Seminar Nasional Tahunan X Hasil Penelitian Kelautan dan Perikanan, 31 Agustus 2013

dokumen-dokumen yang mirip
Akuatik Jurnal Sumberdaya Perairan 48 ISSN

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu komoditas perikanan

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di

I. PENDAHULUAN. diakibatkan oleh berbagai macam faktor, salah satunya adalah munculnya penyakit yang

Seminar Nasional Tahunan X Hasil Penelitian Kelautan dan Perikanan, 31 Agustus 2013

I. PENDAHULUAN. 4,29 juta ha hutan mangrove. Luas perairan dan hutan mangrove dan ditambah dengan

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001).

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi

KARYA ILMIAH BISNIS DAN BUDIDAYA KEPITING SOKA. Di susun oleh : NAMA :FANNY PRASTIKA A. NIM : KELAS : S1-SI-09

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS POTENSI KEPITING BAKAU (Scylla spp) DI KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KAJIAN MATA PENCAHARIAN ALTERNATIF MASYARAKAT NELAYAN KECAMATAN KAMPUNG LAUT KABUPATEN CILACAP TUGAS AKHIR

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

RINGKASAN. Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut merupakan satusatunya

Seminar Nasional Tahunan X Hasil Penelitian Kelautan dan Perikanan, 31 Agustus 2013

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

I PENDAHULUAN Latar Belakang

TEKNIK PENANGKAPAN IKAN SIDAT DENGAN MENGGUNAKAN BUBU DI DAERAH ALIRAN SUNGAI POSO SULAWESI TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di

BAB I PENDAHULUAN. dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah laut Indonesia dikelilingi garis pantai sepanjang km yang

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Di perairan Indonesia diperkirakan lebih dari 100 spesies jenis kepiting

POTENSI SUMBERDAYA KEPITING BAKAU (Scylla sp.) YANG DIPERDAGANGKAN DI KOTA TARAKAN, PROPINSI KALIMANTAN UTARA. Natanael 1), Dhimas Wiharyanto 2)

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. berbeda antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1993).

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Kabupaten Gorontalo Utara. Kabupaten Gorontalo Utara merupakan salah satu Kabupaten yang terletak

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

KAJIAN SPASIAL FISIKA KIMIA PERAIRAN ULUJAMI KAB. PEMALANG

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur

Oleh. Firmansyah Gusasi

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat dimanfaatkan untuk menuju Indonesia yang maju dan makmur. Wilayah

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

BAB 1 PENDAHULUAN. Pantai Nanganiki merupakan salah satu pantai yang terletak di Desa

Pemanfaatan jenis sumberdaya hayati pesisir dan laut seperti rumput laut dan lain-lain telah lama dilakukan oleh masyarakat nelayan Kecamatan Kupang

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU Scylla paramamosain Estampador DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG.

BAB I PENDAHULUAN. mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, seperti

BAB I PENDAHULUAN. Sungai Asahan secara geografis terletak pada ,2 LU dan ,4

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI

I. PENDAHULUAN. Hampir 75 % tumbuhan mangrove hidup diantara 35ºLU-35ºLS (McGill, 1958

Lampiran 1. Rata-rata laju pertumbuhan bobot, lebar karapas dan panjang karapas kebiting bakau, Scyla srerata selama penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

KAJIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA ABSTRAK

Utara, ( Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia ABSTRACT

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusman a et al, 2003). Hutan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

adalah untuk mengendalikan laju erosi (abrasi) pantai maka batas ke arah darat cukup sampai pada lahan pantai yang diperkirakan terkena abrasi,

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis, ekologis, maupun biologis. Fungsi fisiknya yaitu sistem perakaran

Bab V Kajian Keberlanjutan Penerapan Sistem Silvofishery dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Desa Dabung

BAB I PENDAHULUAN. potensial untuk pembangunan apabila dikelola dengan baik. Salah satu modal

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

Manfaat dari penelitian ini adalah : silvofishery di Kecamatan Percut Sei Tuan yang terbaik sehingga dapat

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS TADULAKO 2016

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. berkelanjutan (sustainabel development) merupakan alternatif pembangunan yang

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

MANAJEMEN PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI KABUPATEN BULUNGAN

I. PENDAHULUAN. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan

4. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. Tabel 4 Luas wilayah studi di RPH Tegal-Tangkil

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. yang dinamis serta memiliki potensi ekonomi bahkan pariwisata. Salah satu

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

Transkripsi:

POTENSI KEPITING BAKAU DI WILAYAH PERAIRAN SEKITAR TAMBAK DESA MOJO KAB PEMALANG pms-12 Arthur Muhammad Farhaby 1 * Johannes Hutabarat 2 Djoko Suprapto 2 dan Jusup Suprijanto 2 1 Mahasiswa Program Double Degree Perencanaan dan Pengelolaan Sumberdaya Kelautan - MSDP Universitas Diponegoro Semarang 2 Dosen Program Double Degree Perencanaan dan Pengelolaan Sumberdaya Kelautan - MSDP Universitas Diponegoro Semarang *E-mail: Arthur_farhaby@yahoo.co.id Abstrak Kabupaten Pemalang merupakan salah satu penghasil kepiting bakau di Jawa Tengah. Kepiting bakau merupakan salah satu komoditas perikanan andalan Kabupaten Pemalang yang mempunyai nilai konomi tinggi dan dapat dikembangkan secara komersial. Namun demikian, pengelolaan potensi kepiting bakau di Kabupaten Pemalang belum optimal. Dalam kerangka pemetaan sumberdaya kelautan dan engelolaan sumberdaya hasil laut menuju zero waste management Suprijanto dkk (2013) melalui penelitian Tim ibah Pascasarjana Universitas Diponegoro, pemetaan potensi kepiting bakau perlu dikaji. Kepiting yang elimpah, dapat meninggalkan limbah karapas yang cukup dapat menyulitkan lingkungan. Penelitian ini dilakukan di Desa Mojo,Kecamatan Ulujami, Kabupaten Pemalang. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan kajian potensi Kepiting Bakau (Scylla Sp) di wilayah perairan sekitar tambak yang dilakukan selama empat bulan bulan November dan Desember 2012 serta bulan Januari dan Februari 2013. Pengambilan sampel dilakukan dengan penjebakan kepiting secara langsung di perairan. Studi ini digunakan untuk mengetahui gambaran dari potensi wilayah Desa Mojo sebagai penghasil kepiting bakau. Hasil observasi yang dilakukan dengan metode deskriptif guna melihat potensi kepiting bakau di wilayah ini selama November 2012 hingga Februari 2013 menunjukkan bahwa kawasan perairan di sekitar tambak desa Mojo sangat potensial guna menunjang keberadaan kepiting bakau di wilayah ini. Hal ini dapat terlihat dari hasil tangkapan yang cukup tinggi jumlahnya. Jumlah total tangkapan kepiting yang dilakukan selama observasi adalah sebanyak 422 ekor dengan rata-rata total berat yang diperoleh 255.54 gram. Hal ini menunjukkan bahwa perairan di sekitar tambak yang terletak di Desa Mojo menyimpan potensi sebagai daerah penghasil kepiting bakau. Kata kunci: Potensi, Kepiting Bakau,Tambak Pengantar Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang mempunyai peran penting di wilayah pesisir Indonesia. Ekosistem ini memiliki banyak fungsi mendasar yang mampu mendukung kehidupan manusia maupun biota-biota yang berada di sekitarnya. Secara ekologis ekosistem ini berfungsi sebagai daerah memijah, daerah mencari makan serta daerah asuhan bagi berbagai macam organisme yang mempunyai nilai ekonomis (Bengen, 2002) Salah satu sumber daya hayati perairan yang berasal dari area hutan mangrove dan bernilai ekonomis tinggi serta potensial untuk dibudidayakan adalah kepiting bakau (Scylla Sp). Kepiting bakau termasuk dalam jenis crustaceae yang mengandung protein cukup tinggi, hidup di perairan pantai dan muara sungai, terutama yang ditumbuhi oleh pohon bakau dengan dasar perairan berlumpur (Mossa et al.1995). Jenis kepiting ini disenangi masyarakat karena bernilai gizi tinggi dan mengandung berbagai nutrien penting (Kanna, 2002). Alfrianto dan Liviawaty (1992), menyatakan bahwa setiap 100 g daging kepiting bakau (segar), mengandung 13,6 g protein, 3,8 g lemak, 14,1 g hidrat arang dan 68,1 g air. Sedangkan Motoh (1977), menyatakan bahwa daging dan telur kepiting bakau (dalam berat kering) mengandung protein yang cukup tinggi (67,5%) dan kandungan lemak yang relatif rendah (0,9%). Kabupaten Pemalang merupakan salah satu daerah di sepanjang pantai utara Jawa Tengah yang memiliki potensi kepiting bakau yang dapat dikembangkan. Salah satu wilayah di Kabupaten Pemalang Semnaskan_UGM/Poster MSP (pms-12) 1

