produk Domestik Regional Bruto (Juta Rupiah) Kota Semarang Tahun 2010 2014... 19 Tabel 2. Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto Tahun 2010 2014... 19 Tabel 3. Produk Domestik Regional Bruto Perkapita (Rupiah) Tahun 2010 2014... 20 Tabel 4. Rata-rata Pengeluaran perkapita Sebulan dan Komposisi Konsumsi Penduduk Kota Semarang... 22 Tabel 5. Pola Konsumsi Makanan dan Non Makanan Penduduk Kota Semarang Tahun 2014... 27 Tabel 6. Koefisien Gini Kota Semarang dan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010 2014... 29 Tabel 7. Peringkat Gini Ratio Kab./Kota di wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010 2014... 31 Tabel 8. Ketimpangan Pendapatan di Kota Semarang Berdasarkan Kriteria Bank Dunia Tahun 2009 2013... 34 Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 v

BAB I PENDAHULUAN BAB I Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 1

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu kriteria yang sering digunakan untuk mengetahui keadaan perekonomian di suatu wilayah, adalah pertumbuhan ekonomi dengan melihat pertumbuhan PDRB. Secara lebih rinci sering pula diulas faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Menurut Sukirno, pertumbuhan Ekonomi adalah suatu ukuran kuantitatif yang menggambarkan perkembangan suatu perekonomian dalam satu tahun tertentu dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Karena pendapatan regional adalah nilai dari seluruh produk yang dihasilkan oleh seluruh pelaku ekonomi dalam suatu wilayah, maka besar atau kecilnya pendapatan regional dapat dilihat sebagai gambaran tentang tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah yang bersangkutan. Namun demikian pertumbuhan ekonomi yang hanya diukur dengan pendapatan regional belum tentu berkorelasi positif dengan kesejahteraan masyarakatnya atau dapat dikatakan bahwa besarnya tingkat pertumbuhan ekonomi, tidak memberikan gambaran bahwa seluruh penduduk yang ada di wilayah tersebut meningkat kesejahteraannya. Sangat mungkin terjadi, ekonomi meningkat pesat tetapi jumlah penduduk miskin juga meningkat. Pengukuran atau evaluasi hasil pembangunan dirasa belum cukup apabila hanya di ukur dengan pertumbuhan ekonomi melalui PDRB, diperlukan parameter lain yang mampu menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat terkait dengan distribusi hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai. Publikasi ini memuat parameter penunjang indikator pertumbuhan ekonomi dan akan memberikan gambaran tentang: pemerataan pendapatan (mengukur seberapa besar kesenjangan pendapatan antar penduduk) sekaligus melihat perubahan pola konsumsi masyarakatnya di Kota Semarang tahun 2014. Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 2

