IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
III. METODE PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

: Muhibbuddin Abbas Pembimbing I: Ir. Endang Purwanti S., MT

A. Sifat Fisik Kimia Produk

4 Pembahasan Degumming

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN. 1. Data Pengamatan Ekstraksi dengan Metode Maserasi. Rendemen (%) 1. Volume Pelarut n-heksana (ml)

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

PEMBUATAN BIODIESEL SECARA SIMULTAN DARI MINYAK JELANTAH DENGAN MENGUNAKAN CONTINUOUS MICROWAVE BIODISEL REACTOR

Bab IV Hasil dan Pembahasan. IV.2.1 Proses transesterifikasi minyak jarak (minyak kastor)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jurnal Flywheel, Volume 3, Nomor 1, Juni 2010 ISSN :

: Dr. Rr. Sri Poernomo Sari ST., MT.

Sintesis Metil Ester dari Minyak Goreng Bekas dengan Pembeda Jumlah Tahapan Transesterifikasi

Bab IV Hasil dan Pembahasan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMBUATAN BIODIESEL DARI ASAM LEMAK JENUH MINYAK BIJI KARET

Pembuatan Biodiesel dari Minyak Kelapa dengan Katalis H 3 PO 4 secara Batch dengan Menggunakan Gelombang Mikro (Microwave)

III. METODOLOGI PENELITIAN

Proses Pembuatan Biodiesel (Proses Trans-Esterifikasi)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III RANCANGAN PENELITIAN

Lampiran 1. Prosesdur analisis gas kromatigrafi olein dan biodiesel olein

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan golongan surfaktan anionik yang dibuat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PROSES TRANSESTERIFIKASI MINYAK BIJI KAPUK SEBAGAI BAHAN DASAR BIODIESEL YANG RAMAH LINGKUNGAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA

Biodiesel Dari Minyak Nabati

Lampiran 1. Prosedur analisis sifat fisikokimia minyak dan biodiesel. 1. Kadar Air (Metode Oven, SNI )

PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK NYAMPLUNG MENGGUNAKAN PEMANASAN GELOMBANG MIKRO

PROSES PEMBUATAN BIODIESEL MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN TRANSESTERIFIKASI SATU DAN DUA TAHAP. Oleh ARIZA BUDI TUNJUNG SARI F

PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK BIJI NYAMPLUNG DENGAN PROSES TRANSESTERIFIKASI DALAM KOLOM PACKED BED. Oleh : Yanatra NRP.

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS GLISEROL HASIL SAMPING BIODIESEL JARAK PAGAR

Prarancangan Pabrik Metil Ester Sulfonat dari Crude Palm Oil berkapasitas ton/tahun BAB I PENGANTAR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1. Karakteristik Bahan Baku Biodiesel. Propertis Minyak Kelapa (Coconut Oil)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Teknologi Hasil

III. METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHAN

PRODUKSI BIODIESEL DARI CRUDE PALM OIL MELALUI REAKSI DUA TAHAP

PENGARUH STIR WASHING, BUBBLE WASHING, DAN DRY WASHING TERHADAP KADAR METIL ESTER DALAM BIODIESEL DARI BIJI NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Prarancangan Pabrik Asam Stearat dari Minyak Kelapa Sawit Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah

III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat 1. Alat 2. Bahan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali.

BAB VII IMPLEMENTASI, VALIDASI DAN VERIFIKASI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan a. Bahan Baku b. Bahan kimia 2. Alat B. METODE PENELITIAN 1. Pembuatan Biodiesel

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar.

BAB I PENDAHULUAN. sehingga mengakibatkan konsumsi minyak goreng meningkat. Selain itu konsumen

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Diagram alir pengepresan biji jarak dengan pengepres hidrolik dan pengepres berulir (Hambali et al. 2006).

III. METODA PENELITIAN

Karakteristik Biodiesel Dari Minyak Jelantah Dengan Menggunakan Metil Asetat Sebagai Pensuplai Gugus Metil. Oleh : Riswan Akbar ( )

LAMPIRAN A DATA BAHAN BAKU

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU

BAB III RANCANGAN PENELITIAN

lebih ramah lingkungan, dapat diperbarui (renewable), dapat terurai

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Potensi Produk Transesterifikasi Minyak Dedak Padi (Rice Bran Oil) sebagai Bahan Baku Pembuatan Base Oil Epoksi Metil Ester

PEMBUATAN BIODIESEL DARI CRUDE PALM OIL (CPO) SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF MELALUI PROSES TRANSESTERIFIKASI LANGSUNG

Rekayasa Proses Produksi Biodiesel

SKRIPSI M. ARIFYANDI SANGUN F

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU

Transkripsi:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PROSES TRANSESTERIFIKASI OLEIN MENJADI BIODIESEL Pemilihan proses yang tepat dalam produksi metil ester berbahan baku olein sawit adalah proses transesterifikasi. Proses ini dipilih karena kandungan FFA (free fatty acid) dalam olein kurang dari 2% sehingga proses pengubahan metil ester secara langsung dapat dilakukan. Nimcevic et al. (2000), menyatakan proses transesterifikasi sangat cocok dilakukan dalam memproduksi biodiesel dengan FFA yang rendah pada bahan baku. FFA yang sangat kecil tidak mempengaruhi kinerja katalis basa yang digunakan. Gugus alkohol dalam proses ini memotong ikatan ester asam lemak trigliserida sehingga membentuk 3 molekul alkil ester dan 1 molekul gliserol. Berikut adalah reaksi transesterifikasi trigliserida minyak nabati menjadi alkil ester atau biodiesel (Knothe 2004). O CH 2 O C R CH 2 OH O katalis O CH O C R + 3 R OH 3 R O C R + CH OH O CH 2 O C R CH 2 OH Trigliserida Alkohol Alkil Ester Gliserol (Minyak Nabati) (Biodiesel) Gambar 17. Reaksi transesterifikasi pada produksi biodiesel Pada reaksi ini, jenis alkohol yang banyak digunakan adalah metanol. Salah satu alasan penggunaan metanol dalam produksi biodiesel adalah karena harganya yang cukup murah meskipun alkohol jenis lain seperti etanol atau iso propanol mungkin bisa menghasilkan biodiesel dengan sifat lebih baik dari pada biodiesel dengan metanol (Knothe 2000). Produksi biodiesel dilakukan pada plant biodiesel dengan diagram alir seperti terlihat pada Gambar 18. Air Metoksida Tangki Settling Tangki Washing Olein Tangki Heating Tangki Reaksi Gliserol Tangki Sabun Tangki Drying Gambar 18. Diagram alir plant produksi biodiesel Biodiesel 24

Produksi biodiesel yang dilakukan pada penelitian ini adalah sebanyak 7 kali proses menyesuaikan dengan kemampuan alat produksi. Proses transesterifikasi dilakukan pada pilot plant produksi biodiesel kapasitas 140-150 liter bahan baku. Tabel 9 berikut adalah data produksi biodiesel olein. Tabel 9. Data produksi biodiesel olein No. Bacth Bahan Baku Produk Rendemen Olein (liter) Metanol (liter) KOH (kg) Biodiesel (liter) (%) 1 120 19,00 1,20 61 50,83 2 121 19,15 1,21 107 88,43 3 120 19,00 1,20 107 89,17 4 120 19,00 1,20 101 84,17 5 120 19,00 1,20 107 89,17 6 120 19,00 1,20 107 89,17 7 120 19,00 1,20 103 85,83 Total Biodiesel dan Rendemen Keseluruhan 693 82,40 Pada Tabel 9, diketahui bahwa rendemen terkecil dari konversi olein menjadi biodiesel adalah 50,83% dan nilai rendemen tertinggi adalah 89,17%. Perbedaan yang cukup tinggi dari nilai rendemen ini dikarenakan terdapat faktor kritis dalam produksi biodiesel. Faktor kritis tersebut adalah: 1. Suhu reaksi transesterifikasi Reaksi transesterifikasi dapat berlangsung dengan baik jika kondisi suhu dan pengadukan dilakukan dengan benar. Suhu transesterifikasi adalah 60 o C dan dijaga sampai selama 1 jam. Apabila suhu minyak terlalu tinggi maka akan menyebabkan metanol menguap saat kontak dengan minyak dan biodiesel yang dihasilkan kualitasnya kurang baik. 2. Pengadukan pada proses pencucian Pengadukan terlalu lama pada proses pencucian dapat menyebabkan terbentuknya emulsi metil ester dan air. Oleh karenanya, pengadukan diharapkan dilakukan dengan baik dan hanya membuang sabun yang terbentuk. Apabila dilihat secara keseluruhan, produksi biodiesel dalam penelitian ini cukup baik. Hal ini berdasarkan nilai rendemen total sebesar 82,40%. Noureddini et al. (1998) melaporkan bahwa pada produksi biodiesel secara bacth mampu dihasilkan rendeman sebesar 80 94%. Penampakan fisik bahan baku dan produk proses transesterifikasi dapat dilihat pada Gambar 19. Gambar 19. Bahan baku dan produk transesterifikasi 25

