BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Lima tahun pertama kehidupan anak adalah masa yang sangat penting karena

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Periode penting dalam masa tumbuh kembang seorang anak adalah masa

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. masa bayi, lalu berkembang menjadi mandiri di akhir masa kanak-kanak, remaja,

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. diulang lagi, maka masa balita disebut sebagai masa keemasan (golden period),

BAB I PENDAHULUAN. seutuhnya antara lain diselenggarakan melalui upaya kesehatan anak yang

Jurnal Keperawatan, Volume XI, No. 2, Oktober 2015 ISSN HUBUNGAN PEMBERIAN STIMULASI IBU DENGAN PERKEMBANGAN BALITA DI POSYANDU

PENELITIAN PEMBERIAN STIMULASI OLEH IBU UNTUK PERKEMBANGAN BALITA. Nurlaila*, Nurchairina* LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu prioritas Kementrian Kesehatan saat ini adalah meningkatkan status

Volume 4 No. 2, September 2013 ISSN :

BAB I PENDAHULUAN. Sedangkan pada Provinsi Jawa Barat 2007 dijumpai dari balita yang. terancam bergizi buruk sebanyak bayi.

BAB I PENDAHULUAN. khususnya di bidang kesehatan (Temu Karya Kader Posyandu dan Kader PKK se

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan anak dibawah lima tahun (Balita) merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. berkualitas, deteksi, intervensi dini penyimpangan tumbuh kembang (Depkes

BAB I PENDAHULUAN. Masa balita adalah masa yang membutuhkan perhatian lebih dari

PENGARUH PELATIHAN DETEKSI DINI TUMBUH KEMBANG BALITA (DTKB) TERHADAP MOTIVASI DAN KETRAMPILAN KADER DI DUSUN SORAGAN NGESTIHARJO KASIHAN BANTUL

BAB I PENDAHULUAN. sering menderita kekurangan gizi, juga merupakan salah satu masalah gizi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pertumbuhan dan perkembangan anak di periode selanjutnya. Terutama usia 0-2

BAB I PENDAHULUAN. Usia toddler merupakan usia anak dimana dalam perjalanannya terjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa. Untuk

BAB IPENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Balita menjadi istilah umum bagi anak dengan usia dibawah 5 tahun (Sutomo

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Balita di Kelurahan Baros Wilayah Kerja Puskesmas Baros Kota Sukabumi

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penyelenggaraan pembangunan kesehatan dasar terutama ibu, bayi dan anak balita

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yaitu ukuran fisik. penduduk (Depkes, 2004). Guna menyukseskan hal tersebut maka

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

GAMBARAN PERKEMBANGAN BALITA GIZI KURANG DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS CUKIR KABUPATEN JOMBANG

KERANGKA ACUAN STIMULASI DETEKSI DAN INTERVENSI DINI TUMBUH KEMBANG (SDIDTK) ANAK

HUBUNGAN PENGETAHUAN BIDAN TENTANG SDIDTK TERHADAP PELAKSANAAN SDIDTK DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KECAMATAN KARANGANOM KLATEN

BAB I PENDAHULUAN. Masalah ini banyak terjadi pada balita terutama di negara-negara. makanan yang tidak cukup (Nelson, 1996). Rata-rata berat badannya

Program Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK) 1. Pengertian Program SDIDTK merupakan program pembinaan tumbuh kembang anak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. untuk meningkatkan derajat kesehatan. Perubahan perilaku dengan promosi

BAB I PENDAHULUAN. apabila prasyarat keadaan gizi yang baik terpenuhi. Masalah gizi yang sering

1 Universitas Indonesia

STUDI DETERMINAN KEJADIAN STUNTED PADA ANAK BALITA PENGUNJUNG POSYANDU WILAYAH KERJA DINKES KOTAPALEMBANG TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN UKDW. perkembangan fase selanjutnya (Dwienda et al, 2014). Peran pengasuhan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. SDM yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental

BAB I PENDAHULUAN. sangat pesat, sehingga sering diistilahkan sebagai periode emas sekaligus

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. gizi buruk. Untuk menanggulangi masalah tersebut kementerian. kesehatan (kemenkes) menyediakan anggaran hingga Rp 700 miliar

BAB I PENDAHULUAN.

