DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 6, Nomor 2, Tahun 2017 Website :

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, pengangkatan anak merupakan cara untuk mempunyai

HAK ANAK ANGKAT TERHADAP HARTA PENINGGALAN ORANG TUA ANGKAT MENURUT HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. martabat, dan hak-haknya sebagai manusia. faktor-faktor lainnya. Banyak pasangan suami isteri yang belum dikaruniai

KEWENANGAN PENGADILAN NEGERI DAN PENGADILAN AGAMA DALAM PENGANGKATAN ANAK YANG DILAKUKAN OLEH ORANG- ORANG YANG BERAGAMA ISLAM PENULISAN HUKUM

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK WARIS ANAK PADA PERKAWINAN SIRRI ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. mengenai anak sah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

HAK MEWARIS ANAK ANGKAT TERHADAP HARTA ORANG TUA ANGKAT MENURUT HUKUM PERDATA

BAB II PENGANGKATAN ANAK MENURUT PP NOMOR 54 TAHUN

KEKUATAN MENGIKATNYA SURAT PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA SKRIPSI

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PROSES PENGANGKATAN ANAK SETELAH DIBERLAKUKAN UU NO 3 TAHUN 2006 DI PENGADILAN AGAMA DAN PENGADILAN NEGERI KOTA MALANG

BAB IV ANALISIS PUTUSAN SENGKETA WARIS SETELAH BERLAKUNYA PASAL 49 HURUF B UU NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA

P E N E T A P A N Nomor : 0015/Pdt.P/2010/PA.Bn. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. bersama-sama dengan orang lain serta sering membutuhkan antara yang satu

IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TENTANG KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN TERHADAP KOMPILASI HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang

BAB IV. rumah tangga dengan sebaik-baiknya untuk membentuk suatu kehidupan. tangga kedua belah pihak tidak merasa nyaman, tenteram dan mendapaatkan

I. PENDAHULUAN. terpenuhi, sehingga kadang-kadang terdapat suatu keluarga yang tidak

PENGATURAN MENGENAI PENGANGKATAN ANAK YANG DILAKUKAN OLEH SESEORANG YANG TIDAK KAWIN

BAB III PENGERTIAN UMUM TENTANG PENGADILAN AGAMA. peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota

BAB IV. ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DEMAK PERKARA No. 0033/Pdt.P/2010/PA.Dmk. TENTANG PENGANGKATAN ANAK

KEDUDUKAN ANAK YANG PINDAH AGAMA UNTUK MEWARIS DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM. Oleh : Dessy Gea Herrayani Made Suksma Prijandhini Devi Salain

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 82 A. Kesimpulan 82 B. Saran. 86 DAFTAR PUSTAKA 88

Dwi Astuti S Fakultas Hukum UNISRI ABSTRAK

Sejarah. Adopsi Dalam Hukum Islam. Surah Al-AhzabAyat4 dan5 08/03/2018

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, untuk

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR NIKAH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PPU-VIII/2010

BAB I. Tuhan telah menciptakan manusia yang terdiri dari dua jenis yang berbedabeda

HAK ANAK TIRI TERHADAP WARIS DAN HIBAH ORANG TUA DITINJAU DARI HUKUM WARIS ISLAM

melakukan pernikahan tetap dikatakan anak. 1

BAB I PENDAHULUAN. di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan. (Dra. Muhayah, SH) : Apakah pewarisan terhadap anak angkat berdasarkan penetapan

PENGANGKATAN ANAK SECARA LANGSUNG DALAM PERSPEKTIF PERLINDUNGAN ANAK

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang tidak ternilai

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor

AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP HARTA. BERSAMA di PENGADILAN AGAMA BALIKPAPAN SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. kekurangan gizi tetapi juga masalah perlakuan seksual terhadap anak (sexual abuse),

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

BAB IV 4. ANALISIS TERHADAP PENYIMPANGAN DALAM PROSES PENGANGKATAN ANAK MELALUI PEMBUATAN AKTA KELAHIRAN OLEH ORANG TUA ANGKAT

BAB I PENDAHULUAN Tentang Peradilan Agama Jo Undang-Undang nomor 3 tahun 2006 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Allah menjadikan makhluk-nya berpasang-pasangan, menjadikan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 19/PUU-VI/2008

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia. Manusia

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya salah satu kebutuhan manusia adalah perkawinan. Berdasarkan Pasal 28B ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang

BAB I PENDAHULUAN. pula harta warisan beralih kepada ahli waris/para ahli waris menjadi. Peristiwa pewarisan ini dapat terjadi ketika :

PENGANGKATAN ANAK BERDASARKAN PENETAPAN PENGADILAN SERTA PERLINDUNGANNYA MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2002 (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Pacitan)

BAB I PENDAHULUAN. mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap Pasal 2 ayat (2) dan

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGANGKATAN ANAK ANTAR WARGA NEGARA INDONESIA DAN AKIBAT HUKUMNYA DI KOTA SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. alamiah. Anak merupakan titipan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Perkataan

BAB I PENDAHULUAN. Qur anul Karim dan Sunnah Rosullulloh saw. Dalam kehidupan didunia ini, Firman Allah dalam Q.S. Adz-Dzaariyat : 49, yang artinya :

TINJAUAN YURIDIS KEDUDUKAN ANAK ANGKAT TERHADAP HARTA WARISAN ORANG TUA ANGKAT PERSPEKRIF HUKUM ADAT (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI KLATEN)

PENETAPAN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

TANGGUNG JAWAB PEMELIHARAAN ANAK ANGKAT SETELAH PUTUSNYA PERKAWINAN ORANG TUA ANGKAT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keinginan untuk mempunyai anak adalah naluri manusiawi dan

Lex Privatum, Vol.I/No.2/Apr-Jun/2013

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup manusia secara bersih dan terhormat.

