BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu permasalahan kesehatan yang sampai saat ini masih menjadi perhatian adalah medication error. Medication error menimbulkan berbagai dampak bagi pasien, mulai dari yang ringan sampai tingkat yang paling parah yakni menyebabkan kematian (Aronson, 2009). Kejadian medication error merupakan indikasi tingkat pencapaian patient safety, khususnya terhadap tujuan tercapainya pengobatan yang aman. Penelitian pada pasien rawat jalan didapatkan hasil bahwa sebanyak 32% dari total pasien yang menerima pengobatan mengalami adverse effect yang berhubungan dengan medication error (Lapetina dan Armstrong, 2002). The National Patient Safety Agency di United Kingdom menyebutkan bahwa medication error muncul hampir pada semua proses pelayanan pengobatan yaitu 16% prescribing error, 18% dispensing error, dan 50% administration error. Medication error mempengaruhi kepercayaan pasien terhadap sistem pelayanan kesehatan dan meningkatkan biaya pelayanan kesehatan (ASHP, 1993 a ). Resiko kejadian medication error terjadi pada 115 dan 226 resep yang dilakukan pada penelitian di Makasar dan Yogyakarta. Sebagian besar kesalahan merupakan akibat dari resep yang tidak lengkap (Perwitasari dkk., 2010). penelitian lain menyebutkan dari total 4328 resep yang dievaluasi, 1857 resep memiliki satu atau lebih kesalahan dengan pengklasifikasian 41,9% berdampak kecil, 54,1% memiliki dampak yang signifikan, 3,6% menimbulkan dampak serius, dan 0,3% berpotensi mengancam nyawa pasien (Seden dkk., 2013).
2 Kesalahan dalam peresepan terjadi terutama karena kurangnya perhatian, penulis resep tidak mematuhi aturan penulisan resep, lingkungan kerja, beban kerja penulis resep, komunikasi dengan tim, keadaan fisik dan mental, kurangnya pengetahuan, pelatihan yang tidak cukup, rendahnya pemahaman pentingnya peresepan, tidak adanya kepedulian terhadap kesalahan pengobatan adalah faktor risiko yang sering muncul pada kesalahan peresepan (Mun Ni dkk., 2002). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Sarmalina S, dkk (2011) dan Rahmawati dan Oetari (1999) salah satu faktor penyebab terjadinya medication error adalah kegagalan komunikasi (salah interpretasi) antara prescriber (penulis resep) dengan dispenser (peyiap resep). Hal ini sejalan dengan pemikiran Cohen (1999) bahwa salah satu faktor yang meningkatkan risiko kesalahan dalam pengobatan adalah resep. Resep merupakan alat komunikasi antara prescriber dan dispenser. Sehingga persyaratan resep merupakan aspek yang sangat penting dalam peresepan karena dapat membantu mengurangi terjadinya medication error. Beberapa diantara medication error yaitu ketidaklengkapan peresepan dapat dicegah dengan intervensi Apoteker (Schachter, 2009). Menurut Ellis dkk (1992), dalam penelitian survey pada 137 praktisi 99% setuju bahwa Apoteker memiliki peran penting dalam melakukan pengkajian resep untuk permasalahan yang mungkin muncul. Penelitian dari Samsuri (2015) menyebutkan bahwa meningkatnya persepsi Apoteker dalam memperhatikan keselamatan pasien berefek pada turunnya jumlah pelaporan kejadian medication error. Sehingga sebenarnya kesalahan pengobatan dapat dicegah dan farmasis seharusnya memiliki peran aktif dalam ketepatan penggunaan obat (Karthikeyan dkk., 2015). Sistem yang berorientasi terhadap intervensi apoteker meningkatkan
3 kepedulian terhadap risiko diantara petugas pelayanan kesehatan. Manfaat intervensi tersebut bertujuan untuk mengurangi cedera dari mdication error berupa kesalahan penulisan resep dan kesalahan peresepan (Velo dan Minuz, 2009). Penelitian yang dilakukan di rumah sakit pendidikan di Saudi Arabia menyebutkan bahwa prescribing error menjadi 7,11% setelah adanya intervensi petugas farmasi melakukan identifikasi kelengkapan resep (Al-Dhawailie, 2011). Medication error pada kelengkapan administrasi resep sebenarnya bisa dihindari dengan intervensi yang dilakukan oleh petugas farmasi. Pada proses pengkajian kelengkapan administrasi resep, tenaga kefarmasian dapat melengkapi resep yang kurang pada bagian persyaratan administratif dengan menanyakan langsung kepada pasien atau keluarga pasien. Beberapa regulasi dibuat untuk mengubah kebiasaan peresepan dan penyiapan obat untuk memaksimalkan keselamatan pasien dan efisiensi dari suplai produk (Paul dkk., 2014). Akreditasi adalah salah satu dari banyak evaluasi rumah sakit yang berdasarkan pada standar penentu awal, dan merupakan