Produk samping dari proses produksi biodiesel adalah gliserol atau disebut juga gliserin. Gliserol sebenarnya adalah rantai utama trigliserida. Saat reaksi transesterifikasi berlangsung, gliserol terbentuk karena gugus utama yang telah melepas ikatan asam lemak, berikatan dengan ion H + dari metanol. Gliserol dari proses transesterifikasi memiliki penampakan fisik berwarna kecokelatan dan memiliki viskositas lebih tinggi dari biodiesel olein. 4.1.1 Pengaruh Transesterifikasi Terhadap Komposisi FAME Biodiesel Komposisi fatty acid methyl ester dalam biodiesel sangat ditentukan dari bahan baku yang digunakan. Pada uji menggunakan gas kromatografi (GC) dapat diketahui bahwa proses transesterifikasi mampu mengubah asam lemak dalam trigileserida menjadi metil ester dengan tingkat konversi 94,64%. Tingkat konversi ini cukup tinggi kerena hanya sebagian kecil dari asam lemak spesifik yang tidak terkonversi. Hasil uji GC hanya mampu terbaca 7 jenis asam lemak dan metil ester dalam olein dan biodiesel olein. Tabel 10 menjelaskan komponen asam lemak dan metil ester yang dianalisis menggunakan GC. Tabel 10. Hasil uji GC asam lemak dan metil ester Asam Lemak dan Metil Ester Persentase (b/b) Olein Biodiesel Olein Miristat (C 14:0 ) 0,71 0,62 Palmitat (C 16:0 ) 30,80 29,64 Stearat (C 18:0 ) 3,45 3,20 Oleat (C 18:1 ) 31,62 29,89 Linoleat (C 18:2 ) 12,97 11,95 Linolenat (C 18:3 ) 0,45 0,24 Arakidat (C 20:0 ) 0,25 0,41 Jumlah 80,25 75,95 Pada Tabel 10, berdasarkan uji GC nilai asam lemak jenuh dominan pada olein sawit adalah asam lemak palmitat (C 16:0 ) sebesar 30,80% (b/b). Satuan dalam penentuan kadar asam lemak ini adalah persen bobot/bobot, artinya dalam 100 gram olein sawit terdapat 30,80 gram asam lemak palmitat. Sementara itu, terdapat juga asam lemak tidak jenuh dominan dalam olein yaitu asam lemak oleat dengan kadar 31,62% (b/b). Basiron (1996) juga menyebutkan bahwa asam lemak dominan dalam olein adalah asam lemak palmitat dan asam lemak oleat. Asam lemak yang terdapat dalam olein tersebut dikonversi sehingga menjadi metil ester yang menyusun biodiesel. Data uji GC ini juga menunjukkan bahwa dalam biodiesel olein terdapat metil ester dominan berupa metil ester palmitat (C16:0) sebesar 29,64% (b/b) dan metil ester oleat (C 18:1 ) sebesar 29,89% (b/b). Proses transesterifikasi pada penelitian ini sangat baik karena konversi metil ester yang tinggi sehingga kadar metil ester yang terbentuk mendekati jumlah asam lemak penyusunnya. 4.1.2 Pengaruh Transesterifikasi Terhadap Sifat Fisiko Kimia Biodiesel Proses transesterifikasi mempengaruhi perubahan sifat fisiko kimia olein. Pengujian sifat fisiko kimia bertujuan untuk membandingkan beberapa parameter yang berubah saat olein dikonversi menjadi biodiesel. Tabel 11 menjelaskan perubahan nilai beberapa sifat pada olein dan biodiesel yang dihasilkan. 26

Tabel 11. Hasil analisis sifat fisiko kimia olein dan biodiesel olein Parameter Olein Nilai Biodiesel Olein Densitas (g/cm 3 ) 0,91 ± 0,001 0,87 ± 0,001 Bilangan Iod (mg Iod/g) 54,97 ± 0,88 57,14 ± 0,33 Bilangan Penyabunan (mg KOH/g) 190,52 ± 1,65 192,46 ± 0,46 Bilangan Asam (mg KOH/g) 0,49 ± 0,04 0,27 ± 0,01 FFA (%) 0,22 ± 0,09 0,12 ± 0,01 Nilai dalam kolom olein dan biodiesel olein adalah rata-rata ± standar deviasi dari n=2 4.1.1.1 Densitas Pada hasil pengukuran nilai densitas olein dan biodiesel olein terdapat perubahan nilai densitas. Densitas biodiesel olein menjadi lebih kecil dibandingkan bahan baku awal. Paremater ini menyebabkan kekentalan atau viskositas biodiesel lebih kecil juga. Sifat fisik densitas merupakan salah satu parameter paling mudah untuk membedakan antara minyak dan biodiesel hanya melihat dari sifat kekentalannya. Biodiesel pada umumnya memiliki densitas dan viskositas yang lebih kecil dibandingkan bahan baku awal yang digunakan. Nilai densitas olein adalah 0,91 g/cm 3 sedangkan densitas biodiesel olein yang dihasilkan adalah 0,87 g/cm 3. Menurut Gerpen (2000), nilai standar densitas FAME adalah 0,86 0,90 g/cm 3. Berdasarkan acuan literatur tersebut, maka biodiesel olein yang dihasilkan dalam penelitian ini memenuhi standar internasional biodiesel. Konversi olein menjadi biodiesel lewat reaksi transesterifikasi ini merupakan solusi untuk menurunkan nilai densitas sehingga proses pembakaran dalam ruang bakar berjalan dengan baik. Nilai densitas biodiesel berpengaruh terhadap pemanasan dan penggunaan bahan bakar yang memasuki ruang bakar. Kondisi ini digambarkan sebagai nilai viskositas kinemateik FAME. Biodiesel yang baik memiliki viskositas kinematik yang besar (Tat dan Gerpen 2000). Biodiesel olein yang memiiki kandungan metil ester palmitat (C16:0) dan metil ester oleat (C 18:1 ) dominan memiliki nilai viskositas kinematik cukup besar yaitu masing-masing 4,32 mm 2 /s dan 4,45 mm 2 /s (Worgetter et al. 1998). 4.1.1.2 Bilangan Iod Nilai bilangan iod dalam biodiesel menggambarkan banyaknya ikatan rangkap (tidak jenuh) dalam biodiesel. Asam lemak dan metil ester tidak jenuh mampu menyerap sejumlah iod yang akan membentuk senyawa jenuh (Ketaren 1996). Berdasarkan data pengujian, dapat diketahui bahwa proses transesterifikasi tidak terlalu berpengaruh terhadap perubahan bilangan iod. Hal ini dikarenakan proses transesterifikasi tidak memotong ikatan rangkap dalam molekul asam lemak. Proses transesterifikasi juga tidak menggunakan suhu yang terlalu tinggi sehingga tidak mempengaruhi ikatan rangkap dalam trigliserida. Hasil pengukuran bilangan iod olein diperoleh angka 54,97 mg I 2 /g dan nilai bilangan iod biodiesel 57,14 mg I 2 /g. Nilai bilangan iod menunjukkan ketidakjenuhan biodiesel. Apabila jumlah komponen tidak jenuh ini sangat tinggi dalam biodiesel maka dapat menyembabkan menurunkan cloud point, menurunkan angka setana, menurunkan stabilitas dan meningkatkan NOx. Penurunan cloud point merupakan manfaat positif karena menyebabkan biodiesel dapat digunakan ditempat bersuhu rendah. Sementara penurunan angka setana dan stabilitas adalah manfaat negatif karena menurunkan kualitas biodiesel. Selain itu, tingginya komponen dengan ikatan rangkap 2 dapat 27