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah perkawinan yang dimulai dengan adanya rasa saling cinta dan kasih sayang

PROSES PEMBUKTIAN SEORANG ANAK LUAR KAWIN TERHADAP AYAH BIOLOGISNYA MELALUI TES DNA

Lex Administratum, Vol. III/No.1/Jan-Mar/2015. KAJIAN YURIDIS HAK PERWALIAN ANAK DALAM PERCERAIAN DI INDONESIA 1 Oleh : Mutmainnah Domu 2

BAB I PENDAHULUAN. yang juga merupakan tahapan dalam proses hidup adalah adanya suatu. perkawinan yang bahagia. Dengan melakukan perkawinan manusia

TENTANG DUDUK PERKARANYA

BAB IV ANALISIS UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 1989 TERHADAP PENENTUAN PATOKAN ASAS PERSONALITAS KEISLAMAN DI PENGADILAN AGAMA SURABAYA

BAB I PENDAHULUAN. menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat

BAB I PENDAHULUAN. Perolehan dan peralihan hak atas tanah dapat terjadi antara lain melalui: jual

BAB IV AKIBAT HUKUM PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM HAK PEWARISAN ANAK YANG DILAHIRKAN DALAM PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia

CHOICE OF LAW DALAM HUKUM KEWARISAN. Oleh: Agus S. Primasta, SH* 1. Abstraksi. Secara umum Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN HAKIM PENGADILAN AGAMA. MALANG NOMOR 0038/Pdt.P/2014/PA.Mlg

1 Pasal 105 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam 2 Salinan Putusan nomor 0791/ Pdt.G/2014/PA.Kab.Mlg, h. 4.

SALINAN PENETAPAN Nomor: 06/Pdt.P/2011/PA.Pkc.

BAB I PENDAHULUAN. rasional dan matematis baik kondisi ekonomi, kelayakan pengetahuan

BAB II KEWENANGAN MENGADILI PENGADILAN AGAMA DALAM SENGKETA WARIS ISLAM. A. Jangkauan Kewenangan Mengadili Perkara Warisan.

BAB I PENDAHULUAN. tetapi kadang-kadang naluri ini terbentur pada Takdir Illahi, di mana kehendak

Roni Satriya Cahyadi Harjono. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa negara hukum (rechtsstaat)

BAB I PENDAHULUAN. Barat, sistem Hukum Adat dan sistem Hukum Islam. 1 Sebagai sistem hukum,

BAB I PENDAHULUAN. Hukum acara di peradilan agama diatur oleh UU. No. 7 Tahun yang diubah oleh UU. No. 3 tahun 2006, sebagai pelaku kekuasaan

BAB I PENDAHULUAN. Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk. peradilan agama telah menjadikan umat Islam Indonesia terlayani dalam

HAK UNTUK MEMPEROLEH NAFKAH DAN WARIS DARI AYAH BIOLOGIS BAGI ANAK YANG LAHIR DARI HUBUNGAN LUAR KAWIN DAN PERKAWINAN BAWAH TANGAN

Oleh RIAN PRIMA AKHDIAWAN

BAB III LEGISLASI ANAK LUAR NIKAH MENURUT FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) Anak merupakan harapan untuk menjadi sandaran di kala usia

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama

BAB 1 PENDAHULUAN. menyangkut urusan keluarga dan urusan masyarakat. 1. tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-tuhanan Yang Maha Esa.

BAB I PENDAHULUAN. kewenangan dimaksud adalah tersebut dalam Pasal 25 ayat (3) Undang -Undang

BAB IV. Setelah mempelajari putusan Pengadilan Agama Sidoarjo No. 2355/Pdt.G/2011/PA.Sda tentang izin poligami, penulis dapat

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUU-XIII/2015 Proses Seleksi Pengangkatan Hakim

BAB IV MENGAPA HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA NOMOR 0091/ Pdt.P/ 2013/ PA.Kdl. TIDAK MENJADIKAN PUTUSAN MAHKAMAH

P E N E T A P A N Nomor : 307/Pdt.P/2013/PA.SUB DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dinyatakan pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kamus bahasa arab, diistilahkan dalam Qadha yang berarti

BAB I PENDAHULUAN. sahnya perkawinan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di

KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PERKARA WARIS Rahmatullah, SH.,MH Dosen Fakultas Hukum UIT Makassar

BAB I PENDAHULUAN. Agama harus dikukuhkan oleh Peradilan Umum. Ketentuan ini membuat

BAB III ANALISIS PASAL 209 KHI TENTANG WASIAT WAJIBAH DALAM KAJIAN NORMATIF YURIDIS

Transkripsi:

