BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Konstitusi merupakan segala ketentuan dan aturan dasar mengenai

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi

BAB II PERUBAHAN KONSTITUSI, PEMISAHAN KEKUASAAN, DAN KONSEP LEMBAGA PERWAKILAN

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. susunan organisasi negara yang terdiri dari organ-organ atau jabatan-jabatan

BAB I PENDAHULUAN. adanya pemerintah yang berdaulat dan terakhir yang juga merupakan unsur untuk

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

Faridah T, S.Pd., M.Pd. NIP Widyaiswara LPMP Sulawesi Selatan

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

BAB I PENDAHULUAN. tinggi negara yang lain secara distributif (distribution of power atau

BAB I PENDAHULUAN. disingkat UUD RI Tahun 1945, adalah hukum dasar tertulis (basic law)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang (UU) tehadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kewenangan tersebut

CHECK AND BALANCES ANTAR LEMBAGA NEGARA DI DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA. Montisa Mariana

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

POLITIK DAN STRATEGI (SISTEM KONSTITUSI)

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

keberadaan MK pd awalnya adalah untuk menjalankan judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai and balances antar cabang kekuasaan negara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang

KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI DAN WEWENANG DEWAN PERTIMBANGAN PRESIDEN DALAM SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. kita memiliki tiga macam dokumen Undang-undang Dasar (konstitusi) yaitu: 1

BAB I Pendahuluan. A. Latar belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas), artinya segala sesuatu yang

12 Media Bina Ilmiah ISSN No

PENUTUP. partai politik, sedangkan Dewan Perwakilan Daerah dipandang sebagai

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena

BAB III. A. Urgensi Amandemen Undang Undang Dasar tahun 1945 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD NRI

BAB I PENDAHULUAN. diwujudkan dengan adanya pemilihan umum yang telah diselenggarakan pada

Cita hukum Pancasila harus mencerminkan tujuan menegara dan seperangkat nilai dasar yang tercantum baik dalam Pembukaan maupun batang tubuh UUD 1945.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam beberapa bagian, tetapi tidak dipisahkan. Hal ini membawa konsekuensi

BAB I PENDAHULUAN. The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959)

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan 1. Ada peluang yuridis perubahan non-formal konstitusi dalam hal bentuk negara

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN

BAB I PENDAHULUAN. Konsep mengenai kedaulatan di dalam suatu negara, berkembang cukup

FUNGSI LEGISLASI DPD-RI BERDASARKAN PASAL 22D UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA

REKONSTRUKSI KEDUDUKAN DAN HUBUNGAN ANTARA MAHKAMAH AGUNG, MAHKAMAH KONSTITUSI DAN KOMISI YUDISIAL DI INDONESIA. Oleh: Antikowati, S.H.,M.H.

BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA. A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pembagian Kekuasaan. Horisontal: Vertikal: Negara kesatuan (Unitary) Negara federal (Federal) Negara konfederasi (Confederation)

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya

BAB I PENDAHULUAN. dikelola salah satunya dengan mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi

Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Sebagai Salah Satu Lembaga Legislatif Dalam Membuat Suatu Peraturan Perundang-Undangan

Dua unsur utama, yaitu: 1. Pembukaan (Preamble) ; pada dasarnya memuat latar belakang pembentukan negara merdeka, tujuan negara, dan dasar negara..

PENDAHULUAN. kendatipun disebut sebagai karya agung yang tidak dapat terhindar dari

KEWENANGAN MPR UNTUK MELAKUKAN PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR

BAB I PENDAHULUAN. adanya amandemen besar menuju penyelenggaraan negara yang lebih demokratis, transparan,

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau

KEDUDUKAN DAN FUNGSI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DI DALAM PROSES LEGISLASI PASCA AMANDEMEN UUD 1945 Oleh : Montisa Mariana, SH.,MH

BAB I PENDAHULUAN. atas hukum, yang kekuasaan tertinggi dalam negara berada di tangan rakyat.

MENGGAPAI KEDAULATAN RAKYAT YANG MENYEJAHTERAKAN RAKYAT 1

DPD RI, BUBARKAN ATAU BENAHI?? Oleh: Moch Alfi Muzakki * Naskah diterima: 06 April 2016; disetujui: 15 April 2016

BAB I PENDAHULUAN. Pergerakan reformasi yang digalakkan oleh mahasiswa dan masyarakat

JANGAN DIBACA! MATERI BERBAHAYA!

