- 41 - MELAYU YANG CINA CINA TAK MELAYU Di rantau Natuna, hampir elisetiap daerah khususnya eli sentra-sentra perkotaan, komunitas Cina telah hidup dan menetap, mungkin sarna lamanya dengan komunitas Melayu itu sendiri. Tidak ada catatan pasti kapan sebenarnya komunitas Cina merietap dan mendiami rantau ini. Yang jelas sudah sangat lama dan mereka sudah beranak-pinak dan bercucu bahkan sudah pas dan hapal betul dengan dialek serta budaya masyarakat tempatan. Namun kemuelian sejauh mana telah terjaeli pembauran budaya dan berbagai aspek kehidupan lainnya, hingga kini belum pernah dilakukan sebuah penelitian. Satu catatan yang kelihatannya sangat menonjol, jika kita bicara komunitas cina, yaitu keberhasilan rnereka dalam menguasai hampir dalam segenap sentra ekonomi, mulai skala kecil hingga besar. Dan inipun sudah berlansung lama, sebab orang tua-tua kita dulu juga sudah bertoke dengan orang cina ini. Dan tanpa elisadari kini, mau tidak mau, suka atau tidak aktivitas ekonomi eli rantau ini banyak elitentukan oleh komunitas Cina.
Ran/all Berkabll/ Namun dalam tulisan ringan ini, yang ingin dikupas bukanlah aspek ekonomi atau lainnya melainkan sedikit melihat interaksi social budaya yang selama ini terjadi antara dua komunitas besar ini dan mencoba untuk melihat exses yang ditimbulkannya.. Semua mengakui bahwa kawasan Natuna adalah rantau Melayu atau tanah Melayu yang meskipun menrut susur gakur sejarah, saudara-saudara kita dari rantau Bugis telah banyak memberikan andil bahkan ikut mendirikan rantau ini. Dan kitapun paham rantau Melayu, dalam ranah idealnya adalah sebuah kawasan yang padat dan sarat dengan adat istiadat dan nilai-nilai budaya yang bertalian erat dengan nilai-nilai dan norma-norma ajaran Islam. Hingga para ilmua Melavu mengatakan bahwa dikatakan Melayu jika ia beragatna Islam, beradat budaya Melayu, dan bertutur Melayu. Jadilah di rantau ini jika kemudian ada komunitas Cina atau yang lainnya masuk agama Islam, disebut masuk Melayu atau sudah Melayu. Meskipun kenyataannya terbilang langka fenomena terse but. Dalam kacamata sosial sebetulnya interaksi dan pola hubungan yang terjalin erat antara dua komuniats ini sangatlah tidak ideal. Meskipun hingga kini belum pernah terjadi gejolak apalagi konflik antara komunitas, jikapun ada hanyalah dalam skala yang sangat kecil, tapi tidak mustahil pada suatu masa akan terjadi. Meskipun Melayu memeiliki karakter dasar adalah sebuah masyarakat yang tebuka memeiliki solidaritas yang tinggi dan sangat toleran, namun karen a pengikisan budaya oleh - 42 -
Melqyu yang Cina, Cina tak Melqyu pe.rkembangan zaman dan arus globalisasi serta hirnpitan berbagai problem kehidupan, budaya amuk, akan pecah di rantau ini seperti pernah terjadi di rantau Melayu lainnya. Dan tentu kita tidak berharap ini menjelma menjadi sebuah kenyataan. Disis lain persoalan yang tidak kalah pentingnya adalah telah terjadi oengnikisan nilai, erosi kultur yang dialami oleh komunitas Melayu itu sendiri. Bukan berarti kemudian dalam kontek ini kesalahan harus ditimpakan pada kawan-kawan kita dari komunitas Cina. Artinya refleksi internal harus segera dilakukan. Mengapa kemudian kita terjebak dan terseret dalam gelombang perubahan yang menghancurkan tatanan nilai dan budaya kita sendiri. Tidak adil sebetulnya jika untuk menyorot dan meyoal kemerosotan budaya, hanya membidik satu lingkaran yang ikut mempengaruhi perubahan tersebut. Pili han ini diambil agar lebih mudah dipahami dan kemudian mencoba menemukan solusi alternatifnya. Realitas yang sangat sederhana adalah ketika komunitas Cina melaksanakan perayaan hari-hari besarnya, maka orang Melayu justru banyak yang mabuk alias teller, mereka ikut bersenag-senang, pesta, main judi dan sejenisnya. Tentu dalam konteks kultur Cina hal tersebut adalah tradisi yap.g tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan mereka. Sambil menunggu jenazah semalam suntuk mereka melakukan aktivitas berjudi yang menurut mereka itu merupakan sebuah penghormtan bagi yang meninggal tersebut. Dan tentu dalam konteks ini pula 43 -