KEWENANGAN PENGADILAN NEGERI DAN PENGADILAN AGAMA DALAM PENGANGKATAN ANAK YANG DILAKUKAN OLEH ORANG- ORANG YANG BERAGAMA ISLAM Kharisma Galu Gerhastuti*, Yunanto, Herni Widanarti Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro E-mail : kharismagalugerhastuti@gmail.com Abstrak Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dalam pasal 49 telah menjelaskan tentang kewenangan Pengadilan Agama untuk mengesahkan pengangkatan anak bagi orang yang beragama Islam, namun praktiknya Pengadilan Negeri masih mengesahkan permohonan pengangkatan anak orang yang beragama Islam yang seharusnya sudah menjadi kewenangan absolut dari Pengadilan Agama. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kewenangan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama dalam pengangkatan anak yang dilakukan oleh orangorang Islam dan mengetahui akibat hukumnya. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa pengangkatan anak bagi orang yang beragama Islam telah menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Masih adanya orang Islam yang mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri menunjukkan pengaturannya belum tersosialisasi secara baik. Pengangkatan anak baik melalui Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama tidak boleh memutus hubungan darah antara anak dan orang tua kandungnya. Perbedaan akibat hukum pengangkatan anak melalui Pengadilan Negeri anak dapat memperoleh hak waris sebatas harta gono-gini dari orang tua angkatnya, sementara melalui Pengadilan Agama anak hanya berhak atas wasiat wajibah yang besarnya paling banyak 1/3 bagian dari harta warisan orang tua angkat. Kata Kunci: Kewenangan, Pengadilan, Pengangkatan Anak Abstract Act Number 3 of 2006 in article 49 had been explaining about the competency of Reigious Court to authorise adoption filed by Moslem, but in fact District Court is still receiving the application of adoption filed by Moslem in which it should be the absolute competency of Religious Court. This research aims to determine the competency of District Court and Religious Court about adoption field by Moslem and its legal consequences that arise with the stipulation of adoption by the District Court ang Religious Court. This study uses normative juridical approach. Based on the research it can be seen that Religious Court has the power to be competent to adjudicate the application of adoption filed by Moslems. There are Moslem still apply application of adoption to District Court prove that the regulation is not socialized properly. Adoption either through the District Court or Religious Court should not break the filiation between child and bilogical parents. The difference of legal consequence that arise with the stipulation of adoption by the District Cour and Religious Court is child can obtain inheritance rights from foster parents with the stipulation of adoption by the District Court, meanwhile the child can not obtain inheritance rights from foster parents with the the stipulation of adoption by the Religious Court, but can get the wajibah testament at most 1/3 of the totality of inheritance of foster parents. Keywords: Competency, Courts, Adoption 1

I. PENDAHULUAN Salah satu tujuan dari suatu perkawinan adalah untuk mendapatkan keturunan yang akan menjadi generasi penerus di masa yang akan datang, akan tetapi tidak semua pasangan suami istri memiliki anak meskipun hal tersebut merupakan kebutuhan naluri manusia. Keadaan demikian mengakibatkan pasangan suami istri melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan anak. Salah satu upaya yang sering dilakukan yaitu dengan mengangkat anak atau yang lebih sering disebut dengan adopsi yang merupakan sebuah alternatif untuk mencapai kebahagiaan dalam rumah tangga bagi keluarga yang tidak memiliki anak, baik yang tidak memiliki anak laki-laki ataupun anak perempuan di dalam keluarganya. Tujuan dan/atau motivasi dari lembaga pengangkatan anak adalah bermacam-macam, tetapi inti dari motif pengangkatan anak atau adopsi di Indonesia yaitu: 1 a) Tidak mempunyai anak b) Belas kasihan kepada anak tersebut disebabkan orang tua si anak tidak mampu memberikan nafkah kepadanya atau karena anak tersebut tidak mempunyai orang tua c) Dengan maksud anak yang diangkat mendapatkan pendidikan yang layak d) Unsur kepercayaan e) Untuk menyambung keturunan dan mendapatkan regenerasi bagi yang tidak mempunyai anak kandung 1 Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, Jakarta, 1992), halaman 15. Pengangkatan anak bukanlah suatu yang baru di Indonesia karena hal tersebut sudah sering dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Pengangkatan anak menjadi bagian dari sistem hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat. Keberagaman hukum mengakibatkan adanya pandangan yang berbeda dalam membahas pengangkatan anak. Ada tiga sistem hukum yang harus diperhatikan terhadap keadaan lembaga pengangkatan anak yaitu yang bersumber dari ketentuanketentuan yang terdapat di dalam Staatsblad 1917 Nomor 129, Hukum Adat, dan Hukum Islam. Ketentuan pengangkatan anak dalam Staatsblad 1917 Nomor 129 diatur dalam Pasal 5 sampai Pasal 15 dan hanya berlaku bagi golongan masyarakat Tionghoa dan hanya bisa mengkangkat anak laki-laki saja. Ketentuan dalam Staatsblad tersebut tidak berlaku bagi masyarakat Indonesia asli. Masyarakat Indonesia asli menggunakan Hukum Adat yang termasuk di dalamnya adalah ketentuan Hukum Islam. Hukum adat terdapat keanekaragaman hukumnya yang berbeda, antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya. Hal tersebut menyebabkan adanya perbedaan tentang masalah status anak angkat pada setiap daerah. Hukum Islam tidak memperbolehkan pengangkatan seorang anak untuk dijadikan anak kandung, ini berarti bahwa kedudukan anak angkat berbeda dengan anak kandung. Pengangkatan anak memberikan status hukum dan tanggung jawab bagi orang tua angkat dan anak angkat, oleh karena itu peralihan tanggung jawab dari orang tua 2

