BAHAN DAN METODE Histodifferensiasi Embrio Somatik Bahan Tanaman Kalus embriogenik yang mengandung embrio somatik fase globular hasil induksi/proliferasi dipisahkan per gumpal (clump) dan diletakkan diatas kertas saring. Gumpalan kalus embriogenik berdiameter sekitar 8 mm kemudian ditanam pada botol kultur yang mengandung media perlakuan histodifferensiasi. Media Tanam Media tanam yang digunakan pada tahap histodifferensiasi terdiri atas: hara makro dan mikro media MS (Murashige & Skoog 1962), vitamin B5 (Gamborg et al. 1968), 3% sukrosa, ph 7, 0,2% gelrite, dan zat pengatur tumbuh sesuai perlakuan. Rancangan Percobaan Penelitian ini merupakan percobaan faktorial yang disusun secara acak. Percobaan terdiri atas tiga faktor. Faktor pertama yaitu genotipe kedelai: Ceneng (G1), Godek (G2), CG 30-10 (G3) dan CG 76-10 (G4). Faktor kedua adalah media asal, yaitu media induksi kalus yang terbaik. Dalam hal ini terpilih 9 media dari IK-5 sampai IK-13. Faktor ketiga adalah perlakuan zat pengatur tumbuh dengan 4 taraf dengan komposisi sebagai berikut: 1) MH1: 2,69 µm NAA + 13,32 µm BA 2) MH2: 2,69 µm NAA + 13,94 µm Kinetin 3) MH3: 2,69 µm NAA + 6,81 µm Thidiazuron 4) MH4: 2,69 µm NAA + 13,70 µm Zeatin Untuk setiap genotipe yang menunjukkan tingkat induksi kalus terbaik masing-masing ditanam pada 5 botol kultur (sebagai ulangan). Setiap botol berisi 2 gumpal kalus. Kultur dipelihara di ruang kultur dengan suhu 28 o C, tingkat penyinaran 1500 lux dan fotoperiode 24 jam. Pengamatan Pengamatan dilakukan pada 5 minggu setelah tanam (MST) terhadap peubah-peubah sebagai berikut: 1) Jumlah dan prosentase embrio fase kotiledon 2) Warna embrio
3) Jumlah dan prosentase embrio normal 4) Jumlah dan prosentase embrio tidak normal 5) Bobot embrio Data dianalisa dengan analisis sidik ragam (ANOVA). Untuk menentukan perbedaan antar perlakuan digunakan uji jarak berganda Duncan. Perkecambahan Embrio Somatik Bahan Tanaman dan Media Embrio fase kotiledon dipisah satu per satu kemudian ditanam pada media maturasi. Komposisi media maturasi adalah sama dengan komposisi yang digunakan pada proses histodifferensiasi. Waktu yang digunakan untuk proses maturasi adalah satu bulan. Setelah itu embrio dipindah ke media perkecambahan, yaitu media MS0 (Murashige & Skoog, 1962). Rancangan Percobaan Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 3 ulangan (cawan petri) dan masing-masing ulangan berisi 5 satuan evaluasi. Percobaannya berfaktor tunggal yaitu genotipe kedelai dengan empat taraf kualitatif: Ceneng (G1), Godek (G2), CG 30-10 (G3) dan CG 76-10 (G4). Pengamatan Evaluasi germinasi dilakukan setiap interval 5 hari sampai 25 HST, yaitu ditandai dengan munculnya struktur berbulu pada ujung apikal atau dan akar. Pengamatan dilakukan terhadap tolok ukur berikut: a. Daya berkecambah (DB): Jumlah kecambah normal yang dihasilkan DB = x 100% Jumlah total embrio yang dikecambahkan b. Persen kecambah abnormal (PKA): Jumlah total kecambah abnormal Jumlah total embrio yang dikecambahkan x 100%
