BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Kelapa sawit Kelapa sawit merupakan tanaman multiguna. Tanaman ini mulai banyak menggantikan posisi penanaman komoditas perkebunan lain, yaitu tanaman karet. Tanaman sawit kini tersebar di berbagai daerah di Indonesia (Suwarto, 2010). Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis) berasal dari Nigeria, Afrika Barat. Kelapa sawit merupakanan tanaman monokotil. Tanaman ini berakar serabut yang berfungsi sebagai penyerap unsur hara dalam tanah, respirasi tanaman dan sebagai penyangga berdirinya tanaman. Batangnya tidak mempunyai kambium dan umumnya tidak bercabang. batang kelapa sawit berbentuk silinder dengan diameter 20-75 cm. pada tanaman muda, batang tidak terlihat karena tertutup oleh pelepah daun. Daun kelapa sawit mirip daun kelapa, yaitu membentuk susunan daun majemuk, bersirip genap, dan bertulang daun sejajar. Daun-daun ini membentuk pelepah yang panjangnya mencapai lebih dari 7,5-9m. Kelapa sawit merupakan tanaman berumah satu (monoecious), artinya bunga jantan dan betina terdapat dalam satu tanaman serta masing-masing terangkai dalam satu tandan. Rangkaian bunga jantan dihasilkan dengan siklus yang bergantian dengan bunga betina sehingga pembungaan secara bersamaan jarang terjadi. Buah (fructus) pada kelapa sawit
dihasilkan setelah tanaman berumur 3,5 tahun dan diperlukan waktu 5-6 bulan dari penyerbukan hingga buah matang dan siap dipanen (Fauzi, 2002). Luasnya daerah-daerah Indonesia yang berpotensi untuk diusahakan menjadi areal perkebunan mendukung pertumbuhan bisnis tanaman kelapa sawit di Indonesia. Selain itu, faktor lain yang mendukung pertumbuhan tanaman perkebunan adalah faktor agroklimat. Dari sisi agroklimat, tanaman kelapa sawit dapat tumbuh pada ketinggian 100-1.700 m dpl, curah hujan 2.000-3.000 mm/tahun, suhu 22-32 C dengan kelembapan 80-90 %, serta ph tanah 4,0-6,0 (Anonimous, 2008). Dilihat dari pengusahaannya, perkebunan kelapa sawit Indonesia dibagi menjadi tiga, yaitu Perkebunan Rakyat, Perkebunan Besar Negara, dan Perkebunan Besar Swasta. Perkebunan rakyat adalah perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh rakyat memilki luas lahan yang terbatas, yaitu 1-10 ha. Dengan luas lahan tersebut, tentunya menghasilkan produksi TBS yang terbatas pula sehingga penjualannya sulit dilakukan apabila ingin menjualnya langsung ke prosesor / industri pengolah (Fauzi, 2012). 2.1.2 Budidaya Kelapa Sawit Dalam pelaksanaannya budidaya kelapa sawit dimulai dari pembukaan lahan. Daerah yang akan dijadikan areal perkebunan perlu dibuka dahulu dengan cara menebang pohon yang mengganggu serta membersihkan tunggul-tunggul, sisasisa tanaman rumput, dan alang-alang. Pembersihan ini dilakukan agar sisa-sisa tanaman tidak menjadi sarang hama penyakit yang dapat mengganggu nantinya (Suwarto, 2010).