kandung ke orang tua angkat memerlukan kepastian hukum. Hal penting yang harus digarisbawahi bahwa pengangkatan anak harus dilakukan dengan proses hukum dengan produk penetapan pengadilan agar peristiwa pengangkatan anak memiliki kepastian hukum baik bagi anak angkat maupun bagi orang tua angkat. Praktik pengangkatan anak yang dilakukan melalui pengadilan tersebut, telah berkembang baik di lingkungan Pengadilan Negeri maupun dalam lingkungan Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam. 2 Pasal 50 UU No 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum menyatakan bahwa Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama. Pengertian tersebut menjelaskan bahwa pada dasarnya, semua perkara pidana dan perdata menjadi kewenangan Peradilan Umum. Semula pengadilan yang berwenang memberikan penetapan pengangkatan anak hanyalah Pengadilan Negeri. Kemudian Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2006 dalam pasal 49 telah memberikan kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk memberikan penetapan pengangkatan anak berdasarkan Hukum Islam. Diundangkannya UU Nomor 3 Tahun 2006 tersebut berarti kewenangan mengadili permohonan pengangkatan anak bagi pemohon beragama Islam beralih dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Agama. Kenyataannya dalam praktik masih ada orang Islam mengajukan permohonan pengangkatan anak di Pengadilan Negeri, yang memang notabenenya sudah menjadi kewenangan absolut dari Peradilan Agama setelah berlakunya Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2006. Hal ini perlu ditinjau lebih lanjut karena menimbulkan permasalahan tentang kewenangan Pengadilan Negeri terhadap permohonan pengangkatan anak yang diajukan oleh pemohon beragama Islam. Kewenangan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama untuk memberikan penetapan pengangkatan anak bagi orang yang beragama Islam mungkin dapat menimbulkan opsi bagi pemohon dalam mengajukan permohonan pengangkatan anak atau mungkin akan timbul sengketa kewenangan. 3 Oleh karena itu perlu kejelasan berkaitan dengan kewenangan, substansi hukum yang merupakan dasar kewenangan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama, serta segala akibat hukumnya tersebut. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu: 1. Bagaimana kewenangan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama dalam hal pengangkatan anak? 2. Bagaimana akibat hukum yang timbul dari pengangkatan anak 2 Ahmad Kamil dan H.M. Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), halaman xii 3 Musthofa Sy., Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), halaman 4 3

dengan penetapan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama? II. METODE A. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Sumber data diperoleh dengan teknik melakukan wawancara, studi dokumenter, dan studi pustaka untuk memperoleh sumber data primer yang berasal dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penulisan yang dilakukan, sumber data sekunder buku-buku dan literatur-literatur, dan sumber data tersier kamus hukum dan internet. B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptis analitis, yaitu menggambarkan keadaan dari obyek yang diteliti dan sejumlah faktor- faktor yang mempengaruhi, serta data yang diperoleh dikumpulkan, disusun, dijelaskan kemudian dianalisis 4 berkaitan dengan kewenangan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama dalam pengangkatan anak bagi orang-orang yang beragama Islam serta akibat hukumnya agar yang pada akhirnya dapat memberikan jawaban atas permasalahan-permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. C. Metode Analisis Data Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, yaitu yang dilakukan dengan cara memadukan antara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan serta menafsirkan dan mendiskusikan data-data yang telah 4 Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1982), halaman 230. diperoleh dan diolah sebagai suatu yang utuh. Penelitian kepustakaan yang dilakukan adalah mengumpulkan peraturan-peraturan, ketentuan-ketentuan, yurisprudensi dan buku referensi, serta data yang diperoleh, kemudian dianalisis secara kualitatif yang akan memberikan gambaran menyeluruh tentang aspek hukum yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti. Penelitian lapangan dilakukan dengan cara wawancara dengan pihak yang terkait dengan data yang diperoleh sehingga mendapat gambaran lengkap mengenai obyek permasalahan. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kewenangan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama dalam Pengangkatan Anak Pasal 49 Undang-Undang No 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama mengatakan Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orangorang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, ekonomi syariah. Perkara permohonan pengangkatan anak oleh orang-orang Islam berdasarkan Hukum Islam telah diatur dalam UU No 3 Tahun 2006, sehingga seharusnya menjadi wewenang absolut Peradilan Agama. 5 Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama memiliki kewenangan untuk mengesahkan 5 Musthofa sy, Op.Cit., halaman 59. 4

