BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kesehatan dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Sasaran yang ingin dicapai pada tahun 2014 salah satunya adalah menurunnya kematian bayi menjadi 24 per 1000 kelahiran hidup, dan menurunnya angka kematian ibu menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup. Pembangunan kesehatan juga tidak terlepas dari komitmen Indonesia sebagai warga masyarakat dunia untuk mencapai Millenium Development Goals (MDGs). Salah satu agenda MDGs yang berkaitan langsung dengan kesehatan, yaitu menurunkan angka kematian anak dan meningkatkan kesehatan ibu. Untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan dan sekaligus mencapai tujuan MDGs harus dilakukan intervensi terhadap faktor penentu terbesar, yaitu perilaku dan lingkungan tanpa mengabaikan faktor keturunan dan pelayanan kesehatan. Pencapaian derajat kesehatan ditandai dengan menurunnya Angka Kematian Bayi (AKB) dan menurunnya Angka Kematian Ibu (AKI). AKI menurun dari 307 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2004 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007. Sementara target yang akan dicapai sesuai kesepakatan MDGs tahun 2015, angka kematian ibu turun menjadi 102 kematian per 100.000 kelahiran hidup dan angka kematian bayi menjadi 24 per 1000 kelahiran hidup (buku panduan hari kesehatan nasional ke-48). 1
2 Menurut kepala bagian kelangsungan hidup dan perkembangan anak UNICEF, Indonesia telah membuat kemajuan penting untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak, sejak membuat komitmen pada a World Fit for Children. Akan tetapi sampai tahun 2012, diperkirakan 150.000 anak meninggal di Indonesia setiap tahun sebelum mereka mencapai ulang tahun kelima, dan hampir 10.000 wanita meninggal setiap tahun karena masalah kehamilan dan persalinan. Salah satu penyebab tingginya AKI dan AKB adalah adanya masalah kesehatan mental. Gangguan kejiwaan yang berat setelah persalinan diketahui dapat meningkatkan risiko bunuh diri sampai 70 kali dibandingkan karena penyebab lain terutama pada tahun pertama setelah persalinan. Menurut penelitian Oates, 2002, lebih dari 50% wanita yang meninggal karena bunuh diri disebabkan karena penyakit gangguan mental setelah melahirkan. Postpartum blues merupakan awal terjadinya gangguan mental pada ibu postpartum yang nantinya bisa berdampak buruk pada ibu dan bayinya. Postpartum blues atau sering juga disebut sebagai maternity blues adalah suatu sindroma gangguan mental ringan yang sering tampak dalam seminggu pertama setelah persalinan dan ditandai dengan gejala-gejala seperti reaksi depresi, sedih, disforia, menangis, mudah tersinggung (iritabilitas), cemas, labilitas perasaan, gangguan tidur dan gangguan nafsu makan (Goodman & Horowitz, 2004). Jika postpartum blues tidak tertangani secara benar dan dengan segera, dapat menimbulkan depresi postpartum, yang nantinya akan menyebabkan komplikasi terburuk yaitu postpartum psikosis.