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Jean J. Rousseau ( ), telah memperkenalkan kedaulatan

BAB I PENDAHULUAN. pelaku sepenuhnya dari kedaulatan rakyat Indonesia, Presiden sebagai kepala

BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA. A. Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan Dewan

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law

BAB II KAJIAN TEORETIK DAN KAJIAN NORMATIF

SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA. Oleh: Muchamad Ali Safa at 1

MENGANALISIS SISTEM PEMERINTAHAN DI BERBAGAI NEGARA

HUBUNGAN KEWENANGAN PRESIDEN DENGAN DPR DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG PASCA PERUBAHAN UUD RADJIJO, SH. MH Dosen Fakultas Hukum UNISRI

PENGGUNAAN HAK RECALL ANGGOTA DPR MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG MPR, DPR, DPD, DAN DPRD (MD3) FITRI LAMEO JOHAN JASIN

BAB I PENDAHULUAN. diatur dalam BAB VIIA Pasal 22C dan Pasal 22D UUD NRI Berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Menjamurnya lembaga negara, termasuk keberadaan komisi negara

FUNGSI LEGISLASI DPR PASCA AMANDEMEN UUD Sunarto 1

ASPEK SOSIOLOGIS POLITIK KEDAULATAN RAKYAT DALAM UUD NRI TAHUN Oleh: Dr. Suciati, SH., M. Hum

AMANDEMEN (amendment) artinya perubahan atau mengubah. to change the constitution Contitutional amendment To revise the constitution Constitutional

BAB I PENDAHULUAN. struktur organisasi negara, termasuk bentuk-bentuk dan fungsi-fungsi lembaga

Soal LCC 4 Pilar kehidupan berbangsa dan bernegara :)

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan Perubahan Undang-undang Dasar Tahun 1945

MAKALAH. Kedudukan dan Fungsi DPD dalam Kerangka Kelembagaan Legislatif Indonesia. Oleh : Dinoroy Marganda Aritonang

AMANDEMEN UUD 1945 IZA RUMESTEN RS

Reformasi Kelembagaan MPR Pasca Amandemen UUD 1945

Macam-macam konstitusi

Urgensi Menata Ulang Kelembagaan Negara. Maryam Nur Hidayat i-p enelit i P usat St udi Fakult as Hukum UI I

Badan Eksekutif, Legeslatif, Yudikatif

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU

BAB I PENDAHULUAN. cita-cita, gagasan, konsep, bahkan ideologi. Cita-cita, gagasan, konsep bahkan

I. PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya

MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**)

-2- demokrasi serta menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Mesk

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kekuasaan raja yang semakin absolut di Negara Perancis

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH : RANTI SUDERLY

UU JABATAN HAKIM; 70 TAHUN HUTANG KONSTITUSI

SMP. 1. Jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara 2. Susunan ketatanegaraan suatu negara 3. Pembagian & pembatasan tugas ketatanegaraan

KOMISI YUDISIAL BARU DAN PENATAAN SISTEM INFRA-STRUKTUR ETIKA BERBANGSA DAN BERNEGARA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1.

INDEPENDENSI KOMISI YUDISIAL SEBAGAI LEMBAGA NEGARA DALAM MEWUJUDKAN CHECKS AND BALANCES SYSTEM DI NEGARA INDONESIA Marsudi Dedi Putra 2

Kata Kunci : Pengawasan DPRD, dan Harmonisasi Hubungan Kepala Daerah serta DPRD.

BAB I PENDAHULUAN. yang ditetapkan oleh lembaga legislatif.

KEDUDUKAN KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA SEBAGAI LEMBAGA NEGARA INDEPENDEN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konstitusi merupakan segala ketentuan dan aturan dasar mengenai ketatanegaraan. 1 Berdirinya sebuah negara tidak lepas dari adanya konstitusi yang mendasarinya. Konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis yang lazim disebut Undang-Undang Dasar, dan dapat pula tidak tertulis. Konstitusi merupakan dasar dari tatanan hukum sebuah negara, yang di dalamnya terdapat perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan mengatur tentang distribusi kekuasaan (Distribution of Power) dalam penyelenggaraan negara. Konstitusi biasanya juga disebut sebagai hukum fundamental negara, sebab konstitusi ialah aturan dasar. Aturan dasar yang nantinya akan menjadi acuan bagi lahirnya aturan-aturan hukum lain yang ada dibawahnya. Konstitusi dalam arti formal adalah suatu dokumen resmi, seperangkat norma hukum yang hanya dapat diubah di bawah pengawasan ketentuanketentuan khusus, yang tujuannya adalah untuk menjadikan perubahan normanorma ini lebih sulit. Konstitusi dalam arti material terdiri atas peraturan- 1 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hlm. 457. 1

