BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN

BAB IV KARAKTERISTIK RESPONDEN DAN SISTEM PERTANIAN

BAB VII STRUKTUR AGRARIA DESA CIPEUTEUY

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

IX. KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI AKIBAT PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS)

BAB IX KESIMPULAN. bagaimana laki-laki dan perempuan diperlakukan dalam keluarga. Sistem nilai

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

BAB V GAMBARAN UMUM RESPONDEN

VII. PERSEPSI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI TERHADAP PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS)

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB VI HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP TINGKAT PENGUASAAN LAHAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Identitas Petani Petani Padi Organik Mitra Usaha Tani

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI

BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

2014 EVALUASI KESESUAIAN LAHAN PERTANIAN UNTUK TANAMAN PANGAN DI KECAMATAN CIMAUNG KABUPATEN BANDUNG

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB V KESIMPULAN. Ngadas, merupakan sebuah desa pertanian yang terletak di Kabupaten

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL

BAB VI KEADAAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA PANGRADIN. 6.1 Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Pangradin

PENDAHULUAN. Hutan sebagai sumberdaya alam mempunyai manfaat yang penting bagi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam

I. PENDAHULUAN. menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola

kepemilikan lahan. Status lahan tidak jelas yang ditunjukkan oleh tidak adanya dokumen

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan suaka alam sesuai Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah sebuah

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA. serta pendorong dan penarik tumbuhnya sektor sektor ekonomi, dapat. dan pengangguran serta dapat mensejahterakan masyarakat.

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB VII PERSEPSI MASYARAKAT LOKAL DI DESA PANGRADIN TERHADAP PROGRAM PEMBAHARUAN AGRARIA NASIONAL (PPAN)

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan,

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB V POLA PENGUASAAN LAHAN DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUASAAN LAHAN

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dilakukan secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

BAB V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

POLA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT PADA LAHAN KRITIS (Studi Kasus di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan) Oleh : Nur Hayati

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 3 Penetapan Responden menggunakan snowball sampling technique.

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Setiap manusia harus memenuhi kebutuhannya, guna kelangsungan hidup.

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di bumi saat ini, pasalnya dari hutan banyak manfaat yang dapat diambil

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia hingga saat ini masih tergolong negara yang sedang berkembang dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang

I. PENDAHULUAN. lebih dari dua pertiga penduduk Propinsi Lampung diserap oleh sektor

V. GAMBARAN UMUM LOKASI DAN RESPONDEN

LOKASI PENELITIAN. Desa Negera Ratu dan Negeri Ratu merupakan salah dua Desa yang berada

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

PENGARUH FAKTOR-FAKTOR SOSIAL TERHADAP CURAHAN WAKTU KERJA KELOMPOK WANITA TANI PADI DI DESA BANJARAN KECAMATAN BANGSRI KABUPATEN JEPARA

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang

VII. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBIAYAAN AGRIBISNIS PADA KOPERASI BAYTUL IKHTIAR

BAB VI PERSEPSI MASYARAKAT SEKITAR HUTAN TERHADAP PHBM

BAB III METODOLOGI Ruang Lingkup Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Dampak Konversi Lahan Sawah Terhadap Produksi Padi. 1. Konversi lahan sawah Kecamatan Mertoyudan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumberdaya alam

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan :

PENDEKATAN TEORITIS. Tinjauan Pustaka. Taman Nasional

I. 0PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Konsep Awal Pembangunan Ekonomi Pertanian Secara Kolektif melalui Organisasi

VI KARAKTERISTIK UMUM RESPONDEN

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2 Persentase responden berdasarkan kelompok umur

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA Konversi Lahan Konversi lahan merupakan perubahan fungsi sebagian atau seluruh

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan. Wilayah Kabupaten Lampung Selatan terletak antara 105.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumber daya alam yang terdapat pada suatu wilayah pada dasarnya merupakan modal

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry

V. GAMBARAN UMUM. Desa Lulut secara administratif terletak di Kecamatan Klapanunggal,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Gambaran Umum Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandar Lampung

ATURAN INTERNAL KELOMPOK MASYARAKAT PEDULI HUTAN (KMPH) Rigis Atas dan Rigis Bawah Dusun Rigis Jaya II TUJUAN

I. PENDAHULUAN. sosial memegang peranan yang sangat penting dalam tindakan-tindakan yang

BAB 4 EVALUASI KEEFEKTIFAN PROGRAM DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI PADI SAWAH

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN KERAGAAN EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan provinsi yang mempunyai

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

BAB III PELAKSANAAN PRAKTEK SEWA SAWAH DI DESA TAMANREJO KECAMATAN TUNJUNGAN KABUPATEN BLORA

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang. Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya

Transkripsi:

37 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Perubahan Pola Interaksi Masyarakat Dengan Hutan 5.1.1 Karakteristik Responden Rumah tangga petani mempunyai heterogenitas dalam status sosial ekonomi mereka, terlebih dalam kepemilikan dan penguasaan lahan serta benda-benda berharga. Heterogenitas status sosial dalam rumah tangga diduga mempengaruhi interaksinya terhadap hutan. Karakteristik responden baik secara langsung ataupun tidak langsung berpengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Oleh sebab itu pemahaman tentang karakteristik responden sebagai pengelola sumberdaya alam sangat penting artinya dalam upaya mempelajari interaksinya dengan lingkungan alam dan lingkungan sosialnya. Dalam penelitian ini dilakukan pengumpulan data mencakup karakteristik responden seperti umur, latar belakang pendidikan, jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan kepala keluarga, tingkat pendapatan dan luas lahan pertanian yang digarap. Deskripsi karakteristik responden bertujuan untuk memperjelas informasi yang didapat oleh penulis (Lampiran 1). 1. Umur Dari 44 responden di Dusun Pandan Arum yang diwawancarai dalam penelitian ini, sebanyak 39 orang atau 88,6 % merupakan kategori usia produktif berumur diantara 15 65 tahun. Sedangkan sisanya sebanyak 5 orang atau 11,4% adalah penduduk dengan usia non produktif tua atau berumur lebih dari 65 tahun. Sedangkan untuk responden di Dusun Cisarua terdapat 39 orang atau 97,5 % responden yang termasuk dalam kategori usia produktif dan sisanya 1 orang atau 2,5 % merupakan kategori usia non produktif tua. Meskipun tidak semua responden berada dalam usia produktif, dalam kenyataannya semua responden sampai saat ini masih aktif dalam kegiatan pertanian dan pengelolaan lahan di lapangan. Hanya saja intensitas dan frekuensinya lebih sedikit daripada mereka yang berada dalam usia produktif. Meskipun usia beberapa responden tersebut sudah memasuki usia non produktif

38 tua atau sudah berusia di atas 65 tahun, mereka masih tetap harus menanggung beban keluarga masing-masing meskipun tidak terlalu banyak dibanding responden yang masih dalam usia produktif. Responden dengan usia non produktif muda tidak ada karena tidak ditemui kepala keluarga yang berumur dibawah 15 tahun. Hal ini dikarenakan saat ini sangat jarang ditemui pernikahan untuk laki-laki yang masih berusia di bawah 15 tahun di Desa Cipeuteuy. Rata-rata usia menikah laki-laki yang akan menjadi kepala keluarga baru adalah 20 tahun. 2. Pendidikan Dari keseluruhan responden di Dusun Pandan Arum terdapat 42 kepala keluarga atau 95,4% yang berpendidikan tergolong rendah yaitu mereka yang tidak pernah bersekolah, tidak tamat SD dan tamat SD. Sedangkan di Dusun Cisarua terdapat 36 responden atau 90% responden berpendidikan rendah. Responden dengan pendidikan sedang yaitu lulus SMP dan SMA di Dusun Pandan Arum terdapat 2 orang (4,6%) dan di Dusun Cisarua sebanyak 4 orang (10%). Tidak terdapat responden dengan tingkat pendidikan tinggi yaitu yang lulus perguruan tinggi. Dari data monografi desa tercatat jumlah lulusan Perguruan Tinggi di Desa Cipeuteuy hanya berjumlah 32 orang atau sekitar 0,47%. Hampir semua lulusan perguruan tinggi di desa, tidak menjadikan pertanian sebagai mata pencaharian utama, sehingga dalam penelitian ini tidak ditemui responden dengan tingkat pendidikan tinggi. 3. Jumlah anggota keluarga Secara umum jumlah anggota keluarga rumah tangga responden di Dusun Pandan Arum adalah rendah yaitu rata-rata jumlah anggota keluarga adalah 4-5 orang. Sebanyak 65,9% atau 29 responden di Dusun Pandan Arum termasuk dalam kategori jumlah anggota keluarga rendah. Sedangkan jumlah anggota keluarga sedang berjumlah 5 sampai dengan 7 orang sebanyak 14 kepala keluarga atau sekitar 31,8%. Sisanya sebanyak 2,3% adalah rumah tangga dengan jumlah anggota keluarga tinggi yaitu jumlah anggota keluarga lebih dari 7 orang. Sedangkan responden di Dusun Cisarua lebih banyak termasuk dalam kategori jumlah anggota keluarga sedang dengan jumlah anggota 5 sampai 7