yang banyak memiliki tambak budidaya kepiting bakau adalah Desa Mojo Kecamatan Ulujami Kab. Pemalang. Desa ini merupakan daerah sentra budidaya soft crab kepiting bakau (Scylla Sp). Di daerah ini terdapat beberapa petak tambak yang memiliki luas rata-rata 0,5 ha/tambak dengan rata-rata hasil produksi budidaya soft crab kepiting bakau (Scylla Sp) sebesar 2000 kg/bulan/tambak (Profil Desa Mojo, 2005). Para pembudidaya soft crab kepiting bakau di Desa Mojo cukup mengandalkan bibit dari penangkapan di perairan dan di sekitar hutan mangove yang berada di Desa Mojo, karena di wilayah ini terdapat ekosistem mangove seluas 32 ha yang berfungsi sebagai sabuk pantai dan merupakan habitat bagi kepiting bakau (Monogafi Desa Mojo Semester II, 2006). Selain di kedua daerah tersebut ternyata perairan sekitar tambak yang terdapat di sepanjang desa mojo pun menjadi habitat alami bagi kepiting bakau. Dengan demikian diperlukan kajian mengenai potensi kepiting bakau di wilayah perairan sekitar tambak di Desa Mojo ditinjau dari kelimpahannya di alam dan karakteristik faktor lingkungan perairan terhadap keberadaan kepiting bakau di alam. Bahan dan Metode Observasi dilaksanakan pada bulan November 2012 hingga Februari 2013. Lokasi penelitian ini bertempat di perairan sekitar areal tambak yang terdapat di Desa Mojo, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Alat tangkap kepiting yang digunakan dalam penelitian ini adalah bubu sebanyak 30 buah. Bubu adalah terbuat dari kerangka kawat berukuruan 3 cm dimana sekelilingnya dilapisi dengan jaring nilon yang berwarna hijau lumut. Ukuran bubu yang digunakan berdiameter 30 cm tinggi 25 cm, dengan ukuran mata jaring 1,5 cm. Bubu tersebut kemudian diletakkan pada perairan sekitar tambak yang dijadikan area observasi. Parameter yang diukur dalam penelitian ini meliputi hasil tangkapan kepiting di wilayah pengamatan berikut dengan rata-rata berat dan ukuran lebar karapaks rata-rata. Pengamatan dilakukan selama 16 minggu dengan harapan dapat diketahui berapa hasil tangkap rata-rata di lokasi yang selama ini dianggap tidak menjanjikan sebagai habitat serta lokasi penangkapan kepiting bakau. Penelitian ini dilakukan secara deskriptif guna mengetahui gambaran dari potensi kepiting bakau di perairan sekitar tambak di wilayah Desa Mojo. Hasil dan Pembahasan Gambaran Umum Desa Mojo Kawasan Desa Mojo merupakan salah satu desa di kecamatan Ulujami Kab Pemalang yang paling banyak membudidayakan kepiting bakau. Desa ini memiliki potensi sumber daya kepiting yang cukup melimpah. Hal ini dapat terlihat dari rata-rata hasil panen tambak kepiting yang dilakukan oleh para pembudidaya. Rata rata hasil panen kepiting harian yang dilakukan oleh para pembudidaya di Desa Mojo mencapai 30 Kg per hari (Monogafi Desa Mojo, 2006). Hal ini sangat ditunjang dengan keberadaan sungai comal yang memiliki muara di desa ini sehingga banyak nutrien-nutrien yang terdapat di kawasan perairan di desa Mojo. Batas- batas wilayah Desa Mojo adalah sebagai berikut : Sebelah utara : Laut Jawa Sebelah Selatan : Desa Wonokromo Sebelah Barat : Sungai Comal Sebelah Timur : Desa Limbangan (Monogafi Desa Mojo, 2006) Desa Mojo memiliki wilayah ekosistem mangove seluas 327 ha atau sebesar 40,18 % dari luas total ekosistem mangove di Kabupaten Pemalang, yaitu seluas 813,8 ha (Profil Desa Mojo, 2006). Panjang garis pantai di Desa Mojo adalah sekitar 5,9 km, dan luas kawasan tambak yang terdapat di Desa Mojo ± 150 ha. Mayoritas tambak yang terdapat di Desa Mojo merupakan tambak kepiting bakau yang dikembangkan menjadi soft crab. 2 Semnaskan_UGM/Poster MSP (pms-12)