c. Laju perkecambahan (LP): Rata-rata hari = N 1 T 1 +N 2 T 2 N x T x Jumlah total embrio yang berkecambah N = Jumlah embrio yang berkecambah pada satuan waktu tertentu T = Waktu yang dibutuhkan untuk interval suatu pengamatan tertentu d. Indeks vigor (IV): IV = G1 + G2 + G3 +.Gn D1 D2 D3 Dn G = Jumlah embrio yang berkecambah pada hari tertentu D = Hari yang bersesuaian dengan jumlah kecambah tersebut e. Potensi tumbuh maksimum (PTM): = Persentase total embrio yang berkecambah (normal dan abnormal) sampai hari terakhir pengamatan HASIL DAN PEMBAHASAN Embrio Fase Kotiledon Embrio somatik yang telah terinduksi, maka perkembangan embrio selanjutnya dibantu dengan mentransfer embrio ke media yang mengandung auksin atau kombinasi auksin dan sitokinin yang rendah. Beberapa tahap histodifferensiasi embrio terjadi karena perubahan jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh. Sebagai contoh, penggunaan 2,4-D pada konsentrari 90-180 µm secara terus-menerus menyebabkan embrio tertahan pada fase globular. Ketika embrio dipindah ke konsentrasi 2,4-D yang lebih rendah (22 µm) atau auksin yang lebih lemah seperti NAA atau dicamba pada konsentrasi sekitar 50 µm maka terjadi perkembangan embrio menjadi fase kotiledon (Ranch 1992). Zimmerman (1993) menyatakan bahwa auksin sintetis seperti 2,4-D yang efektif untuk mendapatkan dan memproliferasi kultur embriogenik ternyata sulit untuk terlibat dalam metabolisme sel. Dengan mengeliminasi atau mengurangi 2,4-D pada media histodifferensiasi, maka akan meniadakan faktor yang menahan ekspresi gen yang dibutuhkan dalam transisi fase globular menjadi fase hati. Selain auksin, sitokinin juga dibutuhkan untuk induksi embriogenesis pada beberapa tanaman dikotil. Dalam beberapa kasus, justeru hanya sitokinin yang digunakan untuk menstimulasi perkembangan kultur embriogenik. Sitokinin
yang paling umum digunakan adalah benzyladenine (BA), selain juga thidiazuron (TDZ), kinetin dan sitokinin alami, yaitu zeatin (Raemakers et al. 1995; Gray 2005). Tabel 5 Interaksi antara media asal dengan genotipe terhadap rataan jumlah embrio fase kotiledon Kode Media Asal NAA ZPT(µM) 2,4-D Genotipe Ceneng Godek CG30-10 CG76-10 IK-5 26,85 0,00 0,353 b 0,000 c 0,100 bc 0,182 bc IK-6 26,85 22,62 0,188 bc 0,188 bc 0,154 bc 0,000 c IK-7 26,85 42,25 0,125 bc 0,000 c 0,000 c 0,111 bc IK-8 26,85 67,87 0,214 bc 0,000 c 0,000 c 0,000 c IK-9 53,71 0,00 0,222 bc 0,133 bc 0,000 c 0,100 bc IK-10 53,71 22,62 0,000 c 0,000 c 0,167 bc 0,200 bc IK-11 53,71 42,25 0,000 c 0,000 c 0,000 c 0,000 c IK-12 53,71 67,87 1,000 a 0,000 c 0,000 c 0,000 c IK-13 80,56 0,00 0,000 c 0,083 c 0,000 c 0,000 c Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf α = 0,05. Data ditransformasi dengan x+0,5 Rataan Jumlah Embrio 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0.245a 0.15b 0.078bc 0.038c 0 MH-1 MH-2 MH-3 MH-4 Media Histodifferensiasi Gambar 12 Pengaruh media histodifferensiasi terhadap rataan jumlah embrio fase kotiledon Pada penelitian ini digunakan kombinasi empat macam sitokinin (BA, kinetin, TDZ dan zeatin) dengan NAA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat interaksi sangat nyata dua faktor, yaitu antara genotipe dan media asal (media induksi kalus/ik), terhadap pembentukan total embrio fase kotiledon (Tabel 4 Lampiran 4). Tampak bahwa komposisi zat pengatur tumbuh yang