PINTAR BANANA SEBAGAI UPAYA OPTIMALISASI KUALITAS BALITA DI RW 04 DAN RW 05 DESA ROWOSARI KECAMATAN TEMBALANG KOTA SEMARANG

GAMBARAN KARAKTERISTIK KELUARGA BALITA PENDERITA GIZI BURUK DI KABUPATEN BENGKULU SELATAN TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan utama pembangunan nasional menurut Radiansyah (dalam Oktaviani,

BAB I PENDAHULUAN. membangun manusia seutuhnya yang dapat dilakukan melalui berbagai. dimasa yang akan datang, maka anak perlu dipersiapkan agar dapat

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Balita merupakan kelompok masyarakat yang rentan gizi. Kelompok

BAB I PENDAHULUAN. berkualitas dan sukses di masa depan, demikian juga setiap bangsa menginginkan

Oleh : Yuyun Wahyu Indah Indriyani ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan perkembangannya (Hariweni, 2003). Anak usia di bawah lima tahun (Balita) merupakan masa terbentuknya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. keemasan, yang memiliki masa tumbuh kembangnya berbagai organ tubuh. Bila

BAB I PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh rendahnya status gizi dan kesehatan penduduk Indonesia

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. rawan terhadap masalah gizi. Anak balita mengalami pertumbuhan dan. perkembangan yang pesat sehingga membutuhkan suplai makanan dan

BAB I PENDAHULUAN. gizi yang lebih tinggi harus terpenuhi. Pada masa ini balita sangat rentan

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat 2025 adalah

BAB I PENDAHULUAN. harapan hidup yang merupakan salah satu unsur utama dalam penentuan

Jurnal Keperawatan, Volume XII, No. 2, Oktober 2016 ISSN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kekurangan gizi terutama pada anak-anak akan mempengaruhi

DETEKSI DINI TUMBUH KEMBANG (DDTK)

REPI SEPTIANI RUHENDI MA INTISARI

BAB 1 PENDAHULUAN. pertumbuhan dan perkembangan toddler. Anak usia toddler yang banyak

BAB 1 PENDAHULUAN. normal melalui proses digesti, absorbsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak dasar manusia dan merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Kader merupakan tenaga non kesehatan yang menjadi. penggerak dan pelaksana kegiatan Posyandu. Kader merupakan titik sentral dalam

BAB I PENDAHULUAN. Istilah kembang berhubungan dengan aspek diferensiesi bentuk atau fungsi,

BAB 1 PENDAHULUAN. Tantangan utama dalam pembangunan suatu bangsa adalah membangun

BAB I PENDAHULUAN. Bayi adalah anak usia 0-2 bulan (Nursalam, 2013). Masa bayi ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Mulai dari kelaparan sampai pola makan yang mengikuti gaya hidup yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan pada masa pra sekolah merupakan tahap

BAB I PENDAHULUAN. pertama kali posyandu diperkenalkan pada tahun 1985, Posyandu menjadi. salah satu wujud pemberdayaan masyarakat yang strategis

HUBUNGAN PENGGUNAAN KUESIONER PRA SKRINING PERKEMBANGAN (KPSP) DENGAN PENYIMPANGAN PERKEMBANGAN BALITA USIA BULAN

BAB I. Pendahuluan. keharmonisan hubungan suami isteri. Tanpa anak, hidup terasa kurang lengkap

BAB I PENDAHULUAN. Masa balita merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan berat

BAB 1 PENDAHULUAN. cerdas dan produktif. Indikatornya adalah manusia yang mampu hidup lebih lama

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan dengan segala hasil yang ingin dicapai, di setiap negara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BPPN,2014) menyebutkan

BAB I PENDAHULUAN. 2006). Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) tahun 2014

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa balita merupakan periode penting dalam proses. tumbuh kembang manusia. Pertumbuhan dan perkembangan