pengangkatan anak. Pengadilan Agama hanya berwenang mengurusi adopsi anak di kalangan orang yang beragama Islam, sementara adopsi bagi orang yang bukan beragama Islam termasuk adopsi antar negara menjadi kewenangan Pengadilan Negeri. Penulis melihat dalam praktik masih ada orang yang beragama Islam yang ingin mengangkat anak masih mengajukan permohonan di Pengadilan Negeri. Hal ini menimbulkan dualitas peradilan yang mengadili perkara permohonan pengangkatan anak yaitu antara Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri. Dualitas peradilan dalam permohonan anak tersebut seharusnya tidak terjadi. 1. Pengangkatan Anak Melalui Pengadilan Negeri Pengadilan Negeri bertugas dan berwewenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama. Pengadilan Negeri pada dasarnya menerima segala perkara pidana dan perdata termasuk permohonan pengangkatan anak. Kewenangan Pengadilan Negeri tentang pengangkatan anak setelah berlakunya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama nampaknya tidak berubah dari segi kewenangan absolutnya. Sampai saat ini Pengadilan Negeri manapun termasuk Pengadilan Negeri masih mengesahkan pengangkatan anak bagi mereka yang beragama Islam meskipun dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 disebutkan pengangkatan anak merupakan kewenangan dari Peradilan Agama pada penjelasan pasal 49 huruf a angka 20. Berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyebutkan bahwa Pengadilan Agama berwenang mengadili pengangkatan anak, maka diberlakukan Asas Lex spesialis derogate legi generalis berbunyi ketentuan yang lebih khusus mengesampingkan ketentuan yang bersifat umum, di mana Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 merupakan ketentuan yang lebih khusus mengenai penetapan pengangkatan anak antar orang yang beragama Islam. Berdasarkan asas tersebut pengangkatan anak yang beragama Islam seharusnya menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama, sedangkan Pengadilan Negeri hanya menerima permohonan pengangkatan anak bagi pemohon yang beragama selain Islam dan pengangkatan anak antar negara. Kewenangan Pengadilan Agama dalam pengangkatan anak antar orang yang beragama Islam seolaholah menimbulkan sengketa kewenangan antara Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama, akan tetapi jika ditelaah lebih dalam, dengan adanya kewenangan Pengadilan Agama yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 merupakan bentuk telah terpenuhinya tuntutan umat Islam memiliki saluran hukum untuk mengajukan permohonan pengangkatan anak berdasarkan Hukum Islam, sementara Pengadilan Negeri lebih memfasilitasi pengangkatan anak bagi orang-orang yang beragama selain Islam. Pengadilan Negeri mempunyai prinsip-prinsip yang harus 5

ditegakkan dalam mengesahkan pengangkatan anak. Beberapa prinsip tersebut adalah: 6 1) Pengangkatan anak bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan anak. 2) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat dengan orang tua kandungnya. 3) Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan hukum atau kekeluargaan dengan orangtua kandungnya atau keduanya tidak memutus nasab antara anak angkat dengan orang tua kandungnya, keduanya mempunyai motivasi yang sama. 4) Anak angkat bisa memperoleh hak waris sama dengan hak waris anak kandung, status anak angkat seperti anak kandung sehingga mendapatkan warisan dari orang tua angkatnya. 5) Motivasi pengangkatan anak semata-mata untuk kebaikan bersama dan saling tolong menolong. Prinsip tersebut menimbulkan adanya titik perbedaan antara pengangkatan anak melalui Pengadilan Negeri dengan pengangkatan anak melalui Pengadilan Agama. Tentu bukanlah menjadi persoalan apabila orang yang beragama non Islam mengajukan permohonan pengangkatan anak di Pengadilan Negeri, namun hal yang menarik adalah ketika orang yang beragama Islam mengajukan permohonan 6 Eko Supriyanto, Wawancara, Hakim Pengadilan Negeri Mungkid, (Mungkid: 26 Januari 2017). pengangkatan anak di Pengadilan Negeri padahal Pengadilan Agama telah berwenang mengesahkan pengangkatan anak bagi orang Islam. Menurut pendapat hakim Pengadilan Negeri Mungkid, permohonan pengangkatan anak yang diajukan oleh pemohon yang beragama Islam dengan maksud untuk memperlakukan anak angkat tersebut sebagai anak kandung yang dapat mewaris sebatas harta gono-gini dari orang tua angkatnya, maka permohonan dapat diajukan di Pengadilan Negeri, sedangkan Pengadilan Agama menerima permohonan pengangkatan anak di mana hanya sebatas untuk pemeliharaan anak saja tanpa menjadikan anak angkat tersebut sebagai anak kandung. 7 Hal ini tentu menimbulkan kebingungan manakala Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 menyebutkan bahwa pengangkatan anak bagi orang Islam menjadi kewenangan Pengadilan Agama yang berarti bahwa seharusnya orang Islam mengajukan permohonan pengangkatan anak ke Pengadilan Agama yang tidak lepas dari ketentuan Hukum Islam. Masih banyaknya masyarakat yang mengajukan permohonan pengangkatan anak yang dilakukan oleh orang yang beragama Islam ke Pengadilan Negeri menunjukkan konsep dari peraturannya sendiri belum tersosialisasi secara menyeluruh karena setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 kewenangan dalam hal pengangkatan anak bagi 7 Eko Supriyanto, Wawancara, Hakim Pengadilan Negeri Mungkid, (Mungkid: 26 Januari 2017). 6

