BAB 4. ANALISA DAN PEMBAHASAN HASIL Dalam bab ini akan disajikan gambaran umum penelitian, hasil uji validitas dan reliabilitas, statistik deskriptif tiap variabel, pengujian hipotesa dan pembahasan data. 4.1. Gambaran Umum Penelitian Responden penelitian adalah karyawan Formulatrix. Total kuesioner yang disebar sebanyak 100 dengan rincian hasil kuesioner pada lampiran dan penjelasan mengenai responden sebagai berikut: Gambar 4.1 : Karakteristik Responden 38
Dari gambar 4.1 di atas dapat dilihat bahwa mayoritas karyawan di PT. Formulatrix Indonesia adalah pria dengan persentasi 70%, usia 26-30 tahun dengan persentasi 38%, mayoritas berpendidikan sarjana 61%, jabatan mayoritas sebagai staff, responden mayoritas brasal dari divisi engineer, mayoritas masa kerja dengan jumlah 43% adalah bekerja selama 1-3 tahun, status karyawan adalah karyawan tetap dengan persentasi 70%. 4.2. Uji Validitas dan Reliabilitas Uji validitas digunakan untuk mengukur sah atau tidaknya suatu kuesioner. Suatu kuesioner dikatakan valid jika pertanyaan pada kuesioner mampu untuk mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner tersebut. Uji validitas yang digunakan adalah dengan menghitung korelasi antara skor masing-masing butir pertanyaan dengan total skor setiap konstruknya (Ghozali, 2006). Menurut Chin (1996) dalam Gozhali (2006) untuk penelitian pada tahapan awal pengembangan model, skala pengukuran nilai 0,5 sampai dengan 0,6 dianggap dapat ditolelir. Pada tabel 4.9 di lampiran menunjukkan bahwa intrumen variabel employee engagement mempunyai semua item yang bernilai positif dan lebih besar dari r (0,361). Oleh karena itu keseluruhan item employee engagement valid dan dapat digunakan dalam penelitian ini. Koefisien alpha = 0.928 > 0.6, ini berarti instrument employee engagement adalah reliable dan 39
dapat digunakan untuk proses pengolahan data selanjutnya. Dari tabel 4.10 pada lampiran menunjukkan bahwa intrumen variabel flextime mempunyai semua item yang bernilai positif dan lebih besar dari r (0,361). Oleh karena itu keseluruhan item flextime valid dan dapat digunakan dalam penelitian ini.koefisien alpha = 0.903 > 0.6, ini berarti instrument flextime adalah reliable dan dapat digunakan untuk proses pengolahan data selanjutnya. Dari tabel 4.11 pada lampiran tampak bahwa instrumen variabel total returns mempunyai 4 variabel yang tidak valid yaitu item no. 28,30,33,34, sehingga item tersebut harus dihilangkan dalam perhitungan selanjutnya. Setelah dilakukan perhitungan ulang tanpa menyertakan 4 item yang tidak valid, hasil perhitungan ke-2 instrument variabel total returns masih mempunyai 2 variabel yang tidak valid yaitu item no. 31 dan 35, sehingga item tersebut harus dihlangkan dalam perhitungan selanjutnya. Setelah dilakukan perhitungan ulang tanpa menyertakan 2 item yang tidak valid, hasilnya adalah seperti tertuang pada tabel 4.13 pada lampiran, dari hasil perhitungan ke-3 instrument variabel total returns masih mempunyai 1 variabel yang tidak valid yaitu item no. 32, sehingga item tersebut harus dihilangkan dalam perhitungan selanjutnya. Setelah dilakukan perhitungan ulang tanpa menyertakan 1 item yang tidak valid, hasilnya terlihat pada tabel 4.14 pada lampiran menunjukkan bahwa sekarang intrumen variabel total returns mempunyai semua item yang 40