39 orang. Jumlah responden kepala keluarga dengan jumlah anggota keluarga sedang adalah 52,5%, kemudian untuk kepala keluarga dengan jumlah anggota keluarga kecil sebanyak 45%, dan sisanya 2,5% adalah responden dengan jumlah anggota keluarga besar. 4. Tingkat Pendapatan Tingkat pendapatan responden di kedua Dusun Penelitian berkisar antara Rp.300.000 sampai dengan Rp.1.500.000 tiap bulannya. Berdasarkan kisaran tersebut maka responden dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: responden dengan pendapatan < Rp.500.000, Rp.500.000 Rp.1.000.000, dan >Rp.1.000.000. Sebanyak 54,6% responden di Dusun Pandan Arum memiliki rata-rata pendapatan perbulan antara Rp.500.000 Rp.1.000.000. Responden dengan tingkat pendapatan dibawah Rp.500.000 sebanyak 20,4% dan responden dengan pendapatan lebih besar dari satu juta adalah 25%. Sedangkan rata-rata pendapatan tiap bulan responden di Dusun Pandan Arum sebesar Rp.710.227,30. Sebanyak 57,5% responden di Dusun Cisarua memiliki rata-rata pendapatan perbulan antara Rp.500.000 Rp.1.000.000. Responden dengan pendapatan lebih besar dari satu juta adalah 35% dan responden dengan tingkat pendapatan dibawah Rp.500.000 sebanyak 7,5%. Rata-rata pendapatan responden di Dusun Cisarua adalah Rp.858.750 tiap bulan. 5. Luas Lahan Garapan Responden di Dusun Pandan Arum sebanyak 22 orang (50%) memiliki luas lahan dalam kategori sempit dengan luas lahan kurang dari 0,25 ha (2500m 2 ). Responden dengan luas lahan sedang (antara 0,25 ha sampai dengan 0,5 ha) sebanyak 6 orang (13,6%). Responden dengan luas lahan lebih dari 0,5 ha sebanyak 16 orang (36,4%). Responden di Dusun Pandan Arum sebanyak 13 orang (32,50%) memiliki luas lahan dalam kategori sempit dengan luas lahan kurang dari 0,25 ha (2500m 2 ). Responden dengan luas lahan sedang (antara 0,25 ha sampai dengan 0,5 ha) sebanyak 12 orang (30%). Responden dengan luas lahan lebih dari 0,5 ha sebanyak 15 orang (37,50%).

40 Secara umum responden di Dusun Pandan Arum menggarap lahan yang lebih sempit dibanding di Dusun Cisarua. Rata-rata luas lahan garapan responden di Dusun Pandan Arum adalah 4.850 m 2 (0,485 ha) dan luas lahan garapan responden di Dusun Cisarua adalah 6.575 m 2 (0,6575 ha). Sebanyak separuh responden di Dusun Pandan Arum adalah petani dengan lahan garapan seluas kurang dari 0,25 ha. 5.1.2 Perubahan Pola Interaksi Masyarakat dengan Hutan Sejak dulu hingga saat ini masyarakat sekitar hutan menggantungkan hidup dan kehidupannya pada produksi dan jasa hutan. Hutan sebagai sebuah ekosistem mempunyai sumberdaya di satu sisi dan masyarakat sekitar hutan di sisi lain yang mempunyai jalinan ketergantungan yang tidak dapat dipisahkan (Sutaryono 2008). Masyarakat sekitar hutan semakin hari semakin terpinggirkan dan taraf kehidupannya memprihatinkan. Terbatasnya akses pada sumberdaya hutan, terbatasnya kesuburan dan luas lahan yang dimiliki, tingkat pendidikan dan ketrampilan yang relatif rendah yang diikuti dengan jumlah pendapatan yang rendah merupakan faktor-faktor yang menyebabkannya (Sutaryono 2008). Kondisi demikian cenderung menjadi sebuah ancaman bagi kelestarian sebuah kawasan hutan. Perubahan pola interaksi masyarakat dengan hutan dalam penelitian ini adalah berdasarkan perubahan penggunaan lahan hutan oleh masyarakat di Dusun Cisarua dan Pandan Arum. Terdapat tiga pola interaksi yang digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut: 1. Pola dengan penggunaan lahan: adalah penggunaan lahan oleh masyarakat untuk keperluan tertentu yang permanen/menahun. Contoh dari pola ini adalah penggunaan lahan hutan untuk pertanian menetap dan pemukiman. 2. Pola pemanfaatan atau pemungutan hasil hutan: adalah pemanfaatan lahan hutan oleh masyarakat tanpa menggunakan/menduduki lahan hutan yang bersangkutan. Contoh dari pola ini adalah pengambilan hasil hutan kayu atau non kayu. 3. Pola tanpa interaksi: yaitu masyarakat tidak menggunakan lahan hutan dan tidak mengambil hasil hutan sama sekali.

41 Perubahan pola interaksi yang dilakukan oleh responden adalah perubahan dari satu pola ke pola lainnya. Dalam penelitian ini, perubahan pola interaksi dibatasi hanya pada satu tahap perubahan saja, yaitu perubahan pola interaksi sebelum saat ini menjadi pola interaksi yang dilakukan saat ini. Berdasarkan hal tersebut maka perubahan pola interaksi yang mungkin terjadi adalah 6 (enam) pola perubahan. Tidak semua masyarakat mengubah interaksinya dengan lingkungan sekitar. Pada beberapa masyarakat ditemui adanya hubungan yang relatif konstan dengan hutan. Dalam konteks penelitian ini, ditemui beberapa responden yang tidak mengalami perubahan pola interaksi. Tabel 8 berikut menyatakan besarnya responden beserta perubahan interaksi yang dilakukannya. Tabel 8 Perubahan pola interaksi responden di kedua dusun penelitian Pola perubahan Cisarua Pandan Arum Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%) Pola 1 2 4,5 0 0 Pola 2 14 31,8 16 40,0 Pola 3 6 13,7 4 10,0 Pola 4 0 0 3 7,5 Pola 5 20 45,5 13 32,5 Pola 6 0 0 0 0 Tidak berubah 2 4,5 4 10,0 Total 44 100,00 40 100,00 Keterangan : Pola perubahan interaksi adalah sebagai berikut: 1. Perubahan dari pola penggunaan lahan menjadi pemanfaatan hasil hutan. 2. Perubahan dari pola penggunaan lahan menjadi tanpa interaksi. 3. Perubahan dari pola pemanfaatan hasil hutan menjadi penggunaan lahan. 4. Perubahan dari pola pemanfaatan hasil hutan menjadi tanpa interaksi. 5. Perubahan dari pola tanpa reaksi menjadi penggunaan lahan. 6. Perubahan dari pola tanpa reaksi menjadi pemanfaatan hasil hutan. Perubahan pola interaksi antara masyarakat dengan hutan di Dusun Pandan Arum dan Dusun Cisarua tidak jauh berbeda. Terdapat dua pola perubahan yang paling banyak dilakukan oleh responden, yaitu: pola 2 dan pola 5. Pola 2 adalah perubahan dari interaksi dengan penggunaan lahan menjadi tanpa interaksi. Sedangkan pola 5 adalah perubahan dari tanpa interaksi menjadi penggunaan