orang yang beragama Islam menjadi kewenangan Pengadilan Agama. 2. Pengangkatan Anak Melalui Pengadilan Agama. Lembaga pengesahan pengangkatan anak ditinjau dari sudut litigasi termasuk dalam wilayah yurisdiksi volunteer. 8 Pada wilayah hukum ini pengadilan sama sekali dilarang menerimanya sebagai perkara jika tidak ada ketentuan peraturan peruindangan-undangan yang secara tegas membolehkannya. Belum ada aturan yang tegas membolehkan Pengadilan Agama untuk menangani pengangkatan anak sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006. Penjelasan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang secara tegas menyebut kewenangan Pengadilan Agama di bidang perkawinan tidak ditemukan satu item pun yang menyebut lembaga pengangkatan anak tersebut, akan tetapi dalam Kompilasi Hukum Islam istilah anak angkat secara tegas disebut. Puncaknya adalah dengan diundangkannya UU Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Bersama dengan sejumlah tambahan kewenangan lain yang dibebankan Pengadilan Agama, lembaga pengesahan pengangakatan anak itu, secara tegas disebut pula dalam undang-undang tersebut. Pada penjelasan Ketentuan Pasal 49 huruf a poin 20 yang sebelumnya hanya berbunyi: Penetapan asal-usul seorang anak sekarang berbunyi: penetapan asal-usuk anak dan 8 Masrukhin, Wawancara, Hakim Pengadilan Agama Mungkid, (Mungkid: 11 Januari 2017). penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam. Pengadilan Agama telah berwenang mengesahkan pengangkatan anak antar orang yang beragama Islam yang telah disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Hukum keluarga dalam arti luas meliputi hukum perkawinan dan hukum kewarisan. Hukum perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah menentukan Pengadilan Agama sebagai pengadilan yang berwenang dalam mengadili perkaraperkara di bidang perkawinan bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Umum bagi lainnya. Pengangkatan anak termasuk bagian dari hukum perkawinan, sehingga sepanjang pengangkatan anak dilakukan oleh mereka yang beragama Islam dan berdasarkan norma Islam, maka pengangkatan anak itu menjadi kewenangan Pengadilan Agama. 9 Kekuasaan absolut Pengadilan Agama adalah kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara. Kewenangan absolut Pengadilan Agama sebelumnya tertuang dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1989 pasal 49 ayat (1) yang mengatakan bahwa Pengadilan Agama mempunyai wewenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: 1) Perkawinan. 9 Musthofa sy, Op. Cit., halaman 59. 7

2) Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. 3) Wakaf dan shadaqah. Kewenangan absolut Pengadilan Agama setelah di amandemen sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 49 UU No. 3 tahun 2006 adalah sebagai berikut: Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orangorang Islam di bidang: perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah. Kewenangan Pengadilan Agama dalam UU No. 7 tahun 1989 di amandemen UU No. 3 tahun 2006 pengadilan baru mempunyai kewenangan dalam menerima permohonan pengangkatan anak. Melihat bidang-bidang tertentu dari hukum perdata ini, maka dapat dikatakan bahwa kompetensi absolut Pengadilan Agama adalah bidang hukum keluarga dari orang-orang yang beragama Islam. Masih adanya perkara khususnya mengenai pengangkatan anak antar orang yang beragama Islam yang diajukan ke Pengadilan Negeri yang penerapan hukum materiilnya berdasarkan Hukum Perdata Barat menimbulkan dualisme hukum untuk subyek yang sama pada peradilan yang berbeda kurang menjamin kepastian hukum. Pengadilan Agama adalah pengadilan yang diberi wewenang untuk menyelesaikan masalah hukum perdata bagi yang beragama Islam. Pengangkatan anak masih merupakan bagian hukum perkawinan Islam secara materiil diatur dalam pasal 171 huruf h jo pasal 209 KHI. Pengangkatan anak dalam hukum Islam memiliki akibat hukum yang berbeda dengan adopsi menurut Hukum Adat yang tergantung pada daerah masingmasing. Pengangkatan anak bagi orang yang beragama Islam yang mengajukan permohonan pengangkatan anak di Pengadilan Negeri mempunyai konsekuensi anak angkat dapat mewaris, hal ini kurang tepat karena sebagai orang yang beragama Islam sudah seharusnya menjalankan sesuatu berdasarkan ketentuan Hukum Islam termasuk dalam hal pengangkatan anak. Pemerintah seharusnya lebih tanggap dalam masalah pengangkatan anak agar tidak ada kerancuan bagi mereka orang Islam yang akan mengajukan permohonan pengangkatan anak karena pada saat ini masih ada dualisme peradilan dalam masalah permohonan pengangkatan anak, yaitu Pengadilan Agama diberikan kewenangan mengenai pengangkatan anak setelah berlakunya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dalam penjelasan Pasal 49 huruf a angka 20 yang menerangkan bahwa penetapan asalusul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam, karena memang sudah seharusnya orang Islam tunduk dengan ajaran-ajaran dan aturanaturan syari at Islam. Pengadilan Agama mempunyai prinsip-prinsip yang harus ditegakkan sehubungan dengan kewenangannya dalam mengadili pengangkatan anak seperti halnya pada Pengadilan Negeri. Pengadilan Agama tidak lepas dari norma Islam, maka prinsip-prinsip tersebut pastinya bersumber pada ketentuan 8