digunakan untuk menginduksi kalus embriogenik sangat berpengaruh terhadap perkembangan embrio selanjutnya. Berdasarkan data pada Tabel 5, jumlah embrio fase kotiledon tertinggi diperoleh sebagai hasil interaksi antara genotipe Ceneng dan IK-12 (NAA 53,71 µm + 2,4-D 67,87 µm), dimana pada setiap clump kalus yang ditanam terdapat 1,00 embrio fase kotiledon. a b c Gambar 13 Embrio fase kotiledon yang tumbuh normal (ditunjukkan mata panah). a. Genotipe Ceneng asal media IK-12 pada media MH1 (2,69 µm NAA + 13,32 µm BA), b. Genotipe Godek asal media IK-6 pada media MH2 (2,69 µm NAA + 13,94 µm Kinetin), c. Genotipe CG30-10 asal media IK-10 pada media MH1 (2,69 µm NAA + 13,32 µm BA), d. Genotipe CG76-10 asal media IK-10 pada media MH1 (2,69 µm NAA + 13,32 µm BA) d Walaupun faktor tunggal media histodifferensiasi (MH) menunjukkan pengaruh nyata tetapi tidak terjadi interaksi dengan faktor lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa terbentuknya embrio fase kotiledon secara bebas dipengaruhi oleh media histodifferensiasi. Rataan jumlah embrio fase kotiledon tertinggi diperoleh dari hasil kombinasi 2,69 µm NAA + 13,32 µm BA (MH1), yang menghasilkan rataan sebesar 0,245 embrio per eksplan. Kemudian disusul oleh MH2 (2,69 µm NAA + 13,94 µm kinetin) yang menghasilkan 0,15 embrio, MH3 (2,69 µm NAA + 6,81 µm Thidiazuron) dengan 0,078 embrio dan MH4 (42,69 µm NAA + 13,70 µm Zeatin) dengan 0,038 embrio fase kotiledon
(Gambar 12). Hasil penelitian Barwale et al. (1986) menunjukkan bahwa kultur kalus yang organogenik diperoleh dari embrio muda yang ditanam pada media yang mengandung 13.3 µm BAP dan 0,2 µm NAA. Demikian juga Radhakrishnan dan Ranjithakumari (2007) melaporkan bahwa BAP (4.4 22.2 µm) yang dikombinasikan dengan beberapa konsentrasi auksin memberikan hasil lebih baik pada embriogenesis kedelai dibanding kinetin. Peubah embrio normal nyata dipengaruhi oleh interaksi genotipe dan media induksi. Dengan demikian kedua faktor ini saling mempengaruhi dalam menginduksi perkembangan embrio somatik yang tumbuh normal. Kriteria embrio normal didasarkan pada morfologi sebagaimana yang dinyatakan oleh Hiraga et al. (2007) yaitu: berkotiledon satu (monokotiledon), berkotiledon dua (dikotiledon), berkotiledon lebih dari 2 (polikotiledon) dan embrio bercabang. Penampilan embrio fase kotiledon yang berkembang secara normal diperlihatkan pada Gambar 13. Nilai tertinggi untuk rataan embrio fase kotiledon yang normal diperoleh dari kombinasi antara genotipe Ceneng dan IK-12 (NAA 53,71 µm + 2,4-D 67,87 µm) dengan rataan sebesar 0,9 embrio ( Tabel 6). Tabel 6 Interaksi antara media asal dengan genotipe terhadap rataan jumlah embrio fase kotiledon normal (per gumpal kalus) Kode Media Asal NAA ZPT(µM) 2,4-D Genotipe Ceneng Godek CG30-10 CG76-10 IK-5 26,85 0,00 0,353 b 0,000 c 0,000 c 0,091 c IK-6 26,85 22,62 