42 lahan. Kedua pola tersebut saling berlawanan dan paling banyak dilakukan oleh masyarakat di kedua dusun tersebut. Di Dusun Pandan Arum terdapat 20 responden (45,5%) dengan perubahan interaksi pola 5 dan 14 responden (31,8%) dengan perubahan interaksi pola 2. Sisanya adalah responden dengan perubahan pola 3 sebanyak 6 (13,7%), perubahan pola 1 sebanyak 2 responden (4,5%) dan 2 responden yang tidak melakukan perubahan interaksi. Di Dusun Cisarua terdapat 16 responden (40%) dengan perubahan interaksi pola 2 dan sebanyak 13 responden (32,5%) yang melakukan perubahan interaksi pola 5. Sisanya adalah 4 responden (10%) dengan perubahan interaksi pola 3 dan 3 responden (7,5%) yang melakukan perubahan pola 4. Responden yang tidak melakukan perubahan interaksi sebanyak 4 orang atau 10% dari total responden di Dusun Cisarua. Secara keseluruhan responden di kedua dusun paling banyak melakukan perubahan dari pola tanpa interaksi menjadi pola penggunaan lahan yaitu pola 5. Perubahan kedua paling banyak dilakukan oleh masyarakat dikedua dusun adalah perubahan pola 2 yakni dari pola penggunaan lahan menjadi tanpa interaksi. Tabel 9 berikut ini menyajikan persentase jumlah responden di kedua dusun yang melakukan perubahan pola interaksi. Tabel 9 Perubahan pola interaksi responden keseluruhan Pola perubahan Jumlah Persentase (%) Pola 1 2 2,4 Pola 2 30 35,7 Pola 3 10 11,9 Pola 4 3 3,6 Pola 5 33 39,3 Pola 6 0 0 Tidak berubah 6 7,1 Total 84 100 Perubahan pola interaksi masyarakat dengan hutan merupakan respon masyarakat terhadap suatu perubahan yang terjadi. Perubahan yang dilakukan oleh masyarakat di Dusun Cisarua dan Pandan Arum serta Desa Cipeuteuy umumnya merupakan respon terhadap perubahan yang terjadi pada berbagai hal

43 yang mempengaruhinya. Adanya perubahan pengelolaan hutan, perubahan kondisi lingkungan, dan perubahan kondisi di dalam masyarakat merupakan beberapa hal yang mempengaruhinya. Masyarakat di Desa Cipeuteuy adalah masyarakat yang berada di lingkungan sekitar hutan dan perkebunan. Sebagian besar masyarakatnya bergantung pada pertanian dan perkebunan. Perkebunan yang berada di desa ini adalah perkebunan cengkeh PT. Intan Hepta yang sudah bangkrut sejak sekitar tahun 1993. Pada waktu perkebunan cengkeh masih beroperasi, banyak warga desa yang menjadi tenaga kerja di perkebunan tersebut. Selain itu Desa Cipeuteuy juga terletak tidak terlalu jauh dengan perkebunan teh PTPN VIII Kebun Cianten. Beberapa warga desa bekerja di perkebunan teh sampai saat ini meskipun tidak terlalu banyak. Sebagian besar masyarakat yang lain bermata pencaharian di bidang pertanian yaitu sebagai petani pemilik lahan maupun sebagai buruh tani. Tidak semua masyarakat yang bermata pencaharian petani memiliki lahan yang cukup luas atau bahkan tidak memiliki lahan pertanian sama sekali atau tuna kisma. Sebagian besar dari petani berlahan sempit tersebut memanfaatkan lahan kawasan hutan sebagai lahan pertanian tambahan atau lahan pertanian utama bagi petani tuna kisma. Meskipun lahan hutan tidak terlalu bagus untuk lahan pertanian, namun masyarakat petani merasa tidak mempunyai pilihan lain selain menggarap lahan di kawasan hutan. Interaksi masyarakat dengan hutan di Desa Cipeuteuy dapat dikelompokkan menjadi dua berdasarkan penggunaan lahannya. Interaksi yang pertama adalah interaksi yang dilakukan tanpa menggunakan lahan hutan secara langsung. Kelompok yang termasuk dalam interaksi ini adalah pemungutan hasil hutan baik hasil hutan kayu maupun non kayu. Sedangkan interaksi yang kedua adalah interaksi yang dilakukan dengan pemanfaatan lahan secara langsung, yaitu untuk lahan pertanian.

44 Gambar 7 Lahan pertanian dan pemukiman warga yang berbatasan langsung dengan TNGHS. Berdasarkan keterangan dari responden, masyarakat Desa Cipeuteuy khususnya di Dusun Cisarua dan Pandan Arum yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan adalah yang paling banyak melakukan interaksi, baik interaksi dengan penggunaan lahan maupun tanpa menggunakan lahan secara langsung. Gambar 7 menunjukkan pemukiman dan lahan pertanian warga desa yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGHS. Penggunaan lahan hutan untuk pertanian dan pemanfaatan hasil hutan kayu ataupun non kayu telah dilakukan masyarakat sejak sebelum lahan hutan dikelola oleh TNGHS. Pada waktu masih dikelola oleh Perhutani masyarakat di sekitar hutan banyak yang mengambil kayu bakar untuk keperluan sehari-hari dan memungut hasil hutan non kayu lain yaitu sayuran dan rumput untuk pakan ternak. Mereka yang menggunakan lahan hutan untuk lahan pertanian sebagian besar adalah petani tumpang sari. Program tumpang sari tersebut merupakan kebijaksanaan Perhutani untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Tumpang sari dilakukan setelah ada tebangan. Masyarakat yang mengikuti program ini terbagi dalam kelompok yang terdiri dari sekumpulan petani. Blok-blok tumpang sari sudah ditentukan oleh Perhutani di lahan bekas tebangan. Petani dapat memanfaatkan lahan hutan di sela-sela tanaman kehutanan untuk pertanian dengan kewajiban menjaga tanaman kehutanan tersebut. Tanaman pertanian yang ditanam masyarakat antara lain padi huma, berbagai sayuran, pepaya, singkong, dan tanaman-tanaman pangan lain. Kontrak untuk tumpang sari adalah 4 tahun dengan pertimbangan jika pada usia tersebut tanaman kehutanan sudah cukup tinggi dan

45 rindang sehingga pertanian tumpang sari juga sudah tidak terlalu bagus untuk dilakukan. Pada prakteknya banyak dari petani melakukan tumpang sari lebih dari kontrak yang dilakukan. Hal ini disebabkan karena petani-petani tersebut sangat membutuhkan lahan untuk bertani sebagai penopang hidup. Petani yang telah selesai menyelesaikan kontrak tumpang sari di suatu blok dapat mengikuti lagi tumpang sari di blok lain. Dengan demikian petani-petani tersebut melakukan tumpang sari tidak pada satu lokasi saja, namun pada beberapa lokasi yang terpisah. Meskipun banyak petani yang mengikuti tumpang sari dalam beberapa periode, beberapa petani memutuskan untuk tidak meneruskan kegiatan tumpang sari mereka atau bahkan berhenti melakukan tumpang sari sebelum kontrak selesai. Beberapa responden menyatakan bahwa mereka pernah bertumpang sari hanya selama 2 kali musim panen padi huma atau sekitar 1 tahun. Petani-petani yang tidak lagi meneruskan pertanian tumpang sari beralih menjadi petani di lahan sendiri atau di lahan sewa, menjadi buruh tani, atau bekerja di bidang yang lain. Kebanyakan dari petani tersebut sudah tidak lagi menggunaan lahan hutan sebagai salah satu penopang hidupnya. Beberapa rumah tangga petani yang tempat tinggalnya tidak jauh dari hutan masih melakukan interaksi dengan hutan. Mereka masih memanfaatkan hasil hutan di sekitar rumahnya untuk keperluan sehari-hari, misalnya pengambilan kayu bakar untuk memasak. Beberapa sebab yang mendasari perubahan tersebut hampir sama untuk tiap responden. Mereka mengatakan bahwa pertanian tumpang sari tidak cukup menguntungkan untuk dilakukan. Penyebabnya antara lain adalah tanah yang dianggap kurang subur terlebih lagi jika tanaman kehutanan sudah mulai tinggi dan daun-daunnya menaungi tanah sehingga hasil pertanian yang didapatkan sedikit. Banyaknya gangguan binatang seperti babi dan monyet yang merusak tanaman pertanian juga sangat merugikan petani. Faktor jarak juga menjadi salah satu alasan mengapa para petani tumpang sari enggan meneruskan pertanian di dalam hutan. Beberapa responden menyatakan bahwa lokasi lahan tumpang sari sangat jauh dari rumah dan untuk menempuhnya harus berjalan kaki selama dua sampai tiga jam. Periode tahun 1990-an adalah waktu ketika petani tumpang sari