BAB I LATAR BELAKANG

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kesempatan Indonesia untuk memperoleh bonus demografi semakin terbuka dan bisa

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu riset menunjukkan setidaknya 3,5 juta anak meninggal tiap tahun karena

Serambi Saintia, Vol. IV, No. 2, Oktober 2016 ISSN :

BAB I PENDAHULUAN. peka menerangkan derajat kesehatan masyarakat. Salah satu masalah

TINGKAT PENGETAHUAN IBU BALITA TENTANG POSYANDU DENGAN TINGKAT PARTISIPASI IBU BALITA BERKUNJUNG DI POSYANDU

BAB I PENDAHULUAN. (United Nations Developments Program), Indonesia menempati urutan ke 111

BAB I PENDAHULUAN. (Ariwibowo, 2012) atau sekitar 13% dari seluruh penduduk Indonesia yang

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan lima tahun. Pada usia ini otak mengalami pertumbuhan yang

PENGARUH KOMPETENSI BIDAN DI DESA DALAM MANAJEMEN KASUS GIZI BURUK ANAK BALITA TERHADAP PEMULIHAN KASUS DI KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2008 ARTIKEL

BAB I PENDAHULUAN. tahun pertama dalam kehidupannya yang merupakan. lingkungan bagi anak untuk memperoleh stimulasi psikososial.

BAB I PENDAHULUAN. dalam bentuk fisik maupun kemampuan mental psikologis. Perubahanperubahan

BAB 1 : PENDAHULUAN. tidak dapat ditanggulangi dengan pendekatan medis dan pelayanan masyarakat saja. Banyak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Pembangunan bidang kesehatan di Indonesia saat ini mempunyai beban

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat,

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG IMUNISASI DENGAN KEPATUHAN IBU DALAM PEMBERIAN IMUNISASI DASAR PADA BAYI DIPUSKESMAS CAWAS

BAB I PENDAHULUAN. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia sangat dipengaruhi oleh rendahnya

BAB I PENDAHULUAN. penting terjadinya kesakitan dan kematian pada ibu hamil dan balita

KERANGKA ACUAN KERJA STIMULASI, DETEKSI DAN INTERVENSI DINI TUMBUH KEMBANG ( SDIDTK)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. faktor yang perlu diperhatikan dalam menjaga kesehatan, karena masa balita

BAB I PENDAHULUAN. Masa golden period, potensi-potensi yang dimiliki seseorang akan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lima tahun pertama kehidupan anak adalah masa yang sangat penting karena anak mulai menerima berbagai macam bentuk rangsangan serta proses pembelajaran. Masa ini disebut masa keemasan pada anak dimana hal tersebut tidak dapat terulang dan terjadi dengan singkat. Balita dapat lebih peka dan cepat dalam menerima proses pembelajaran dari lingkungannya karena otak balita masih bersifat plastis (Depkes RI, 2010). Salah satu upaya untuk membangun kesehatan Indonesia yang utuh dapat dimulai sejak usia balita, yakni adanya perhatian yang lebih dari pemerintah dalam meningkatkan kualitas pertumbuhan dan perkembangan anak diantaranya dengan pemberian gizi yang adekuat, stimulasi yang memadai sesuai tahapan usia dan pelayanan kesehatan berkualitas yang terjangkau (Susanti, 2014). Proses tumbuh kembang manusia berlangsung sejak usia janin dalam kandungan hingga dewasa yang bersifat terus menerus dan dipengaruhi berbagai faktor sebagai penentu kualitas dari tumbuh kembang individu tersebut (Marimbi, 2010). Berdasarkan penelitian oleh McGragor, et al., (2007) dan Walker, et al., (2007) mengenai perkembangan balita di negara berkembang disebutkan bahwa gangguan pertumbuhan dan perkembangan balita masih menjadi salah satu permasalahan penting didunia. Lebih dari 200 juta anak di bawah usia lima tahun gagal mencapai potensi mereka dalam perkembangan kognitif. Anak anak usia dibawah lima tahun di negara negara berkembang banyak yang terpapar beberapa risiko diantaranya adalah kemiskinan, kurang gizi dan perawatan, 1