Islam yang berkaitan dengan pengangkatan anak yaitu: 10 1) Pengangkatan anak tidak boleh menjadikan anak angkat sebagai anak kandung di mana anak tersebut memiliki hak yang sama dengan anak kandung. 2) Pengangkatan anak bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan anak. 3) Pengangkatan anak menurut Hukum Islam hanya peralihan tanggung jawab dari orang tua kandung kepada orang tua angkat dalam hal pemeliharaan untuk biaya hidupnya seharihari, biaya pendidikan, dan sebagainnya. 4) Pengangkatan dilakukan atas dasar tolong menolong, khususnya anak-anak terlantar, miskin dan yatim. Islam menganjurkan muntuk memberikan perhatian kepada anak-anak terlantar, miskin dan yatim. Didalam ajaran Islam, anak-anak terlantar, miskin dan yatim mereka semua mendapat perhatian khusus melebihi anakanak yang wajar yang masih memiliki kedua orang tua. Islam memerintahkan kaum muslimin untuk senantiasa memperhatikan nasib mereka, berbuat baik kepada mereka, mengurus dan mengasuh mereka sampai dewasa. Islam juga memberi nilai yang sangat istimewa bagi orang-orang yang benar-benar menjalankan perintah ini. 10 Masrukhin, Wawancara, Hakim Pengadilan Agama Mungkid, (Mungkid: 11 Januari 2017). 5) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat. 6) Pengangkatan anak tidak boleh memutus nasab dengan orang tua kandungnya atau memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya. 7) Anak angkat dengan orang tua angkat tidak saling mewarisi, mereka hanya mempunyai hubungan keperdataan wasiat wajibah dari warisan orang tua angkatnya, karena kedudukan anak angkat tidak boleh sebagai anak kandung, anak angkat yang tidak jelas orang tuanya dianggap seperti saudara sendiri. 8) Bahwa antara anak angkat dengan orang tua angkatnya bukanlah muhrim sehingga tetap harus menjaga aurat. Prinsip-prinsip pengangkatan anak di Pengadilan Agama seperti yang telah dikatakan sebelumnya memiliki beberapa perbedaan dengan prinsip-prinsip pengangkatan anak di Pengadilan Negeri yang telah dipaparkan sebelumnya. Kedudukan anak angkat tidak boleh menjadi anak kandung sehingga tidak memperoleh warisan dari orang tua tetapi memperoleh wasiat wajibah dari harta warisan orang tua angkatnya. Pengangkatan anak yang diajukan oleh pemohon yang beragama Islam dengan maksud pemeliharaan anak, maka permohonan dapat dilakukan di Pengadilan Agama, karena pengangkatan anak yang dilakukan melalui Pengadilan Agama menggunakan ketentuan Hukum Islam dimana anak angkat tidak boleh diangkat menjadi anak 9

kandung, namun hanya diperbolehkan untuk pemeliharaan saja. 11 Ukuran pengangkatan anak dalam ketentuan Islam adalah perlakuan segi anak dalam segi kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan segala kebutuhannya, bukan diperlakukan sebagai anak kandungnya sendiri. B. Akibat Hukum Pengangkatan Anak dengan Penetapan dari Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama Pengaturan mengenai pengangkatan anak dalam peraturan perundang-undangan menentukan bahwa pengangkatan anak harus disahkan dengan penetapan pengadilan untuk mendapatkan kepastian hukum, keadilan hukum, legalitas hukum, dan juga dokumen hukum bagi anak angkat dan orang tua angkat. Dokumen ini penting adanya karena menjelaskan secara jelas bahwa telah terjadi pengangkatan anak secara legal dan hal ini sangat penting dalam hukum keluarga, karena akibat hukum dari pengangakatan anak tersebut akan berdampak jauh kedepan sampai beberapa generasi keturunan yang menyangkut aspek hukum kewarisan, tanggungjawab hukum, dan hal yang lainnya. Kepastian hukum diperoleh setelah adanya penetapan dari pengadilan baik Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama. Penetapan pengangkatan anak di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama memiliki akibat hukum yang berbeda 11 Eko Supriyanto, Wawancara, Hakim Pengadilan Negeri Mungkid, (Mungkid: 26 Januari 2017). dalam aspek tertentu sehingga perlu diperhatikan lagi dalam mengajukan permohonan pengangkatan anak khususnya bagi pemohon yang beragama Islam. Perbedaan akibat hukum tersebut karena adanya perbedaan prinsip hukum pengangkatan anak yang disahkan di Pengadilan Negeri dengan pengangkatan anak yang disahkan di Pengadilan Agama, oleh karena itu harus ada pengetahuan yang jelas dari orang tua angkat dan orang tua kandung anak mengenai perbedaan prinsip hukum ini. Tujuan pengangkatan anak yang paling utama dalam peraturan perundang-undangan adalah untuk kepentingan terbaik bagi anak, namun apabila tujuan itu lebih spesifik lagi yaitu untuk memperlakukan anak angkat sebagai anak kandung yang dapat mewaris maka pengajuan permohonannya di Pengadilan Negeri, namun apabila tujuan pengangkatan anak adalah untuk pemeliharaan anak, maka pengajuan permohonannya di Pengadilan Agama. 12 Pengangkatan anak yang dilakukan oleh orangorang yang beragama Islam di mana penulis lebih condong bahwa pengangkatan anak bagi orang Islam menjadi kewenangan Pengadilan Agama, sementara untuk orangorang yang beragama non Islam menjadi kewenangan Pengadilan Negeri. Keluarnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tepatnya pada penjelasan Pasal 49 huruf a angka 20 mengenai kewenangan Pengadilan 12 Eko Supriyanto, Wawancara, Hakim Pengadilan Negeri Mungkid, (Mungkid: 26 Januari 2017) dan Masrukhin, Wawancara, Hakim Pengadilan Agama Mungkid, (Mungkid: 11 Januari 2017). 10