Rantau Berkabut kitapun harus menghormati dan menghargai adat buaday mereka. Tentu jika mau berapologi, tanpa perayaan Cina orangn Melayu kini banyak yang hobi mabuk dan main judi, tentu benar. Akan tetapi dalam pranata sosial rnasyarakat, lingkungan dan konstruksi sosial sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan masyarakat itu sendiri. J~di inilah akar problemnya, mengapa mereka yang berhari raya, lantas kita yang mabuk. Bahkan ada orang Melayu yang minum sekali setahun yakni ketika tiba perayaan Cina, yang katanya demi menghargai sebuah simbol so sial yang namanya kawan atau ternan. Tentu bagi mereka yang masih waras akan aneh kedengarannya, demi sebuah pertemanan atau perkawanan, kita rela merusak norma dan nilai-nilai budaya dan agama kita sendiri, dan tentunya inipun tidak mungkin dimasukkan dalam kerangka tingginya solidaritas yang dirniliki komunitas Melayu. Artinya Melayu yang Cina menemukan ruang letaknya, sebab telah terjadi kontaminasi budaya dalam berbagai aspek kehidupan.dan selanjutnya ketika prilaku Cina, dianggap sebagai faktior yang turut mengaburkan identitas kemelayuan kornunitas Melayu, maka faktor pendukung semisal strata social ekonomi yang tidak seimbang, exklusivitas, monopoli dan berbagai sikap minus lainnya hanya akan menjadi factor pemicu terjadinya sebuah disintegritas. Meskipun sekali lagi perlu - 44 -
Melqyu yang Cina, Cina tak Melqyu ditekankan ambiguitas atau kerancuan masyarakat Melayu merespon pola kultur dan budaya Cina tak sepenuhnya kesalahan ditimpakan pada si Cina. Sebab sebuah budaya, identitas dan norma ataupun nilai-nilai apa namanya, tidaklah dikatakan tangguh, eksis jika tidak teruji dilapangan ketika bersentuhan dengan adat budaya atau nilai-nilai diluarnya. lnilah seharusnya yang dipahami oleh komunitas Melayu, Kedepan hubungan dan interaksi yang masih ekxstrim antara dua komunitas ini seyogyanya harus dibenahi dan direkontruksi, agar nantinya ketika terjadi disharmonisasi tidak lantas dijadikan sebagai pembenaran untuk melakukan tindakan yang tidak bertanggung jawab. Tentunya dengan catatan bahwa komunitas ini, harus lebih mernbuka diri, interaksi social lebih ditingkatkan bukan hanya dalam wilayah produksi atau ekonomi semata, interaksi social, budaya bahkan dalam wilayah politik sekalipun. Komunitas Melayu hams membangun kesadaran kolektif bahwa meskipun Cina tak Melayu, Melayupun jangan sarnpai men-cina. Identitas ini harus dibangun dan dipertahankan kembali, tentu dengan catatan tetap menjalankan kultur inklusif, terbuka dan siap berinteraksi dengan segenap unsure budaya. Artinya saringan dan pelapisan budaya harus tetap dilakukan. Cina dengan segala dinamikanya haruslah dianggap sebagai sebuah asset berharga di rantau ini, rneskipun bukan berarti kita harus larut dalam ad at istiadat dan budaya rnereka. Marilah sama-sarna kita tanarnkan komitmen bahwa siapapun boleh hidup di rantau ini, asalkan rnenghargai dan rnengnhorrnati nilai-nilai, adat - 45 -
Rantau Berkabut istiadat dan budaya yang telah berurat berakar di bumi Melayu. Masyarakat Melayu pun jangan malu untuk mengatakan telah latah dan salah kaprakndalam mengartikan sebuah keterbukaan, semangat toleransi dan sebuah penghargaan. Tentu lain persoalan jika kita beaar-benar telah siap untuk menjadi Cina dan melepaskan seleuruh atribut serta identitas sebagai orang Melayu, sebab sudah menjadi kesepakatan seluruh alam Melayu di manapun berada, bahwa Melayu adalah Islam, berturut bahasa Melayu dan beradat budaya Melayu. - 46 -