peraturan yang mengatur pembentukan norma-norma hukum yang bersifat umum, terutama pembentukan undang-undang. 2 Jimly Asshiddiqie mengatakan dalam bukunya, konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara. 3 Penting bagi sebuah negara memiliki konstitusi sebagai landasan hukum dalam penyelenggaraan sebuah negara. Untuk itu dalam penyusunan konstitusi harus merupakan hasil dari nilai-nilai dan norma berbangsa dan bernegara yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian, penyusunan konstitusi menjadi sebuah pekerjaan yang mendasar bagi sebuah negara untuk menentukan sistem hukumnya. Di Indonesia, konstitusi yang digunakan merupakan konstitusi tertulis yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau biasa disebut UUD 1945. UUD 1945 pertama kali disahkan sebagai konstitusi negara Indonesia dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945. Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mempertegas kedudukan Undang-Undang Dasar sebagai sebuah Hukum Dasar. Namun dalam perjalanan proses penyelenggaraan negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengalami empat perubahan 2 Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Ctk. Keempat, Nusa Media, Bandung, hlm. 180. 3 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia, Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2004, hlm. 29. 2

pertama, yaitu perubahan pertama pada tahun 1999, perubahan kedua pada tahun 2000, perubahan ketiga pada tahun 2001, dan perubahan keempat pada tahun 2002. Perubahan yang terjadi merupakan hasil dari pergolakan politik pada masanya. Perubahan konstitusi tidak hanya bergantung pada norma perubahan, tetapi lebih ditentukan oleh kelompok elite politik yang memegang suara mayoritas di lembaga yang mempunyai kewenangan melakukan perubahan konstitusi. 4 Meskipun demikian, perubahan Undang-Undang Dasar tetap bertujuan untuk memperkuat konstitusi dan bukan sebaliknya. Undang-Undang Dasar ini (pasca Amandemen) dapat disebut sebagai konstitusi politik, konstitusi ekonomi dan sekaligus konstitusi sosial yang mencerminkan cita-cita kolektif bangsa, baik di bidang politik dan ekonomi maupun sosial-budaya, dengan tetap memelihara tingkat abstraksi perumusannya sebagai hukum dasar (rechtsidee). 5 Menurut tradisi Amerika Serikat, perubahan dilakukan terhadap materi tertentu dengan menetapkan naskah Amandemen yang terpisah dari naskah asli UUD, sedangkan menurut tradisi Eropa perubahan dilakukan langsung dalam teks UUD. Jika perubahan menyangkut materi tertentu, tentulah naskah UUD yang asli itu tidak banyak mengalami perubahan. Akan tetapi, jika materi yang diubah berbilang banyaknya dan apalagi isinya sangat mendasar, biasanya naskah UUD itu disebut dengan nama baru sama sekali. Dalam hal demikian, 4 Ni matul Huda, Lembaga Negara dalam masa Transisi Demokrasi, UII Press, Yogyakarta, 2007, hlm.49. 5 Jimly Asshiddiqie, op.cit., hlm. 30. 3

perubahan identik dengan penggantian. Tetapi dalam tradisi Amandemen Konstitusi Amerika Serikat, materi yang diubah biasanya selalu menyangkut satu issue tertentu. Bahkan Amandemen I sampai dengan Amandemen X pada pokoknya sama-sama menyangkut issue Hak Asasi Manusia. 6 Perubahan konstitusi memang telah dilakukan di Indonesia. Namun bukan berarti perubahan yang dilakukan telah mengatasi semua masalah ketatanegaraan dan tidak menimbulkan masalah baru. Pasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, beberapa permasalahan ketatanegaraan justru muncul. Amandemen telah melahirkan beberapa lembaga negara baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, seperti Mahkamah Konstitusi (MK) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). MK hadir dengan salah satu kewenangannya adalah pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, yang selama pemerintahan orde baru tidak ada lembaga manapun yang berwenang terhadap permasalahan tersebut. Namun di sisi lain, perubahan UUD telah melahirkan pemisahan pengujian peraturan perundang-undangan di dua atap. MK yang berwenang menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, sedangkan MA memiliki kewenangan menguji peraturan yang berada di bawah undangundang. Padahal keduanya merupakan lembaga negara yang terpisah. Lembaga perwakilan juga memunculkan permasalahan terkait munculnya DPD. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) merupakan salah satu lembaga negara dengan fungsi 6 Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Materi Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, dalam Ni matul Huda, Lembaga..., op.cit., hlm.53. 4