2 kesehatan yang buruk, dan kurangnya stimulasi dari lingkungan rumah dimana hal tersebut dapat berpengaruh terhadap aspek perkembangan pada anak. Di Indonesia sendiri, hingga saat ini masih belum memiliki data nasional mengenai perkembangan/gangguan perkembangan pada balita (Oktavianto, 2016). Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) tahun 2013 menyebutkan bahwa sekitar 5% hingga 10% anak diperkirakan mengalami keterlambatan perkembangan. Namun, data angka kejadian keterlambatan perkembangan umum belum diketahui dengan pasti, tetapi dapat diperkirakan sekitar 1% hingga 3% anak di bawah usia 5 tahun mengalami keterlambatan perkembangan umum (IDAI, 2013). Gangguan perkembangan balita yang masih sering dijumpai diantaranya, gangguan berbicara/bahasa, cerebral palsy, sindrom down, perawakan pendek, autisme, retardasi mental serta gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktifitas (GPPH) (Depkes RI, 2012). Beberapa gangguan perkembangan selain yang sudah tersebut diatas, menurut buku Pedoman Penanganan Kasus Rujukan Kelainan Tumbuh Kembang Balita (Kemenkes RI, 2011) meliputi pula gangguan pendengaran dan gangguan penglihatan pada anak. Menurunnya kekebalan tubuh yang dapat memicu anak tersebut rentan terhadap serangan penyakit terutama penyakit infeksi yang dapat mengganggu pertumbuhan, perkembangan fisik, mental dan jaringan otak adalah karena status gizi balita yang kurang ataupun buruk (Dinkes DIY, 2015). Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, pada tahun 2010 hingga tahun 2013 prevalensi gizi balita di Indonesia berdasarkan BB/U, untuk kategori gizi buruk terdapat peningkatan dari 4.9% pada tahun 2010 menjadi 5.7% pada tahun 2013,

3 untuk kategori gizi kurang juga mengalami peningkatan dari 13.0% pada tahun 2010 menjadi 13.9% pada tahun 2013 (Kemenkes RI, 2015). Menurut data Riskesdas tahun 2013, balita yang mengalami gangguan pertumbuhan di Provinsi DIY berdasarkan pengukuran BB/U pada balita diketahui terdapat 4.0% untuk kasus gizi buruk dan 12.2% untuk kasus gizi kurang (Depkes RI, 2015). Berdasarkan data Profil Kesehatan Indonesia 2014, estimasi jumlah balita (1 4 tahun) di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat 212.479 jiwa (Depkes RI, 2015). Menurut seksi gizi Dinas Kesehatan DIY tahun 2014, dari lima kota/kabupaten di provinsi DIY persentase gizi balita yang masih dibawah garis merah (BGM) paling banyak terdapat di Kota Yogyakarta dengan 1.9% untuk tahun 2013 dan 1.27% untuk tahun 2014. Kota/kabupaten lainnya sudah berada dibawah 1%. Bawah garis merah merupakan suatu standar dan peringatan dalam status gizi agar anak dapat lebih cepat dikonfirmasi dan ditindak lanjuti untuk dapat segera ditangani (Dinkes DIY, 2015). Angka tersebut menunjukkan bahwa diantara lima kota/kabupaten di DIY, Kota Yogyakarta masih berada diurutan terbawah untuk status gizi anak. Menurut Aboud, et al., (2013) tidak memadainya pemberian stimulasi kognitif pada anak merupakan satu dari empat faktor risiko utama yang teridentifikasi membutuhkan tindak intervensi mendesak yang dihadapi oleh anak anak sejak lahir hingga usia lima tahun. Upaya kesehatan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan tumbuh kembang yang optimal dan mengurangi gangguan tumbuh kembang adalah dengan pemberian stimulasi tumbuh kembang anak (Andriana, 2009). Menurut Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi dan