bernilai positif dan lebih besar dari r (0,361). Oleh karena itu keseluruhan item total returns valid dan dapat digunakan dalam penelitian ini. Koefisien alpha = 0.829 > 0.6, ini berarti instrument total returns adalah reliable dan dapat digunakan untuk proses pengolahan data selanjutnya. 4.3. Statistik Deskriptif Statistik deskriptif variabel penelitian digunakan untuk memberikan gambaran tentang tanggapan responden mengenai variabel-variabel penelitian. Statistik deskriptif keseluruhan data yang diperoleh dapat digambarkan seperti dalam tabel berikut: Tabel 4.15 : Statistik Deskriptif Variabel-variabel penelitian Descriptive Statistics N Minimum Maximum Mean Std. Deviation Score Total Returns 100 2 5 3.68.601 Score Flextime 100 2 5 3.98.723 Score Employee Engagement 100 2 5 3.45.658 Valid N (listwise) 100 Dari tabel 4.15 di atas, dapat dilihat bahwa angka minimum dan maksimum telah sesuai dengan skala likert 1-5. Pada rata-rata skor untuk ke tiga variabel berada pada skala 3.41-4.20 pada interval skala likert yang berarti setuju. Hal ini berarti bahwa para responden menganggap bahwa variabel-variabel 41
tersebut merupakan faktor penting dalam menjalani pekerjaan dan bekerja. 4.4. Uji Asumsi Klasik 4.4.1. Uji Multikoleniaritas Tabel 4.16 : Uji multikolonieritascoefficientsa Dari hasil uji multikolonieritas yang digambarkan pada tabel 4.16 dapat dilihat bahwa variabel flextime dan total returns memiliki nilai tolerance 0.867 dan hasil perhitungan nilai VIF (variance inflation factor) 1.153.Uji multikoleniatitas dapat dikatakan tidak ada masalah jika mempunyai VIF tidak lebih besar dari 10. 4.4.2. Uji Autokorelasi Mod el Tabel 4.17 : Uji Autokorelasi Model Summaryb R R Square Model Unstandardized Standardized Collinearity Statistics Coefficients Coefficients B Std. Error Beta Tolerance VIF (Constant) 1.997.450 Average Score 1 Flextime.065.094.071.867 1.153 Average Score Total Returns.324.113.296.867 1.153 a. Dependent Variabel: Average Score Employee Engagement Adjusted R Square Std. Error of the Estimate Durbin- Watson 1.329a.108.090.628 2.017 a. Predictors: (Constant), Average Score Total Returns, Average Score Flextime b. Dependent Variabel: Average Score Employee Engagement 42
Nilai Nilai 4- Nilai DU Nilai 4-DU Nilai DL Keputusan DW DL 2.017 1.69439 2.30561 1.65404 2.34596 DITERIMA Dari tabel 4.17 terlihat bahwa nilai DW yang diperoleh sebesar 2.017. Apabila d > dl, maka tidak terjadi masalah autokorelasi. Dari tabel 4.17, nilai dl adalah 1.65404 dan lebih kecil dari nilai d yaitu 2.017, maka tidak terdapat masalah autokorelasi. 4.4.3. Uji Normalitas Uji normalitas dibutuhkan untuk mengetahui apakah suatu variabel memiliki distribusi yang normal atau tidak. Data yang normal memiliki sebaran yang normal pula. Hasil uji dengan SPSS 20 dapat dilihat pada gambar 4.2 dengan hasil bahwa data menyebar sesuai garis diagonal maka model regresi ini memenuhi asumsi normalitas. Gambar 4.2 : Uji Normalitas 43
4.4.4. Uji Heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varian dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain (Ghozali, 2005). Berdasarkan pada gambar 4.3 terlihat bahwa titik-titik menyebar baik di atas maupun di bawah nilai 3.5 pada sumbu mendatar da tidak membentuk pola. Sehingga dapat dikatakan bahwa model regresi yang digunakan untuk menguji hipotesa yang diajukan tidak terjadi masalah heteroskedastisitas dan layak digunakan. Gambar 4.3 : Uji Heteroskedastisitas 44