BAB I PENDAHULUAN 1.2. Tujuan Publikasi ini, bertujuan untuk memberikan gambaran pemerataan pendapatan dan pola konsumsi penduduk di Kota Semarang pada tahun 2014. Series data dari publikasi ini diharapkan dapat menjadi bahan monitoring dan evaluasi distribusi pendapatan di Kota Semarang. 1.3. Sistematika Penulisan Tulisan ini disusun dalam 5 (lima) Bab, yaitu : Bab I Bab II Pendahuluan, Berisi latar belakang, tujuan dan sistematika penulisan. Tinjauan Pustaka, Berisi penjelasan beberapa teori tentang distribusi pendapatan. Bab III Metodologi, Mencakup sumber data, konsep dan definisi serta teknik analisis yang digunakan dalam penulisan ini. Bab IV Ketimpangan Distribusi Pendapatan Kota Semarang 2014, Berisi uraian ringkas tentang distribusi pendapatan dan Pola konsumsi di Kota Semarang. Bab V Penutup, Berisi kesimpulan dan saran. Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA TINJAUAN PUSTAKA Ketimpangan distribusi pendapatan tidak terlepas atau sangat erat hubungannya dengan kemiskinan. Kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi oleh semua negara di dunia. Menurut Kuncoro (1997), kemiskinan dapat ditinjau dari 2 sisi, yaitu : pertama, kemiskinan absolute, dimana dengan pendekatan ini di identifikasikan jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan tertentu. kedua, kemiskinan relatif, yaitu pangsa pendapatan nasional yang diterima oleh masing-masing golongan pendapatan. Dengan kata lain, kemiskinan relatif amat erat kaitannya dengan masalah distribusi pendapatan. Badan Pusat Statistik dalam "Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan 2009", untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan tersebut telah muncul beberapa teori maupun ukuran yang digunakan, antara lain : 2.1. Teori Pareto VilfredoPareto (1897) dalam Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan 2009 (BPS, 2009), setelah melakukan penelitian mengenai distribusi pendapatan di Eropa, mendapatkan bentuk kurvanya (untuk setiap negara) tidaklah mengikuti distibusi normal, tapi mengikuti perumusan sebagai berikut: A = Jumlah penduduk yang mempunyai pendapatan lebih besar daripada X X = Tingkat pendapatan tertentu dari keluarga atau individu yang bersangkutan N = Jumlah penduduk total b = Parameter yang nilainya antara 1 dan 2 Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Berdasarkan hasil tersebut, Pareto, menyatakan bahwa akan selalu ditemui ketimpangan dalam setiap negara, dimana kelompok penduduk yang terkaya mendapatkan porsi yang terbanyak dari pendapatan nasional negaranya. Penemuannya ini selanjutnya dikenal sebagai Pareto Law, yang menyatakan bahwa 20 persen kelompok penduduk terkaya menikmati 80 % dari pendapatan nasional negaranya. 2.2. Indeks Theil dan Indeks -L Ada sejumlah ukuran ketimpangan yang memenuhi semua kriteria bagi sebuah ukuran ketimpangan yang baik. Diantaranya yang paling banyak digunakan adalah Indeks Theil dan Indeks-L (ukuran deviasi log rata-rata). Kedua ukuran tersebut masuk dalam famili ukuran ketimpangan "generalized enthropy". Rumus "generalized enthropy" secara umum dapat ditulis sebagai berikut: ( ) ( ) * ( ) +, adalah rata-rata pendapatan (pengeluaran). Nilai GE bervariasi antara 0 dan dengan 0 mewakili distribusi yang merata dan nilai yang lebih tinggi mewakili tingkat ketimpangan yang lebih tinggi. Parameter α dalam kelompok ukuran GE mewakili penimbang yang diberikan pada jarak antara pendapatan pada bagian yang berbeda dari distribusi pendapatan. Untuk nilai α yang lebih rendah, GE lebih sensitif terhadap perubahan pada ekor bawah dari distribusi (penduduk miskin), dan untuk nilai α yang lebih tinggi GE lebih sensitif terhadap perubahan yang berakibat pada ekor atas dari distribusi (penduduk kaya). Nilai α yang paling umum digunakan adalah 0 dan 1. a) GE (1) disebut sebagai indeks Theil, yang dapat ditulis sebagai berikut: GE(1) = ( ) ( ) Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA b) GE (0), juga dikenal dengan indeks-l, disebut ukuran deviasi log rata-rata (mean log deviation) karena ukuran tersebut memberikan standar deviasi dari log (y): GE(0) = ( ) 2.3. Teori Gini Ratio Koefisien gini adalah salah satu ukuran yang paling sering digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan secara menyeluruh. Rumus koefisien gini adalah sebagai berikut : ( ) G = Gini Ratio Pi = Persentase rumah tangga pada kelas pendapatan ke-i Qi = Persentase kumulatif pendapatan sampai dengan kelas ke-i Qi-1 = Persentase kumulatif pendapatan sampai dengan kelas ke-i-1 k = Banyaknya kelas pendapatan Oshima menetapkan sebuah kriteria yang digunakan untuk menentukan apakah pola pengeluaran suatu masyarakat ada pada ketimpangan taraf rendah, sedang atau tinggi. Untuk itu ditentukan kriteria sebagai berikut : a. Ketimpangan taraf rendah, bila G < 0,35 b. Ketimpangan taraf sedang, bila G antara 0,35-0,5 c. Ketimpangan taraf tinggi, bila G > 0,5 Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Nilai indeks Gini ada diantara 0 dan 1. Semakin tinggi nilai Indeks Gini menunjukkan ketidakmerataan pendapatan yang semakin tinggi. Jika nilai Indeks Gini adalah nol maka artinya terdapat kemerataan sempurna pada distribusi pendapatan, sedangkan jika bernilai satu berarti terjadi ketidakmerataan pendapatan yang sempurna. Untuk publikasi resmi Indonesia oleh BPS, baik ukuran ketidakmerataan pendapatan versi Bank Dunia maupun Indeks Gini, penghitungannya menggunakan data pengeluaran. Kurva Lorez Keterangan: - Sumbu OB menyatakan persentase jumlah penduduk - Sumbu OD menyatakan persentase pendapatan Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Titik K pada kurva OKLB menunjukkan 40 persen jumlah penduduk menerima pendapatan sebesar 10 persen total pendapatan. Sedang titik M pada kurva OMNB menggambarkan bahwa 40 persen jumlah penduduk menerima bagian pendapatan sebesar 17 persen dari total pendapatan. Berarti distribusi pendapatan yang digambarkan oleh kurva OMNB lebih merata dari pada distribusi pendapatan yang ditunjukkan oleh kurva OKLB. Kelemahan Gini Ratio adalah besarnya nilai gini ratio tidak bisa menjelaskan letak ketimpangannya. Penjelasan ini dapat diilustrasikan dengan membuat kurva OMNB yang nilai Gini Rationya dibuat sama dengan kurva OKLB. Dalam kurva (yang diarsir) golongan bawah lebih menderita dibandingkan kurva OMNB karena persentase yang diterima oleh 40 persen penduduk hanya 10 persen pendapatan, sedang pada kurva OKLB 40 persen penduduk menerima bagian 17 persen dari total pendapatan. Untuk mengatasi kelemahan ini para pakar menganjurkan agar ukuran ini dilengkapi dengan ukuran lain seperti Kriteria Bank Dunia, sehingga diketahui keadaan penduduk kelas bawah atau kelas atas yang timpang. Daimon dan Thorbecke (1999-5) dalam Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan 2009 (BPS, 2009) berpendapat bahwa penurunan ketimpangan (perbaikan distribusi pendapatan) selalu tidak konsisten dengan bertambahnya insiden kemiskinan kecuali jika terdapat dua aspek yang mendasari inkonsistensi tersebut. a. Pertama, variasi distribusi pendapatan dari kelas terendah meningkat secara drastis sebagai akibat krisis. b. Kedua, merupakan persoalan metodologi berkaitan dengan keraguan dalam pengukuran kemiskinan dan indikator ketimpangan. Beberapa kriteria bagi sebuah ukuran ketimpangan yang baik misalnya: a. Tidak tergantung pada nilai rata-rata (mean independence). Ini berarti bahwa jika semua pendapatan bertambah dua kali lipat, ukuran ketimpangan tidak akan berubah. Koefisien Gini memenuhi syarat ini. b. Tidak tergantung pada jumlah penduduk (population size independence). Jika penduduk berubah, ukuran ketimpangan seharusnya tidak berubah, jika kondisi lain tetap (ceteris paribus). Koefisien Gini juga memenuhi syarat ini. Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA c. Simetris. Jika antar penduduk bertukar tempat tingkat pendapatannya, seharusnya tidak akan ada perubahan dalam ukuran ketimpangan. Koefisien Gini juga memenuhi hal ini. d. Sensitivitas Transfer Pigou-Dalton. Dalam kriteria ini, transfer pandapatan dari si kaya ke si miskin akan menurunkan ketimpangan. Gini juga memenuhi kriteria ini. Ukuran ketimpangan yang baik juga diharapkan mempunyai sifat: a. Dapat didekomposisi Hal ini berarti bahwa ketimpangan mungkin dapat didekomposisi (dipecah) menurut kelompok penduduk atau sumber pendapatan atau dalam dimensi lain. Indeks Gini tidak dapat didekomposisi atau tidak bersifat aditif antar kelompok. Yakni nilai total Koefisien Gini dari suatu masyarakat tidak sama dengan jumlah nilai Indeks Gini dari sub-kelompok masyarakat (sub-group). b. Dapat diuji secara statistik Seseorang harus dapat menguji signifikansi perubahan indeks antar waktu. Hal ini sebelumnya menjadi masalah, tetapi dengan teknik bootstrap interval (selang) kepercayaan umumnya dapat dibentuk. 2.4. Kriteria Bank Dunia Bank Dunia, dalam upaya mengukur ketimpangan pendapatan, membagi penduduk menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok 40 persen penduduk berpendapatan rendah, kelompok 40 persen penduduk berpendapatan menengah, dan kelompok 20 persen penduduk berpendapatan tinggi. Ketimpangan pendapatan ditentukan berdasarkan besarnya jumlah pendapatan yang diterima oleh kelompok 40 persen penduduk berpendapatan rendah, dengan kriteria sebagai berikut: a. Bila persentase pendapatan yang diterima oleh kelompok 40 persen penduduk berpendapatan rendah lebih kecil dari 12 persen, maka dikatakan terdapat ketimpangan pendapatan tinggi. Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA b. Bila persentase pendapatan yang diterima oleh kelompok 40 persen penduduk berpendapatan rendah antara 12 persen sampai dengan 17 persen, maka dikatakan terdapat ketimpangan pendapatan moderat/sedang/menengah. c. Bila persentase pendapatan yang diterima oleh kelompok 40 persen penduduk berpendapatan rendah lebih besar dari 17 persen, maka dikatakan terdapat ketimpangan pendapatan rendah. Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 11