program untuk meningkatkan kualitas dan keamanan dalam organisasi pelayanan kesehatan (Abedi dkk., 2014). Untuk mencapai mutu dan kualitas yang baik, rumah sakit harus memenuhi standar yang berlaku dalam hal ini standar Akreditasi tahun 2012 standar MPO. 5.1 tentang resep atau pesanan obat ditelaah ketepatannya. Acuan yang digunakan pada standar akreditasi tahun 2012 adalah Undang Undang No 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan Kepmenkes RI 1197 tahun 2004 tentang Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit. Sesuai dengan Undang-Undang No 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit menyebutkan bahwa penyelenggaraan rumah sakit bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien,
4 meningkatkan mutu dengan cara menyelenggarakan pelayanan pengobatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit. Maka untuk meningkatkan standar pelayanan dalam hal pelayanan pengobatan, rumah sakit perlu menerapkan standar pelayanan kefarmasian. Berdasarkan pada peraturan diatas, standar pelayanan rumah sakit yang digunakan adalah Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 58 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Terbitnya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 58 Tahun 2014 bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian di rumah sakit yang berorientasi kepada keselamatan pasien (Depkes, 2014 a ). Berdasarkan pada laporan Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKP-RS) tahun 2007, bahwa dari 145 insiden yang terdiri dari KTD 46%, KNC 48% dan lain lain 6%. Berdasarkan lokasi dilaporkan bahwa provinsi jawa tengah menduduki peringkat kedua setelah DKI dalam jumlah insidensi yaitu sebesar 15,9%. Pelaporan potensi error perlu dilihat dan dihitung sebagai kejadian yang terpisah dari kesalahan yang sampai ke pasien. Pelaporan ini bertujuan untuk mengidentifikasi kesempatan untuk memperbaiki pada sistem penggunaan obat bahkan sebelum masalah tersebut muncul (ASHP, 1993 a ). Pelayanan farmasi sebagai pemberi informasi dan penjelasan, dan kenyamanan pasien tidak hanya dinilai penting bagi pasien tetapi juga mempengaruhi kepuasan pasien (Kamei dkk., 2001). Kualitas pelayanan adalah hal penting yang harus diperhatikan bagi rumah sakit swasta yang banyak menggantungkan dirinya pada pasien. Selain itu rumah sakit harus bertindak seefisien mungkin agar biaya produksi yang dikeluarkan tidak terlalu besar namun tetap memberikan kualitas yang baik untuk memuaskan konsumen. Persaingan
5 yang semakin ketat menuntut sebuah lembaga barang dan jasa dapat selalu melakukan perbaikan untuk terus meningkatkan kualitas pelayanannya (Puti, 2013). Perbedaan kelas rumah sakit menunjukkan perbedaan jumlah tenaga kefarmasian, jumlah pelayanan medik yang diberikan (Depkes, 2014 b ), kemampuan, dan pengetahuan tenaga kefarmasian. perbedaan tersebut akan membuat perbedaan dalam hal pengimplementasian standar pelayanan kefarmasian. Kepuasan pasien adalah sebuah sikap oleh karena itu kepuasan pasien tidak dapat memastikan bahwa pasien akan tetap loyal kepada dokter atau rumah sakit. Kepuasan pasien terhadap pelayanan rumah sakit secara tidak langsung merupakan indikator bagi kualitas rumah sakit (Prakash, 2010). Perbaikan sangat diperlukan untuk mencapai pelayanan kesehatan kualitas tinggi di rumah sakit swasta dan meningkatkan loyalitas pasien (Anbori dkk., 2010). Ada beberapa metodologi yang dapat digunakan untuk memperbaiki proses pelayanan salah satunya adalah lean. Lean dapat memenuhi semua skala operasional, strategis dan taktis, selain itu Lean juga menjangkau unit bisnis, manufaktur, jejaring dan inti organisasi (Bozdogan, 2010). Lean hospital mengutamakan alur proses karena pelayanan pasien dapat berjalan dengan baik bila alur prosesnya lancar. Oleh sebab itu hal yang menghambat alur proses harus dihilangkan karena hal tersebut merupakan pemborosan (waste) yang dapat mengganggu pelayanan. Lean hospital berarti menggunakan sedikit waktu, uang, persediaan dan ruang untuk meningkatkan nilai dari perspektif pasien (Graban, 2009). Metode Lean hospital telah banyak digunakan di instalasi farmasi rumah sakit dan menuai hasil yang cukup memuaskan antara lain: Metro Health Hospital, Michigan berhasil