46 banyak yang mulai berhenti seiring dengan kebangkrutan perkebunan cengkeh PT. Intan Hepta dan mulai diambil-alihnya lahan perkebunan tersebut oleh masyarakat desa. Sekitar tahun 1996 1997 lahan eks HGU PT. Intan Hepta mulai diambilalih oleh masyarakat desa, tidak terkecuali para petani tumpang sari di hutan. Sebagian dari masyarakat yang mengambil-alih dan menggarap lahan tersebut adalah mereka yang hanya memiliki lahan pertanian sempit atau bahkan tidak memiliki lahan sama sekali. Lahan seluas 583 ha tersebut akhirnya terbagi-bagi menjadi lahan pertanian masyarakat sampai saat ini. Masyarakat yang pada awalnya sangat tergantung dengan lahan hutan untuk pertanian mulai meninggalkan hutan dan menggarap lahan eks HGU tersebut. Para petani mendapatkan keuntungan dari lahan tersebut karena selain relatif luas, lahan tersebut juga tidak dibebani pajak sehingga masyarakat beramai-ramai menggarap lahan tersebut. Hal ini menjadi salah satu faktor perubahan interaksi masyarakat dengan hutan. Pada umumnya semakin luas lahan pertanian masyarakat di luar hutan, maka ketergantungan masyarakat akan hutan juga semakin berkurang. Gambar 8 Lahan eks HGU PT Intan Hepta yang digarap masyarakat desa. Tidak semua masyarakat di desa ikut dalam pengambil alihan lahan eks HGU PT. Intan Hepta. Seorang tokoh desa menjelaskan bahwa pada waktu itu tidak semua orang berani untuk ikut dalam aksi tersebut. Sejumlah warga kampung yang cukup jauh dari lokasi perkebunan tidak terlalu tertarik dengan lahan tersebut, sebagian yang lain adalah yang memang tidak kebagian karena semua lahan telah diambil-alih. Saat ini lahan tersebut masih menjadi lahan pertanian masyarakat dan sebagian lain adalah lahan yang dikuasai oleh orang dari

47 luar desa. Dalam dekade terakhir ini mulai sering adanya jual beli lahan eks HGU tersebut. Banyak masyarakat yang menjual lahan garapan kepada pembeli dari luar daerah. Hal ini menjadi sangat riskan karena lahan yang diperjual-belikan tersebut adalah tanah negara. Meskipun sebagian besar dari petani tumpang sari meninggalkan pertanian di hutan, sebagian yang lain justru memulai untuk bertani di hutan. Mereka yang memutuskan untuk bertani di hutan umumnya adalah warga yang tidak mempunyai lahan pertanian sendiri atau memiliki lahan namun tidak cukup luas. Sebanyak 25 dari 33 responden atau sebesar 75,8% responden yang melakukan hal ini adalah mereka yang tergolong kepala keluarga yang relatif muda antara 20 45 tahun. Pada awalnya pemuda-pemuda di desa banyak yang bekerja di kotakota besar seperti Bogor dan Jakarta. Pada saat berkeluarga, pemuda-pemuda tersebut meninggalkan keluarganya di desa. Upah bekerja di kota yang dianggap tidak mencukupi untuk keperluan hidup dan jauhnya jarak dengan keluarga membuat banyak dari pemuda-pemuda tersebut kembali ke desa untuk beralih mata pencaharian sebagai petani. Karena umumnya kepala keluarga muda tidak mempunyai lahan yang luas atau bahkan tidak mempunyai lahan sama sekali, maka mereka menggarap lahan di kawasan kehutanan. Ketika status lahan hutan beralih dari kawasan Perhutani menjadi perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak hal ini menjadi permasalahan yang harus diperhatikan. Saat disahkan menjadi bagian TNGHS lahan hutan di Desa Cipeuteuy masih berupa lahan pertanian tumpang sari yang digarap oleh masyarakat. Perubahan status tersebut membuat para petani khawatir dan takut jika suatu saat lahan pertanian mereka diambil oleh pihak TNGHS sedangkan mereka sangat menggantungkan hidup dari pertanian tersebut. Sejak perluasan taman nasional sampai saat ini, banyak terjadi konflik kepentingan antara masyarakat dan taman nasional terkait lahan hutan maupun sumberdaya hutan. Permasalahan yang muncul adalah saat lahan hutan berstatus sebagai bagian dari kawasan TNGHS. Peraturan dalam pengelolaan kawasan taman nasional menjadi lebih ketat dari sebelumnya saat masih dikelola Perhutani. Jika sebelum lahan hutan berstatus taman nasional masyarakat lebih leluasa untuk mengambil kayu bakar atau hasil hutan lainnya, maka saat ini hal tersebut terkadang menjadi

48 permasalahan dan dapat dikategorikan pelanggaran oleh pihak taman nasional. Lahan garapan tumpang sari yang digarap oleh masyarakat pun menjadi permasalahan pelik. Di satu sisi masyarakat masih membutuhkan lahan pertanian untuk mempertahankan mata pencaharian utamanya, namun di sisi lain aktifitas pertanian warga di dalam kawasan hutan mengancam kelestarian hutan. Gambar 9 menunjukkan salah satu areal pertanian di Dusun Pandan Arum yang beririsan dengan kawasan TNGHS. Gambar 9 Lahan pertanian di Dusun Pandan Arum yang beririsan dengan kawasan TNGHS. Menurut Lier (1998) dalam Yatap (2008), pada perencanaan penggunaan lahan terdapat dua dimensi yang saling bertentangan, yaitu: aspek konservasi dan aspek ekonomi. Dari aspek konservasi, dibutuhkan perlindungan terhadap air, udara, tanah, tumbuhan, dan hewan. Tetapi, dari aspek ekonomi, dibutuhkan peningkatan terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat pedesaan, yang berarti perluasan lahan pertanian, peningkatan produksi, relokasi bangunan pertanian, dan pembuatan desa. Penutupan lahan merupakan status lahan secara ekologi dan penampakan permukaan lahan secara fisik, yang dapat berubah karena adanya intervensi manusia, gangguan alam, atau suksesi tumbuhan (Helms 1998 dalam Yatap 2008). Perubahan penutupan lahan dapat dibagi menjadi dua bentuk (FAO 2000), sebagai berikut:

49 1. Konversi dari suatu kategori penutupan lahan menjadi kategori yang lain, contohnya dari hutan menjadi padang rumput. 2. Modifikasi dari suatu kategori, contohnya dari hutan rapat menjadi hutan jarang. Dalam hal perubahan penutupan lahan di Dusun Pandan Arum dan Dusun Cisarua cenderung kepada bentuk kedua yakni konversi dari suatu kategori penutupan lahan menjadi kategori yang lain. Lahan pertanian yang saat ini digarap oleh masyarakat di dalam kawasan hutan sebelumnya berupa hutan, saat ini telah menjadi lahan pertanian yang cenderung terbuka. Pada beberapa lokasi lahan garapan masyarakat di kedua dusun tersebut terdapat beberapa tanaman kehutanan, namun dalam jumlah yang sedikit dan umur yang relatif muda. Tabel 8 dan 9 menunjukkan bahwa perubahan pola interaksi masyarakat dan hutan di Dusun Cisarua dan Pandan Arum tidak hanya terdapat satu perubahan saja, dari 6 perubahan yang mungkin, terdapat 5 perubahan pola interaksi yang dilakukan oleh responden penelitian. Perubahan-perubahan tersebut tidak terjadi dalam satu waktu, namun terjadi dalam waktu yang tidak bersamaan. Masingmasing perubahan pola interaksi tersebut akan dijelaskan dalam uraian berikut ini. 1. Perubahan dari pola penggunaan lahan menjadi pemanfaatan hasil hutan Masyarakat desa yang pada awalnya pernah menggarap lahan pertanian di dalam hutan dan saat ini telah meninggalkannya namun tetap memanfaatkan beberapa hasil hutan seperti kayu bakar dan hasil hutan lain termasuk dalam masyarakat yang telah melakukan perubahan perubahan pola interaksi dari pola penggunaan lahan menjadi pola pemanfaatan hasil hutan. Terdapat 2 orang responden di Dusun Pandan Arum yang melakukan perubahan interaksi pola ini. Sedangkan untuk Dusun Cisarua tidak ada. Menurut seorang responden di Dusun Cisarua, saat ini pengawasan terhadap hutan di kawasan TNGHS sangat ketat sehingga masyarakat takut untuk memasuki hutan yang bukan merupakan lahan garapan. Mereka mengatakan bahwa pengambilan kayu bakar di dalam wilayah hutan dianggap sebagai pelanggaran dan dapat diperkarakan secara hukum. Pengawasan yang ketat tersebut dilakukan karena hutan di sekitar daerah ini merupakan hutan koridor antara ekosistem Halimun

50 dan Gunung Salak yang sangat penting. Selain itu di Dusun Cisarua juga terdapat jalan alternatif utama yang menghubungkan desa dengan Kabupaten Bogor. Sebanyak 2 orang responden di Dusun Pandan Arum pada awalnya menggarap lahan di kawasan hutan, namun karena berbagai alasan mereka tidak melanjutkan lagi aktivitas pertanian tersebut. Namun demikian petani-petani tersebut masih mengambil hasil hutan seperti kayu bakar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jarak rumah yang cukup dekat memungkinkan mereka untuk mengambil kayu bakar dari hutan untuk memasak. Kayu bakar dipilih karena saat ini bahan bakar lain seperti minyak tanah dan gas di anggap masih terlalu mahal. Menurut keterangan beberapa orang, pengambilan kayu bakar masih diperbolehkan asal tidak terlalu banyak dan hanya di pinggir-pinggir hutan. 2. Perubahan dari pola penggunaan lahan menjadi tanpa interaksi. Masyarakat desa yang pernah melakukan pertanian tumpang sari di lahan hutan dan saat ini telah meninggalkan aktivitas pertanian dan tidak mengambil hasil hutan lainnya termasuk dalam masyarakat yang telah melakukan perubahan pola interaksi dari pola penggunaan lahan menjadi tanpa interaksi. Terdapat 14 orang responden di Dusun Pandan Arum dan 16 responden di Dusun Cisarua yang termasuk dalam kelompok ini. Hampir sebagian besar perubahan interaksi jenis ini terjadi pada periode 1900-an ketika lahan perkebunan mulai diambil-alih oleh masyarakat desa. Berbagai alasan yang melatar belakangi perubahan tersebut dapat dikatakan hampir sama. Beberapa petani tumpang sari memutuskan untuk tidak meneruskan kegiatan tumpang sari mereka atau bahkan berhenti melakukan tumpang sari sebelum kontrak selesai. Responden menyatakan bahwa mereka pernah bertumpang sari hanya selama 2 kali musim panen padi huma atau sekitar 1 tahun. Petani-petani tersebut telah melakukan perubahan interaksi dengan hutan. Sebab yang mendasari perubahan tersebut hampir sama untuk tiap responden. Mereka mengatakan bahwa pertanian tumpang sari tidak cukup menguntungkan untuk dilakukan. Penyebabnya antara lain adalah tanah yang dianggap kurang subur, banyaknya gangguan binatang seperti babi dan kadang monyet yang merusak tanaman pertanian sangat merugikan petani dan jarak yang

51 dianggap cukup jauh. Beberapa responden menyatakan bahwa lokasi lahan tumpang sari sangat jauh dari rumah dan untuk menempuhnya harus berjalan kaki selama berjam-jam. Petani-petani yang tidak lagi meneruskan pertanian tumpang sari beralih menjadi petani di lahan sendiri atau di lahan sewa, menjadi buruh tani, atau bekerja di bidang yang lain. Masyarakat yang meninggalkan pertanian dalam hutan sebagian besar adalah mereka yang ikut dalam aktivitas pengambil-alihan lahan eks HGU PT. Intan Hepta. Kondisi lahan yang lebih subur, lebih luas, dan tidak terlalu jauh dari rumah karena terletak di dalam desa mendorong masyarakat memilih untuk meninggalkan pertanian tumpang sari dan beralih di lahan bekas perkebunan. Interaksi dengan hutan hampir tidak ada sama sekali. Kebutuhan yang pada awalnya diambil dari hasil hutan dapat dipenuhi dari lahan baru tersebut. Misalnya untuk kebutuhan kayu bakar, petani-petani tersebut tidak perlu lagi mengambil dari hutan karena mereka dapat mengambil di lahan pertanian sendiri yang sebagian ditanami jenis kayu-kayuan. 3. Perubahan dari pola pemanfaatan hasil hutan menjadi penggunaan lahan Responden yang pada awalnya hanya berinteraksi dengan hutan tanpa penggunaan lahan secara langsung dan saat ini berubah menjadi menggunakan lahan secara langsung terutama untuk pertanian termasuk dalam kelompok masyarakat yang melakukan perubahan interaksi dari pola pemanfaatan hasil hutan menjadi penggunaan lahan. Terdapat 6 responden di Dusun Pandan Arum dan 4 orang di Dusun Cisarua yang termasuk dalam kelompok ini. Sebelum bertani di lahan hutan masyarakat di sekitar hutan hanya mengambil hasil hutan seperti kayu bakar, sayuran dan hasil hutan lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dari keterangan responden di Dusun Pandan Arum, umumnya masyarakat memulai menggunakan kawasan hutan tersebut pada waktu setelah dilakukan tebangan tahun 1999. Warga memulai menggarap lahan bekas tebangan sekitar tahun 2000. Sebelumnya mereka hanya menggarap lahan milik sendiri atau lahan sewa yang luasnya sangat terbatas. Pada awalnya, masyarakat tidak berani untuk menggarap lahan tersebut. Namun karena melihat tanah tersebut kosong dan tidak terpakai maka, beberapa

52 masyarakat berinisiatif untuk menggarap lahan itu. Setelah beberapa orang memulai menggarap, masyarakat yang lain mengikuti menggarap lahan itu. Pihak taman nasional saat ini sudah melarang kegiatan tersebut, namun masyarakat sampai saat ini masih menggarapnya. Hal ini dikarenakan masyarakat membutuhkan lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Beberapa petani bahkan sama sekali tidak memiliki lahan milik, dan hanya mendapat penghasilan dari bertani di lahan TNGHS. Mereka berharap bahwa pihak TN memahami kondisi mereka yang memang sangat membutuhkan lahan untuk menyambung hidup. 4. Perubahan dari pola pemanfaatan hasil hutan menjadi tanpa interaksi Responden yang sebelumnya berinteraksi dengan hutan tanpa penggunaan lahan seperti hanya pengambilan hasil hutan namun saat ini tidak lagi melakukannya sama sekali termasuk dalam kelompok masyarakat yang melakukan perubahan interaksi dari pola pemanfaatan hasil hutan menjadi tanpa interaksi. Terdapat 3 responden di Dusun Cisarua yang termasuk dalam kelompok ini. Sedangkan di Dusun Pandan Arum tidak didapatkan responden dalam kelompok ini. Pada awalnya masyarakat tersebut hanya memanfaatkan hasil hutan untuk berbagai keperluan seperti kayu bakar, sayuran, atau kayu untuk membangun rumah. Saat ini mereka tidak lagi melakukan hal tersebut sejak status lahan hutan menjadi taman nasional dengan peraturan dan pengawasan yang dianggap ketat. Masyarakat takut untuk melakukan aktifitasnya tersebut karena adanya ancamanancaman hukum dari pihak taman nasional. 5. Perubahan dari pola tanpa interaksi menjadi penggunaan lahan Responden yang awalnya tidak berinteraksi sama sekali dengan hutan namun saat ini telah menggunakan lahan hutan untuk berbagai keperluan termasuk dalam kelompok masyarakat yang telah melakukan perubahan interaksi dari pola tanpa interaksi menjadi penggunaan lahan. Pola perubahan ini termasuk yang paling banyak dilakukan oleh masyarakat di kedua dusun penelitian.