4 Intervensi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK) Anak di Tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar oleh Depkes RI (2010), stimulasi adalah kegiatan dalam pemberian rangsang pada anak sejak dini dalam bentuk kemampuan dasar yang terarah agar tercapai tumbuh kembang anak yang optimal. Pemberian stimulasi tumbuh kembang ini dapat dilakukan oleh orangtua, pengasuh, anggota keluarga maupun kelompok masyarakat dalam lingkungan rumah tangga. Kegiatan menstimulasi tumbuh kembang anak dapat lebih ditingkatkan kualitasnya dengan dilaksanakan dalam bentuk kemitraan antara keluarga (orangtua, pengasuh, anggota keluarga), masyarakat (kader posyandu, LSM dan sebagainya) dan tenaga profesional (kesehatan, pendidikan dan sosial). Menurut buku Pedoman Penanganan Kasus Rujukan Kelainan Tumbuh Kembang Balita (Kemenkes RI, 2011) tingkatan pertama dalam pemantauan tumbuh kembang anak adalah tingkat rumah tangga, yaitu orangtua. Menurut Hadikusumo (2010) dalam Ruscasari (2012), orangtua atau ibu merupakan pendidik pertama dan utama bagi anaknya karena hanya dengan layanan yang ibu berikan anak dapat hidup dan berkembang hingga dewasa. Faktor yang mempengaruhi terjadinya gangguan/keterlambatan perkembangan pada balita diantaranya adalah kurang aktifnya perilaku ibu dalam memberikan stimulasi kepada anak dan ketidaktahuan serta rendahnya motivasi ibu terhadap pentingnya perilaku ibu dalam stimulasi perkembangan anak menyebabkan ibu belum memahami cara menstimulasi anaknya sesuai dengan usia perkembangan (Sari, 2014). Orangtua khususnya ibu harus memiliki pengetahuan tentang proses tumbuh kembang pada anak sehingga bila ada kelainan secara dini bisa segera

5 diketahui. Semakin tinggi pengetahuan yang dimiliki ibu mengenai tumbuh kembang anak, diharapkan ibu juga semakin termotivasi dalam memberikan stimulasi pada anak (Sundari, S., dan Maulidia, K., 2014). Pengetahuan dan motivasi yang baik mengenai stimulasi tumbuh kembang balita yang ada pada diri orangtua dapat meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan yang lebih optimal (Ruscasari, 2012). Pemahaman ibu dalam menyerap informasi yang didapat juga turut mempengaruhi tingkat motivasi, sehingga ibu dengan pemahaman yang baik akan mudah menerima dan mendorong dirinya untuk melakukan tindakan untuk memenuhi kebutuhan tertentu, dengan demikian tentunya ibu akan mempunyai motivasi yang baik (Rustiyana, et al., 2014). Berdasarkan buku Teori Motivasi dan Pengukurannya oleh Uno (2016), motivasi merupakan suatu bentuk kekuatan yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu yang menjadi tujuan individu tersebut. Sarwono (1997) dalam Sosiologi Kesehatan; Beberapa Konsep beserta Aplikasinya menyebutkan bahwa timbulnya motivasi dalam diri seseorang adalah karena adanya kebutuhan atau keinginan yang harus terpenuhi/tercapai. Keinginan tersebut akan mendorong seseorang untuk melakukan suatu tindakan tertentu. Motivasi yang baik dari orangtua khususnya ibu balita sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan kegiatan stimulasi dalam kehidupan sehari hari (Yuliana, 2016). Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan motivasi orangtua khususnya ibu balita adalah dengan melaksanakan sebuah pelatihan langsung kepada orangtua. Pelatihan orangtua dalam rangka meningkatkan perkembangan anak merupakan suatu bentuk kegiatan yang bertujuan untuk memberikan dan mengembangkan