4.5. Uji Hipotesis Uji Hipotesa dilakukan untuk mengetahui apakah hipotesis yang telah dibuat oleh peneliti dapat diterima atau tidak. Berikut hasil pengujian: Tabel 4.18 : Model Summaryb Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate Durbin- Watson 1.329a.108.090.628 2.017 a. Predictors: (Constant), Total Returns, Flextime b. Dependent Variabel: Employee Engagement Analisa koefisien determinasi dilakukan untuk melihat flextime (X1) dan total returns (X2) terhadap employee engagement (Y). Dari tabel di 4.18 terlihat besarnya koefisien determinasi R Square =0.108, hal ini menunjukkan bahwa sumbangan pengaruh dari flextime dan total returns terhadap employee engagement sebesar 10.8%, sisanya 89.2% employee engagement dipengaruhi oleh sebab lain. Model Tabel 4.19 : Uji F-Test ANOVAa Sum of Squares df Mean Square F Sig. Regression 4.624 2 2.312 5.871.004b 1 Residual 38.200 97.394 Total 42.825 99 a. Dependent Variabel: Employee Engagement b. Predictors: (Constant), Total Returns, Flextime 45
Uji anova atau F test dilakukan untuk mengetahui apakah model regresi yang digunakan dalam penelitian ini dapat memprediksi variabel kinerja (Y). Dari tabel 4.19, dapat dilihat bahwa F hitung adalah 5.871 dengan tingkat signifikansi 0.004. Karena tingkat signifikansi lebih kecil dari 0.05, maka model regresi ini dapat digunakan untuk memprediksi employee engagement. Tabel 4.20 : Uji t-test Coefficientsa Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients t Sig. B Std. Error Beta (Constant) 1.997.450 4.441.000 1 Flextime.065.094.071.693.490 Total Returns.324.113.296 2.873.005 a. Dependent Variabel: Employee Engagement Dengan melihat kolom unstandardized coefficients bagian B, didapatkan persamaan regresi : Y= 1.997+0.065X1+0.324X2, hal ini berarti bahwa jika tidak ada variabel independen, maka besarnya employee engagement adalah 1.997. Koefisien regresi sebesar 0.065 menyatakan bahwa setiap penambahan 1 variabel flextime akan meningkatkan employee engagement sebesar 0.065 dan koefisien regresi sebesar 0.324 menyatakan bahwa setiap penambahan variabel total returns akan meningkatkan employee engagement sebesar 0.324. 46
4.5.1. Pengaruh Flextime terhadap Employee Engagement. Dari tabel 4.20, dapat dilihat bahwa variabel flextime mempunyai t hitung sebesar 0.693 dengan tingkat signifikansi 0.049. Karena besarnya t hitung 0.693 < t tabel (df 100) sebesar 1.660 dan tingkat signifikansi 0.490 > 0.05 maka dapat dikatakan bahwa flextime tidak berpengaruh pada employee engagement. 4.5.2. Pengaruh Total Returns terhadap Employee Engagement. Dengan melihat tabel 4.20, diketahui bahwa variabel total returns memiliki t hitung = 2.873 dengan tingkat signifikansi 0.05, karena t hitung 2.873 > t tabel (df 100) sebesar 1.660 dan tingkat signifikansi < 0.05 maka dapat dikatakan bahwa total returns berpengaruh pada employee engagement secara signifikan. 47
4.5.3. Gender dan status karyawan sebagai faktor moderator pengaruh flextime dan total returns terhadap employee engagement. Tabel 4.21 : Rangkuman Moderating Pengujian terhadap R Square F Sig Pengaruh Flextime dan Total returns ke 10.80% 0.04 Employee Engagement Moderating Gender terhadap pengaruh 14.60% 0.01 flextime dan total return ke Employee Engagement Moderating Status Karyawan terhadap pengaruh flextime dan total return ke Employee Engagement 20.70% 0.001 Dari tabel di atas terlihat bahwa koefisien determinasi setelah variabel moderasi gender ditambahkan menjadi 14.6%. Ini berarti bahwa terdapat perubahan koefisien determinasi sebesar 3.8% setelah dimoderasi. Dengan demikian maka sumbangan gender dapat dijadikan sebagai variabel moderator yang mempengaruhi kuat atau lemahnya pengaruh flextime dan total returns terhadap employee engagement. Dari tabel di atas juga dapat dilihat terlihat bahwa koefisien determinasi setelah variabel moderasi status karyawan ditambahkan, koefisien determinasi menjadi menjadi 20.7%. Ini berarti bahwa terdapat perubahan koefisien determinasi sebesar 9.9% setelah dimoderasi. Dengan demikian maka sumbangan status karyawan dapat dijadikan sebagai variabel moderator yang memperngaruhi kuat atau lemahnya pengaruh 48