menyebabkan auto oksidasi metil ester dengan udara membentuk senyawa berikatan silang dan bersifat tidak larut. Senyawa yang terbentuk berisiko menghambat operasi pompa suplai bahan bakar dan menyumbat filter. Kondisi ini menganggu mesin yang sedang beroperasi dan tidak efisien (Gerpen 2004). 4.1.1.3 Bilangan Penyabunan Bilangan penyabunan pada biodiesel menggambarkan jumlah alkali yang dibutuhkan untuk menyabunkan komponen asam lemak dan metil ester. Besarnya bilangan penyabunan tergantung dari berat molekul. Minyak dan metil ester yang memiliki bobot molekul rendah akan memiliki nilai bilangan penyabunan yang lebih tinggi (Ketaren 1996). Hasil uji bilangan penyabunan menunjukkan bahwa olein memiliki angka penyabunan yang lebih rendah dibandingkan biodiesel olein. Nilai bilangan penyabunan olein yang diperoleh adalah 190,52 mg KOH/g, sedangkan bilangan penyabunan biodiesel olein adalah 192,46 mg KOH/g. Perubahan yang terjadi pada bilangan penyabunan diakibatkan karena perubahan molekul dari senyawa trigliresida menjadi metil ester. Senyawa trigliserida merupakan molekul yang lebih besar dibandingkan metil ester. Molekul metil ester yang lebih kecil ini menghasilkan nilai bilangan penyabunan yang meningkat. Bilangan penyabunan juga menjadi parameter untuk menentukan jenis minyak dan biodiesel. Minyak dan biodiesel dengan nilai bilangan penyabunan yang besar pada umumnya didominasi oleh molekul asam lemak dan metil ester dengan rantai pendek. 4.1.1.4 Nilai Asam Nilai bilangan asam dan kadar asam lemak bebas atau free fatty acid (FFA) dapat diperoleh dalam uji secara bersamaan. Nilai asam merupakan ukuran dari jumlah asam lemak bebas dalam senyawa minyak atau metil ester. Secara garis besar, nilai bilangan asam dan kadar FFA mengalami penurunan selama proses transesterifikasi. Penurunan yang terjadi diakibatkan karena pengaruh reaksi dengan metanol yang mengubah asam lemak bebas menjadi metil ester. Sementara itu, masih terdapat asam lemak bebas yang berada dalam biodiesel karena reaksi yang kurang maksimal sehingga tidak secara sempurna mengkonversi asam lemak menjadi metil ester. Nilai bilangan asam dan FFA untuk olein berturut-turut adalah 0,49 mg KOH/g dan 0,22%. Nilai asam olein ini berbeda dengan biodiesel olein dimana bilangan asam dan FFA adalah 0,27 mg KOH/g dan 0,12 %. Kandungan FFA dalam dalam minyak dan biodiesel mempengaruhi proses penyabunan. Apabila kandungan FFA sangat tinggi dalam olein dan biodiesel olein maka FFA akan bereaksi dengan katalis basa sehingga membentuk sabun. Namun, jika nilainya sangat kecil maka tidak berpengaruh nyata. Hal ini yang mendasari pemilihan proses pembuatan biodiesel. Jika FFA > 2% maka proses produksi biodiesel menggunakan 2 tahap reaksi yaitu esterifikasi dan transesterifikasi. Ini dilakukan agar FFA dalam minyak dikonversi langsung menjadi metil ester dengan bantuan katalis asam sulfat. Proses transesterfikasi tidak dipilih pada minyak dengan FFA > 2% adalah karena FFA akan bereaksi dengan katalis basa (KOH atau NAOH) dan membentuk sabun sehingga proses berjalan tidak sempurna. Kandungan FFA yang sangat tinggi dalam biodiesel berpengaruh pada kinerja mesin diesel. FFA dalam biodiesel mampu menyebabkan kerusakan pada karet mesin dan bersifat korosif terhadap mesin. Oleh karenanya, pada biodiesel diharuskan memiliki FFA yang kecil. Cvengros (1998) menyebutkan standar biodiesel Eropa mensyaratkan nilai bilangan asam 0,5 mg KOH/ g. 28

4.2 DESAIN PROSES FRAKSINASI 4.2.1 Proses Fraksinasi Biodiesel Desain proses fraksinasi adalah mendapatkan kondisi terbaik dalam pemisahan komponen tertentu. Komponen yang diharapkan memiliki kemurnian tinggi dalam penelitian ini adalah adalah metil ester palmitat (C 16:0 ). Oleh karenanya penggunaan suhu proses paling berperan dalam mendidihkan metil ester palmitat. Suhu fraksinasi sangat berkaitan dengan faktor tekanan dalam sistem, sehingga perlu adanya pengkondisian tekanan yang mampu dihasilkan pompa vakum dengan suhu yang akan digunakan. Sementara itu, penggunaan waktu yang efektif diturunkan dari laju alir pembentukan produk agar memaksimalkan metil ester palmitat yang terbentuk. Kinerja fraksinasi yang baik sangat ditentukan dari alat fraksinasi yang digunakan. Fractional distillation system merupakan sistem penyuling fraksi yang mampu menghasilkan beberapa fraksi bahan yang disuling. Gambar 20 berikut merupakan rangkaian alat fraksinasi yang digunakan dalam penelitian ini. Gambar 20. Rangkaian fractional distillation system Alat fraksinasi ini tersusun dari berbagai komponen yang saling mendukung. Komponen penyusun dan gambar teknik detail alat fraksinasi dapat dilihat pada Lampiran 6. Pada alat fraksinasi ini, komponen penting dalam menentukan laju proses adalah panjang kolom dan penggunaan packing column yang tepat. Manfaat dari kedua komponen tersebut adalah: 1. Panjang kolom sangat berpengaruh terhadap kenaikan uap metil ester. Panjang kolom merupakan penyeimbang terhadap luasan permukaan boiling vessel dan bermanfaat dalam memperkecil tekanan udara sehingga memudahkan naiknya uap. 2. Penggunaan packing column bermanfaat dalam mengurangi gaya gravitasi sehingga uap tidak turun kembali ke boiling vessel dan menjadi media untuk perpindahan uap metil ester menuju kondensor. Desain alat yang digunakan merupakan pengembangan dari peralatan yang sudah ada dengan memodifikasi pada bagain tertentu guna mendapatkan kinerja yang lebih baik. Modifikasi dilakukan pada bentuk dan penempatan boiling vessel, penggunaan packing column dengan tipe berbeda, jacketing boiling vessel dan kolom fraksinasi untuk mengurangi kehilangan panas, dan perbaikan kondensor yang memungkinkan pindah panas yang sempurna. 29