BAB III METODOLOGI BAB III Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 12

BAB III METODOLOGI METODOLOGI 3.1. Sumber Data Distribusi pendapatan penduduk 2014 dihitung berdasarkan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2014 yang pengumpulan datanya dilakukan melalui wawancara tatap muka antara petugas survei dengan responden. 3.2. Konsep dan Definisi Konsep dan definisi yang dipakai pada Susenas 2014 yang terkait diantaranya : Rumah tangga Rumah tangga adalah seseorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik/sensus dan biasanya tinggal bersama serta makan dari satu dapur dalam pengertian bahwa kebutuhan sehari-hari diurus bersama-sama menjadi satu. Anggota Rumah Tangga / Penduduk Anggota Rumah Tangga (ART) / penduduk adalah orang yang biasanya tinggal di suatu rumah tangga, baik yang berada di dalam rumah tangga waktu pencacahan maupun sementara tidak ada. Yang bepergian walaupun kurang dari enam bulan tetapi dengan tujuan pindah/akan meninggalkan rumah enam bulan atau lebih, tidak dianggap sebagai ART. Orang yang telah tinggal di rumah tangga enam bulan atau lebih atau yang telah tinggal di dalam rumah tangga kurang dari enam bulan tetapi berniat tinggal enam bulan atau lebih dianggap sebagai ART. Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 13

BAB III METODOLOGI Pengeluaran Pengeluaran rumah tangga sebulan adalah rata-rata biaya yang dikeluarkan rumah tangga untuk konsumsi rumah tangga. Konsumsi rumahtangga dibedakan menjadi dua kelompok yaitu konsumsi makanan dan bukan/non makanan (perumahan, aneka barang dan jasa, pendidikan, kesehatan, pakaian, barang tahan lama, pajak dan asuransi, dan keperluan untuk pesta dan upacara). Konsumsi tersebut tanpa memperhatikan asal barang (membeli atau hasil sendiri atau pemberian) dan terbatas pada pengeluaran untuk kebutuhan rumah tangga saja, tidak termasuk konsumsi/pengeluaran untuk keperluan usaha rumah tangga atau diberikan kepada pihak lain. Pendapatan Pendapatan adalah penerimaan berupa uang maupun barang yang diterima atau dihasilkan. Namun disadari, bahwa informasi pendapatan ini tidak seperti yang diharapkan, dimana banyak responden cenderung memberikan informasi pendapatan yang tidak sebenarnya.oleh sebab itu, data pendapatan sendiri diperkirakan dari data pengeluaran dengan asumsi bahwa pengeluaran masyarakat merupakan gambaran dari pendapatan mereka. 3.3. Teknik Analisis Teori atau ukuran-ukuran yang digunakan dalam tulisan ini adalah Teori Gini Ratio dan Kriteria Bank Dunia. Sedangkan untuk data pendapatan didekati dengan data pengeluaran (konsumsi) rumah tangga. Gini Ratio Angka Gini Ratio terletak antara 0-1 dan apabila angka ini makin mendekati 0 (nol) berarti semakin rendah tingkat ketimpangannya. Sebaliknya apabila angka ini Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 14