3 Insiden postpartum blues adalah 500-800 kasus dari 1000 kelahiran atau sekitar 50-80% di berbagai negara (Deal & Holt, 1998). Di Asia sendiri angka kejadian postpartum blues cukup tinggi dan bervariasi berkisar antara 26-85% (Iskandar, 2007). Berdasarkan hasil penelitian Robertson (2003), prevalensi postpartum blues antara 30-75%. Sedangkan menurut penelitian Hidayat (2007), angka kejadian postpartum blues di Indonesia antara 50-70% dari wanita pasca persalinan. Sampai saat ini, penyebab terjadinya postpartum blues belum diketahui secara pasti. Namun, ada beberapa faktor yang diperkirakan memicu terjadinya postpartum blues. Beck (1998), melalui studi meta analisisnya memaparkan beberapa variabel predictor yang dapat menimbulkan postpartum blues. Prediktor tersebut antara lain depresi pranatal, stres merawat anak (childcare stress), stres kehidupan sehari-hari (stressful life event), dukungan sosial, kecemasan pranatal, keintiman suami istri, riwayat depresi sebelumnya, self esteem, temperamen bayi, single marital status, status sosial ekonomi dan kehamilan yang tidak diinginkan atau tidak terencana. Sedangkan menurut Reeder (1997), faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya postpartum blues adalah stresor psikososial seperti sumber keuangan yang tidak adekuat, suasana hidup yang penuh dengan stres, ketidakpuasan terhadap pendidikan dan kesulitan dalam rumah tangga, hubungan emosional atau ketidakintiman suami istri dan kepuasan perkawinan. Faktor yang mempengaruhi terjadinya postpartum blues salah satunya adalah keintiman suami istri. Keintiman suami istri yang dimaksud tidak hanya terbatas pada seksualitas, akan tetapi mencakup keseluruhan hubungan suami istri seperti
4 perhatian kepada pasangan, dukungan emosional, saling menghormati, perasaan nyaman saat bersama pasangan, keharmonisan atau kualitas pertemuan saat bersama pasangan (Olforsky, 1973). Keintiman suami istri juga termasuk didalamnya adalah kepekaan akan kebutuhan pasangan dan kedekatan fisik dalam interaksi pasangan (Lefrancois, 1993). Wanita pada masa postpartum memerlukan dukungan emosional, perhatian, perasaan nyaman dan kepekaan akan kebutuhannya dari orang-orang disekitarnya terutama dari suami agar dapat menyesuaikan diri dengan peran barunya sebagai ibu. Menurut Suhita (2005), dukungan emosional maupun dukungan psikologis dari suami lebih banyak diperoleh dari keintiman daripada aspek-aspek lain dalam interaksi sosial, semakin intim seseorang maka dukungan yang diperoleh akan semakin besar. Adanya musibah erupsi Merapi yang menimpa sebagian wilayah Kabupaten Sleman, Yogyakarta yang terjadi pada tanggal 25 Oktober sampai 30 November 2010 lalu, telah menimbulkan dampak yang sangat luas, terutama bagi korban selamat dan keluarganya. Masalah yang timbul antara lain ketersediaan bahan makanan menjadi terbatas, lumpuhnya pelayanan kesehatan, meningkatnya masalah kesehatan ibu dan anak, meningkatnya masalah kesehatan jiwa dan psikososial. Tercatat ada 355 orang meninggal dunia, lebih dari 450 orang mengalami luka-luka baik luka ringan maupun berat bahkan mengalami kecacatan, ratusan rumah rata dengan tanah, dan sebagian besar infrastruktur hancur (Sumarni, 2012). Salah satu daerah yang mengalami kerusakan parah akibat erupsi adalah Kecamatan Cangkringan yang terdiri dari lima desa, yaitu desa Argomulyo, Glagaharjo, Kepuharjo, Umbulharjo, dan Wukirsari.