6 pengetahuan serta pemahaman kepada orangtua tersebut (Smith, Perou & Lesesne, 2002 dalam Akmal, et al., 2013). Keberhasilan dari pelaksanaan pelatihan dapat menjadi motivasi tersendiri bagi individu dalam mempertahankan dan meningkatkan kinerja dan hasil (Sianturi,2013). Berdasarkan data seksi gizi Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta pada saat studi pendahuluan, hasil pemantauan status gizi (PSG) berdasarkan indikator BB/U tahun 2015 di Kota Yogyakarta, Puskesmas Gedongtengen merupakan puskesmas yang masih memiliki banyak balita dengan status gizi kurang yaitu mencapai 93 balita. Hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan oleh peneliti di Puskesmas Gedongtengen didapatkan data bahwa masih banyak balita dengan status gizi kurang yaitu sebanyak 63 orang balita dan belum pernah ada pelatihan terkait stimulasi tumbuh kembang anak kepada orangtua. Dalam mencegah terjadinya masalah pertumbuhan dan perkembangan pada balita, kader posyandu dengan pengetahuan yang dimilikinya dapat memberikan informasi atau penyuluhan kepada orangtua (Agustin, et al., 2012). Hasil studi pendahuluan selanjutnya adalah berdasarkan evaluasi kemampuan kader dalam kegiatan deteksi tumbuh kembang balita, 80% kader posyandu masih belum mampu melaksanakan secara mandiri dan masih bergantung kepada petugas puskesmas. Sehingga para ibu belum cukup banyak menerima informasi terkait stimulasi tumbuh kembang balita dari kader posyandu tersebut. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti kepada lima orang ibu balita dengan status gizi kurang, pengetahuan ibu mengenai stimulasi tumbuh kembang balita menunjukkan bahwa ibu masih kurang paham

7 terkait definisi perkembangan anak, tahap perkembangan anak usia 48 60 bulan dan usia 24 36 bulan, stimulasi gerak kasar pada tahap usia 12 18 bulan dan aspek gerak halus. Kemudian, berdasarkan hasil studi pendahuluan mengenai motivasi dalam pemberian stimulasi tumbuh kembang balita, ibu sudah memiliki motivasi yang cukup. Namun, jika diuraikan pada masing masing pernyataan pada kuesioner, ibu masih belum termotivasi untuk dapat lebih mengungguli orang lain dan belum paham pentingnya umpan balik yang diterima dapat terkait pengembangan diri ibu dalam memberi stimulasi. Dari penjelasan diatas, penulis tertarik untuk mengetahui apakah ada pengaruh pelatihan stimulasi tumbuh kembang balita terhadap motivasi orang tua di Puskesmas Gedongtengen Kota Yogyakarta. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah : Apakah ada pengaruh pelatihan stimulasi tumbuh kembang balita terhadap motivasi orangtua di wilayah kerja Puskesmas Gedongtengen Kota Yogyakarta? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui pengaruh pelatihan stimulasi tumbuh kembang balita terhadap motivasi orangtua di wilayah kerja Puskesmas Gedongtengen Kota Yogyakarta. 2. Tujuan Khusus Mengetahui perbedaan tingkat motivasi pada orangtua sebelum dan sesudah diberikan pelatihan stimulasi tumbuh kembang balita.

8 D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan mampu menambah keberagaman ilmu dan wawasan di ranah keperawatan komunitas dan keperawatan anak terkait pemberian stimulasi tumbuh kembang pada balita. 2. Manfaat Praktis a. Bagi peneliti Penelitian ini menambah wawasan baru untuk diri peneliti sendiri mengenai pengaruh pelatihan stimulasi tumbuh kembang balita terhadap motivasi orangtua. b. Bagi responden Penelitian ini diharapkan mampu menambah ilmu baru dan dapat memupuk motivasi responden dalam hal pentingnya pemberian stimulasi tumbuh kembang balita dari segi teori maupun cara memberi stimulasi sesuai tahapan usia. c. Bagi puskesmas Hasil penelitian ini diharapkan mampu dijadikan bahan evaluasi bagi puskesmas dalam hal pemberian stimulasi tumbuh kembang pada balita setelah dilakukannya kegiatan pelatihan kepada orangtua dan diharapkan dapat menurunkan kasus gangguan tumbuh kembang pada balita khususnya diwilayah kerja puskesmas tersebut.