Proses fraksinasi biodiesel berjalan mengikuti beberapa tahapan proses dalam alat fraksinasi. Mekanisme proses fraksinasi tersebut dapat dijelaskan dalam beberapa tahapan sebagai berikut: 1. Penurunan tekanan udara dalam sistem oleh pompa vakum. 2. Peningkatan suhu biodiesel di boiling vessel oleh burner yang terhubung dengan tabung gas. 3. Saat kondisi titik didih tercapai, terjadi perubahan fase biodiesel dari bentuk cair menjadi gas dan uap biodiesel naik melewati packing dalam kolom fraksinasi. 4. Terjadi pindah panas di kondensor sehingga mengubah fase uap biodiesel menjadi fase cair. 5. Biodiesel HF kemudian ditampung dalam receiver vessel. Desain kondisi proses pada penelitian ini adalah perlakuan fraksinasi dengan suhu 225 o C, 230 o C, 235 o C serta lama waktu proses adalah 10 dan 12 jam. Setiap satuan percobaan fraksinasi digunakan 50 liter biodiesel. Proses fraksinasi ini mampu menghasilkan dua fraksi biodiesel yang memiliki sifat berbeda yaitu biodiesel hasil fraksinasi (HF) dan biodiesel sisa fraksinasi (SF). Biodiesel HF merupakan produk yang terdistilasi selama proses berlangsung. Sementara biodiesel SF merupakan biodiesel yang tidak terdistilasi karena memiliki titik didih yang lebih tinggi. Biodiesel yang mengalami proses fraksinasi memiliki perubahan secara fisik dan komposisi kimia. Penampakan biodiesel HF dan SF berbeda dengan biodiesel awal yang sebelum mengalami proses fraksinasi. Warna biodiesel olein yang berwarna kuning setelah mengalami proses fraksinasi akan menghasilkan dua produk yang berbeda warnanya. Berikut adalah penampakan biodiesel yang mengalami proses fraksinasi. (a) (b) Gambar 21. Produk biodiesel fraksinasi (a) Biodiesel HF (b) Biodiesel SF Pada Gambar 21, biodiesel HF memiliki penampakan berwarna jernih dan biodiesel SF memiliki warna kecoklatan. Secara umum, perubahan warna ini terjadi karena biodiesel mengalami kehilangan pigmen warna kuning karena faktor pemanasan yang lama. Pada biodiesel HF, pembentukan warna jernih terjadi karena material yang menguap merupakan warna biodiesel murni tanpa pigmen. Sementara untuk biodiesel SF, pembentukan warna kecoklatan terjadi kerena waktu kontak terlalu lama sehingga menyebabkan peristiwa browning. Warna produk biodiesel fraksinasi ini sama dengan biodiesel fraksinasi yang dikembangkan oleh SRS Engineering (USA). 30

4.2.2 Volume Biodiesel Proses Fraksinasi Proses fraksinasi menghasilkan biodiesel HF dan SF dengan volume yang beragam. Beragamnya volume biodiesel HF dan SF ini terbentuk akibat pengaruh suhu dan lama waktu proses fraksinasi. Data pengukuran volume produksi biodiesel HF dan SF dapat dilihat pada Lampiran 7. 4.2.2.1 Volume Biodiesel Hasil Fraksinasi Volume biodiesel HF yang dihasilkan pada semua satuan percobaan sangat bervariasi. Pada Lampiran 7, volume terendah biodiesel HF yang dihasilkan adalah 17,98 liter pada kondisi proses suhu 225 o C dan waktu proses 10 jam. Sedangkan volume biodiesel HF tertinggi adalah 24,20 liter pada suhu 235 o C dan waktu 12 jam. Melalui analisis varian (α=5%) diperoleh informasi bahwa terdapat pengaruh nyata perlakuan pada pembentukan volume biodiesel HF. Faktor yang berpengaruh adalah lama waktu proses fraksinasi (p-value=0,0327<0,05). Dengan uji lanjut Duncan, diketahui bahwa lama waktu proses 10 jam berbeda dengan waktu proses 12 jam. Rataan tertinggi voleme biodiesel HF adalah pada waktu proses 12 jam yang menghasilkan nilai rata-rata volume 22,77 liter. Untuk waktu proses 10 jam, nilai rataan adalah 18,98 liter (Lampiran 8A). Gambar 22 berikut ini menjelaskan pengaruh faktor waktu terhadap volume biodiesel HF. 30 Chart Title Volume HF (liter) 20 10 10 jam 12 jam Waktu Proses Suhu 225oC Suhu 230oC Suhu 235oC Gambar 22. Grafik pengaruh waktu terhadap volume produksi biodiesel HF 4.2.2.2 Volume Biodiesel Sisa Fraksinasi Volume produksi biodiesel SF secara umum memiliki lebih besar dibandingkan biodiesel HF. Volume rata-rata tertinggi biodiesel adalah 31,16 liter pada kondisi proses 225 o C dan waku proses 10 jam. Sedangkan volume nilai terendah adalah 24,05 liter pada satuan proses 235 o C dan waktu proses 12 jam. Berdasarkan analsis varian (α=5%), faktor perlakuan berpengaruh nyata pada pembentukan volume SF. Pengaruh yang terlihat adalah faktor lama proses (p-value=0,0257<0,05). Lama waktu proses 10 dan 12 jam sangat berbeda dalam menghasilkan biodiesel SF. Rataan volume yang dihasilkan dari waktu proses 10 jam adalah 30,12 liter, sedangkan untuk rataan waktu 12 jam menghasilkan biodiesel SF sebesar 25,72 liter (Lampiran 8B). Gambar 23 berikut adalah grafik pengaruh waktu proses yang berpengaruh nyata terhadap volume produksi SF. 31

Chart Title Volume SF (liter) 40 30 20 Suhu 225oC Suhu 230oC Suhu 235oC 10 10 jam 12 jam Waktu Proses Gambar 23. Grafik pengaruh waktu terhadap volume produksi biodiesel SF 4.2.3 Pengaruh Proses Fraksinasi Terhadap Komposisi FAME Biodiesel Proses fraksinasi mengubah komposisi fatty acid methyl ester dalam biodiesel. Metil ester memiliki titik didih yang beragam sesuai dengan panjang rantai masing-masing. Semakin panjang rantai metil ester, maka semakin tinggi juga titik didih metil ester tersebut (Goodrum 2002). Proses fraksinasi biodiesel sangat berbeda dengan fraksinasi petrodiesel atau bahan bakar solar. Menurut Wenzel dan Schulze Lammers (1997) menyatakan bahwa kebanyakan biodiesel tersusun dari asam lemak C 16 dan C 18 yang memiliki titik didih hampir sama atau saling berdekatan antar komponen. Hal ini berbeda dengan solar yang tersusun dari campuran hidrokarbon alifatik dan aromatik dengan titik didih yang sangat berbeda. Bahan bakar solar memiliki kurva titik didih mulai dari suhu 200 o C untuk memisahkan fraksi-fraksinya. Berbeda dengan metil ester minyak nabati yang mulai mendidih pada suhu 300 o C pada kondisi mendekati tekanan normal. 4.2.3.1 Komposisi FAME Biodiesel Hasil Fraksinasi Pada analisis menggunakan gas kromatografi diperoleh data bahwa setiap satuan percobaan memiliki komposisi FAME yang beragam. Penggunaan suhu dan waktu proses mampu menghasilkan produk biodiesel HF yang mengandung metil ester palmitat (C 16:0 ) secara dominan pada setiap satuan percobaan. Selain metil ester palmitat, pada biodiesel fraksinasi ini terdapat metil ester yang lain yang mampu terbaca oleh GC yaitu metil ester miristat (C 14:0 ), metil ester stearat (C 18:0 ), metil ester oleat (C 18:1 ), metil ester linoleat (C 18:2 ). Data analsis GC untuk biodiesel HF dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Hasil analisis komponen FAME biodiesel HF Komponen FAME Kondisi Proses Lainnya (C14:0, C 18:0, Metil Ester C16:0 Metil Ester C18:1 C 18:2 ) 225-10 63,13 7,02 5,91 225-12 74,26 12,04 7,42 230-10 68,10 7,25 8,13 230-12 74,11 15,29 9,54 235-10 77,03 6,50 7,38 235-12 80,17 11,42 8,24 32