legislasi yang amat sangat terbatas. Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menjelaskan, DPD hanya memilki kewenangan untuk mengusulkan sebuah rancangan undang-undang dan ikut membahas sebuah rancangan undang-undang. Hal tersebut dapat dimaknai bahwa DPD selaku salah satu pemegang fungsi legislasi, tetapi tidak memiliki kewenangan untuk menjadi legislator dalam mengesahkan suatu rancangan undang-undang. Sebagai sebuah lembaga negara dengan fungsi legislasi dalam MPR, kewenangan tersebut jelas tidak setara dengan kewenangan lembaga negara lainnya yang memiliki fungsi legislasi, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ketika terjadi reformasi konstitusi (UUD 1945) tahun 1999, muncul beberapa kesepakatan dasar dalam melakukan perubahan UUD 1945, antara lain mempertegas sistem presidensiil. Namun dalam kenyataannya kesepakatan tersebut tidak ditaati secara konsisten oleh MPR. Pembongkaran konstruksi presidensialisme dalam UUD 1945 secara signifikan pada perubahan pertama (1999), kemudian penguatan kelembagaan DPR pada perubahan kedua (2000), bukannya melahirkan keseimbangan kekuasaan antara presiden dan DPR, tetapi justru menimbulkan ketidakjelasan sistem presidensiil yang ingin dibangun melalui Perubahan UUD 1945. Kesan parlementernya justru semakin menguat. 7 7 Ni matul Huda, Perkembangan Hukum Tata Negara Perdebatan & Gagasan Penyempurnaan, UII Press, Yogyakarta, hlm. 168. 5

Melihat dinamika yang terjadi di Indonesia saat ini, banyak pihak merasa perlu adanya perubahan kembali terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Karena dirasa harus ada penguatan pada beberapa sektor sistem ketatanegaraan. Berangkat dari hal tersebut, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) berinisiatif mengajukan usulan untuk mengamandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). DPD beranggapan Undang-Undang Dasar harus kembali diamandemen dengan beberapa alasan tertentu. Alasan-alasan tersebut diantaranya : Memperkuat Sistem Presidensial, Memperkuat Lembaga Perwakilan, Memperkuat Otonomi Daerah, Calon Presiden Perseorangan,Pemilahan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal, Forum Previlegiatum, Optimalisasi Peran Mahkamah Konstitusi, Penambahan Pasal Hak Asasi Manusia, Penambahan Bab Komisi Negara, dan Penajaman Bab tentang Pendidikan dan Perekonomian. 8 Dari berbagai latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan, penulis kemudian bermaksud melakukan penelitian terhadap usulan amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD), khususnya terkait penguatan lembaga perwakilan. Judul dari penelitian ini adalah Analisis Usulan Amandemen Undang-Undang 8 http://news.liputan6.com/read/2166795/10-usulan-dpd-ri-untuk-amandemen-ke-5-uud-1945 diakses pada 24 Februari 2015 6

Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terkait Penguatan Lembaga Perwakilan. 7

B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Mengapa DPD mengusulkan amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945? 2. Apakah usulan Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) terkait penguatan lembaga perwakilan dalam agenda amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945? 3. Bagaimana konsep ideal lembaga perwakilan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia? C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Memahami mengapa DPD mengajukan usulan Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. 2. Mengetahui usulan DPD terkait penguatan lembaga perwakilan dalam agenda amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. 3. Mengetahui dan memahami konsep ideal lembaga perwakilan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. 8

D. Tinjauan Pustaka Penelitian ini berfokus pada kewenangan DPD dalam melakukan Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, usulan Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, serta penguatan lembaga perwakilan yang harus dilakukan dalam sistem ketatanegaraan indonesia. Untuk memulai penelitian, pada bab ini penulis akan memaparkan terkait teori perubahan konstitusi, teori pemisahan kekuasaan, dan konsep lembaga perwakilan dalam sistem ketatanegaraan. 1. Teori Perubahan Konstitusi Pasal 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 telah memberikan wewenang kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga negara yang berwenang mengubah serta menetapkan Undang-Undang Dasar. Hal tersebut dipertegas dalam pasal 37 yang menjelaskan aturan dalam melakukan perubahan terhadap undang-undang dasar, seperti kuorum dalam pengusulan,pembahasan, serta penetapan dan larangan terhadap perubahan Undang-Undang Dasar. Melakukan suatu peubahan konstitusi, pada dasarnya tidak hanya dilakukan melalui suatu proses amandemen. K.C.Wheare mengatakan bahwa perubahan konstitusi sulit untuk digambarkan atau dinilai, terutama karena ia tidak statis. Cara-cara perubahan konstitusi dapat dilakukan melalui 9