53 Terdapat 20 responden di Dusun Pandan Arum dan 13 responden di Dusun Cisaruan yang termasuk dalam kelompok ini. Hampir semua responden menjelaskan bahwa alasan mereka memilih pertanian di lahan hutan adalah karena tidak ada pilihan lain. Sebelum menjadi petani sebagian besar responden bekerja di kota-kota besar terdekat seperti di Bogor ataupun Jakarta. Gaji yang kurang mencukupi dan jauh dari keluarga merupakan salah satu penyebab mereka akhirnya memutuskan untuk pulang ke desa. Motif perubahan tersebut secara umum adalah karena sudah berkeluarga dan ingin dekat dengan keluarga. Selain itu dianggap bahwa hasil kerja di kota dan di desa juga sama saja yaitu jika di kota pengeluaran besar, sedang di desa pengeluaran hanya sedikit. Mereka yang pulang dari kota untuk bertani adalah kepala keluarga yang cukup muda. Sebanyak 75,8% responden dengan perubahan interaksi ini memiliki usia antara 20 sampai 45 tahun. Kepala keluarga muda umumnya tidak memiliki lahan pertanian yang luas atau bahkan tidak memiliki lahan sama sekali. Kepala keluarga muda yang bertani biasanya ikut menggarap lahan keluarga bersama orang tuanya, menyewa lahan, atau ikut bertani di lahan kehutanan. Mereka yang saat ini menggarap lahan kehutanan merupakan petani yang sangat tergantung dengan lahan hutan karena sebagian besar dari mereka tidak memiliki lahan lain yang cukup untuk pertanian. 6. Interaksi yang tetap Tidak semua responden melakukan perubahan interaksi dengan hutan. Sebanyak 7,1% responden di kedua dusun penelitian tidak merubah interaksinya dengan hutan. Responden ini tidak terpengaruh oleh berbagai faktor-faktor pendorong perubahan yang terjadi pada sebagian responden lainnya. Masyarakat tersebut dari sebelum kawasan dikelola oleh taman nasional sampai saat ini masih melakukan interaksi yang sama. Terdapat masyarakat yang melakukan aktifitas pertanian di hutan dari awal sampai saat ini. Perubahan pengelolaan kawasan dan peraturan tidak mempengaruhi kegiatan pertanian yang dilakukan. Selain itu, masyarakat yang tinggal tidak terlalu jauh dari kawasan hutan masih memanfaatkan hasil hutan dari dulu sampai saat ini. Hasil hutan yang

54 masih dimanfaatkan antara lain adalah kayu bakar. Tindakan-tindakan ini dimungkinkan karena pihak taman nasional sampai saat ini tidak melakukan tindakan tegas dilakukan. meskipun pelarangan pertanian di dalam kawasan sudah 5.1.3 Hubungan Antara Variabel Sosial Ekonomi dengan Luas Penggunaan Lahan Hutan Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, didapatkan hasil bahwa masingmasing petani yang menggunakan lahan hutan untuk pertanian memiliki luas lahan yang berbeda-beda. Dari seluruh responden di kedua dusun yakni Pandan Arum dan Cisarua terdapat sebanyak 47 responden yang menggarap lahan di hutan. Dalam analisis hubungan antara faktor sosial ekonomi dengan luas penggunaan lahan hutan yang akan digunakan adalah data masyarakat yang menggarap lahan di hutan. Persamaan regresi yang dihasilkan dari analisis regresi linier berganda dari faktor sosial ekonomi dengan luas penggunaan lahan hutan di TNGHS adalah sebagai berikut: Y= -540,172 + 22,87X 1 + 30,845X 2 + 0,145X 3 28,922X 4 47,151X 5 + 0,001 X 6 Keterangan: Y = luas penggunaan lahan hutan oleh masyarakat X 1 = umur X 2 = lama bermukim di desa X 3 = luas lahan pertanian di luar hutan X 4 = lama menggarap di hutan X 5 = jumlah anggota keluarga X 6 = pendapatan per bulan Nilai P-value dari persamaan regresi tersebut adalah < 0,05 yakni sebesar 0,02 yang berarti tolak H 0. Ini berarti secara keseluruhan faktor sosial ekonomi masyarakat petani yang menggunakan lahan hutan berpengaruh terhadap luas penggunaan lahan pertanian pada tingkat kepercayaan 95%. Besarnya pengaruh dari faktor-faktor sosial ekonomi masyarakat petani hutan terhadap luas penggunaan lahan hutan ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 30,1 %, sedangkan sisanya disebabkan oleh faktor lain di luar faktor sosial ekonomi masyarakat. Untuk mengetahui variabel peubah bebas yang terpilih dilakukan dengan metode regresi stepwise. Persamaan yang dihasilkan dari analisis regresi dengan metode stepwise adalah sebagai berikut:

55 Y= 405,955 + 36,135 X 2 + 0,143X 3 Keterangan: Y = luas penggunaan lahan hutan oleh masyarakat X 2 = lama bermukim di desa X 3 = luas lahan pertanian di luar hutan Nilai P-value dari persamaan regresi tersebut adalah 0,002 yakni <0,05 yang berarti tolak H 0 pada tingkat kepercayaan 95%. Besarnya hubungan dari faktor sosial ekonomi dari variabel bebas terpilih dengan luas penggunaan lahan hutan oleh masyarakat ditunjukkan oleh besarnya koefisien determinasi sebesar 24,5%. Hal ini berarti bahwa luas penggunaan lahan hutan oleh masyarakat dipengaruhi oleh faktor lama bermukim di desa dan kepemilikan lahan pertanian di luas hutan sebesar 24,5%, sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor lainnya. Jika pada beberapa penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya didapatkan indikasi bahwa semakin luas lahan pertanian di luar hutan maka semakin sempit lahan garapan di hutan, maka di dalam penelitian ini tidak demikian hasilnya. Luas lahan garapan di luar hutan justru menunjukkan semakin luas pula lahan garapan di dalam hutan meski tidak terlalu besar. Hal ini disebabkan karena terdapat responden dengan lahan garapan relatif luas di dalam hutan juga memiliki lahan garapan yang luas di luar hutan. Terdapat dua orang responden yang memiliki lahan garapan di dalam hutan seluas >5000 m2, memiliki pula lahan garapan di luar hutan seluas lebih dari 10.000 m 2. Ratarata luas lahan hutan yang digarap oleh responden adalah 2113 m 2. Mereka dengan luas lahan luas adalah warga yang mempunyai hubungan baik dengan pengelola sebelumnya yaitu Perhutani. Mereka yang berhubungan baik dengan Perhutani sebagian besar adalah mantan pegawai di Perhutani atau orang terpandang di desa yang pada umumnya juga memiliki lahan pertanian yang luas di luar desa. Mereka menggarap lahan hutan sudah sejak lama dan saat ini masih diteruskan. Variabel lama mukim adalah variabel paling dominan dalam mempengaruhi luas lahan garapan masyarakat di dalam hutan. Semakin lama seseorang tinggal di desa maka semakin luas lahan garapan di hutan. Nilai koefisien determinasi yang dihasilkan dari persamaan regresi tersebut terbilang cukup kecil (kurang dari 50%). Hal ini berarti bahwa faktor di luar faktor sosial ekonomi terpilih yang lebih banyak berpengaruh dalam luas garapan lahan di hutan. Dari penelitian di lapangan didapatkan bahwa luas lahan hutan