6 menurunkan waktu pemberian obat kepada pasien sebesar 33%, menurunkan medication error sebesar 40% dan mengurangi biaya tahunan persediaan obat sebesar $153.000 (Haughton, 2006); Rumah Sakit Umum Elkhart, di Elkhart, Indiana, berhasil memotong waktu persiapan obat intra vena sekitar 90%, sehingga dapat mendistribusikan 2 apoteker untuk tugas klinik, dan menghemat biaya sekitar $ 1 juta dari biaya operasional (Gebhart 2010). Pengkajian resep merupakan salah satu tindakan dalam standar pelayanan kefarmasian yang digunakan untuk mengurangi terjadinya medication error. Medication error merupakan indikator dari patient safety. Keadaan tersebut mendorong untuk melakukan penelitian pengaruh implementasi standar pelayanan kefarmasian pada proses pengkajian resep terhadap potensi medication error di instalasi farmasi rawat jalan, serta membandingkan implementasi antara rumah sakit swasta kelas B dan kelas C yang ada di kota Semarang. Kemudian memberikan usulan perbaikan pelayanan kefarmasian secara berkelanjutan (continues improvement) dengan menggunakan metode lean hospital. B. Rumusan Masalah 1. Apakah implemantasi Standar Pelayanan Kefarmasian berpengaruh terhadap potensi medication error di Rumah Sakit Swasta yang ada di Kota Semarang? 2. Apakah terdapat perbedaan implemantasi Standar Pelayanan Kefarmasian terhadap potensi medication error antara Rumah Sakit Swasta Kelas B dan Kelas C yang ada di Kota Semarang? 3. Bagaimana usulan perbaikan pelayanan kefarmasian secara berkelanjutan dengan menggunakan pendekatan lean hospital yang sesuai untuk rumah
7 sakit swasta di kota Semarang? sebagai berikut C. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya adalah 1. Risiko Keterjadian Medication Error Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Universitas Hasanudin (Ningsih, dkk. 2015) 2. Medication Error In Outpatients Of A Goverment Hospital In Yogyakarta Indonesia (Perwitasari, dkk. 2010) Hal yang dilihat pada penelitian tersebut adalah tujuan penelitian, subjek yang digunakan, metode penelitian yang digunakan dan cara analisis data yang dipakai dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Keaslian penelitian Kategori (Ningsih, dkk. 2015) (Perwitasari, dkk. 2010) Tujuan Mengetahui gambaran Mengetahui angka kejadian risiko kejadian medication error yaitu medication error prescrybing error, prahmaceutical care error dan dispensing error. serta mengetahui tipe eror yang paling sering muncul. Subjek Petugas pemberi layanan (tenaga Kefarmasian dan perawat) Resep Metode Diskriptif, prospective Diskriptif, prospective dengan kuisioner Analisis data Analisis univariat Persentase medication error Persamaan penelitian tersebut adalah semua penelitian melihat risiko dan potensi medication error. Perbedaan penelitian sekarang dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian sebelumnya hanya melihat potensi medicaation
8 error pada satu waktu saja baik dari resep dan melihat risiko medication error dari sisi petugasnya saja. Sedangkan penelitian sekararang melihat potensi medication error sebelum dan sesudah penerapan standar pelayanan kefarmasian. Penelitian mengenai pengaruh implementasi standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit terhadap munculnya medication error di Rumah Sakit Swasta di kota Semarang belum pernah dilakukan oleh peneliti lain. D. Tujuan Tujuan dari penelitian ini antara lain: 1. Mengetahui pengaruh implemantasi Standar Pelayanan Kefarmasian terhadap potensi medication error di Rumah Sakit Swasta di Kota Semarang. 2. Mengetahui perbedaan implemantasi Standar Pelayanan Kefarmasian terhadap potensi medication error antara Rumah Sakit Swasta kelas B dan Kelas C yang ada di Kota Semarang. 3. Memberikan usulan perbaikan pelayanan kefarmasian secara berkelanjutan dengan menggunakan pendekatan lean hospital yang sesuai untuk rumah sakit swasta di kota Semarang. E. Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain: 1. Bagi Pemerintah memberikan informasi dari hasil evaluasi pengaruh penerapan standar pelayanan kefarmasian terhadap potensi medication error di rumah sakit.
9 2. Bagi Rumah Sakit, Sebagai bahan evaluasi untuk melakukan upaya perbaikan berkelanjutan dalam peningkatan mutu pelayanan kefarmasian dan keselamatan pasien. 3. Sebagai masukan untuk pihak farmasi dalam upaya melakukan perbaikan berkelanjutan dengan menerapkan usulan perbaikan pelayanan secara berkelanjutan menggunakan pendekatan lean hospital. 4. Bagi peneliti, dapat menambah pengetahuan, keterampilan, serta pengalaman yang berharga dan sebagai masukan yang dapat digunakan peneliti lain untuk melakukan penelitian serupa.