mekanisme proses amandemen formal, mekanisme proses keputusan yudisial, dan melalui terbentuknya adat dan kebiasaan. 9 Secara umum, proses amandemen dalam sebagian besar konstitusi modern dimaksudkan untuk melindungi satu atau lebih dari empat tujuan berikut: pertama, konstitusi hanya boleh diubah dengan pertimbangan yang matang, dan bukan karena alasan sederhana atau secara serampangan; kedua, rakyat mesti diberi kesempatan mengemukakan pendapat mereka sebelum dilakukan perubahan; ketiga, dalam sistem federal, kekuasaan unit-unit dan pemerintah pusat tidak bisa diubah oleh satu pihak; keempat, hak individu atau masyarakat misalnya, hak minoritas bahasa, agama, atau kebudayaan mesti dilindungi. Dalam sebagian konstitusi, hanya satu dari pertimbangan diatas yang diperhatikan; dalam konstitusi lain dua atau tiga bahkan keempatnya diperhatikan. Bisa jadi ada beberapa konstitusi yang kaku yang proses amandemennya tidak bisa dijelaskan secara substansial oleh satu atau lebih dari keempat pertimbangan diatas. 10 Mekanisme perubahan konstitusi juga bisa dilakukan melalui proses keputusan yudisial. Perubahan konstitusi melalui proses ini perlu dipertanyakan apakah penafsiran dan keputusan yudisial bisa mengubah konstitusi. Mesti ditekankan bahwa pengadilan tidak bisa mengamandemen konstitusi. Mereka tidak bisa mengubah kalimatnya. Mereka mesti menerima 9 K.C. Wheare, Konstitusi-Konstitusi Modern, Pustaka Eureka, Surabaya, 2005, hlm. 129. 10 Ibid.hlm. 132. 10

kalimat tersebut, dan kalaupun mereka memasukan perubahan, itu hanya bisa dilakukan melalui penafsiran mereka atas makna kalimat tersebut. Pengadilan, dengan keputusan-keputusannya, bisa menjelaskan kandungan kata atau kalimat; mereka boleh menyempurnakan, melengkapi atau memperhalus keputusan sebelumnya; mereka bahkan boleh mencabut atau membatalkan keputusan sebelumnya. Tetapi mereka mesti tetap berpegang pada kalimat konstitusi. Kalimat ini terkadang kabur atau samar, memberikan kesempatan bagi hakim untuk menyisipkan apa yang belum atau tidak dikatakan oleh para penyusun konstitusi; benar bahwa pendapat hakim bisa saja salah, tidak logis, dan berubah-ubah; benar bahwa pembedaan yang samar dan bahasa tekhnis yang diperhalus mungkin nampaknya bertentangan dengan penggunaan secara umum dan pemahaman umum; dan akhirnya, benar pula bahwa hakim mungkin melampaui fungsi mereka yang sesungguhnya. Untuk hal tersebut para hakim bisa dikritik dan sistem penafsiran yudisial itu sendiri bisa ditentang. Tetapi hal pokok yang perlu diingat adalah bahwa fungsi hakim yang sebenarnya adalah menafsirkan, bukan mengubah, kalimat dalam undang-undang dasar atau konstitusi. Perubahan makna konstitusi semacam ini sebagaimana yang secara sah bisa dilakukan oleh pengadilan berasal dari fungsinya untuk menafsirkan 11

bukannya dari fungsi tersembunyi mereka dalam pembuatan undangundang. 11 K.C. Wheare menambahkan, keputusan hukum berjalan seiring dengan proses amandemen formal dalam menciptakan perubahan dalam konstitusi. Terkadang keputusan hukum akan menciptakan situasi yang mendorong munculnya gerakan untuk mengamandemen konstitusi. Dengan kata lain, keputusan hukum bersekutu dengan amandemen konstitusi untuk mengubah konstitusi. Mekanisme perubahan konstitusi yang selanjutnya dipengaruhi oleh kebiasaan dan tradisi. Kebiasaan dan tradisi memiliki pengaruh yang dapat membatalkan ketentuan konstitusi. Perlu ditekankan bahwa tradisi tidak mengamandemen atau menghapuskan hukum. Ia tidak memotong bagian tubuh; ia hanya membuat bagian tubuh itu tidak mungkin dapat digunakan. Meskipun tradisi terkadang membatalkan hukum konstitusi, dan dengan demikian menyebabkan wewenang yang diberikan tidak mungkin dijalankan sama sekali, tradisi tidak selalu berjalan sampai sejauh ini. 12 Yang sering terjadi adalah wewenang yang diberikan dalam konstitusi benar-benar dijalankan tetapi dalam prakteknya wewenang tersebut dijalankan oleh orang atau lembaga lain, meski secara hukum ia dijalankan oleh mereka yang diberi 11 Ibid. hlm.165-166. 12 Ibid., hlm. 195. 12