0,125 c 0,125 c 0,077 c 0,000 c IK-7 26,85 42,25 0,063 c 0,000 c 0,000 c 0,111 c IK-8 26,85 67,87 0,143 c 0,000 c 0,000 c 0,000 c IK-9 53,71 0,00 0,222 bc 0,000 c 0,000 c 0,100 c IK-10 53,71 22,62 0,000 c 0,000 c 0,083 c 0,100 c IK-11 53,71 42,25 0,000 c 0,000 c 0,000 c 0,000 c IK-12 53,71 67,87 0,900 a 0,000 c 0,000 c 0,000 c IK-13 80,56 0,00 0,000 c 0,083 c 0,000 c 0,000 c Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf α = 0,05. Data ditransformasi dengan x+0,5 Sedangkan untuk embrio abnormal semua faktor tidak menunjukkan pengaruh nyata. Abnormalitas kotiledon ditentukan berdasarkan penampakan morfologis sebagaimana kriteria menurut Hiraga et al. (2007) yaitu: kotiledon yang bersatu, hipokotil panjang dengan kotiledon yang vestigial, dan kotiledon berbentuk cawan (Gambar 14). Abnormalitas embrio dengan ciri morfologi
tersebut merupakan faktor yang dapat menurunkan daya perkecambahan (Bucheim et al. 1989). Parrot et al. (1988) dan Fernando et al. (2002) menyatakan bahwa ketidaknormalan morfologi dan perkembangan embrio somatik kedelai berhubungan dengan paparan 2,4-D. Lamanya paparan 2,4-D selama proses induksi berpengaruh pada perkembangan embrio dalam tahap histodifferensiasi. a b c Gambar 14 Morfologi embrio abnormal, ditunjukkan oleh mata panah. a. Kotiledon bersatu (fused), b. Hipokotil panjang dengan kotiledon tidak berkembang (vestigial), c. kotiledon berbentuk cawan (Hiraga et al. 2007) Persentase Embrio Fase Kotiledon 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0% 26.76% a 23.24% a 7.14% b 5.41% b 4.90% b 4.76% b 3.52% a 2.70% b 1.96% b 2.94% a 2.38% a 2.70% a Ceneng CG30-10 CG76-10 Godek Total Embrio Embrio Normal Embrio Abnormal Gambar 15 Pengaruh genotipe terhadap frekuensi pembentukan embrio fase kotiledon Jika dilihat persentase pembentukan embrio fase kotiledon sebagai fungsi dari genotipe, Gambar 15 memperlihatkan adanya perbedaan yang sangat nyata antara genotipe Ceneng dengan genotipe lainnya baik untuk parameter total embrio maupun embrio normal. Persentase total embrio fase kotiledon dan
embrio normal yang terbentuk untuk genotipe Ceneng berturut-turut sebesar 26,76% dan 23,24%. Nilai ini berbeda jauh dibandingkan persentase total embrio dan embrio normal yang dihasilkan ketiga genotipe lainnya yang berkisar antara 4,90% sampai 7,14% dan 1,96% sampai 4,76%. Sedangkan untuk parameter embrio abnormal tidak ada perbedaan nyata antar genotipe. Grafik tersebut juga secara jelas memperlihatkan bahwa genotipe Ceneng sebagai tetua toleran naungan tidak berhasil mewariskan karakter embriogeniknya kepada progeni yang juga toleran naungan yaitu CG30-10 dan CG76-10. Hal ini membuktikan bahwa sifat toleran naungan merupakan karakter yang tidak berhubungan (unrelated trait) dengan kapasitas embriogenik. Kapasitas embriogenik yang dimiliki oleh genotipe CG30-10 dan CG76-10 secara kuantitatif justeru mendekati karakter embriogenik yang dimiliki oleh tetua peka naungan, yaitu Godek. Dengan demikian dapat diduga bahwa kemampuan regenerasi secara embriogenesis somatik keempat genotipe tersebut dikendalikan oleh gen yang homozigot resesif. Bobot Embrio Rataan Bobot Embrio (gr) 0.16 0.14 0.12 0.1 0.08 0.06 0.04 0.02 0 0.135a 0.101a 0.108a 0.093a Ceneng Godek CG30-10 CG76-10 Genotipe Gambar 16 Rataan bobot embrio fase kotiledon pada setiap genotipe dari seluruh perlakuan