Pada Tabel 12, kemurnian tertinggi metil ester palmitat dalam biodiesel HF diperoleh dari kondisi proses fraksinasi suhu 235 o C dan waktu proses 12 jam. Proses ini mampu menghasilkan rataan kemurnian 80,17 %. Hal ini berarti dalam 100 ml biodiesel terdapat 80,17 gram fraksi metil ester palmitat. Nilai kandungan metil ester palmitat ini cukup tinggi dibandingkan dengan biodiesel awal sebesar 29,64% (b/b). Tingginya kemurnian metil ester palmitat pada biodiesel HF 235-12 mengindikasikan bahwa proses ini merupakan proses terbaik dibandingkan perlakukan yang lain. Uji Tukey digunakan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan antar respon dari komponen FAME yang dihasilkan oleh semua biodiesel HF (Lampiran 11A). Uji ini menghasilkan informasi bahwa produksi metil ester palmitat (C16) berbeda nyata dengan komponen lain dalam biodiesel HF dan tersebar dalam semua satuan percobaan. Komponen metil ester palmitat memiliki jumlah signifikan paling tinggi dibandingkan komponen lain. Namun, produksi metil ester C 16 masih memiliki titik out layer atau berada diantara rentang titik minimum dan maksimum yaitu pada HF1, 225-10 dengan jumlah metil ester terendah 55,02% (b/v). Gambar 24 berikut ini adalah boxplot uji Tukey biodiesel HF. Jumlah (% b/v) 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 C14:0 C16:0 C18:0 Komponen FAME C18:1 CIS C18:2 CIS (9,12) Gambar 24. Boxplot uji Tukey biodiesel HF Menurut Matheson (1996), biodiesel yang kaya akan kandungan metil ester C 16 sangat baik untuk pembuatan surfaktan. Hal ini terlihat dari surfaktan yang dihasilkan karena memperlihatkan karakteristik dispersi yang baik, sifat detergensi yang tinggi, dan tidak adanya fosfat serta bersifat mudah didegradasi. Ballestra (2008) menyatakan bahwa surfaktan MES C 16 tahan terhadap air dengan tingkat kesadahan yang tinggi dibandingkan dengan jenis surfaktan anionik lainnya. Selain itu, kemampuan (performance) surfaktan MES C 16 dapat dilihat dari nilai IFT (interfacial tension) atau tegangan antar muka. Tegangan antar muka setara dengan usaha yang dibutuhkan untuk meningkatkan area permukaan sebagai respon adanya tekanan antara dua larutan yang berbeda polaritasnya yaitu tekanan internal suatu larutan dengan kerja tekanan larutan lain. Dengan adanya surfaktan, dua senyawa yang berbeda polaritasnya akan menyatu karena tegangan antar muka telah menurun. Nilai tegangan antar muka untuk MES dengan bahan baku metil ester olein yang telah dilakukan oleh Susi (2010) adalah sebesar 0,02803 dyne/cm. 4.2.3.2 Komposisi FAME Biodiesel Sisa Fraksinasi Biodiesel sisa fraksinasi merupakan produk samping pada penelitian ini. Biodiesel SF masih memiliki nilai tambah dan bukan merupakan limbah dari proses fraksinasi. Fraksi kedua proses fraksinasi ini banyak didominasi oleh komponen berat metil ester yang tidak menguap saat 33

proses berlangsung. Komponen berat yang mendominasi biodiesel SF adalah fraksi metil ester oleat. Tabel 13 berikut ini menampilkan hasil analisis GC biodiesel SF. Tabel 13. Hasil analisis komponen FAME biodiesel SF Kondisi Proses Komponen FAME Metil Ester C16:0 Metil Ester C18:1 Lainnya (C18:0, C 18:2 ) 225-10 12,05 53,63 27,97 225-12 6,47 57,56 31,89 230-10 8,31 58,51 27,99 230-12 5,23 56,36 35,59 235-10 7,17 61,80 29,76 235-12 3,70 57,70 30,41 Pada Tabel 13, dapat diketahui bahwa metil ester oleat (C 18:1 ) secara dominan berada pada biodiesel SF. Kemurnian tertinggi yang mampu dicapai adalah 60,80% (b/v) metil ester oleat pada proses fraksinasi suhu 235 o C dan lama waktu proses 10 jam. Selain metil ester oleat, pada biodiesel SF ini terdeteksi 3 komponen lain yaitu metil ester palmitat (C 16:0 ), metil ester stearat (C 18:0 ), dan metil ester linoleat (C 18:2 ). Nilai konsentrasi metil ester oleat ini cukup tinggi dibandingkan dengan biodisel awal sebesar 29,89% (b/b). Kondisi terbaik yang dicapai untuk pemisahan metil ester oleat merupakan rataan dari dua kali ulangan dengan nilai SF1, 235-10 sebesar 62,29% (b/v) dan SF2, 235-10 sebesar 61,31% (b/v). Biodiesel SF diuji pembeda dengan menggunakan uji Tukey untuk mengetahui pembeda antar respon dari komponen FAME (Lampiran 11B). Hasil analisis ini memberikan informasi bahwa komponen metil ester oleat secara signifikan. Data persebaran nilai komponen FAME dapat disajikan pada Gambar 25. 70 60 50 Jumlah (% b/v) 40 30 20 10 0 C16:0 C18:0 C18:1 CIS Komponen FAME C18:2 CIS (9,12) Gambar 25. Boxplot uji Tukey biodiesel SF Pada Gambar 25, terlihat bahwa sebaran metil ester oleat secara merata terdapat pada masing-masing satuan percobaan dan tidak memiliki titik out layer. Komponen metil ester oleat baik digunakan untuk bahan bakar pengganti solar. Gerpen (2004) menyebutkan bahwa bahan baku biodiesel dengan kandungan asam lemak C 18:1, C 18:2, C 18:3 menurunkan cloud point sehingga dapat diaplikasikan di negara empat musim. Faktor penting lain dalam penggunaan biodeisel sebagai bahan bakar adalah nilai kinematik viskosistas. Metil ester oleat memiliki angka viskositas kinematik lebih besar yaitu 4,45 mm 2 /s dibandingkan dengan metil ester palmitat 34

sebesar 4,32 mm 2 /s (Worgetter et al. 1998). Biodiesel SF dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar campuran biodiesel yang rendah akan komponen tidak jenuh (Freedman dan Bagby 1989). Apabila dilihat dari parameter lain, metil ester oleat cukup baik untuk aplikasi sebagai bahan bakar. Klopfenstein dan Walker (1983) menyebutkan bahwa energi pembakaran metil ester oleat terbilang cukup tinggi yaitu 38,9 MJ/kg sementara standar minimum yang dibutuhkan adalah 35 MJ/kg. Berkaitan dengan angka setana, metil ester oleat memiliki angka setana cukup baik yaitu 55 dibandingkan dengan standar SNI mengharuskan minumum angka setana 51. Angaka setana ini mengambarkan ukuran keterlambatan antara pemasukan bahan bakar (fuel injection) dengan pembakaran (fuel ignition) dimana angka setana yang semakin tinggi menunjukan waktu yang lebih singkat antara fuel injection dengan fuel ignition. 4.2.4 Pengaruh Proses Fraksinasi Terhadap Sifat Fisiko Kimia Biodiesel Proses fraksinasi biodiesel dapat mengubah biodiesel properties atau karakteristik biodiesel baik secara fisiko kimia. Perubahan sifat tersebut dimanfaatkan untuk penggunaan biodiesel untuk tujuan khusus. Berikut adalah beberapa perubahan parameter fisiko kimia biodiesel fraksinasi. 4.2.4.1 Densitas Biodiesel Fraksinasi Biodiesel yang mengalami proses fraksinasi mengalami perubahan nilai densitas. Pada dasarnya proses fraksinasi akan membagi biodiesel menjadi dua komponen yang berbeda berat molekulnya. Pada suhu yang digunakan, hanya beberapa molekul yang mampu menguap dan membentuk Biodiesel HF. Sementara biodiesel SF didominasi oleh molekul dengan titik didih tinggi. Bobot molekul ini berpengaruh terhadap nilai densitas biodiesel. Selain itu juga, menurut Worgetter et al. (1998), banyaknya ikatan tidak jenuh dan panjang rantai akan mengakibatkan tingginya nilai densitas. Data nilai densitas biodiesel HF dan SF disajikan pada Lampiran 12. Densitas Biodiesel HF Nilai densitas biodiesel secara umum lebih rendah dibandingkan dengan biodiesel awal sebelum proses fraksinasi (densitas biodiesel awal 0,87 g/cm 3 ). Terlihat pada Lampiran 12, nilai densitas biodiesel HF secara keseluruhan berada di bawah 0,87 g/ cm 3. Nilai densitas terkecilnya adalah 0,862 g/cm 3 pada kondisi proses 230-10 dan 235-10. Untuk nilai densitas tertinggi biodiesel HF diperoleh pada kondisi 230-12 dengan nilai 0,865 g/cm 3. Dengan menggunakan analisis varian (α=5%), dapat diperoleh informasikan bahwa faktor perlakukan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) pada nilai densitas biodiesel HF (Lampiran 13A). Nilai densitas yang kecil pada biodiesel untuk bahan baku surfaktan akan mempengaruh surfaktan MES yang dihasilkan. Ariawiyana (2011) memproduksi surfaktan MES dengan bahan baku biodiesel olein menghasilkan nilai densitas MES 0,9776 g/cm 3. Apabila diproduksi surfaktan MES dengan biodiesel HF maka nilai densitas MES C 16 akan lebih kecil dibawah angka 0,9776 g/cm 3 karena densitas metil ester C 16 yang kecil. Hal ini berpengaruh pada aplikasi MES C 16 yang akan lebih mudah larut pada penggunaanya. Densitas Biodiesel SF Nilai densitas biodiesel SF secara umum lebih besar dibandingkan dengan biodiesel awal sebelum proses fraksiansi (densitas biodiesel awal 0,87 g/cm 3 ). Densitas biodiesel SF pada semua kondisi percobaan berada di atas 0,87 g/ml. Densitas tertinggi dicapai pada kondisi proses 35