56 yang digarap oleh masyarakat dipengaruhi oleh banyak faktor-faktor lain yang saling terkait. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah tekanan dari pihak pengelola dan pengawasan yang dilakukan oleh pihak TNGHS. Beberapa responden menerangkan bahwa pada beberapa lokasi terlebih di dekat koridor (di Dusun Cisarua), pengawasan dan penjagaan lebih ketat oleh pihak TNGHS. Pada daerah ini masyarakat yang mengerjakan lahan hutan untuk pertanian merasa lebih tertekan oleh pihak taman nasional sehingga mereka jarang yang memperluas lahan garapan atau bahkan beberapa masyarakat mengurangi atau meninggalkan lahan garapan mereka meskipun sebenarnya mereka merasa membutuhkannya. 5.2 Faktor-Faktor Penyebab Perubahan Pola Interaksi Masyarakat dengan Hutan Perubahan pola interaksi antara masyarakat dengan hutan merupakan respon dari suatu perubahan yang terjadi di dalam berbagai hal yang terkait dalam hubungan interaksi itu. Dalam penelitian ini perubahan pola interaksi yang terjadi tidak hanya dalam satu pola saja. Suatu perubahan pada satu hal tidak selalu menyebabkan satu pola perubahan saja. Banyak faktor yang mempengaruhi perubahan pola interaksi tersebut. Tabel 10 berikut ini menjelaskan tentang polapola perubahan interaksi beserta penyebabnya masing-masing berdasarkan data yang didapatkan dari responden di kedua dusun penelitian.

57 Tabel 10 Perubahan pola interaksi dan penyebabnya Perubahan Pola Interaksi Penggunaan lahan menjadi pemanfaatan hasil hutan Penggunaan lahan menjadi tanpa interaksi Pemanfaatan hasil hutan menjadi penggunaan lahan Pemanfaatan hasil hutan menjadi tanpa interaksi Tanpa interaksi menjadi penggunaan lahan Penyebab a. Lahan hutan berkurang kesuburan b. Gangguan binatang (babi dan monyet) c. Hasil panen kecil dan kurang menguntungkan d. Konflik dengan pihak pengelola (TNGHS) e. Luas lahan pertanian di luar hutan yang mencukupi f. Faktor usia a. Lahan hutan berkurang kesuburan b. Gangguan binatang c. Hasil panen kecil dan kurang menguntungkan d. Konflik dengan pihak pengelola (TNGHS) e. Luas lahan pertanian di luar hutan yang mencukupi f. Mendapatkan lahan pertanian baru yang lebih baik g. Pendapatan yang meningkat h. Faktor usia i. Jarak lahan hutan yang jauh a. Lahan pertanian sempit / tidak memiliki lahan pertanian b. Kebutuhan hidup yang semakin banyak a. Adanya peraturan dari pihan TNGHS yang ketat b. Perubahan gaya hidup c. Faktor usia a. Pekerjaan pertanian dianggap lebih menguntungkan b. Lahan pertanian sempit / tidak memiliki lahan pertanian c. Kebutuhan hidup yang semakin banyak Faktor pendorong terjadinya perubahan interaksi tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam masyarakat yaitu faktor-faktor yang muncul dari kondisi di dalam masyarakat sendiri yang menyebabkan masyarakat secara sukarela melakukan perubahan interaksi dengan hutan di sekitarnya.

58 Sedangkan faktor eksternal adalah faktor-faktor pendorong terjadinya perubahan interaksi masyarakat dengan hutan yang berasal dari luar masyarakat yang bersangkutan. 1. Faktor internal Beberapa faktor yang termasuk dalam faktor internal adalah sebagai berikut: 1. Kondisi fisik lahan hutan dan gangguan alami : lahan hutan berkurang kesuburan, hasil panen kecil dan kurang menguntungkan, gangguan binatang (babi dan monyet) 2. Luas lahan pertanian di luar hutan : luas lahan pertanian di luar hutan yang mencukupi, lahan pertanian sempit, tidak memiliki lahan pertanian 3. Faktor usia : usia sudah lanjut 4. Pendapatan : pendapatan yang meningkat, kebutuhan hidup yang semakin banyak, pekerjaan pertanian dianggap lebih menguntungkan 5. Jarak dari tempat tinggal : jarak yang dekat, jarak yang terlalu jauh 6. Perubahan gaya hidup : konversi bahan bakar dari kayu menjadi gas, 2. Faktor Eksternal Faktor-faktor eksternal adalah sebagai berikut. 1. Adanya pengambil-alihan lahan perkebunan di dalam desa 2. Perubahan pengelola hutan yang membuat peraturan dan kebijakan baru 3. Pengawasan dan penertiban oleh aparat pengelola Dalam Tabel 10 terlihat bahwa penyebab untuk suatu perubahan pola interaksi tidak selalu sama satu sama lain. Satu faktor juga dapat menimbulkan perubahan pola interaksi yang tidak sama. Suatu faktor dapat menyebabkan suatu perubahan pola interaksi pada suatu rumah tangga, namun belum tentu mempengaruhi rumah tangga yang lain. Perubahan pola-pola interaksi tersebut adalah gabungan dari beberapa faktor pendorong. Misalnya adalah faktor kesuburan tanah hutan yang semakin berkurang dan serangan babi yang menurunkan hasil panen dalam jumlah besar. Beberapa petani memutuskan untuk tidak lagi meneruskan pertanian di lahan hutan karena merasa

59 bahwa aktivitas tersebut tidak menguntungkan. Namun pada sebagian yang lain meskipun hasil pertanian kurang menguntungkan tetap melanjutkan aktivitas tersebut karena tidak memiliki pilihan pekerjaan lain. Faktor kebijakan dari pengelola hutan dalam hal ini pihak TNGHS juga mempengaruhi dalam perubahan pola interaksi terlebih bagi pengambilan hasil hutan. Sebelum peraturan taman nasional ada, banyak masyarakat yang memanfaatkan hasil hutan, antara lain: kayu bakar, dan sayuran. Namun saat ini, aktivitas pemungutan hasil hutan hampir tidak terjadi karena masyarakat takut hal ini termasuk dalam pelanggaran. Meskipun demikian, perubahan peraturan tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap petani di dalam kawasan. Sampai saat ini, pertanian di dalam kawasan masih berjalan aktif. Masyarakat mengetahui bahwa aktivitas pertanian merupakan sesuatu yang dianggap mengancam kelestarian hutan dan dianggap sebagai kegiatan ilegal, namun mereka beralasan bahwa hanya pertanian di kawasan yang menjadi sumber utama penghasilannya. Jika mereka meninggalkan lahan hutan maka mereka tidak akan bisa bertahan hidup. Salah satu kejadian yang banyak menyebabkan masyarakat meninggalkan lahan garapan di hutan adalah diambil-alihnya lahan perkebunan PT.Intan Hepta seluas 583 ha oleh masyarakat sekitar tahun 1996-1997. Pada waktu itu hutan masih dikelola oleh Perhutani dan banyak masyarakat yang masih menggarap lahan hutan secara tumpang sari. Dengan adanya pengambil alihan lahan tersebut, petani-petani yang awalnya hanya memiliki lahan sempit atau tidak memiliki lahan dapat menggarap lahan perkebunan yang cukup luas. Mereka yang pada awalnya menggarap lahan hutan akhirnya lebih memilih menggarap lahan baru yang mereka dapatkan. Aktivitas pertanian di lahan bekas perkebunan itu masih berlangsung sampai saat penelitian ini dilakukan. Ketidakjelasan tata batas kawasan TNGHS di lapangan, merupakan penyebab kunci dari ketidakpastian pengelolaan pada daerah perluasan TNGHS. Pada beberapa lokasi, lahan garapan masyarakat yang semula berada pada kawasan Perhutani saat ini masih berupa lahan pertanian baik pertanian ladang bahkan sawah.