flextime dan total returns terhadap employee engagement. Jika dibandingkan antara kedua variabel moderasi, status karyawan memoderasi secara lebih positif terhadap pengaruh flextime dan total returns terhadap employee engagement. Gender sebagai variabel moderator Tabel 4.22 : Moderate Gender Model Standardized Coefficients t Sig. Beta (Constant) 2.126 0.036 Flextime 0.505 1.171 0.245 Total Return -0.347-0.794 0.429 Gender -0.605-0.885 0.378 ModerateGender (Flextime to 0.278-0.872-1.09 Engangement) ModerateGender (Total Return to Engagement) 0.132 1.404 1.521 a. Dependent Variabel: Employee Engagement Dari tabel 4.22, dapat dilihat bahwa moderategender mempunyai t hitung < t tabel (df 100) sebesar 1.660 dan tingkat signifikansi > 0.05 maka dapat dikatakan bahwa gender tidak memoderasi hubungan flextime dan total returns terhadap employee engagement. 49
Status karyawan sebagai variabel moderator Tabel 4.23 : Moderate Status Karyawan Model Standardized Coefficients t Sig. Beta (Constant) -1.662 0.1 Flextime 0.624 1.541 0.127 Total Return 0.888 1.948 0.054 Status Kekaryawanan 2.003 3.046 0.003 ModerateStatusKaryawan (Flextime to Engangement) -1.108-1.538 0.127 ModerateStatusKaryawan (Total Return to Engagement) -1.187-1.395 0.166 a. Dependent Variabel: Employee Engagement Dari tabel 4.23, dapat dilihat bahwa moderatestatuskaryawan mempunyai t hitung < t tabel (df 100) sebesar 1.660 dan tingkat signifikansi > 0.05 maka dapat dikatakan bahwa status karyawan juga tidak memoderasi hubungan flextime dan total returns terhadap employee engagement. 4.6. Pembahasan Dengan melihat hasil uji regresi berganda flextime dan total returns terhadap employee engagement pada penjelasan sebelumnya, maka hasil pengujian hipotesa 1 dan hipotesa 2 nampak pada tabel yang menunjukkan bahwa flextime tidak berpengaruh terhadap employee engagement. Sedangkan total returns berpengaruh terhadap employee engagement. Moderator gender dan status karyawan tidak mempengaruhi hubungan pada pengaruh flextime dan 50
total returns terhadap employee engagement. Berdasarkan hal tersebut berarti H1 tidak terdukung, H2 terdukung dan H3 tidak terdukung. Hasil pengujian H1 tidak mendukung secara signifikan terhadap studi Almer dan Kaplan (2002) yang menyatakan bahwa akuntan yang bekerja pada jam kerja fleksibel umumnya mempunyai level job satisfaction dan intention to remain with firms yang lebih tinggi daripada profesional yang bekerja pada jam standar. Hasil penelitian ini ditunjang dengan hasil wawancara terhadap beberapa responden yang mana diketahui bahwa karyawan yang bekerja pada jam kerja fleksibel mempunyai penilaian positif terhadap kehadiran flextime dan mengurangi tingkat stress. Responden mengatakan bahwa flextime membantu karyawan untuk dapat membagi waktu dengan keluarga/ aktifitas lain di luar pekerjaan. Namun penolakan H1 diduga karena motivasi bekerja dan keinginan untuk tetap tinggal hingga engage pada perusahaan tidak dipengaruhi oleh bentuk praktek jam kerja, tetapi dipengaruhi oleh hal lain, maka jam kerja fleksibel dinilai hanya dapat menciptakan kepuasan karyawan namun tidak menjadikan karyawan engage pada perusahaan. Flextime tidak berpengaruh secara signifikan terhadap employee engagement juga diperkuat dengan informasi dari hasil wawancara terhadap 17 responden, di mana mereka menyebutkan bahwa budaya yang ada di Indonesia sejak mereka kecil adalah jadwal kegiatan yang diatur, bahkan beberapa menyebutkan adanya konsekuensi hukuman apabila terlambat dari jadwal 51