wewenang. Pendek kata, tradisi melimpahkan wewenang yang diberikan dalam konstitusi dari satu pihak ke pihak lain. 13 2. Teori Pemisahan Kekuasaan Sistem ketatanegaraan Indonesia melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, memang tidak mengungkapkan secara terang-terangan bahwa Indonesia menganut doktrin pemisahan kekuasaan. Namun jika dilihat, dalam UUD NRI tahun 1945 terdapat prinsip pemisahan kekuasaan di dalam pasal-pasal yang mengatur tentang kewenangan lembaga negara. Pemisahan kekuasaan (separation of powers) dipahami sebagai suatu penafsiran dari trias politica. Doktrin ini pertama kali dikemukakan oleh John Locke (1632-1704) dan dikembangkan oleh Montesquieu (1689-1755). 14 Montesquieu membagi kekuasaan pemerintahan dalam tiga cabang, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Menurutnya, ketiga jenis kekuasaan itu haruslah terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas (fungsi) maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yang menyelenggarakannya. Menurut montesquieu, kekuasaan legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undangundang, kekuasaan eksekutif meliputi penyelenggaraan undang-undang(oleh Montesquieu diutamakan tindakan di bidang politik luar negeri), dan 13 Ibid., hlm. 200. 14 Romi Librayanto, Trias Politica dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, PuKAP, Makassar, 2008, hlm. 18. 13

kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan mengadili atas pelanggaran undangundang. 15 Hans Kelsen menyatakan bahwa konsep pemisahan kekuasaan menunjuk pada prinsip organisasi politik. Konsep ini mendalilkan bahwa ketiga bidang kekuasaan itu dapat ditentukan sebagai tiga fungsi negara yang dikoordinasikan secara berbeda, dan bahwa dimungkinkan untuk menentukan batas-batas yang memisahkan masing-masing fungsi ini dari fungsi-fungsi lain. Tetapi dalil ini tidak dilahirkan oleh fakta. Seperti kita ketahui, fungsi dasar negara bukannya tiga melainkan dua : pembentukan dan penerapan (pelaksanaan) hukum, dan fungsi-fungsi ini bukan dikoordinasikan melainkan disusun secara berjenjang (super-ordinasi dan sub-ordinasi). Selanjutnya, tidak mungkin untuk menentukan batas-batas yang memisahkan fungsi-fungsi ini satu sama lain, karena perbedaan antara pembentukan dan penerapan hukum yang mendasari dualisme kekuasaan legislatif dan eksekutif (dalam arti luas) hanya bersifat relatif; sebagian besar tindakan negara secara bersamaan merupakan tindakan pembentukan dan penetapan hukum. Tidak mungkin untuk menyerahkan pembuatan hukum kepada satu organ dan penerapan hukum kepada orang lain secara terpisah sehingga tidak ada organ yang menjalankan kedua fungsi itu sekaligus. Hampir tidak mungkin, dan betapapun tidak diinginkan, untuk melimpahkan pembuatan undang-undang 15 Ibid., hlm. 19. 14

sekalipun yang hanya merupakan satu macam pembuatan hukum- kepada satu lembaga negara tersendiri, dan mengeluarkan organ-organ lain dari fungsi ini. 16 Miriam budiardjo mengatakan dalam bukunya, trias politica adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam kekuasaan: pertama, kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang (dalam peristilahan baru sering disebut rulemaking function); kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang (dalam peristilahan baru sering disebut rule application function); ketiga, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang (dalam peristilahan baru sering disebut (rule adjudication function). Trias politica adalah suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. 17 Menurut Jimly Asshiddiqie, sebenarnya pemisahan kekuasaan dan pembagian kekuasaan itu sama-sama merupakan konsep mengenai pemisahan kekuasaan (separation of power) yang secara akademis, dapat dibedakan antara pengertian sempit dan pengertian luas. Dalam pengertian luas, konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) itu juga mencakup pengertian pembagian kekuasaan yang biasa disebut dengan istilah division of power 16 Hans Kelsen., op.cit., hlm.382-383. 17 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002, hlm. 151. 15