5 Kondisi pasca bencana yang serba tidak menentu menimbulkan tekanan yang luar biasa bagi para korban, tidak hanya stres namun kemungkinan timbulnya depresi juga tidak kecil. Luka psikis yang mendalam dapat muncul dalam gejalagejala psikologik yang disebut sebagai Post Traumatic Syndrome Disorder (PTSD) atau gangguan sindroma pasca traumatik. Dampak psikologis yang tidak pendek melainkan bisa memakan waktu hingga lebih 10 tahun ke depan bahkan kemungkinan terjadinya gangguan stres pascatrauma sampai dengan jangka 30 tahun (Pitaloka, 2005). Respon psikologis yang dapat terjadi pada korban adalah rasa takut akan kemungkinan peristiwa tersebut terulang kembali, rasa marah, dan distres. Kehilangan yang dirasakan adalah kehilangan orang yang dicintai, yang merupakan penyebab stres paling berat, kehilangan harta/benda, dan yang mengalami luka-luka (Galambos, 2004). Pada tahun 2012 warga di empat kecamatan lereng Merapi banyak yang terdeteksi risiko berat gangguan jiwa. Selain gangguan jiwa berat, juga rawan terkena gangguan jiwa ringan seperti kecemasan, susah tidur, serta malas untuk beraktivitas. Menempati lingkungan baru rentan terhadap gangguan jiwa karena akan mengalami adaptasi dan menemui gangguan-gangguan baru (Antaranews, 2013). Kehilangan tempat tinggal dan harus tinggal di lokasi pengungsian merupakan masalah lain yang harus dihadapi oleh masyarakat yang terkena dampak bencana. Saat ini sebagian warga yang terkena dampak erupsi tinggal di hunian tetap, yaitu tanah yang dialokasikan oleh pemerintah yang masing-masing keluarga
6 menerima kurang lebih 100 meter 2. Kondisi hunian tetap dan lingkungannya di wilayah Kecamatan Cangkringan saat ini sebagian besar telah dibangun, namun fasilitasnya masih terbatas, antara lain kurangnya air bersih, akses ke pelayanan masyarakat yang cukup jauh dari tempat tinggal. Kondisi hunian tetap yang serba terbatas dan apa adanya akan menimbulkan persoalan baru terutama pada wanita, apalagi bagi ibu postpartum. Di hunian tetap tersebut, ibu masih harus dibebani tanggung jawab domestik, yaitu mengurus bayinya, memasak dan berbagai pekerjaan lain. Beban domestik terasa lebih berat di hunian tetap yang serba terbatas tersebut, sehingga memungkinkan menambah rasa stres bagi ibu postpartum (Sustiwi, 2005). Stressor pasca bencana inilah yang menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya postpartum blues. Penelitian Harville et al., 2009, memaparkan bahwa wanita hamil dan wanita postpartum yang terkena dampak pasca bencana rentan mendapatkan gangguan mental yang serius. Diperkirakan adanya stres pasca bencana juga akan mempengaruhi kondisi psikologis ibu postpartum yang pada akhirnya akan berdampak pada kesehatan ibu maupun bayi. Berdasarkan hasil wawancara dengan ibu warga huntap di Gondang bulan Mei 2013, sebagian menyatakan bertambah stres karena harus menyesuaikan dengan tetangga-tetangga baru, harus mencari pinjaman untuk membenahi bangunan huntap dan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Suami istri harus bekerja keras. Suami sering harus meninggalkan rumah kadang dalam waktu lama. Kondisi ini akan berdampak pada berkurangnya keharmonisan dan keintiman hubungan suami istri. Selain itu ruangan dalam huntap yang sempit dan masih
7 ditambah dengan tinggal bersama orang tua sehingga dalam satu rumah yang luasnya hanya 100 m 2 ditempati banyak orang menyebabkan privasi bersama suami berkurang. Sedangkan hasil wawancara dengan seorang guru wanita di huntap Gondang bulan Mei tahun 2013, diperoleh keterangan bahwa dengan berada di huntap kejadian pertengkaran suami istri sampai melakukan kekerasan fisik dan kekerasan psikologis, meningkat. Kejadian perselingkuhan juga meningkat. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada bidan di klinik bersalin sekitar huntap Kecamatan Cangkringan, diperoleh adanya kejadian postpartum blues pada wanita postpartum yang tinggal di huntap, keadaan wanita tersebut menjadi sangat sensitif, terlihat depresi, dan tidak mau mengurus kebutuhan bayinya. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti hubungan antara keintiman suami istri dengan kejadian postpartum blues pada wanita postpartum di hunian tetap daerah pasca erupsi Merapi, Kecamatan Cangkringan. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah Bagaimanakah hubungan antara keintiman suami istri dengan kejadian postpartum blues pada wanita postpartum di hunian tetap Kecamatan Cangkringan pasca bencana erupsi Merapi.