BAB III METODOLOGI semakin mendekati 1 (satu) berarti semakin tinggi tingkat ketimpangan (jurang pemisah antara si kaya dan si miskin lebar). Secara umum dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 0,00 < G < 0,35 pemerataan tinggi / ketimpangan rendah 0,35 < G < 0,50 pemerataan / ketimpangan sedang G > 0,50 pemerataan rendah / ketimpangan tinggi Kriteria Bank Dunia Pada prinsipnya Kriteria Bank Dunia membagi penduduk ke dalam 3 (tiga) kelompok pendapatan yaitu 40 persen kelompok penduduk berpendapatan rendah, 40 persen kelompok penduduk berpendapatan sedang dan 20 persen kelompok berpendapatan tinggi. Pengelompokan seperti ini pada dasarnya sama dengan menggunakan cara desil (decile) yaitu 40 persen pertama sama dengan desil ke-4; 40 persen kedua sama dengan desil ke-8 dan 20 persen terakhir adalah desil ke-10. Dalam menentukan besarnya desil ke-i digunakan rumus : ( ) ( ) ( ) i = 1, 2, 3,... 10 ni = Persentase ke-i Di = Desil ke-i Qb = Persen kumulatif dari kelas pendapatan sebelum Di Qa = Persen kumulatif dari kelas pendapatan sesudah Di Pb = Persen kumulatif dari jumlah penduduk sebelum Di Pa = Persen kumulatif dari jumlah penduduk sesudah Di Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 15

BAB III METODOLOGI Kriteria ketimpangan diukur berdasarkan bagian pendapatan yang diterima kelompok berpendapatan rendah. Jika bagian pendapatan yang diterima kelompok ini: Kurang dari 12 persen pemerataan rendah / ketimpangan tinggi 12 persen - 17 persen pemerataan / ketimpangan sedang Di atas 17 persen pemerataan tinggi / ketimpangan rendah Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 16

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN BAB IV Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 17

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN KOTA SEMARANG 4.1. Gambaran Umum Perekonomian Kota Semarang Tahun 2010 2014 Salah satu konsekwensi dari pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan adalah ketimpangan distribusi pendapatan. Dengan nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada tahun 2014 mencapai 121.262.902,12 juta rupiah dan Pertumbuhan ekonomi selama lima tahun ( 2010 2014 ) mampu tumbuh dengan rata-rata di atas 5 % (lihat Tabel 1 dan 2) maka dapat dikatakan ekonomi makro kota semarang menunjukan perkembangan yang cukup baik selama lima tahun tersebut. Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan perekonomian kota semarang, pendapatan masyarakat yang terlihat dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita juga terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tercatat PDRB per kapita pada tahun 2014 mencapai 72.482.351,82 juta rupiah atau 9,59% lebih tinggi dari tahun 2013 yang mencapai 66.137.764,12 juta rupiah. Ketersediaan data pendapatan perkapita untuk daerah di Indonesia secara umum dapat dikatakan tidak tersedia, oleh karena itu pengukuran kesejahteraan masyarakat suatau wilayah umumnya didekati dengan dua pendekatan pendapatan yaitu Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) perkapita dan Pengeluaran Konsumsi Perkapita. Walaupun kedua nilai tersebut tidak menggambarkan pendapatan riil penduduk akan tetapi secara empiris terbukti dapat memberikan gambaran pendapatan penduduk untuk dapat menjadi indikator kesejahteraan masyarakat suatu wilayah. Tingkat pendapatan suatu wilayah selain dari kemampuan ekonomi wilayah tersebut juga tergantung jumlah penduduk yang bermukim di wilayah tersebut, jadi Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 18

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN wilayah yang mempunyai nilai PDRB tinggi belum tentu memiliki PDRB perkapita yang tinggi bila jumlah penduduk wilayah tersebut besar jumlahnya. Tabel 1. Produk Domestik Regional Bruto (Juta rupiah) Kota Semarang Tahun Atas Dasar Harga Berlaku Atas Dasar Harga Konstan 2010 Tahun 2010 80.824.099,97 80.824.099,97 Tahun 2011 91.034.098,92 86.142.966,70 Tahun 2012 99.753.672,36 91.282.029,07 Tahun 2013 *) 108.783.394,43 97.340.978,65 Tahun 2014 **) 121.262.902,12 102.501.385,64 Keterangan: *). Angka sementara **). Angka sangat sementara Tabel 2. Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto Kota Semarang Tahun Atas Dasar Harga Berlaku Atas Dasar Harga Konstan 2010 Tahun 2010 13,69 5,35 Tahun 2011 12,63 6,58 Tahun 2012 9,58 5,97 Tahun 2013 *) 9,05 6,64 Tahun 2014 **) 11,47 5,30 Keterangan: *). Angka sementara **). Angka sangat sementara Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 19

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN Gambar 1. Grafik Laju Pertumbuhan PDRB Kota Semarang Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Harga Konstan 2010 16,00 14,00 12,00 13,69 12,63 11,47 10,00 9,58 9,05 8,00 6,00 4,00 5,35 6,58 5,97 6,64 5,30 2,00 0,00 2010 2011 2012 2013 2014 PDRB adh Berlaku PDRB adh Konstan 2010 Tabel 3. Produk Domestik Regional Bruto Perkapita (Rupiah) Kota Semarang Tahun Atas Dasar Harga Berlaku Atas Dasar Harga Konstan 2010 Tahun 2010 51.804.774,72 51.804.774,72 Tahun 2011 57.311.533,89 54.232.266,96 Tahun 2012 61.705.999,74 56.465.578,95 Tahun 2013 *) 66.137.764,12 59.181.042,47 Tahun 2014 **) 72.482.351,82 61.268.049,56 Keterangan: *). Angka sementara **). Angka sangat sementara Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 20