suhu 235 o C dan waktu 12 jam sebesar 0,883 g/cm 3. Sedangkan nilai densitas terendanya adalah 0,878 g/cm 3 pada kondisi proses 225 o C dan waktu 10 jam. Analisis varian (α=5%), menghasilkan informasi bahwa terdapat faktor perlakuan yang berpengaruh terhadap nilai densitas SF. Faktor yang berpengaruh nyata tersebut adalah lama waktu proses (p-value=0,0284<0,05). Melalui uji lanjut Duncan, diperoleh kesimpulan bahwa nilai densitas biodiesel SF berbeda pada waktu proses 10 jam dengan waktu proses 12 jam. Nilai rataan tertinggi menurut Duncan Grouping adalah waktu proses 12 jam menghasilkan nilai densitas 0,882 g/cm 3. Sementara waktu proses 10 jam menghasilkan rataan nilai densitas 0,878 g/cm 3 (Lampiran 13B). Gambar 26 berikut disajikan grafik beda nyata penggunaan lama waktu proses yang mempengaruhi densitas biodiesel SF. 0,884 Chart Title Densitas SF (g/ml) 0,88 0,876 0,872 10 jam 12 jam Waktu Proses Suhu 225oC Suhu 230oC Suhu 235oC Gambar 26. Grafik pengaruh waktu proses terhadap densitas biodiesel SF Pada aplikasi biodiesel SF untuk bahan bakar, knothe (2008) menyatakan bahwa metil ester oleat merupakan jenis metil ester terbaik yang perlu ada secara dominan dalam bahan bakar untuk dapat memperbaiki karakteristik alkil ester bahan bakar sekitar 60 90%. Karakteristik melting point alkil oleat suhu -20 o C cocok untuk pemanfaatan bahan bakar pada suhu rendah. Selain iu juga, viskositas kinematik metil ester oleat meningkat dari 4,45 mm 2 /s pada suhu 40 o C menjadi 21,33 mm 2 /s pada suhu -10 o C. Nilai viskositas kinematik sangat berkaitan dengan densitas biodiesel. Hal ini memberikan informasi bahwa densitas biodiesel SF memiliki nilai yang cukup baik dalam aplikasinya sebagai bahan bakar. 4.2.4.2 Bilangan Iod Biodiesel Fraksinasi Mittelbach (1996) dan Worgetter et al. (1998) menyatakan bahwa bilangan iod merupakan gambaran banyaknya komponen ikatan tidak jenuh dalam biodiesel. Proses fraksinasi biodiesel berpengaruh terhadap perubahan nilai bilangan iod biodiesel HF dan SF. Senyawa iod yang ditambahkan dalam biodiesel akan memutus ikatan rangkap dalam biodiesel dan menjadikannya senyawa jenuh. Standar biodiesel Eropa EN 14214 mengharuskan biodiesel memiliki nilai bilangan iod < 120 g I 2 /100 g. Selain itu juga diharapkan biodiesel ini memiliki jumlah maksimal metil ester linoleat (C 18:2 ) sebesar 12% dan polyunsaturated methyl ester (komponen dengan ikatan rangkap lebih dari 4 rangkap) sebesar 1% (m/m) (Mittelbach dan Remschmidt 2006). Perbedaan ketidakjenuhan dalam biodiesel HF dan SF disajikan dalam Lampiran 14. 36

Bilangan Iod Biodiesel HF Pengaruh kondisi proses fraksinasi dengan suhu tinggi mampu merubah ikatan kimia metil ester. Pada pengujian bilangan iod diperoleh data bahwa nilai bilangan iod HF secara garis besar lebih kecil dibandingkan dengan nilai bilangan iod awal (bilangan iod biodiesel awal 57,14 mg I 2 /g). Pada Lampiran 14, terlihat bahwa bilangan iod tertinggi sebesar 26,61 mg I 2 /g pada kondisi proses 235 o C dan waktu proses 12 jam. Sementara untuk nilai bilangan iod terkecil adalah 16,78 mg I 2 /g pada kondisi 230 o C dan waktu proses 10 jam. Nilai bilangan iod yang rendah pada biodiesel HF dikarenakan sedikitnya molekul berikatan rangkap. Fraksi-fraksi berat biodiesel tidak sepenuhnya menguap pada penggunaan suhu fraksinasi. Dengan analisis varian (α=5%), diperoleh informasi bahwa faktor perlakuan berpengaruh nyata pada bilangan iod biodiesel HF. Faktor yang berpengaruh nyata adalah lama waktu proses dimana p-value (0,0017) < α (0,05). Melalui uji lanjut Duncan, diperoleh informasi bahwa faktor lama waktu proses 10 jam berbeda nyata dengan 12 jam. Rataan tertinggi menurut Duncan Grouping adalah waktu proses 12 jam yang menghasilkan nilai bilangan iod 23,36 mg I 2 /g. Sedangkan nilai terendah rataan bilangan iod berdasarkan waktu 10 jam adalah 17,95 mg I 2 /g (Lampiaran 15A). Grafik pengaruh lama waktu proses terhadap bilangan iod biodiesel HF disajikan pada Gambar 27. Chart Title Bil. Iod HF (mg Iod/g) 30 20 10 0 10 jam 12 jam Waktu Proses Suhu 225oC Suhu 230oC Suhu 235oC Gambar 27. Grafik pengaruh waktu proses terhadap bilangan iod biodiesel HF Biodiesel HF apabila digunakan untuk bahan baku surfaktan MES akan menghasilkan MES C 16 dengan nilai bilangan iod yang lebih kecil dibandingkan bahan baku awalnya. Penelitian Susi (2010) menyatakan bahwa reaksi sulfonasi menyebabkan pengurangan ikatan rangkap karena sebagian telah berikatan dengan SO 3. Bilangan iod MES olein yang terukur adalah berkisar 20,42-25,84 mg I 2 /g. Nilai bilangan MES ini lebih kecil dibandingkan bilangan iod biodiesel yang digunakan. MES dengan bilangan iod yang kecil cukup baik karena ikatan rangkapnya lebih sedikit sehingga senyawa tersebut lebih stabil. Bilangan Iod Biodiesel SF Secara keseluruhan, nilai bilangan iod biodiesel SF lebih besar dibesar dibandingkan biodiesel awal sebelum fraksinasi (bilangan iod biodiesel awal 57,14 mg I 2 /g). Kisaran nilai bilangan iod biodiesel SF antara 74,26 mg I 2 /g hingga 77,94 mg I 2 /g. Nilai bilangan iod yang cukup tinggi ini diakibatkan banyaknya ikatan rangkap dalam biodiesel yang sulit menguap pada kondisi proses yang digunakan. Hasil analisis varian (α=5%) menunjukan bahwa faktor perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai bilangan iod biodiesel SF (Lampiran 15B). 37