(distribution of power). Pemisahan kekuasaan merupakan konsep hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal, sedangkan konsep pembagian kekuasaan bersifat vertikal. Secara horizontal, kekuasaan negara dapat dibagi ke dalam beberapa cabang kekuasaan yang dikaitkan dengan fungsi lembaga-lembaga negara tertentu, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sedangkan dalam konsep pembagian kekuasaan (distribution of power) kekuasaan negara dibagi secara vertikal dalam hubungan atas-bawah. 18 Di dalam ajaran trias politica itu perlu terdapat suasana check and balances dimana di dalam hubungan antar lembaga negara itu terdapat saling menguji karena masing-masing lembaga tidak boleh melampaui batas kekuasaan yang sudah ditentukan atau masing-masing lembaga tidak mau dicampuri kekuasaannya sehingga antar lembaga itu terdapat suatu perimbangan kekuasaan. 19 Pada konteks Indonesia, pembagian terhadap ketiga kekuasaan negara legislatif, eksekutif, dan yudikatif dilakukan pemisahan yang jelas. Pada ranah legislatif terdapat tiga lembaga negara, yaitu : DPR, DPD, dan MPR. Kekuasaan eksekutif dipegang oleh presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi, beserta instrumen kelembagaan yang berada dibawahnya. Kekuasaan yudikatif diselenggarakan oleh Mahkamah Agung 18 Jimly Asshiddiqie, Otonomi daerah dan parlemen di daerah, dalam Romi Librayanto, op.cit., hlm.25. 19 Romi Librayanto, op.cit., hlm.28. 16

dan Mahkamah Konstitusi yang dalam menjalankan kekuasaannya dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan bersifat merdeka. 20 3. Konsep Lembaga Perwakilan dalam Sistem Ketatanegaraan Adanya Lembaga perwakilan dalam sebuah negara yang berprinsip kedaulatan rakyat menjadi sebuah keharusan. Indonesia secara tegas dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menyatakan kedaulatan berada di tangan rakyat. Sehingga wajib bagi negara ini memiliki lembaga perwakilan rakyat dalam sistem ketatanegaraannya. Lembaga perwakilan yang dikenal di Indonesia adalah MPR, DPR, dan DPD. Namun sesungguhnya MPR hanyalah wadah dari para anggota DPR dan DPD. Karena dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menjelaskan bahwa anggota MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD. Hal tersebut yang kemudian dimaksudkan sebagai sistem perwakilan dua kamar (bicameral). Gagasan mengubah sistem perwakilan menjadi sistem dua kamar muncul setelah perubahan UUD 1945. DPD dan DPR digambarkan serupa dengan sistem perwakilan seperti di Amerika Serikat yang terdiri dari Senate sebagai perwakilan negara bagian (DPD), dan House of Representatives 20 Pasal 24 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun1945. 17

sebagai perwakilan seluruh rakyat (DPR). Di Amerika Serikat, kedua unsur perwakilan tersebut dinamakan Kongres (Congress). 21 Lembaga perwakilan rakyat boleh terdiri dari satu kamar atau dua kamar (bicameral). Ada yang disebut parlemen atau legislatif dan namanya pun mungkin congress, House of Commons, Diet, Knesset, Bundestag atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Apapun sebutan dan namanya namun yang pokok adalah keberadaan Lembaga Perwakilan Rakyat merupakan hal yang sangat esensial karena ia berfungsi untuk mewakili kepentingankepentingan rakyat. Lewat lembaga perwakilan inilah aspirasi rakyat ditampung yang kemudian tertuang dalam berbagai macam kebijaksaan umum yang sesuai dengan aspirasi rakyat. 22 Ada dua teori klasik tentang hakekat hubungan wakil dengan terwakil yang terkenal, yaitu teori mandat dan teori kebebasan. Dalam teori mandat, wakil dilihat sebagai penerima mandat untuk merealisasikan kekuasaan terwakil dalam proses kehidupan politik. Teori ini menguntungkan terwakili karena dapat mengontrol wakil terus menerus. Sedangkan dalam teori kebebasan, wakil dapat bertindak tanpa bergantung atau terikat secara ketat dari terwakili. Menurut teori ini wakil adalah orang-orang terpercaya dan terpilih serta memiliki kesadaran hukum masyarakat yang diwakilinya, 21 Bagir Manan, DPR DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru, FH-UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 59. 22 Dahlan Thaib, DPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2000, hlm. 1. 18

sehingga wakil dapat bertindak atas nama mereka yang diwakilinya atau atas nama rakyat. Dalam teori ini, kontrol tidak berlangsung secara terus menerus. 23 Sebenarnya kekuasaan yang ada pada seorang wakil dan kemudian bergabung pada suatu lembaga perwakilan bertumpu pada kewenangan yang diberikan oleh orang-orang yang memberikan kedudukan. Artinya bahwa keterwakilan seseorang pada lembaga perwakilan harus senantiasa mewakili kehendak atau aspirasi dari yang diwakili. Sebagai konsekuensinya jika tidak dapat bertindak sesuai dengan kehendak orang-orang yang memberikan perwakilan maka hal itu berarti keterwakilannya harus diakhiri. Wakil dipandang tidak mampu mewakili kehendak atau aspirasi dan sebagai konsekuensinya harus dikembalikan lagi kepada orang yang telah memberikan. 24 Apabila seseorang duduk dalam lembaga perwakilan melalui pemilihan umum maka sifat perwakilannya disebut perwakilan politik. Apapun tugasnya dalam masyarakat, kalau yang bersangkutan menjadi anggota lembaga perwakilan melalui pemilihan umum tetap disebut perwakilan politik. Perwakilan politik merupakan pilihan di negara-negara maju, dan pemilihan umum tetap merupakan cara terbaik menyusun keanggotaan parlemen. Lain halnya pada beberapa negara berkembang 23 Austin Ranney, The Goverment of Man, dalam Ibid., hlm. 2. 24 Samsul Wahidin, Dimensi Kekuasaan Negara Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, hlm. 43. 19