Setelah atau pun beriringan dengan pembukaan lahan dilakukan upaya pengadaan bibit. Ada tiga cara pengadaan bibit kelapa sawit di Indonesia. Pertama, membeli benih dan bibit liar. Kedua, membeli biji dari produsen resmi lalu mengecambahkannya sendiri. Ketiga, membeli bibit hasil kultur jaringan. Setelah pengadaan bibit telah dilakukan dilanjutkan dengan penanaman. Bibit dari pembibitan dipilih untuk ditanam di areal perkebunan. Penanaman ini memperhatikan jarak tanam agar tidak terjadi persaingan dalam penggunaan lahan, sinar matahari, dan makanan. Kerapatan tanaman merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas kelapa sawit. Jarak optimum adalah 9 m untuk tanah datar dan 8,7 m untuk tanah bergelombang. Setelah hal itu dilakukan dapat di lakukan penanaman penbutup tanah. Untuk perkebunan rakyat biasanya tanaman ditanam dengan jarak 8 m antar pokok dengan mengarah pada sistem mata lima walaupun aktual di lapangan sistem mata lima yang dilakukan masyarakat belum sempurna (Fauzi, 2012) Langkah selanjutnya yang dilakukan adalah pemeliharan. Pemeliharaan tanaman merupakan salah satu tindakan yang sangat penting yang menentukan masa produktif tanaman. Pemeliharaan bukan hanya ditujukan pada tanaman tetapi juga pada media tumbuh. Meskipun tanaman dirawat dengan baik, namun jika perawatan tanah diabaikan maka tidak akan banyak memberi manfaat. Pemeliharaan tanaman kelapa sawit yang belum menghasilkan dan yang sudah menghasilkan memiliki beberapa perbedaan. Kegiatan yang perlu dilakukan di dalam pemeliharaan untuk tanaman belum menghasilkan (TBM) dan tanaman menghasilkan (TM) berbeda. Pemeliharaan tanaman kelapa sawit yang belum menghasilkan meliputti perawatan tanaman penutup tanah, perawatan piringan,
pembukaan pasar kontrol dan pasar pikul, pemupukan, penyisipan, serta kastrasi. Sedangkan pemeliharaan tanaman kelapa sawit yang sudah menghasilkan, meliputi: pemupukan, pemberantasaan gulma, penunasan, dan penjarangan tanaman (Suwarto, 2010). Tanaman kelapa sawit mulai berbunga dan membentuk buah setelah umur 2-3 tahun. Buah akan masak pada 5-6 bulan setelah penyerbukan. Proses pemasakan buah kelapa sawit dapat dilihat dari perubahan warna kulit buahnya. Buah akan menjadi merah jingga ketika masak. Pada saat buah masak, kandungan minyak pada daging buah telah maksimal. Jika terlalu matang, buah kelapa sawit akan lepas dan jatuh dari tangkai tandannya. Buah yang jatuh tersebut disebut membrondol. Proses pemanenan pada tanaman kelapa sawit rakyat meliputi pekerjaan memotong tandan buah masak, memungut berondolan, dan mengangkutnya ke tempat pengumpulan hasil (TPH) kemudian menjualnya kepada pedagang desa atau langsung ke pabrik kelapa sawit (Fauzi, 2002). Saat ini, kriteria umum yang biasa dipakai untuk pemanenan adalah jumlah brondolan, yaitu setiap 1kg tandan segar terdapat dua brondolan. Berdasarkan tinggi tanaman, cara panen di Indonesia ada tiga cara. Untuk tanaman dengan tinggi 2-5 m, digunakan cara panen jongkok dengan alat dodos, sedangkan untuk tanaman dengan tinggi 5-10 m dipanen dengan cara berdiri menggunakan alat kapak siam. Untuk tanaman yang tingginya lebih dari 10 m, pemanenan dilakukan menggunakan alat arit bergagang panjang yang disebut egrek. Kriteria lain yang perlu diperhatikan adalah rotasi dan sistem panen. Rotasi panen dianggap baik jika buah tidak lewat panen (Suwarto, 2010).