Nilai potensi kepiting bakau Hasil observasi lapangan yang dilakukan selama November 2012 hingga Februari 2013 menunjukkan bahwa kawasan perairan sekitar tambak yang terdapat di Desa Mojo menyimpan potensi sebagai habitat kepiting bakau. Hal ini berdasarkan pada jumlah tangkapan yang didapatkan selama 16 kali sampling atau selama observasi lapangan ini dilakukan. Hasil tersebut didapatkan dari hasil penjebakan dengan menggunakan alat tangkap bubu. Bubu yang sudah disiapkan sejumlah 30 buah dan di letakkan berdasarkan pada refersensi para pencari kepiting yang biasa melakukan penangkapan di wilayah tersebut. Bubu tersebut dibiarkan selama semalam dengan tujuan mampu menjebak kepiting bakau yang tengah bergerak atau berpindah tempat selama malam hari. Hasil tangkapan yang di dapat kemudian dihitung jumlahnya lalu dilakukan pengukuran berat hasil tangkapan dan lebar karapaks dari kepiting hasil tangkapan. Hasil pengamatan yang dilakukan selama observasai lapangan berlangsung dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Data hasil tangkapan kepiting bakau selama bulan November 2012 hingga Februari 2013. TAHU N 2012 2013 BULAN NOVEMBER DESEMBER JANUARI FEBRUARI MINGGU TANGKAPAN JUMLAH BERAT TANGKAPAN RATA-RATA BERAT TANGKAPAN LEBAR KARAPAK S EKOR GRAM GRAM CM 1 22 3110 141,36 6,63 2 25 3781 151,24 7,17 3 27 3661 135,59 6,58 4 27 3362 124,52 6,56 5 27 3897 144,33 6,72 6 25 3631 145,24 6,77 7 26 3714 142,85 6,70 8 27 3384 125,33 6,57 9 26 2763 106,27 6,24 10 27 3699 137,00 6,59 11 28 3922 140,07 6,61 12 26 3639 139,96 6,61 13 26 3832 147,38 7,01 14 28 3439 122,82 6,41 15 27 3582 132,67 6,58 16 28 3792 135,43 6,58 JUMLAH 422,00 57208,00 2172,07 106,35 RATA-RATA 26,38 3575,50 135,75 6,65 Berdasarkan tabel pengamatan diatas dapat dilihat bahwa wilayah perairan di sekitar tambak yang terdapat di Desa Mojo merupakan wilayah yang cukup potensial sebagai daerah tangkapan alternatif. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa dari 30 bubu yang disebar di daerah tersebut rata-rata mampu menjebak kepiting bakau dengan tingkat keberhasilan yang cukup tinggi. Hasil tangkapan terendah pada kawasan ini didapatkan pada sampling pertama sebanyak 22 ekor dengan berat total tangkapan sebesar 3.110 gram, dengan berat rata-rata tangkapan sebesar 141,36 gram. Hasil tangkapan kepiting bakau di wilayah yang menjadi area pengamatan mengalami peningkatan jumlahnya seiring memasuki puncak musim tangkap kepiting yang terjadi pada bulan januari dan februari. Hasil tangkap tertinggi terjadi pada Semnaskan_UGM/Poster MSP (pms-12) 3

minggu ke 11 atau akhir januari serta minggu ke 11 dan minggu ke 16 atau akhir februari, dengan berat tangkap total mencapai 3922 gram dan 3792 gram. Hasil pengamatan di lapangan ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Le Vay (2001) yang menyatakan bahwa musim tangkap kepiting bakau (Scylla Sp) di perairan pantai utara Jawa Tengah dimulai pada bulan september hingga oktober lalu mulai meningkat pada bulan November hingga Desember, mencapai puncaknya pada bulan Januari hingga Februari. Hal ini senada dengan pendapat Taulany salah seorang nelayan pencari kepiting melalui wawancara pribadi dengan penulis menyatakan bahwa biasanya puncak musim tangkap kepiting bakau di Desa Mojo adalah sekitar bulan Januari hingga Februari. Hasil tangkapan yang didapatkan selama masa pengamatan menunjukkan adanya fluktuasi hasil tangkapan dan berat rata-rata hasil tangkapan kepiting bakau di areal sekitar tambak Desa Mojo. Fluktuasi tersebut dapat dilihat melalui Gambar 1. Gambar 1. Fluktuasi hasil tangkapan kepiting dan berat rata-rata kepiting selama pengamatan Berdasarkan Gambar 1 dapat dilihat bahwa rata-rata hasil tangkapan kepiting bakau yang didapatkan dari hasil penjebakan yang di perairan sekitar tambak kawasan Desa Mojo menunjukkan adanya fluktuasi berat rata-rata kepiting bakau yang tertangkap. Berat rata-rata tertinggi dari kepiting bakau yang tertangkap yaitu sebesar 151,24 gram, sementara berat rata-rata terendah sebesar 106,27 gram. Selain berat selama masa observasi di lapangan juga dilakukan pengukuran terhadap lebar karapaks kepiting bakau yang tertangkap. Hasil pengukuran dari lebar karapaks menunjukkan rata-rata hasil tangkapan kepiting bakau di area sampel memiliki lebar karapaks antara 6,24 cm hingga 7,17 cm. Hasil tangkapan tersebut menunjukkan bahwa perairan di sekitar di sekitar tambak di Desa Mojo merupakan habitat bagi kepiting. Kepiting bakau menjalani sebagian besar hidupnya di ekosistem mangrove dan memanfatkan ekosistem mangrove sebagai habitat alami utamanya, yakni sebagai tempat 4 Semnaskan_UGM/Poster MSP (pms-12)