Tingginya bilangan iod pada biodiesel sebenarnya tidak terlalu baik untuk aplikasinya sebagai bahan bakar. Namun, molekul metil ester tidak jenuh juga perlu ada untuk meningkatkan kualitas biodiesel. Bilangan iod yang sangat tinggi dapat meninggalkan material sisa pembakaran pada cincin piston, lubang injeksi bahan bakar, dan dudukan cincin piston. Sisi positif yang bisa diambil digunakan sebagai bahan bakar di tempat bersuhu rendah (Kobmehl dan Heinrich 1997). 4.2.4.3 Bilangan Penyabunan Biodiesel Fraksinasi Bilangan penyabunan biodiesel menggambarkan banyaknya molekul biodiesel yang mampu tersabunkan oleh senyawa basa. Pada proses penyabunan bodiesel, adanya FFA juga mempengaruhi proses penyabunan karena senyawa basa akan bereaksi dengan asam lemak bebas dalam biodiesel. Bilangan penyabunan pada biodiesel HF dan SF menunjukan data yang beragam. Data pengukuran bilangan penyabunan biodiesel HF dan SF disajikan pada Lampiran 16. Bilangan Penyabunan Biodiesel HF Bilangan penyabunan yang dihasilkan dari biodiesel HF berada pada nilai 184,33 mg KOH/g hingga 199,43 mg KOH/g. Nilai rata-ratanya adalah 191,08 mg KOH/g sampel. Nilai rataan ini lebih rendah dibandingkan dengan biodiesel awal yang digunakan (bilangan penyabunan awal 192,46 mg KOH/g). Nilai ini sebenarnya tidak terlalu signifikan berubah, namun salah satu penyebab perubahan ini diindikasikan karena penurunan jumlah FFA dalam biodiesel. Pada reaksi penyabunan, FFA mampu bereaksi dengan senyawa basa membentuk sabun. Semakin banyak FFA maka semakin besar pula nilai bilangan penyabunan. Selanjutnya melalui analisis varian (α=5%), diperoleh informasi bahwa faktor perlakuan tidak berpengaruh nyata (p-value>0,05) pada bilangan penyabunan biodiesel HF yang dihasilkan (Lampiran 17A). Bilangan Penyabunan Biodiesel SF Nilai bilangan penyabunan biodiesel SF yang terukur berada pada angka 185,18 mg KOH/g hingga 207,09 mg KOH/g. Nilai rataannya adalah 194,91mg KOH/g. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan biodiesel awal (bilangan penyabunan awal 192,46 mg KOH/g). Perubahan ini nilai ini salah satunya diakibatkan meningkatkannya kandungan FFA dalam biodiesel yang menyebabkan reaksi penyabunan dengan katalis basa. Peristiwa ini dinamakan deaktivasi katalis. Pada aplikasinya sebagai bahan bakar, nilai bilangan penyabunan menggambarkan molekul yang terdapat dalam biodiesel. Tingginya bilangan menyabunan menunjukan bahwa molekul dalam biodiesel cenderung berbobot molekul yang cukup sederhana. Hasil analisis varian (α=5%), diperoleh informasi bahwa perlakuan berpengaruh nyata pada bilangan penyabunan SF. Faktor yang berpengaruh tersebut adalah faktor waktu dan interaksi suhu dengan waktu. Pada pengaruh waktu diperoleh diperoleh nilai p-value (0,0035) < α (0,05). Uji lanjut Duncan untuk pengaruh waktu menunjukan bahwa lama waktu proses 10 jam sangat berbeda nyata dengan 12 jam dalam menghasilkan bilangan penyabunan biodiesel SF. Rataan tertinggi nilai bilangan penyabunan diperoleh pada waktu proses 12 jam dengan nilai 199,79 mg KOH/g. Sedangkan nilai untuk rataan 10 jam diperoleh bilangan penyabunan 190,04 mg KOH/g (Lampiran 17B). Pada pengaruh interaksi faktor perlakuan suhu dengan waktu diperoleh p-value (0,0089) < α (0,05). Hasil uji lanjut Duncan menunjukan bahwa terdapat perbedaan nyata dari kombinasi perlakuan suhu dengan waktu. Pada Lampiran 16, kolom rataan biodiesel SF, dapat dilihat bahwa kombinasi perlakuan yang terdapat dalam grup yang sama menyatakan bahwa kombinasi tersebut tidak berbeda nyata pada taraf nyata 5%. 38

Gambar 28 berikut ini menunjukan pengaruh faktor waktu dan interaksi suhu dengan waktu terhadap bilangan penyabunan biodiesel SF. Chart Title Bil. Penyabunan SF (mg KOH/g) 210 200 190 180 170 10 jam 12 jam Suhu 225oC Suhu 230oC Suhu 235oC Waktu Proses Gambar 28. Grafik pengaruh waktu dan interaksi terhadap bilangan penyabunan biodiesel SF 4.2.4.4 Bilangan Asam Biodiesel Fraksinasi Suhu yang tinggi pada proses fraksinasi mampu mempengaruhi struktur ikatan kimia dalam mestil ester dan membentuknya asam lemak. Pembentukan asam lemak akan menyebabkan perubahan nilai bilangan asam biodiesel. Bilangan asam atau angka netralisasi mengukur banyaknya asam lemak bebas dalam biodiesel. Pada pengukurannya, bilangan asam ditunjukkan dengan banyaknya KOH yang dibutuhkan unuk menetralkan 1 gram fatty acid methyl ester (biodiesel). Bilangan asam menurut Standar Biodiesel Eropa dibatasi pada angka < 0,5 mg KOH/g (Cvengros 1998). Fraksinasi mampu mengubah nilai bilangan asam baik pada biodiesel HF maupun pada biodiesel SF. Data perubahan bilangan asam bioiesel HF dan SF dapat disajikan pada Lampiran 18. Bilangan Asam Biodiesel HF Bilangan asam biodiesel HF pada semua kondisi proses fraksinasi memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan biodiesel awal sebelum fraksinasi (bilangan asam biodiesel awal 0,27 mg KOH/g). Rentang nilai bilangan asam biodiesel HF adalah 0,12 mg KOH/g hingga 0,19 mg KOH/g. Penurunan nilai bilangan asam diakibatkan rendahnya jumlah asam lemak bebas dalam biodiesel. Menurut Rey et al. (1993) menyebutkan bahwa titik didih asam lemak lebih tinggi dibandingkan metil ester. Hal ini yang menyebabkan FFA tidak banyak yang menguap menjadi biodiesel HF. Pada analisis varian (α=5%), diperoleh informasi bahwa faktor perlakuan tidak nyata (p-value>0,05) berpengaruh terhadap bilangan asam biodiesel HF (Lampiran 19A). Biodiesel HF dengan nilai bilangan asam yang kecil akan menghasilkan surfaktan MES C 16 dengan performance yang baik. Penelitian yang dilakukan oleh Ariawiyana (2011) mampu memproduksi MES olein dengan nilai bilangan asam 1,49 mg KOH/g dari bahan baku biodiesel olein yang memiliki bilangan asam 0,21 mg KOH/g. Bilangan asam MES dipengaruhi oleh kandugan asam lemak bebas dalam bahan baku dan senyawa SO 3 pada proses sulfonasi. Germain (2001), menyebutkan bahwa penurunan bilangan asam terjadi karena pada tahap netralisasi MESA (methyl ester sulonate acid) menjadi MES terjadi pengurangan jumlah SO 3. Pengurangan nilai bilangan asam ini dapat memperbaiki kelarutan MES C 16 yang dihasilkan. 39