Hasil analisis sidik ragam gabungan menunjukkan bahwa tidak ada faktor yang berpengaruh nyata terhadap bobot embrio (Tabel 5 Lampiran 4). Hal ini menunjukan bahwa berat embrio tidak dipengaruhi oleh faktor genotipe, media induksi kalus dan media histodifferensiasi maupun interaksinya. Gambar 16 menunjukan nilai-nilai rataan bobot embrio untuk setiap genotipe. Genotipe Ceneng memiliki rataan bobot embrio tertinggi yaitu sebesar 0,135 gram yang tidak berbeda nyata dengan genotipe Godek, CG30-10 dan CG76-10 masingmasing sebesar 0,101, 0,093 dan 0,108 gram. Warna Embrio Warna embrio berhubungan dengan perkembangan embrio somatik. Pada tanaman karet embrio berwarna putih akan beregenerasi menjadi planlet, sedangkan embrio yang berwarna hijau akan menghasilkan kalus embriogenik melalui proses embriogenesis sekunder (Vessseire et al. 1994). Warna embrio somatik telah digunakan dalam penilaian benih sintetik wortel (Sakamoto et al. 1992) dan potensi konversi embrio somatik dari ubi jalar (Padmanabhan et al. 1998). Tabel 7 Interaksi antara media asal dan media histodifferensiasi pada persentase pembentukan warna embrio kekuningan Kode Media Asal ZPT NAA (µm) 2,4-D (µm) Media Histodifferesiasi MH1 MH2 MH3 MH4 IK-5 26,85 0,00 100 a 66,7 ab 33,3 ab 100 a IK-6 26,85 22,62 25 ab 0 b 100 a 0 b IK-7 26,85 42,25 0 b 0 b 0 b 0 b IK-8 26,85 67,87 0 b 0 b 0 b 0 b IK-9 53,71 0,00 100 a 100 a 0 b 0 b IK-10 53,71 22,62 0 b 0 b 0 b 0 b IK-11 53,71 42,25 0 b 0 b 0 b 0 b IK-12 53,71 67,87 20 ab 100 a 50 ab 100 a IK-13 80,56 0,00 100 a 0 b 0 b 0 b Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf α = 0,05 Pada penelitian ini terdapat 2 warna embrio fase kotiledon, yaitu hijau muda dan kekuningan. Warna embrio ini relatif tidak berubah hingga masa akhir kultur. Hasil sidik ragam mempelihatkan bahwa tidak ada satu pun faktor yang berpengaruh nyata pada terbentuknya warna embrio hijau muda (Tabel 6 Lampiran 4). Sedangkan warna embrio kekuningan nyata dipengaruhi oleh media
induksi kalus dan secara nyata dipengaruhi oleh interaksi antara media induksi kalus dan media histodifferensiasi. Jumlah embrio berwarna kekuningan terbanyak terjadi karena interaksi antara beberapa media asal dan media histodifferensiasi. Pada Tabel 7 terlihat nilai-nilai tertinggi ditunjukkan oleh interaksi antara media IK-5 dengan MH1 dan MH4, IK-6 dengan MH3, IK-9 dengan MH1 dan MH2, IK-12 dengan MH2 dan MH4, serta IK-13 dengan MH1. Kombinasi-kombinasi media tersebut masingmasing menghasilkan 100% embrio berwarna kekuningan per eksplan yang diinduksi. Perkecambahan Embrio Somatik Embriogenesis somatik merupakan proses yang kompleks dimana kualitas hasil akhir yaitu pertumbuhan dan daya hidup tanaman yang dihasilkan sangat tergantung pada proses-proses yang mendahuluinya. Zat pengatur