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN Gambar 2. Grafik Laju Pertumbuhan PDRB Per Kapita Kota Semarang Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Harga Konstan 2010 12,00 10,00 10,63 9,59 8,00 7,67 7,18 6,00 4,00 2,00 4,69 4,12 4,81 3,53 0,00 2011 2012 2013 2014 PDRB Perkapita adh Berlaku PDRB Perkapita adh Konstan 2010 4.2. Pola Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi perkapita dapat digunakan sebagi pendekatan pendapatan perkapita sehingga informasi mengenai Pengeluaran rumah tangga merupakan salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran keadaan kesejahteraan penduduk. Semakin tinggi pendapatan maka porsi pengeluaran akan bergeser dari pengeluaran untuk makanan ke pengeluaran bukan makanan. Pergeseran pola pengeluaran terjadi karena elastisitas permintaan terhadap makanan pada umumnya rendah, sebaliknya elastisitas permintaan terhadap barang bukan makanan pada umumnya lebih tinggi. Keadaan ini jelas terlihat pada kelompok penduduk yang tingkat konsumsi makanannya sudah mencapai titik jenuh, sehingga peningkatan pendapatan akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan barang bukan Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 21

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN makanan,ditabung atau diinvestasikan. Dengan demikian, pola pengeluaran dapat dipakai sebagai salah satu alat untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk, dimana perubahan komposisinya digunakan sebagai petunjuk perubahan tingkat kesejahteraan. Secara umum pergerakan yang terjadi dari tahun 2010 ke tahun 2014 terlihat bahwa konsumsi non makanan mendominasi struktur konsumsi penduduk Kota Semarang, secara teoritis komposisi pola konsumsi dapat dikatakan bahwa masyarakat Kota Semarang mengalami peningkatan kesejahteraan. Pada tahun 2014, Komoditi Perumahan dan fasilitas rumah tangga dan komoditi Makanan dan Minuman Jadi mendapat porsi tertinggi masing-masing 22.45% dan 16,05% disusul Aneka barang dan jasa lainnya 13,00 %, Pendidikan 6,11%, sedangkan pengeluaran untuk 18 kelompok komoditas lainnya masing-masing kurang dari 5%. Pengeluaran perkapita kota semarang pada tahun 2013 sebesar Rp 1,058,225 terbagi sebesar Rp 426.314 (40,28%) untuk pengeluaran makanan dan Rp 631.910 (59,72%) untuk pengeluaran non makanan. Tabel 4. Rata-rata Pengeluaran Perkapita Sebulan dan Komposisi Konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun Rata-rata Pengeluaran Per-kapita sebulan (Rp) Makanan Persentase Non Makanan Tahun 2010 654.535 43,42 56,58 Tahun 2011 749.403 40,75 59,25 Tahun 2012 760.649 43,36 56,64 Tahun 2013 1.070.470 37,29 62,71 Tahun 2014 1.058.225 40,28 59,72 Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 22

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN Gambar 3. Persentase Komposisi Konsumsi Penduduk Kota Semarang 100,00 90,00 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 56,58 59,25 56,64 43,42 40,75 43,36 62,71 59,72 37,29 40,28 0,00 Tahun 2010 Tahun 2011 Tahun 2012 Tahun 2013 Tahun 2014 Makanan Non Makanan Komposisi Pengeluaran kelompok komoditas Makanan sebagai berikut: sub kelompok komoditas makanan dan minuman jadi memiliki porsi terbesar yakni sebesar 39,84 persen, selanjutnya sub kelompok komoditas padi-padian 10,41 persen, sub kelompok tembakau dan sirih 9,39 persen, Sub kelompok telur dan susu 8,21 persen, sub kelompok buah-buahan 5,86 persen, sub kelompok sayur-sayuran 5,71 persen dan 8 sub kelompok komoditas yang lain masing-masing kurang dari 5 persen. Sedangkan komposisi pengeluaran non makanan dapat dirinci sebagai berikut: 37,59 persen pengeluaran untuk sub komoditas perumahan dan fasilitas rumahtangga, 21,76 persen untuk sub kelompok aneka barang jasa lainnya, 10,23 persen untuk sub kelompok pendidikan, 8,29 persen untuk barang tahan lama, 7,85 persen untuk pengeluaran kesehatan, 5,47 persen untuk pengeluaran pajak, pungutan dan asuransi dan 2 sub kelompok yang lain sebesar 4,66 persen untuk sub kelompok pakaian alas kaki dan tutup kepala serta 4,15 persen untuk keperluan pesta dan upacara. Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 23

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN Dibandingkan dengan kabupaten atau kota lain di Provinsi Jawa Tengah, rata-rata pengeluaran per kapita sebulan tertinggi adalah Kota Semarang dan Kota Salatiga, hingga lebih dari satu juta rupiah, sedangkan kabupaten kota lain di Jawa Tengah masih dibawah 900 ribu rupiah. Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 24