yang ditentukan. Sehingga dengan budaya yang ada, mereka menilai jam kerja baku adalah wajar diikuti dan diterapkan. Penolakan ini juga diduga dari karakteristik responden yang mayoritas adalah pria dengan jumlah 87 orang, sedangkan wanita hanya 13 orang. Ferguson (2006) menyebutkan bahwa laki-laki memiliki keterikatan lebih kuat dengan pekerjaan karena posisinya sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga, sedangkan perempuan sebaliknya. Apabila dikaitkan, maka target utama bagi para pria bukanlah jam kerja flexible, dikarenakan budaya di Indonesia, wanita lebih banyak mengatur urusan rumah tangga. Penolakan ini juga diduga terjadi dikarenakan karakteristik marital status dan jumlah anak, yang tidak dicantumkan dalam penelitian ini, mungkin variabel tersebut dapat dijadikan variabel moderator dalam penelitian selanjutnya. Penolakan ini diduga juga terjadi dikarenakan mayoritas responden adalah karyawan yang bekerja 1-3 tahun di Perusahaan, dengan masa kerja yang terbilang baru maka karyawan masih memiliki semangat yang tinggi dalam bekerja, dan tidak terbatasi oleh waktu, sehingga jam kerja flexible belumlah menjadi kebutuhan primer saat ini, di mana target karyawan saat ini adalah menunjukkan performance nya untuk mengejar total returns. Lokasi penelitian di Salatiga juga turut berperan dalam menentukan pengaruh flextime terhadap employee engagement. Dari hasil wawancara, responden menjelaskan bahwa kondisi bekerja di Salatiga sudah lebih rendah tingkat stressor dibandingkan di kota 52
besar seperti Jakarta, sehingga flextime tidak terlalu dibutuhkan. Bekerja di Salatiga, tidak banyak waktu yang dihabiskan di perjalanan, dengan kata lain karyawan masih cukup memiliki waktu untuk keluarga. Diduga penelitian ini akan berbeda pengaruhnya apabila penelitian dilakukan di kota besar. Hasil pengujian H2 diterima berarti membuktikan penelitian sebelumnya yang menyebutkan alasan terbesar bagi pekerja untuk pindah ke institusi lain adalah tawaran paket kompensasi yang lebih baik, meskipun hasil survey menunjukkan bahwa kesempatan karir yang lebih baik merupakan alasan tertinggi (PortalHR, 2007). Hal ini juga ditunjang oleh hasil pertanyaan terbuka yang disebutkan di atas bahwa dari 100 responden, 89 responden memilih total returns uang berada di urutan 3 teratas kemudian diikuti 11 orang memilih flextime. Dari hasil wawancara terhadap 17 responden, 14 responden meliputi pria dan wanita mengatakan bahwa tujuan utama mereka bekerja adalah untuk mencari nafkah. Pada pertanyaan terbuka 51 responden memilih pengembangan karir pada urutan pertama dari total returns, dari wawancara diketahui bahwa alasan responden memilih pengembangan karir karena dari pengembangan karirlah, maka total returns yang lain akan mengikuti, yaitu kompensasi dan status pengakuan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang menyebutkan bahwa total returns berpengaruh terhadap employee engagement. 53