tumbuh yang digunakan pada saat inisiasi kalus embriogenik kadang menjadikan kultur tumbuh dalam kondisi terhabituasi. Hal ini menyebabkan perkembangan embrio tertahan pada tahap-tahap awal differensiasi. von Arnold et al. (2002) menyatakan bahwa hanya embrio dewasa dengan morfologi normal dan telah mengakumulasi material simpanan (karbohidrat, lemak dan protein) serta toleran terhadap desikasi yang akan berkembang menjadi tanaman normal. Tanaman yang dihasilkan serupa dengan seedling yang dihasilkan oleh embrio zigotik. Perkecambahan embrio somatik kedelai menjadi tanaman diketahui sangat tidak efisien meskipun beberapa pendekatan sudah banyak dilakukan. Pada penelitian ini sebelum proses perkecambahan dilakukan pra perlakuan berupa proses maturasi. Proses maturasi dilakukan dengan cara memperpanjang masa kultur setelah proses histodifferensiasi yaitu dengan melakukan satu kali subkultur menggunakan media yang sama. Setelah sebulan masa maturasi terjadi perubahan warna pada sebagian embrio. Embryo hijau muda berubah menjadi kekuningan dan embrio yang kekuningan menjadi kuning pucat (krem). Hal ini menunjukkan adanya perubahan menuju kematangan secara fisiologis pada embrio. Pada penelitian yang dilakukan Bailey et al. (1993) diketahui bahwa struktur kecambah tanpa akar dan tunas atau hanya dengan akar saja jarang sekali berkembang menjadi plantlet setelah 25 hari pada media MS0. Sebaliknya struktur kecambah yang hanya memiliki tunas dapat mengembangkan sistem perakaran yang vigor setelah disubkultur ke media baru atau ditransfer ke tanah.
Oleh karena itu pada penelitian ini perkecambahan dinilai berdasarkan munculnya tunas atau tunas dan akar (Gambar 17). a b c d Gambar 17 Perkecambahan embrio fase globular 4 minggu setelah tanam. a. genotipe Ceneng memperlihatkan beberapa kecambah normal dengan laju pertumbuhan yang berbeda-beda. b. Genotipe Godek memperlihatkan tingkat dormansi embrio yang tinggi, sehingga tidak ada embrio yang berkecambah. c. genotipe CG30-10 dan d, genotipe CG76-10 memperlihatkan tingkat daya berkecambah yang rendah. Hasil penelitian ini, sebagaimana terlihat pada Tabel 8, menunjukkan bahwa genotipe Ceneng menunjukkan jumlah kecambah normal terbanyak (6 kecambah). Sedangkan genotipe CG30-10 dan CG76-10 masing-masing 3 kecambah normal. Pada genotipe Godek tidak satu pun embrio fase kotiledon yang berkecambah. Berdasarkan jumlah kecambah normal yang terbentuk diperoleh nilai daya berkecambah (DB) untuk genotipe Ceneng sebesar 40% dan untuk CG30-10 dan CG76-10 masing-masing 20%. Kecambah abnormal hanya terjadi pada genotipe Ceneng yaitu sebanyak 3 kecambah. Dan berdasarkan total embrio yang berkecambah, baik normal maupun abnormal, diperoleh nilainilai indeks vigor (IV) untuk Ceneng sebesar 0,42 dan untuk CG30-10 dan CG7610 masing-masing 0,04 dan 0,05. Laju perkecambahan (LP) tercepat dicapai oleh genotipe CG76-10 dengan rata-rata 20 hari perkecambahan, kemudian