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN Gambar 4. Rata-rata Pendapatan Per-kapita sebulan dirinci menurut Kabupaten / Kota di Jawa Tengah Tahun 2014 Tahun 2014 Prov. Jawa Tengah Kota Tegal Kota Pekalongan Kota Semarang Kota Salatiga Kota Surakarta Kota Magelang Kab. Brebes Kab. legal Kab. Pemalang Kab. Pekalongan Kab. Batang Kab. Kendal Kab. Temanggung Kab. Semarang Kab. Demak Kab. Jepara Kab. Kudus Kab. Pati Kab. Rembang Kab. Blora Kab. Grobogan Kab. Sragen Kab. Karanganyar Kab. Wonogiri Kab. Sukoharjo Kab. Klaten Kab. Boyolali Kab. Magelang Kab. Wonosobo Kab. Purworejo Kab. Kebumen Kab. Banjarnegara Kab. Purbalingga Kab. Banyumas Kab. Cilacap 622.858 897.747 565.137 876.057 787.022 571.508 535.860 457.249 570.696 513.141 687.766 553.243 739.149 591.291 540.466 738.651 569.537 616.826 537.282 592.931 672.528 681.304 566.222 720.933 706.312 640.216 466.678 682.016 699.460 512.261 473.325 520.635 574.367 581.181 1.058.225 1.058.283 Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 25

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN Gambar 5. Pola Konsumsi Makanan dan Non Makanan Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 Pajak, Pungutan dan Asuransi, 3,27 Pakaian, Alas kaki dan Tutup Kepala, 2,78 Barang Tahan Lama, 4,95 Padi-padian, 4,20 Umbi-umbian, 0,13 Keperluan Pesta dan Upacara/Kenduri, 2,48 Ikan/udang/cumi/keran g, 1,79 Daging, 1,79 Telur dan Susu, 3,31 Sayur-sayuran, 2,30 Kacang-kacangan, 1,19 Buah-buahan, 2,36 Minyakdan Lemak, 1,00 Bahan Minuman, 1,19 Aneka Barang dan Jasa Lainnya, 13,00 Bumbu-bumbuan, 0,44 Konsumsi Lainnya, 0,77 Pendidikan, 6,11 Makanan dan Minuman Jadi, 16,05 Kesehatan, 4,69 Perumahan dan Fasilitas Rumahtangga, 22,45 Tembakau dan sirih, 3,78 Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 26

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN Tabel 5. Pola Konsumsi Makanan dan Non Makanan Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 Jenis Pengeluaran Makanan Persen Jenis Pengeluaran Non Makanan Persen (1) (2) (3) (4) Perumahan dan Fasilitas Padi-padian 10,41 37,59 Rumah tangga Umbi-umbian 0,32 Aneka Barang dan Jasa 39,84 Ikan / udang / cumi / kerang 4,45 - Kesehatan 7,85 Daging 4,44 - Pendidikan 10,23 Telur dan Susu 8,21 - Lainnya 21,76 Sayur-sayuran 5,71 Pakaian, Alas kaki dan Tutup Kepala 4,66 Kacang-kacangan 2,96 Barang Tahan Lama 8,29 Buah-buahan 5,86 Minyak dan Lemak 2,47 Bahan Minuman 2,95 Bumbu-bumbuan 1,09 Konsumsi Lainnya 1,90 Makanan dan Minuman Jadi 39,84 Tembakau dan sirih 9,39 Pajak, Pungutan dan Asuransi Keperluan Pesta dan Upacara / Kenduri 5,47 4,15 Total 100,00 100,00 Rata Rata Pengeluaran Makanan (Rp.) 426,314 Rata Rata Pengeluaran Non Makanan (Rp.) 631,910 Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 27

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN 4.3. Kesenjangan Distribusi Pendapatan a. Koefisien Gini (Gini Ratio) Distribusi pendapatan merupakan salah satu aspek kemiskinan yang penting karena pada dasarnya merupakan ukuran kemiskinan relatif. Tingginya ketimpangan pendapatan atau kemiskinan relatif, berarti kebijakan pembangunan belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Koefisien Gini (Gini Ratio) adalah salah satu parameter yang digunakan untuk menilai ketimpangan distribusi pendapatan. Koefisien Gini bernilai antara 0 sampai dengan 1 yang merupakan rasio antara luas area antara kurva Lorenz dengan garis kemerataan sempurna dengan luas area di bawah kurva Lorenz. Gambar 6. Koefisien Gini Kota Semarang Tahun 2014 Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 28

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN Koefisien Gini berikut ini didasarkan data SUSENAS mengenai pengeluaran rumah tangga di Kota Semarang tahun 2010 2014. Selama kurun waktu 2010 2014, Koefisien gini tahun 2010 merupakan angka capaian terbaik (koefisien terendah), sedangkan koefisien gini tertinggi sebesar 0,3807 dialami pada tahun ini. Tabel 6. Koefisien Gini Kota Semarang dan Provinsi Jawa Tengah Tahun Kota Semarang Jawa Tengah Tahun 2010 0,3224 0,2908 Tahun 2011 0,3545 0,3462 Tahun 2012 0,3518 0,3554 Tahun 2013 0,3514 0,3900 Tahun 2014 0,3807 0,3729 Peringkat dari indeks gini disusun menurut wilayah yang memiliki ketimpangan terendah (rangking 1) hingga wilayah yang memiliki ketimpangan tertinggi (rangking terakhir). pada tahun 2014, Kota Semarang menempati rangking ke 25 dari 35 kabupaten/ kota di jawa tengah. Rentang waktu 2010 hingga 2014, peringkat capaian koefisien gini tidak menunjukkan trend tertentu, Namun selama kurun waktu tersebut wilayah Kota Semarang masuk dalam kategori 10 besar dengan ketimpangan tertinggi kecuali pada tahun 2012. Jika dibandingkan dengan wilayah perkotaan seperti kota tegal, kota magelang, kota pekalongan dan kota salatiga, maka Indeks Gini Kota Semarang masih berada dibawah Kota Salatiga, Kota Surakarta, Kota Magelang dan berada diatas Kota Tegal dan Kota Pekalongan. Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 29