60 Kondisi sosial ekonomi sering kali dijadikan alasan oleh masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya hutan khususnya di TNGHS. Terdesak untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari menjadikan sebagian besar masyarakat tersebut untuk memanfaatkan lahan hutan untuk pertanian. Meskipun mereka merasa tidak terlalu diuntungkan dengan pertanian di dalam hutan, namun mereka tidak memiliki pilihan lain karena rendahnya tingkat pendidikan dan ketrampilan. Kemiskinan di pedesaan mempunyai hubungan dengan masalah-masalah agraria khususnya tanah. Asumsi dasar yang melandasinya adalah karena sebagian besar penduduk desa masih menggantungkan hidupnya pada tanah. Dalam kondisi demikian, penataan penguasaan tanah yang lebih adil dan pemerataan akses terkait pengelolaan tanah tersebut kepada masyarakat merupakan instrumen yang esensial untuk menanggulangi kemiskinan dan ketimpangan penghasilan di pedesaaan (Syahyuti 2006 dalam Simarmata 2009). Dalam studi oleh Pasha (2009) di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan didapatkan bahwa faktor sosial ekonomi sangat berpengaruh terhadap luas lahan hutan yang dirambah oleh masyarakat di sekitarnya. Berdasarkan studi Alfiasari (2004) dalam Simarmata (2009) lahan yang digunakan oleh masyarakat desa perkebunan untuk budidaya pertanian adalah lahan-lahan yang tidak digunakan oleh perkebunan. Lahan-lahan tersebut merupakan lahan-lahan di lereng-lereng gunung yang tidak digunakan karena kemiringan tidak cocok untuk tanaman teh. Tanaman yang biasa ditanam masyarakat di lahan tersebut antara lain, padi, pisang, singkong, sayuran, cabe, kacang, dan bawang daun. Hasil pertanian tersebut hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri karena tidak terlalu menguntungkan jika dijual. Pertambahan jumlah penduduk merupakan masalah klasik yang sangat berpengaruh terhadap degradasi hutan terutama di Pulau Jawa. Situasi demikian langsung atau tidak telah ikut memaksa penyelenggara kehutanan di Jawa berhadapan dengan persoalan sosial yang tidak sederhana, seperti kebutuhan lahan, kayu bakar, kayu pertukangan, dan lapangan pekerjaan, khususnya bagi mereka yang tinggal di sekitar hutan (Santoso 2004). Terdapat kecenderungan bahwa kebutuhan masyarakat terhadap lahan garapan akan semakin bertambah. Hal ini sangat wajar, karena semakin banyak penduduk pada suatu desa, maka

61 akan semakin luas lahan garapan yang dibutuhkan sebagai akibat adanya pertambahan angkatan kerja. Dengan keterbatasan tingkat pendidikan dan keahlian, maka pilihan pekerjaan yang paling memungkinkan bagi masyarakat adalah petani. 5.3 Upaya Pemerintah (TNGHS) Pemerintah telah menetapkan bentuk-bentuk pemanfaatan yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan pada kawasan taman nasional. Hal-hal yang tidak diperbolehkan pada kawasan taman nasional seperti yang disebutkan dalam PP No. 68 Tahun 1998 adalah melakukan kegiatan yang dapat mengubah fungsi kawasan, antara lain: merusak kekhasan potensi, merusak keindahan alam dan gejala alam, mengurangi luas kawasan, serta melakukan kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan rencana pengelolaan dan atau rencana pengusahaan yang telah mendapat persetujuan dari pejabat yang berwenang (Departemen Kehutanan 1998). Sebagai wujud pelaksanaan dari berbagai peraturan perundangan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, pihak pengelola taman nasional telah melakukan pengawasan dan pembinaan secara terus menerus terhadap berbagai bentuk pemanfaatan sumberdaya alam yang dilakukan oleh masyarakat. Hal ini terutama dilakukan terhadap pemanfaatan sumberdaya alam yang dilakukan oleh masyarakat yang sudah lama mendiami kawasan TNGHS. Pengawasan dan pembinaan tersebut dimaksudkan untuk menjaga ekosistem asli kawasan taman nasional dari kerusakan. Namun upaya pihak TNGHS seringkali mengalami kegagalan. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan kepentingan antara masyarakat dengan pihak pengelola taman nasional. Usaha pelestarian dan perlindungan kawasan taman nasional oleh pengelola seringkali berhadapan dengan kebutuhan hidup masyarakat yang tergantung dari pemanfaatan hutan dan hasil hutan. Diperlukan sebuah komunikasi yang baik antara masyarakat dengan pihak taman nasional agar fungsi kawasan tetap maksimal, dan di sisi lain kesejahteraan masyarakat terpenuhi. Berbagai gangguan di taman nasional antara lain perambahan hutan untuk dijadikan lahan pertanian. Hal ini telah terjadi sejak masyarakat merasa

62 kekurangan akan lahan pertanian, terutama saat akhir tahun 90an. Kawasan hutan yang telah beralih fungsi menjadi lahan pertanian semakin lama semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah kebutuhan lahan masyarakat yang berpotensi menjadi ancaman bagi kelestarian hutan di masa depan. Berbagai upaya yang telah dilakukan oleh taman nasional untuk mencegah perluasan lahan pertanian di dalam hutan telah dilakukan. Upaya-upaya yang telah dilakukan oleh petugas dalam mengatasi gangguan terhadap kawasan adalah, sebagai berikut (Kurniawan 1999): 1. Dalam mengatasai pencurian kayu dan perburuan liar, petugas melaksanakan patroli rutin. 2. Dalam mengatasi perambahan kawasan, petugas melaksanakan patroli rutin agar lahan yang sudah terlanjur digarap tidak semakin meluas. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh petugas terhadap para pelaku pelanggaran selama ini: 1. Terhadap para pelaku pencurian kayu dan perburuan liar, dilakukan penyitaan (tergantung kondisi) kemudian diberikan pengarahan baik di tempat kejadian langsung maupun di pos jaga. 2. Terhadap para pelaku perambahan hutan, dilakukan usaha pedesaan tetapi belum merata, selain itu diberikan pengarahan dan peringatan kepada para pelaku untuk tidak memperluas lahan garapannya. Meskipun upaya-upaya penanganan gangguan hutan seperti perambahan dan pencurian dilakukan terus-menerus, hal ini akan tetap mengalami kendala selama masyarakat di sekitar hutan belum sejahtera dan masih berada di dalam kondisi kemiskinan. Sehingga berbagai upaya penyelesaian masalah gangguan hutan yang disebabkan oleh masyarakat di sekitarnya tidak hanya pada sisi pengamanan hutan secara fisik, namun juga peningkatan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat serta kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan pentingnya keberadaan suatu kawasan hutan yang lestari. Salah satu upaya pihak TNGHS untuk mengatasi permasalahan yang terkait masyarakat adalah dengan membentuk konsep Model Kampung Konservasi (MKK). Program ini dilakukan oleh pihak TNGHS bersama dengan JICA (Japan

63 International Cooperation Agency) sebagai bagian dari pengelolaan kolaboratif. MKK telah dilakukan sejak April 2005 di Desa Cipeuteuy Kecamatan Kabandungan dan Desa Sirnaresmi Kecamatan Cisolok (Lembanasari et al. 2011). Gambar 10 Suasana Kampung Sukagalih. Ket: (Kiri) Permukiman di Sukagalih; (Kanan) Sungai di Kampung Sukagalih. MKK di Desa Cipeuteuy dilakukan di Kampung Sukagalih yang terletak di Dusun Pandan Arum. Kampung Sukagalih merupakan kampung yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan (Gambar 10). Sejak dicanangkan sebagai MKK, kampung ini mulai dibina oleh pihak TNGHS menjadi kampung wisata. Dengan adanya kampung wisata ini, Kampung Sukagalih menjadi sering didatangi oleh berbagai kalangan, yaitu: tamu-tamu TNGHS, wisatawan, mahasiswa dan peneliti baik dari dalam maupun luar negeri. Dengan adanya kunjungan-kunjungan tersebut, masyarakat mendapatkan penghasilan alternatif selain dari pertanian. Harapan dari adanya MKK tersebut adalah agar kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan meningkat dan kelestarian hutan terjaga.