diikuti genotipe Ceneng dengan rata-rata 23,75 hari dan CG30-10 dengan ratarata 25 hari. Potensi tumbuh maksimum (PTM) untuk genotipe Ceneng sebesar 60% dan untuk CG30-10 dan CG76-10 masing-masing 20%. Tabel 8 Pengaruh media perkecambahan pada empat genotipe kedelai Genotipe DB (%) PKA (%) LP (hari) CG76-10 20,00 0.00 20 0,05 20,00 - - Keterangan: DB : Daya berkecambah PKA : Persentase kecambah abnormal LP : Laju perkecambahan IV : Indeks vigor PTM : Potensi tumbuh maksimum IV PTM (%) Pertambahan Panjang Epikotil (mm/hari) Jumlah daun Ceneng 40,00 20.00 23,75 0,26 60,00 1,6 8 Godek 0,00 0.00 0 0,00 0,00 - - CG30-10 20,00 0.00 25 0,04 20,00 - - Jumlah embrio pasca maturasi yang berkecambah secara normal pada penelitian ini relatif rendah. Dengan nilai daya berkecambah tertinggi sebesar 40% yang dicapai genotipe Ceneng menunjukkan bahwa embrio memiliki viabilitas yang masih rendah dibandingkan embrio zigotik. Demikian juga pada genotipe Godek dimana tidak satu pun embrio yang menunjukkan perkecambahan. Pada keadaan tertentu media perkecambahan dapat menyebabkan embrio menjadi dorman. Embrio hidup yang tidak bekecambah dimana faktor lingkungan menjadi faktor pembatas maka embrio dikatakan mengalami enforced dormancy. Daya kecambah merupakan tolok ukur viabilitas potensial yang merupakan simulasi dari kemampuan benih (embrio) untuk tumbuh dan berproduksi normal dalam kondisi optimum. Rendahnya viabilitas embrio dapat disebabkan oleh belum optimalnya perlakuan pra perkecambahan. Di antara alternatif yang bisa digunakan untuk meningkatkan daya perkecambahan adalah penggunaan arang aktif yang berfungsi untuk mengabsorpsi sisa-sisa 2,4-D yang dapat memblokir perkecambahan (Li dan Grabau 1996). Lazzeri et al. (1985) menggunakan media maturasi-germinasi yang diperkaya dengan 0,15 mg/l NAA dan IBA, kinetin serta zeatin masingmasing 0,33 mg/l. Embrio yang berkecambah kemudian dipindah ke media bebas hormon untuk mendapatkan tanaman. Ghazi et al. (1986) mendapatkan tanaman dari embrio somatik yang dikecambahkan dalam media yang
mengandung GA3 0,104 mg/l atau zeatin 0,110 mg/l. Hammatt dan Davey (1987) melakukan desikasi embrio somatik dewasa dalam gelas petri steril sampai ukuran embrio menyusut menjadi 40 50%. Setelah proses desikasi ternyata kemampuan embrio berkecambah meningkat sampai 30%. Ranch et al. (1986) sebagaimana dikutip oleh Parrot et al. (1988) melaporkan penggunaan media maturasi yang mengandung 0,5% arang aktif dan 10% sukrosa. Media dengan osmotikum tinggi ini diharapkan dapat membantu proses desikasi. Kemudian embrio ditransfer ke media MS bebas hormon sampai terjadi perkecambahan. Pada kesempatan lain Ranch et al. (1986) menggunakan media cair yang ditambah 0,6 mg/l IBA dan arang aktif untuk mengurangi efek auksin bawaan. Penelitian lain menunjukkan bahwa sitokinin kadang dibutuhkan dalam perkecambahan embrio. Sitokinin ini diperlukan untuk membalikkan pengaruh auksin pada tunas apikal yang digunakan selama proses induksi. Walker dan Parrot (2001) melaporkan bahwa penambahan 5% polietilen glikol atau 1,5% sorbitol akan meningkatkan perkecambahan embrio dan konversi embrio somatik. Laju perkecambahan tertinggi yang dicapai genotipe