Rotasi panen adalah waktu yang diperlukan antara panen terakhir sampai panen berikutnya pada tempat yang sama. Perkebunan besar kelapa sawit di Indonesia pada umumnya menggunakan rotasi panen tujuh hari, artinya satu areal panen harus dimasuki oleh pemetik tiap tujuh hari (Fauzi, 2012). 2.2 Landasan Teori Menurut Pardamean (2008), kelapa sawit merupakan tanaman tahunan dengan umur ekonomis 25 tahun. Pada 3 tahun pertama tanaman belum menghasilkan. Sesudahnya, pada umur 4 tahun tanaman telah menghasilkan. Hutabarat (2011) dan Sutanto (2012), menyatakan bahwa tanaman kelapa sawit merupakan tanaman yang cukup tangguh, tidak terlalu membutuhkan perawatan yang intensif, tahan terhadap hama dan penyakit, penggunaan teknologi produksi yang diterapkan relatif sederhana, serta tenaga kerja yang diperlukan juga tidak terlalu banyak, sehingga biaya yang diperlukan dalam pengelolaan tanaman tidak terlalu besar. Dana untuk membuka 1 ha lahan berisi 136 bibit kelapa sawit sejak awal pembukaan hingga perawatan TBM selama tiga tahun diperlukan sekitar Rp 18.662.716,00 dan biaya perawatan tanaman menghasilkan (TM) setiap tahunnya sebesar Rp. 1.649.011,-. Biaya-biaya tersebut sudah dapat tertutupi setelah tahun ke-6 atau setelah panen (Fauzi, 2012). Prospek pasar dari produk ini cukup tinggi karena minyak sawit dapat dimanfaatkan di berbagai industri baik industri pangan maupun non pangan. Walaupun prospek pasarnya cukup tinggi, harga tbs tidak tetap sepanjang tahun (berfluktuasi). Kenaikan dan penurunan harga TBS dipengaruhi oleh kenaikan dan penurunan harga CPO di pasar dunia (Ambar, 2007).
2.2.1 Biaya dan Pendapatan Dalam analisa proyek, tujuan tujuan analisa harus disertai dengan defenisi biayabiaya dan manfaat manfaat. Biaya dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang mengurangi suatu tujuan, dan manfaat adalah segala sesuatu yang membantu tujuan (Gittinger, 1986). Biaya dapat didefenisikan sebagai pengeluaran atau korbanan yang dapat menimbulkan pengurangan terhadap manfaat yang diterima. Hernanto (1991) menyatakan, bahwa biaya yang dikeluarkan oleh seorang petani dalam proses produksi serta membawanya menjadi produk disebut biaya produksi. Di dalam jangka pendek, satu kali produksi kita dapat membedakan biaya tetap dan biaya berubah (variabel), termasuk didalamnya barang yang dibeli dan jasa yang dibayar didalam maupun di luar usaha tani. Tetapi dalam jangka panjang, semua biaya bersifat variabel. Putong (2005) menyatakan, dalam jangka panjang semua biaya bersifat variabel, artinya perusahaan tidak lagi memiliki beban tetap yang harus dikeluarkan dalam masa produksi melainkan semua biaya yang dikeluarkan berhubungan dengan proses dan operasional produksi. Menurut Antoni (1995), biaya-biaya yang dikeluarkan dalam memproduksi kelapa sawit mencakup: 1. Biaya investasi awal, seperti: pembukaan lahan, biaya bibit, serta biaya pemeliharaan sebelum tanaman menghasilkan. 2. Biaya pemeliharaan tanaman, seperti: pemberantasan gulma, pemupukan, pemberantasan hama dan penyakit, tunas pokok (pruning), konsolidasi, pemeliharaan terasan dan tapak kuda, pemeliharaan prasarana
3. Biaya panen atau biaya yang dikeluarkan untuk melancarkan segala aktivitas untuk mengeluarkan produksi (TBS) atau hasil panen dari lapangan (areal) ke agen pengepul atau ke pabrik seperti biaya tenaga kerja panen, biaya pengadaan alat kerja dan biaya angkutan Menurut Soekartawi (2002), biaya diklasifikasikan menjadi dua yaitu: 1. Biaya tetap (fixed cost) Biaya tetap didefinisikan sebagai biaya yang relative jumlahnya dan akan terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh banyak atau sedikit. Contohnya: pajak dan penyusutan peralatan. 