8 C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara keintiman suami istri dengan kejadian postpartum blues pada wanita postpartum di hunian tetap Kecamatan Cangkringan pasca bencana erupsi Merapi. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui prevalensi postpartum blues pada wanita postpartum di hunian tetap Kecamatan Cangkringan daerah pasca bencana erupsi Merapi. b. Mengetahui keintiman suami istri pada wanita postpartum di hunian tetap Kecamatan Cangkringan daerah pasca bencana erupsi Merapi. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk: 1. Bagi klinik bersalin dan puskesmas di Kecamatan Cangkringan Sebagai bahan pemikiran dari dampak bencana yaitu mempersiapkan pelayanan kesehatan yang baik bagi wanita postpartum yang tinggal di huntap untuk menghindari terjadinya postpartum blues. 2. Bagi profesi perawat Penelitian ini dapat memberikan pengetahuan pada perawat dalam mengetahui peran pasangan, yaitu suami ibu postpartum untuk mencegah terjadinya postpartum blues, sehingga dapat memberikan asuhan keperawatan yang lebih komprehensif
9 3. Masyarakat Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang postpartum blues sehingga masyarakat mampu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi ibu postpartum khususnya yang berada di daerah pasca bencana. E. Keaslian Penelitian Sebatas pengetahuan penulis, penelitian mengenai postpartum blues pada wanita postpartum di huntap yang dihubungkan dengan keintiman suami istri belum pernah di lakukan. Berikut beberapa penelitian yang telah dilakukan dan berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti: 1. Kornelis et al., (2013) melakukan penelitian yang berjudul Hubungan antara Keakraban Suami dan Istri terhadap Kecenderungan Depresi pada Pasangan Lansia di Dusun Ngandong, Girikerto, Turi, Sleman, Yogyakarta. Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental yang bersifat observasional menggunakan rancangan cross sectional yang bersifat deskriptif analitik. Populasi pada penelitian ini adalah lansia yang hadir pada kegiatan skrining kesehatan di dusun Ngandong, Kelurahan Girikerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman yang memenuhi kriteria inklusi. Pengukuran keakraban suami istri dinilai dengan Kuesioner Keakraban Suami Istri sedangkan kecenderungan depresi pada lansia diukur dengan menggunakan Geriatric Depression Scale (GDS). Hasil dari penelitian ini adalah keakraban suami istri mempunyai pengaruh terhadap
10 kecenderungan terjadinya depresi pada pasangan lansia yaitu dengan semakin besarnya nilai keakraban suami istri maka akan semakin kecil terjadinya depresi. Persamaan penelitian Kornelis dengan penelitian ini terletak pada variabel bebasnya yaitu keakraban suami istri atau keintiman suami istri. Rancangan penelitiannya sama-sama menggunakan cross sectional. Perbedaannya terletak pada variabel terikatnya yaitu pada penelitian Kornelis adalah depresi sedangkan pada penelitian ini adalah postpartum blues. Populasi pada penelitian ini adalah pasangan suami istri yang masih dalam usia subur, sedangkan pada penelitian Kornelis populasinya adalah lansia. 2. Mardiah (2008) yang berjudul Hubungan Usia Ibu dengan Gejala Postpartum Blues di wilayah Kota Tasikmalaya. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan cross sectional dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu yang sudah melahirkan normal di Rumah Bersalin, Bidan Praktek Swasta di wilayah Kota Tasikmalaya. Hasil penelitian ini menunjukkan kejadian postpartum blues pada ibu nifas dengan usia kurang dari atau sama dengan 20 tahun lebih tinggi dibandingkan dengan ibu nifas usia lebih dari 20 tahun. Perbedaan penelitian Mardiah dengan penelitian ini adalah terletak pada variabel bebasnya, dimana peneliti meneliti variabel bebas keintiman suami istri. Dan tempat penelitian, peneliti mengambil tempat di daerah hunian tetap pasca bencana erupsi Merapi. 3. Fatimah (2009) yang berjudul Hubungan Dukungan Suami dengan Kejadian Postpartum Blues pada Ibu Primipara di Ruang Bugenvile RSUD Tugurejo
11 Semarang. Desain penelitian ini menggunakan metode analitik korelasional pada 25 ibu primipara. Hasil penelitian ini analisis bivariat dengan uji pearson chi square menunjukkan bahwa ada hubungan antara dukungan suami dengan kejadian postpartum blues pada ibu primipara di Ruang Bugenvile RSUD Tugurejo Semarang. Perbedaan penelitian Fatimah dengan penelitian ini terletak pada variabel bebasnya, dimana peneliti meneliti variabel bebas keintiman suami istri, tempat penelitian, peneliti mengambil tempat di daerah pasca bencana erupsi Merapi, subjek penelitian dan jenis penelitian. 4. Cury et al. (2008) yang berjudul Maternity Blues : Prevalence and Risk Factors. Penelitian Cury dkk merupakan transversal study dengan subjek 113 wanita postpartum selama 10 hari di masa puerpurium. Instrumen yang digunakan adalah Stein s Scale (1980). Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi postpartum blues sekitar 32,7% dengan Stein Scale. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Cury dkk terletak pada subjek penelitian dan instrumen yang digunakan. Subjek penelitian pada penelitian Cury dkk adalah semua wanita postpartum selama 10 hari, sedangkan pada penelitian ini semua wanita postpartum dalam masa 2 hari postpartum. Pada penelitian Cury dkk, instrumen yang digunakan adalah Stein s Scale, sementara peneliti menggunakan kuesioner Edinburgh Postnatal Depressive Syndrome (EPDS).