CG76-10 menunjukkan bahwa genoitpe ini akan relatif lebih tahan terhadap faktor-faktor lingkungan yang kurang menguntungkan dibandingkan genotipe lainnya. Sedangkan indeks vigor tertinggi yang dicapai oleh genotipe Ceneng menunjukkan bahwa genotipe ini memiliki vigor yang baik karena nilai ini merupakan indikasi kemampuan embrio untuk berkecambah secara normal pada awal-awal masa perkecambahan. Li dan Grabau (1996) mengatakan bahwa konversi embrio membentuk akar dan tunas (berkecambah) tidak dipengaruhi oleh genotipe meskipun efisiensi induksi embrio somatik dan hasil embrio somatik primer dipengaruhi oleh genotipe. Pernyataan ini berbeda dengan Tomlin et al. (2002) yang menyatakan bahwa maturasi dan kapasitas perkecambahan juga dipengaruhi oleh genotipe. Potensi tumbuh maksimum yang dicapai oleh genotipe Ceneng relatif tinggi yaitu sebesar 60%. Potensi tumbuh maksimum merupakan tolok ukur yang lemah dalam pengujian viabilitas embrio. Hal ini karena potensi tumbuh maksimum merupakan tolok ukur dari viabilitas total yang memperlihatkan kemampuan embrio untuk sekedar hidup baik secara langsung oleh fenomena pertumbuhannya maupun oleh gejala metabolismenya. Embrio memenuhi kriteria ini meskipun tidak tumbuh menjadi kecambah normal dan hanya menunjukkan sedikit gejala pertumbuhannya.
Dari sejumlah embrio yang berhasil berkecambah secara normal, hanya satu kecambah yang berhasil terkonversi menjadi planlet dengan pertumbuhan normal. Kecambah ini mengalami perpanjangan epikotil rata-rata 1,6 mm per hari dan membentuk 2 helai daun tunggal dan 2 tangkai daun majemuk trifoliate. Rendahnya konversi kecambah menjadi plantlet dapat disebabkan oleh pengaruh auksin bawaan sejak induksi kalus embriogenik dan menghambat kemampuan organogenik kecambah. Selain itu kompetensi konversi juga dapat terhambat oleh maturasi yang belum sempurna serta tiadanya perlakuan desikasi pra perkecambahan. KESIMPULAN Genotipe dan media yang digunakan pada saat induksi kalus embriogenik sangat berpengaruh pada perkembangan embrio somatik. Keduanya menunjukkan interaksi sangat nyata dalam menghasilkan embrio fase kotiledon. Genotipe Ceneng dalam interaksinya dengan media induksi kalus yang mengandung auksin dengan konsentrasi tinggi menunjukkan tingkat efisiensi tertinggi baik pada induksi total embrio maupun embrio normal fase kotiledon. Sedangkan pada embrio abnormal tidak ditemukan adanya faktor-faktor yang berpengaruh nyata. Media histodlifferensiasi secara bebas mempengaruhi perkembangan embrio somatik kedelai. Rataan jumlah embrio fase kotiledon tertinggi diperoleh dari hasil kombinasi NAA dan BA. Setiap genotipe menunjukkan viabilitas embrio yang berbeda-beda. Genotipe Ceneng dengan daya germinasi dan indeks vigor tertinggi menunjukan bahwa genotipe ini memiliki embrio yang lebih viabel dan lebih vigor dibandingkan tiga genotipe lainnya. Dengan laju perkecambahan tercepat yang dicapai oleh genotipe CG76-10 menunjukkan genotipe ini punya potensi vigor yang baik. Tingkat konversi kecambah menjadi tanaman secara umum masih sangat rendah.