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN Koefisien Gini pada level wilayah provinsi selalu lebih rendah dari kota semarang pada periode 2010 hingga 2011 dan 2014, sedangkan pada 2012 dan 2013 tercatat level provinsi melebihi nilai ketimpangan Kota Semarang, bahkan pada tahun 2013 angka gini rasio provinsi Jawa tengah mencapai angka 0,39 terpaut setidaknya 4 poin dari Kota Semarang. Gambar 7. Perkembangan dan Level Gini Kota Semarang Tahun 2010 2014 0,60 TINGGI 0,50 0,40 0,3545 0,3518 SEDANG 0,3807 0,30 0,20 0,3224 0,3514 RENDAH 0,10 0,00 2010 2011 2012 2013 2014 Perkembangan dan Level Gini Kota Semarang Keterbandingan indeks gini level provinsi terhadap Kota Semarang dilihat menurut kategori ketimpangan rendah (<0,35), sedang(0,35 0,5) atau tinggi (>0,5), maka pada 5 tahun terakhir indeks gini Kota Semarang terkategori ketimpangan sedang kecuali tahun 2010 sedangkan pada level provinsi, termasuk kategori ketimpangan Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 30

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN rendah pada kurun waktu 2009 hingga 2011 selebihnya terkategori sebagai ketimpangan sedang. Jika melihat pola perkembangannya, pada level provinsi dalam kurun waktu 5 tahun terakhir tampak selalu mengalami kenaikan, sedangkan indeks gini kota semarang cenderung berfluktuasi dan cenderung pada kategori ketimpangan sedang. Tabel 7. Peringkat Nilai Gini Ratio Kabupaten / Kota di wilayah Provinsi Jawa Tengah Kabupaten/Kota Rangking Tahun 2010 Rangking Tahun 2011 Rangking Tahun 2012 Rangking Tahun 2013 Rangking Tahun 2014 (1) (2) (3) (4) (5) (6) 1 Kab. Cilacap 14 8 7 31 20 2 Kab. Banyumas 34 28 18 30 11 3 Kab. Purbalingga 8 6 11 8 5 4 Kab. Banjarnegara 16 30 16 33 16 5 Kab. Kebumen 4 21 20 5 1 6 Kab. Purworejo 28 31 5 18 33 7 Kab. Wonosobo 13 25 32 19 24 8 Kab. Magelang 12 11 10 20 17 9 Kab. Boyolali 19 32 34 34 6 10 Kab. Klaten 15 12 14 21 27 11 Kab. Sukoharjo 29 16 24 22 26 12 Kab. Wonogiri 27 27 8 23 15 13 Kab. Karanganyar 26 34 35 14 28 14 Kab. Sragen 21 24 29 27 14 15 Kab. Grobogan 24 13 25 24 22 16 Kab. Blora 17 19 33 35 34 17 Kab. Rembang 1 2 13 9 18 18 Kab. Pati 11 7 3 3 8 Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 31

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN Kabupaten/Kota Rangking Tahun 2010 Rangking Tahun 2011 Rangking Tahun 2012 Rangking Tahun 2013 Rangking Tahun 2014 (1) (2) (3) (4) (5) (6) 19 Kab. Kudus 10 26 17 25 30 20 Kab. Jepara 2 14 26 15 7 21 Kab. Demak 9 10 19 16 10 22 Kab. Semarang 22 17 28 6 9 23 Kab. Temanggung 20 35 22 26 32 24 Kab. Kendal 18 33 27 10 23 25 Kab. Batang 23 3 4 4 3 26 Kab. Pekalongan 6 5 2 2 4 27 Kab. Pemalang 3 1 1 1 2 28 Kab. Tegal 30 4 6 11 13 29 Kab. Brebes 5 20 9 7 12 30 Kota Magelang 31 22 31 17 29 31 Kota Surakarta 33 18 30 28 31 32 Kota Salatiga 35 23 21 32 35 33 Kota Semarang 32 29 23 29 25 34 Kota Pekalongan 25 9 12 12 21 35 Kota Tegal 7 15 15 13 19 Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 32

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN Gambar 8. Perbandingan Koefisien Gini Kota Semarang dan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010 2014 Th. 2014 Th. 2013 0,3729 0,3807 0,3900 0,3514 Th. 2012 0,3554 0,3518 Th. 2011 0,3462 0,3545 Th. 2010 0,2908 0,3224 0,0000 0,1000 0,2000 0,3000 0,4000 0,5000 Provinsi Jawa Tengah Kota Semarang b. Relatif Inequality (Kriteria Bank Dunia) Pola distribusi pendapatan masyarakat yang didasarkan pada hasil perhitungan indeks gini hanya bisa menggambarkan tingkat pemerataan pendapatan secara umum, tetapi belum menjelaskan besarnya porsi yang diterima oleh kelompok berpendapatan rendah/miskin dari keseluruhan pendapatan wilayah. Dengan menggunakan ukuran yang dikembangkan oleh Pusat Penelitian Bank Dunia dan Lembaga Studi Pembangunan Universitas Sussex, kita akan mendapatkan gambaran lebih jelas mengenai masalah ketidakadilan (inequality) melalui indikator yang disebut relative inequality atau biasa disebut dengan kriteria Bank Dunia. Relative Inequality diartikan sebagai ketimpangan dalam distribusi pendapatan yang diterima oleh berbagai golongan masyarakat. Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 33