mengangkat orang-orang tertentu dalam lembaga perwakilan di samping melalui pemilihan umum. Pengangkatan orang-orang di lembaga perwakilan biasanya didasarkan pada fungsi/jabatan atau keahlian orang tersebut dalam masyarakat dan mereka disebut golongan fungsional dan perwakilannya disebut perwakilan fungsional. Sering para ahli menyebutkan bahwa kadar demokrasi ditentukan oleh pembentukan parlemennya apakah melalui pemilihan umum dan pengangkatan, makin dominan perwakilan berdasarkan hasil pemilu makin tinggi kadar demokrasinya dan sebaliknya maka dominan pengangkatan makin rendah kadar demokrasi yang dianut oleh negara tersebut. 25 Pada umumnya Lembaga Perwakilan Rakyat mempunyai 3 (tiga) fungsi utama : 26 1. Fungsi legislatif atau pembuatan undang-undang (legislatif of law making function) 2. Fungsi Kontrol (control function) 3. Fungsi perwakilan (representative function) E. Metode penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang mengkonsepsikan 25 Bintan Saragih, Sistem Pemerintahan dan Lembaga Perwakilan di Indonesia, Perintis Press, Jakarta, 1985, hlm. 105-106. 26 Dahlan Thaib, Op.cit., hlm. 3. 20

hukum sebagai norma. Konsepsi hukum sebagai norma dianalisis menggunakan nilai-nilai hukum serta peraturan perundang-undangan. 1. Fokus Penelitian Fokus penelitian ini adalah terkait usulan amandemen Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Khususnya terkait salah satu usulan tentang penguatan lembaga perwakilan yang ada di Indonesia. 2. Sumber Bahan Hukum a. Bahan Hukum Primer, merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas, yang terdiri dari : 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 2) Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembuatan Peraturan Perundang-undangan 3) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 b. Bahan Hukum Sekunder, berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Bahan hukum ini meliputi buku-buku literatur, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, hasil penelitian dan karya ilmiah lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini. 21

3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Penelitian hukum normatif ini dilakukan dengan dukungan bahan hukum yang dikumpulkan dengan cara: studi pustaka dengan mengkaji berbagai hukum sekunder; studi dokumen terhadap peraturan perundangundangan dan putusan pengadilan yang relevan. 4. Metode Pendekatan Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (yuridis-normatif) yang mengkaji permasalahan dalam penelitian ini dari sudut pandang ketentuan hukum atau peraturan perundangundangan yang berlaku, pendekatan konseptual (conceptual approach) yang akan mengkaji persoalan dalam perspektif teori, dalam hal ini studi terhadap usulan amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD). 5. Tehnik dan Analisis Bahan Hukum Penelitian bersifat yuridis-normatif mengharuskan kualifikasi bahan hukum yang relevan untuk kemudian diklasifikasikan secara sistematis agar memudahkan proses analisis. Pengolahan bahan hukum dimulai dengan menganalisis bahan hukum terkait alasan DPD mengajukan usulan amandemen. Setelah itu digunakan bahan hukum berupa usulan amandemen yang diajukan oleh DPD terkait penguatan lembaga perwakilan. Bahan hukum 22

lainnya akan digunakan sebagai bahan analisis terkait konsep ideal lembaga perwakilan di Indonesia. 23

F. Kerangka Skripsi BAB I menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan kerangka skripsi. BAB II menguraikan tentang teori perubahan konstitusi, teori pemisahan kekuasaan, dan konsep lembaga perwakilan dalam sistem ketatanegaraan. BAB III menjawab masalah penelitian dengan memaparkan dan menganalisis mengapa DPD mengajukan usulan amandemen, serta memahami penguatan lembaga perwakilan dalam usulan amandemen UUD NRI tahun 1945 oleh DPD, selanjutnya menggali, memaparkan, dan menganalisis tentang konsep ideal lembaga perwakilan. BAB IV berisi tentang kesimpulan hasil penelitian dan rekomendasi sebagai tindak lanjut dari hasil penelitian. 24