Agama atas penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam menjadi alasan penulis berpendapat demikian. Sebagai umat muslim sebaiknya melakukan segala hal berdasarkan ketentuan Islam termasuk dalam hal pengangkatan anak ini. Akibat hukum pengangkatan anak melalui penetapan pengadilan memang tidak disebutkan dengan jelas. Pengadilan Agama berwenang mengesahkan pengangkatan anak antar orang yang beragama Islam. Pengangkatan anak melalui penetapan Pengadilan Agama mendasarkan ketentuannya pada norma Islam di mana Islam tidak memperbolehkan mengangkat anak dijadikan anak kandung. Status anak tetap menjadi anak dari orang tua kandungnya dan nasab tidak akan dapat diubah oleh apapun dan siapapun. Nasab adalah suatu tali yang menghubungkan keluarga dan hubungan darah lainnya. Pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam adalah beralihnya tanggung jawab pemeliharaan anak dari orangtua asal kepada orangtua angkat dalam pemerian nafkah, pendidikan, dan pelayanan segala kebutuhan, dengan demikian pengangkatan anak secara Hukum Islam tidak menyebabkan putusnya hubungan hukum dan atau hubungan nasab antara anak angkat dengan orang tua asal dan bukan pula untuk meneruskan garis keturunan sehingga bila anak angkat itu perempuan maka yang menjadi wali nikahnya adalah ayah kandungnya. Anak angkat tidak mendapatkan hak waris dari orang tua angkatnya karena tidak mempunya hubungan darah atau perkawinan, namun anak angkat mendapatkan wasiat wajibah paling banyak 1/3 dari harta warisan anak angkatnya. Pengangkatan anak yang disahkan di Pengadilan Negeri juga tidak boleh memutus hubungan hukum atau hubungan nasab anak angkat dengan orang tua kandungnya. Status anak angkat seperti anak kandung sehingga mendapatkan warisan dari orang tua angkatnya. Ini berarti pengangkatan anak yang dilakukan oleh orang yang beragama Islam yang diajukan ke Pengadilan Negeri dapat menimbulkan hak waris bagi anak angkat dan orang tua angkatnya karena orang tua angkat dapat menjadikan anak tersebut seperti anak kandungnya sendiri. Pengetahuan dan kesadaran hukum tentang perbedaan akibat hukum pengangkatan anak seharusnya sudah diketahui pada saat akan mengajukan perkara permohonan, sehingga mereka dapat dengan tepat memilih pengadilan mana yang akan memberikan penetapan. Pengangkatan anak yang telah disahkan oleh Pengadilan Negeri akan mendapatkan salinan keputusan Pengadilan Negeri untuk dibawa ke kantor Catatan Sipil untuk menambahkan keterangan dalam Akta kelahirannya. Akta tersebut menyatakan bahwa anak tersebut telah diadopsi dan didalam tambahan itu disebutkan pula nama pemohon sebagai orang tua angkatnya. Pengangkatan anak yang telah disahkan oleh Pengadilan Agama tidak semuanya pemohon memperoleh salinan untuk dibawa kekantor Catatan Sipil dalam menambahkan keterangan dalam akta kehadirannya, tetapi hanya 11

terhadap anak yang berlatar belakang yatim piatu/dari Panti Asuhan saja. IV. KESIMPULAN 1. Pengesahan pengangkatan anak bagi orang yang beragama Islam menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama setelah diundangkannya Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Masih adanya pemohon beragama Islam yang mengajukan permohonan pengangkatan anak di Pengadilan Negeri menunjukkan bahwa konsep dari peraturannya sendiri belum tersosialisasi secara menyeluruh. 2. Pengangkatan anak baik melalui Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama tidak boleh memutus hubungan darah antara anak dan orang tua kandungnya. Perbedaan akibat hukum pengangkatan anak melalui Pengadilan Negeri anak dapat memperoleh hak waris sebatas harta gono-gini dari orang tua angkatnya, sementara melalui Pengadilan Agama anak hanya berhak atas wasiat wajibah yang besarnya paling banyak 1/3 bagian dari harta warisan orang tua angkat. V. DAFTAR PUSTAKA Buku Literatur Soemitro, Ronny Hanitijo, Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982. Kamil, Ahmad dan H. M. Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2008. Sy, Musthofa, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008. Zaini, Muderis, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1992. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Undang-Undang RI No 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 7 Tahun 1898 tentang Peradilam Agama. Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Peraturan Pemerintah RI No. 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Surat Edaran Makamah Agung Nomor 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan atas Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1979 mengenai Pengangkatan Anak jo Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1989 tentang Pengangkatan Anak jo Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Anak. Staatsblad No 129 Tahun 1917. Kompilasi Hukum Islam. 12