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN Ketimpangan distribusi pendapatan Kota Semarang berdasarkan pendekatan Kriteria Bank Dunia, menunjukkan bahwa pada tahun 2013, 40% penduduk yang memiliki pendapatan terendah hanya dapat menikmati 16,08 persen dari total pendapatan seluruh penduduk, hal ini termasuk dalam kategori ketimpangan sedang menurut versi bank dunia. Berbeda dengan 4 tahun sebelumnya (2009-2012), 40% penduduk berpendapatan terendah, dapat menikmati lebih dari 17% (berkisar antara 18 hingga 22 persen), hal ini masuk dalam kategori ketimpangan rendah. Perekonomian kota semarang yang terus menggeliat naik secara otomatis akan berdampak pada perubahan nominal pengeluaran perkapita dan Kota Semarang memiliki pendapatan perkapita tertinggi se Jawa Tengah, tetapi pada sisi yang lain hanya 16 persen saja dari pendapatan penduduk yang diterima oleh 40 persen kelompok rumah tangga berpendapatan terendah di tahun 2013. Tingkat ketimpangan sudah seharusnya perlu mendapat perhatian agar angka ini tidak menuju pada level yang lebih tinggi ditahun mendatang. Bila ada keinginan untuk menurunkan proporsi penduduk miskin dimasa depan, masalah ketimpangan distribusi pendapatan antar waktu dan antar wilayah karena merupakan bagian dari konsekwensi pertumbuhan ekonomi disuatu wilayah yang tidak akan pernah hilang. Tabel 8. Ketimpangan Pendapatan di Kota Semarang Berdasarkan Kriteria Bank Dunia Tahun 2009 2013 Tahun Kriteria Bank Dunia 40 % Rendah 40 % Menengah 20 % Tinggi Tahun 2009 18,81 34,46 46,73 Tahun 2010 21,68 35,13 43,19 Tahun 2011 18,15 36,27 45,58 Tahun 2012 18,24 36,16 45,60 Tahun 2013 16,08 46,68 37,24 Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 34

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN Dengan kriteria Bank Dunia secara umum tidak terlihat adanya ketimpangan pendapatan dikota semarang, hal ini ditunjukkan oleh persentase pendapatan kelompok 40% berpendapatan terendah yang berada di dibawah 17 %. Namun terjadi kecenderungan penurunan dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2013 ( dari 21,68 ke 16,08 ). Sejak tahun 2009 ketimpangan distribusi pendapatan di kota semarang selama periode lima tahun terakhir cenderung meningkat, namun masih pada level yang rendah. Tetapi ukuran Gini Ratio periode 2009 dan 2011 berada pada level sedang. Untuk kota semarang kedua ukuran ketimpangan ini hampir tidak memperlihatkan perbedaan yang berarti, namun Koefisien Gini cenderung fluktuatif pada level ketimpangan pendapatan yang rendah hingga sedang. Untuk Provinsi Jawa Tengah, ukuran koefisien gini berfluktuatif, levelnya masih dalam posisi ketimpangan rendah namun secara perlahan bergerak pada posisi menuju ketimpangan distribusi pendapatan sedang yang dimulai pada tahun 2009 sampai dengan 2013. Hasil pengukuran tersebut menunjukkan ketimpangan yang tetap rendah dan berada dalam posisi yang belum menghawatirkan, namun indikasi kecenderungannya selama periode 2009 2013 perlu untuk lebih dicermati. Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 35

BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN Gambar 9. Ketimpangan Pendapatan di Kota Semarang Berdasarkan Kriteria Bank Dunia Tahun 2013 110,00 100,00 90,00 80,00 37,24 70,00 60,00 50,00 40,00 46,68 30,00 20,00 10,00 0,00 16,08 Kumulatif Pendapatan (persen) 40 % I (Rendah) 40 % II (Sedang) 20 % III (Tinggi) Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 36

BAB V PENUTUP BAB V Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 37

BAB V PENUTUP PENUTUP 5.1. Kesimpulan Berdasarkan uraian pada bab bab sebelumnya maka dapat ditarik beberapa kesimpulan : 1. Koefisien Gini Kota Semarang selama kurun waktu lima tahun terakhir ( 2010 2014 ) mengalami fluktuasi dari posisi ketimpangan distribusi pendapatan rendah hingga sedang. 2. Koefisien Gini Provinsi Jawa Tengah selama kurun waktu lima tahun terakhir ( 2010 2014 ) mengalami fluktuasi dan pada 3 tahun terakhir termasuk dalam kategori ketimpangan sedang. 3. Koefisien Gini Kota Semarang dan Provinsi Jawa Tengah selama kurun waktu lima tahun terakhir ( 2010 2014 ) mengalami fase dari posisi ketimpangan distribusi pendapatan rendah menuju ketimpangan distribusi pendapatan sedang. Hal ini berarti terjadi kesenjangan distribusi pendapatan yang semakin melebar. 4. Menurut kriteria bank dunia persentase pendapatan yang diterima oleh kelompok 40% berpendapatan terendah kota semarang berada di kisaran 17%, namun tetap memiliki fase yang tidak berbeda dengan apa yang ditunjukan oleh koefisien gini. Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 38

BAB V PENUTUP 5.2. Saran-saran 1. Pertumbuhan ekonomi kota semarang yang terus meningkat tetapi tidak diimbangi dengan kecenderungan tingkat pemerataan pendapatan yang tinggi atau ketimpangan distribusi pendapatan yang cenderung meningkat terutama dalam empat tahun terakhir perlu diwaspadai. Progaram-program pengentasan kemiskinan harus terus dilanjutkan dan diperketat pengawasannya. Hal ini untuk menghindari kebocoran / tidak tepat sasaran. 2. Jumlah penduduk miskin dan kantong kemiskinan di Kota Semarang harus mendapat perhatian khusus. Dengan memperhatikan dan memetakan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ada didaerah tersebut akan mempercepat proses pengentasan kemiskinan yang pada akhirnya akan memperkecil tingkat kesenjangan distribusi pendapatan. Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2014 39