9 E. Keaslian Penelitian Peneliti menemukan beberapa penelitian yang serupa dalam penelusuran pustaka dengan rencana penelitian yang akan dilakukan peneliti, diantaranya : 1. Hubungan Pengetahuan dan Motivasi dengan Ketrampilan Deteksi Dini Pertumbuhan Anak pada Kader Posyandu di Wilayah Puskesmas Sewon II Bantul oleh Wati (2013). Jenis dan desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif korelasional dengan pendekatan cross sectional. Variabel bebas penelitian ini adalah pengetahuan dan motivasi, sedangkan variabel terikat penelitian ini adalah ketrampilan kader dalam deteksi dini pertumbuhan anak. Sampel pada penelitian ini adalah kader posyandu di wilayah Puskesmas Sewon II Bantul Yogyakarta. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik Cluster dan Proportional Sampling dengan jumlah sampel sebanyak 41 orang responden. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa lembar data umum responden, kuesioner pengetahuan dan kuesioner motivasi kader posyandu dalam pelaksanaan deteksi dini pertumbuhan yang diadopsi dari Uno (2011) dan dimodifikasi. Hasil penelitian didapatkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan ketrampilan kader posyandu dalam deteksi dini pertumbuhan anak (p = 0,001), sedangkan tidak terdapat hubungan antara motivasi dengan ketrampilan kader posyandu dalam deteksi dini pertumbuhan anak (p = 0,969). Persamaan antara penelitian Wati (2013) dengan milik peneliti ada pada instrumen yaitu kuesioner motivasi yang diadopsi dari kuesioner motivasi milik Uno (2011), sedangkan perbedaan terletak pada

10 metode dan desain penelitian, variabel bebas, viriabel terikat, subjek penelitian, teknik sampling dan tempat pelaksanaan penelitian. 2. Hubungan Pemberian Motivasi Ibu Tentang Stimulasi Dini Dengan Perkembangan Pada Anak Usia 48 Bulan di TK Nurul Izzah Candirejo 2015 oleh Yuliana (2016). Jenis dan desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif korelasional dengan pendekatan cross sectional. Sampel pada penelitian ini adalah anak usia 48 bulan di TK Nurul Izzah Candirejo. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik sampling jenuh yaitu mengambil semua populasi yaitu dengan jumlah sebanyak 44 orang responden. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa kuesioner dan KPSP. Hasil penelitian didapatkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pemberian motivasi ibu tentang stimulasi dini dengan perkembangan pada anak usia 48 bulan dengan p value =0,0001. Perbedaan antara penelitian milik Yuliana (2016) dengan milik peneliti terletak pada metode dan desain penelitian, subjek penelitian, teknik sampling dan tempat pelaksanaan penelitian. 3. Pengaruh Pelatihan Care of Child Development Terhadap Pengetahuan dan Motivasi Kader Posyandu di Kota Yogyakarta oleh Kuspriono (2016). Jenis dan desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah Quasi Experimental dengan pendekatan non equivalent control group design. Variabel bebas penelitian ini adalah pelatihan Care of Child Development, sedangkan variabel terikat penelitian ini adalah pengetahuan dan motivasi kader. Sampel pada penelitian ini adalah kader posyandu di wilayah Puskesmas Mantrijeron

11 Yogyakarta. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik Cluster Sampling dengan jumlah sampel sebanyak 13 orang responden. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa kuesioner pengetahuan dan kuesioner motivasi kader posyandu yang diadopsi dari Uno (2011) dan dimodifikasi. Hasil penelitian didapatkan bahwa terdapat pengaruh dari diberinya pelatihan Care of Child Development terhadap pengetahuan dan motivasi kader posyandu. Persamaan antara penelitian Kuspriono (2016) dengan milik peneliti ada pada instrumen yaitu kuesioner motivasi yang diadopsi dari kuesioner motivasi milik Uno (2011), sedangkan perbedaan terletak pada metode dan desain penelitian, variabel bebas, viriabel terikat, subjek penelitian, teknik sampling dan tempat pelaksanaan penelitian.