2. Biaya variabel Biaya variabel ialah biaya yang besar-kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh. Contohnya: biaya bibit, biaya pupuk, biaya pestisida, biaya tenaga kerja, dan lain-lain. Pendapatan bersih usahatani mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani dari penggunaan faktor-faktor produksi kerja, pengelolaan dan modal milik sendiri atau modal pinjaman yang diinvestasikan ke dalam usahatani. Pendapatan usahatani merupakan selisih penerimaan dengan total biaya usahatani, dimana penerimaan diperoleh dari perkalian antara jumlah produksi dan harga jual yang diterima petani (Soekartawi, 2002) 2.2.2 Kelayakan Finansial Analisis finansial adalah analisis kelayakan yang melihat dari sudut pandang petani sebagai pemilik. Analisis finansial diperhatikan didalamnya adalah dari segi cash-flow yaitu perbandingan antara hasil penerimaan atau penjualan kotor
(gross-sales) dengan jumlah biaya-biaya (total cost) yang dinyatakan dalam nilai sekarang untuk mengetahui kriteria kelayakan atau keuntungan suatu proyek. Hasil finansial sering juga disebut private returns. Beberapa hal lain yang harus diperhatikan dalam analisis finansial ialah waktu didapatkannya returns sebelum pihak-pihak yang berkepentingan dalam pembangunan proyek kehabisan modal. Aspek finansial mencakup pembiayaan proyek pembangunan yang akan atau yang sedang dilaksanakan dan relevansinya dengan manfaat yang akan diperoleh (Soekartawi, 1995). Kelayakan dari suatu kegiatan usaha diperhitungkan atas dasar besarnya laba finansial yang diharapkan. Kegiatan usaha dikatakan layak jika memberikan keuntungan finansial, sebaliknya kegiatan usaha dikatakan tidak layak apabila kegiatan usaha tersebut tidak memberikan keuntungan finansial (Kasmir dan Jakfar, 2003). Analisis finansial didasarkan pada keadaan yang sebenarnya dengan menggunakan data harga yang sebenarnya ditemukan dilapangan (real price). Dengan mengetahui hasil analisis finansial, para pembuat keputusan dapat melihat apa yang terjadi pada proyek dalam keadaan apa adanya. Dengan mengetahui hasil analisis finansial, para pembuat keputusan juga dapat segera melakukan penyesuaian (adjustment), bilamana proyek tersebut berjakan meyimpang dari rencana semula. Sebaliknya, bila proyek berjalan seperti tujuan semula dan tanpa halangan maka dapat dilihat seberapa besar manfaat proyek. Dalam analisis finansial, nilai suatu uang sebagai alat pembayaran adalah berbeda pada waktu yang berlainan, maka dalam penilaian suatu proyek sering dipakai cara-cara yang menggunakan prosedur diskonto mengingat bahwa satu rupiah yang dibayar atau
diterima hari ini akan lebih tinggi nilainya daripada satu rupiah yang dibayar atau diterima di masa mendatang (Soekartawi, 1995). Fokus dari suatu analisis adalah menentukan apakah dan sampai berapa jumlah proyek tersebut dapat memberikan manfaat yang lebih besar jika disbanding dengan biaya dan investasi kepada pemilik (owner) proyek tersebut. Discounting rate (tingkat diskonto) merupakan suatu teknik perhitungan untuk dapat menurunkan manfaat (benefit) yang diperoleh investor dimasa sekarang ataupun nilai biaya dan investasi pada masa yang akan datang. Dalam rangka mengevaluasi proyek tersebut apakah ditolak atau disetujui. Semua pengorbanan rupiah untuk suatu proyek merupakan biaya pada saat sekarang dan diharapkan mendapatkan manfaat untuk masa yang akan datang (Musa, 2012). Menurut Gray (1999), dalam rangka mencari suatu ukuran yang menyeluruh sebagai dassar persetujuan atau penolakan terhadap suatu proyek / usaha, telah dikembangkan berbagai cara yang dinamakan kriteria investasi. Kriteria investasi yang umum dikenal ada 6 yaitu : (1) Net Present Value dari arus benefit dan biaya (NPV) ; (2) Internal Rate of Return (IRR) ; (3) Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C) ; (4) Gross Benefit- Cost Ratio (Gross B/C) ; (5) Profitability Ratio (PV/C) ; dan (6) Return on Investment (ROI). Setiap kriteria ini mempergunakan perhitungan nilai sekarang atas arus benefit dan biaya. Menurut Soekartawi dalam Analisis Usaha Tani (2002), umumnya ada beberapa kriteria dalam menentukan kelayakan suatu usaha yang dapat dipilih sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, antara lain:
1. NPV NPV dari suatu proyek merupakan nilai sekarang (Present Value) dari selisih antara benefit (manfaat) dengan cost (biaya) pada discount rate tertentu. NPV (Net Present Value) menunjukkan kelebihan benefit (manfaat) dibandingkan dengan cost (biaya). Apabila evaluasi suatu proyek telah dinyatakan Go maka nilai NPV 0. Bila NPV = 0, berarti proyek tersebut mengembalikan persis sebesar sosial opportunity cost of capital, dan apabila NPV < 0, maka proyek tersebut no go atau ditolak. Artinya, ada penggunaan lain yang lebih menguntungkan untuk sumber sumber yang diperlukan proyek. 2. IRR IRR ialah alat ukur kemampuan proyek dalam mengembalikan bunga pinjaman dari lembaga internal keuangan yang membiayai proyek tersebut. Pada dasarnya IRR memperlihatkan bahwa present value (PV) benefit akan sama dengan present value (PV) cost. Dengan kata lain IRR tersebut menunjukkan NPV = 0. 3. B/C ratio B/C ratio menunjukkan bahwa besarnya benefit berapa kali besarnya biaya dan investasi untuk memperoleh suatu manfaat. Cara ini banyak dipakai karena dengan menghitung B/C ratio, maka akan diketahui secara cepat berapa besarnya manfaat proyek yang dilaksanakan. Cara perhitungan IRR berbeda dengan cara perhitungan B/C ratio. Pada perhitungan B/C, maka nilai diskonto yang dipakai adalah tertentu, tetapi pada perhitungan IRR yang dicari adalah besaran nilai diskonto tersebut (Soekartawi, 1995).
2.4 Kerangka Pemikiran Usaha perkebunan kelapa sawit rakyat adalah usaha yang dikelola petani rakyat dengan mengkoordinir faktor produksi berupa alam,tenaga kerja, dan modal untuk melakukan proses produksi komoditi kelapa sawit sehingga dapat terlaksana dan menghasilkan output berupa tandan buah segar (TBS). Pendapatan diperoleh dari selisih penerimaan dengan biaya produksi. Penerimaan diperoleh dari hasil perkalian penjualan hasil produksi (TBS) dengan harga yang berlaku, sedangkan biaya produksi merupakan biaya-biaya yang dikeluarkan dalam memproduksi kelapa sawit mencakup biaya pemeliharaan tanaman (tenaga kerja pemeliharaan tanaman, pemberantasan gulma, pemupukan, pemberantasan hama dan penyakit, tunas pokok (pruning), konsolidasi, pemeliharaan terasan dan tapak kuda, pemeliharaan prasarana) dan biaya panen (tenaga kerja panen, biaya pengadaan alat kerja dan biaya angkutan). Selanjutnya akan dilakukan analisis finansial yang digunakan untuk mengetahui kelayakan suatu usaha dilihat dari arus kasnya. Adapun kriteria investasi yang dipakai dalam analisis ini yakni B/C ratio, NPV, dan IRR. Bila kriteria tersebut terpenuhi maka dapat dikatakan usaha tersebut layak untuk diusahakan. Bila usaha dikatakan layak artinya usaha tersebut memberikan keuntungan / manfaat secara finansial, namun bila dikatakan tidak layak artinya usaha tersebut tidak memberikan keuntungan / manfaat secara finansial sehingga petani pemilik dapat melakukan tindakan penyesuaian (adjustment) karena usaha yang dikerjakan meyimpang dari tujuan semula.
Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Produksi Harga Penerimaan Biaya Produksi Pendapatan Bersih ][[[]] Analisis Finansial: 1. B/C Ratio 2. NPV 3. IRR Layak Tidak Layak Keterangan : : Pengaruh : Hubungan Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran
2.5 Hipotesis Penelitian Berdasarkan landasan teori yang telah disusun, maka diajukan hipotesis bahwa usaha perkebunan kelapa sawit rakyat di daerah penelitian secara finansial layak untuk diusahakan.