Bilangan Asam Biodiesel SF Pada biodiesel SF, terlihat peningkatan nilai bilangan asam dibandingkan dengan biodiesel awal (bilangan asam biodiesel awal 0,27 mg KOH/g). Nilai bilangan asam biodiesel SF berada pada angka 0,49 mg KOH/g hingga 0,81 mg KOH/g. Peningkatan ini terjadi karena kontak suhu yang tinggi sehingga molekul metil ester mengalami pemutusan ikatan menjadi FFA. Analisis varian (α=5%) dapat dinyatakan bahwa perlakuan berpengaruh nyata terhadap bilangan asam SF. Faktor yang berpengaruh nyata adalah adalah suhu proses dan lama waktu proses fraksinasi. Suhu fraksinasi berpengaruhnyata dimana p-value (0,0239) < α (0,05). Uji lanjut Duncan menyatakan bahwa suhu proses 235 o C tidak berbeda nyata dengan 230 o C, namun berbeda nyata dengan 225 o C. Sementara untuk suhu 230 o C tidak berbeda nyata dengan 225 o C. Nilai rataan bilangan asam berdasarkan suhu menurut Duncan Grouping yaitu 235 o C (0,75 mg KOH/g), 230 o C (0,69 mg KOH/g), dan 225 o C (0,57 mg KOH/g). Berkaitan dengan lama waktu proses, analasis varian menunjukan bahwa waktu proses berpengaruh nyata terhadap bilangan penyabunan SF dengan p-value (0,0429) < α (0,05). Penggunaan lama waktu proses 10 jam menurut uji lanjut Duncan berbeda nyata dengan 12 jam. Rataan waktu proses 10 jam menghasilkan nilai bilangan asam 0,62 mg KOH/g, sedangkan untuk waktu proses 12 jam menghasilkan 0,72 mg KOH/g (Lampiaran 19B). Gambar 29 merupakan grafik pengaruh suhu dan waktu terhadap bilangan asam biodiesel SF. Chart Title Bil. Asam (mg KOH/g) 1,1 0,8 0,5 0,2 10 jam 12 jam Suhu 225oC Suhu 230oC Suhu 235oC Waktu Proses Gambar 29. Grafik pengaruh suhu dan waktu terhadap bilangan asam biodiesel SF Biodiesel dengan nilai bilangan asam yang cukup tinggi kurang baik untuk dipakai pada mesin. Standar biodiesel Eropa mengharuskan nilai bilangan asam biodiesel < 0,5 mg KOH/g. Oleh karenanya, perlu adanya upaya untuk menggurangi nilai bilangan asam pada biodiesel SF karena secara umum biodiesel SF memiliki nilai bilangan asam diatas angka standar biodiesel (>0,49 mg KOH/g). Teknik penggurangan bilangan asam dapat dilakukan dengan netralisasi asam lemak dengan basa tertentu agar diperoleh metil ester yang lebih murni. 4.2.4.5 Kadar FFA Biodiesel Fraksinasi Kandungan free fatty acid biodiesel merupakan salah satu parameter standar biodiesel. Pembentukan FFA terjadi selama proses fraksinasi akibat kontak suhu tinggi biodiesel yang menyebabkan putusnya ikatan metil ester. Selanjutnya beberapa asam lemak terdistilasi bersama biodiesel HF dan sebagian terakumulasi dalam biodiesel SF di boiling vessel. Data pengukuran kadar FFA biodiesel HF dan SF disajikan pada Lampiran 20. 40

Kadar FFA Biodiesel HF Pada pengukuran kadar FFA biodiesel HF menunjukkan bahwa secara keseluruhan nilainya lebih kecil dibandingkan biodiesel awal (kadar FFA biodiesel awal 0,12%). Kadar FFA biodiesel HF berada pada rentang 0,6% hingga 0,9%. Penurunan nilai diakibatkan karena hanya sedikit asam lemak yang menguap bersama dengan metil ester dimana titik didih asam lemak lebih tinggi dibandingkan dengan metil ester. Hasil analisis varian (α=5%), diperoleh informasi bahwa perlakukan tidak berpengatuh nyata (p-value>0,05) terhadap kadar FFA biodiesel HF (Lampiran 21A). Nilai FFA berkorelasi dengan bilangan asam biodiesel HF. Rendahnya nilai FFA semakin baik karena dapat membuat surfaktan MES C 16 yang lebih stabil dan memiliki nilai kelarutan yang cukup baik. Metil ester palmitat dengan kandungan asam lemak yang kecil dapat diaplikasikan sebagai surfaktan MES dengan performance yang baik. Kemampuan surfaktan MES C 16 dapat diaplikasikan sebagai agen penurun tegangan permukaan pada proses pengeboran minyak, sebagai material untuk heavy duty cleaner, dan berbagai produk yang membutuhkan material penurun tegangan antar muka. Kadar FFA Biodiesel SF Secara umum, kadar biodiesel SF mengalami kenaikan dibandingkan biodiesel awal yang digunakan (kadar FFA biodiesel awal 0,12%). Kadar FFA yang diukur berada pada kisaran 0,22% hingga 0,37%. Peningkatan nilai FFA ini terjadi karena akumulasi asam lemak yang terbentuk dari pemutusan ikatan metil ester. Analasis varian (α=5%) menunjukan bahwa faktor perlakuan berpengaruh pada kadar FFA biodiesel SF. Faktor yang berpengaruh adalah suhu dan waktu proses. Suhu proses fraksinasi berpengaruh nyata dimana p-value (0,0239) < α (0,05). Melalui uji lanjut Duncan, diperoleh informasi bahwa suhu proses 235 o C berbeda nyata dengan 225 o C dan sama dengan 230 o C. Untuk suhu 225 o C tidak berbeda nyata dengan suhu 230 o C. Berkaitan dengan faktor waktu proses fraksinasi, analasis varian kadar FFA untuk biodiesel SF menghasilkan nilai p-value (0,0429) < α (0,05). Hasil uji lanjut Duncan menunjukan bahwa waktu proses 12 jam sangat berbeda dengan 10 jam. Nilai rataan tertinggi kadar FFA biodiesel yang menggunakan waktu proses 12 jam adalah 0,33%. Sementara untuk lama waktu proses 10 jam akan menghasilkan kadar FFA 0,28% (Lampiran 21B). Gambar 30 berikut adalah grafik pengaruh suhu dan waktu proses fraksinasi terhadap kadar FFA biodiesel SF. 0,4 Chart Title Kadar FFA (%) 0,3 0,2 0,1 10 jam 12 jam Waktu Proses Suhu 225oC Suhu 230oC Suhu 235oC Gambar 30. Grafik pengaruh suhu dan waktu proses terhadap kadar FFA biodiesel SF 41

Kadar FFA yang tinggi pada biodiesel SF perlu dikurangi agar menjaga kualitas biodiesel dan menggurangi kerusakan mesin saat aplikasinya sebagai pengganti solar. Tingginya FFA tinggi dalam biodiesel bersifat korosif terhadap mesin yang digunakan. Asam lemak bebas dalam biodiesel bersifat tidak stabil sehingga perlu dibatasi jumlahnya dalam biodiesel. Oleh karena ketidakstabilan sifat biodiesel terebut, saat ini aplikasi biodiesel masih dicampurkan dengan solar. Selain itu juga, belum terdapatnya modifikasi mesin untuk bahan bakar biodiesel ini menyebabkan biodiesel belum diterapkan secara murni pada mesin. Knothe (2008) menyebutkan bahwa bahan bakar campuran yang umum ditemui adalah campuran 80% solar dengan 20% biodiesel. Jenis bahan bakar ini dikenal dengan nama B20 (blend of 20% biodiesel). 42