Ditinjau lebih jauh dengan karakteristik responden di mana mayoritas responden adalah pria. Ferguson (2006) menyebutkan bahwa laki-laki memiliki keterikatan lebih kuat dengan pekerjaan karena posisinya sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga, sedangkan perempuan sebaliknya. Dari teori tersebut maka tujuan utama bekerja adalah untuk memenuhi nafkah dalam keluarga. Dikaitkan dengan lama masa kerja karyawan mayoritas responden bekerja 1-3 tahun lamanya di Perusahaan. Robins (1995, dalam Pramono, 2004) menyebutkan bahwa bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa lama masa bekerja karyawan berhubungan secara positif dengan kepuasan karyawan, maka karyawan belum dapat dikategorikan puas dalam hal pencapaian dan pembuktian jati dirinya, sehingga pada periode 3 tahun pertama, karyawan masih menunjukkan jati dirinya untuk mendapatkan status pengakuan disertai dengan semangat kerja yang tinggi untuk menuju kepuasan yang diharapkan dalam hal ini total returns yang pantas atas hasil kerjanya. Hasil pengujian hipotesis 3 menunjukkan bahwa gender dan status karyawan tidak mempengaruhi flextime dan total returns terhadap employee engagement. H3a :Gender dapat dijadikan variabel moderator pada hubungan flextime dan total returns terhadap employee engagement. Namun pengaruh gender tidak signifikan untuk memperkuat ataupun memperlemah pengaruh flextime dan total returns terhadap employee engagement. Sehingga menolak penelitian sebelumnya oleh Ferguson 2006 yang 54
menyebutkan bahwa perbedaan jenis kelamin juga ditemukan berkontribusi terhadap employee engagement. Laki-laki memilih memiliki keterikatan lebih dengan pekerjaan karena posisinya sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga, sedangkan perempuan sebaliknya (Ferguson, 2006). Penolakan ini terjadi dapat dimungkinkan dikarenakan jumlah responden wanita hanya berjumlah 13 orang sedangkan pria 87 orang. Dengan jumlah wanita yang hanya13%, maka dapat dianggap kurang dapat memberikan perbedaan yang signifikan dalam pengaruh gender ini. Selain itu dari hasil wawancara kepada 3 wanita dengan status memiliki anak, mengatakan bahwa flextime sangat membantu mereka dalam keseharian dikarenakan usia anak dibawah 12 tahun, namun alasan utama mereka bekerja adalah membantu perekonomian keluarga, sehingga apabila ada tawaran kompensasi yang lebih besar, maka hal itu akan menjadi pertimbangan utama bagi mereka, dan kondisi di mana anak akan bertambah besar, maka para wanita pekerja merasa flextime tidak terlalu dibutuhkan, sedangkan kompensasi masih merupakan alasan utama mereka untuk bekerja. Dari wawancara terhadap 6 orang pria menikah, mengatakan bahwa flextime mempermudah mereka dalam mengatur jadwal kerja dan keluarga, namun hal terpenting adalah total returns, mengingat mereka adalah sumber financial keluarga, dan urusan keluarga dapat ditangani oleh istri. 55
H3b : Status Kekaryawanan dapat dijadikan variabel moderator. Namun status karyawan sebagai moderator tidak berpengaruh secara signifikan terhadap hubungan flextime dan total returns terhadap employee engagement. Namun dari tabel dapat terlihat bahwa kemungkinan status karyawan dapat menjadi variabel independent yang mempengaruhi secara signifikan dalam memperkuat ataupun memperlemah hubungan flextime dan total returns terhadap employee engagement. Sebagai variabel independen status karyawan dapat berperan positif bagi pengaruh flextime dan total returns terhadap employee engagement yang berarti mendukung penelitian Herzberg (dalam Sarianto, Jurnal ekonomi dan bisnis 2008). 56