berlindung, mencari makan, dan pembesaran. Sebagian besar siklus hidupnya berada diperairan pantai meliputi muara atau estuarin, dan perairan bakau sementara kepiting bakau dewasa menuju laut hanya untuk memijah. Setelah melakukan pemijahan kemudian induk dan anak-anaknya akan berusaha kembali ke perairan berhutan bakau dan sekitar tambak untuk berlindung,mencari makan atau membesarkan diri. Desa Mojo Kab Pemalang memiliki kawasan pesisir yang hampir seluruhnya tertutupi oleh mangrove. Selain hamparan hutan mangrove, tanaman mangrove di kawasan ini juga terdapat diantara tambaktambak pembesaran kepiting bakau. Mangrove ini sengaja ditanam para pembudidaya dengan tujuan sebagai pelindung serta penguat bagi tanggul yang terdapat di sekitar tambak. Keberadaan mangrove di areal tambak selain sebagai penguat tanggul ternyata juga merubah areal perairan di sekitar tambak yang selama ini tidak bermanfaat atau berpotensi menjadi daerah tangkapan kepiting bakau yang potensial dan dapat memberikan manfaat tambahan bagi penduduk setempat. Sesuai dengan siklus hidupnya kepiting bakau yang terdapat pada kawasan ini biasanya merupakan kepiting muda. Kepiting bakau muda lebih menyukai tempat yang agak berlumpur dan berlubang-lubang seperti di daerah hutan mangrove maupun sekitar tambak. Menurut Boer, et al. (1993) kepiting bakau (Scylla Sp) mengalami beberapa fase dalam pertumbuhannya, antara lain fase zoea, megalopa, kepiting muda dan selanjutnya kepiting dewasa. Selain itu, jenis kepiting ini juga mengalami beberapa kali proses pergantian kulit (moulting). Setiap proses tubuhnya akan tumbuh menjadi lebih besar. Selama siklus hidupnya kepiting bakau menempati dua macam habitat yaitu air payau pada masa juvenil (kepiting muda) sampai dewasa, dan air laut pada masa pemijahan sampai megalopa. Lebih lanjut menurut Kasry (1996) disebutkan bahwa Ekosistem mangrove, merupakan tempat ideal bagi kepiting bakau untuk berlindung. Kepiting bakau muda pascalarva yang berasal dari laut, kepiting muda tersebut banyak dijumpai di sekitar estuari dan hutan mangrove, karena terbawa arus dan air pasang dan akan menetap di daerah perairan sekitar tambak dan hutan mengrove untuk berlindung dan membesarkan diri. Kesimpulan Dari hasil observasi di lapangan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut antara lain : 1. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa wilayah perairan sekitar tambak yang terdapat di Desa Mojo Kec Ulujami Kab Pemalang menyimpan potensi sebagai areal tangkap alternatif bagi para nelayan pencari kepiting bakau. Hal ini terkait dengan jumlah hasil tangkap kepiting bakau di areal pengamatan serta dari berat maupun ukuran tubuh kepiting bakau yang tertangkap. 2. Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa musim tangkap kepiting bakau yang terdapat di kawasan Desa Mojo Kab Pemalang dimulai pada sekitar bulan November dan akan meningkat serta mencapai puncak sekitar bulan Januari hingga Februari. 3. Kepiting yang tertangkap di lokasi penelitian di dominasi oleh kepiting muda yang sedang beruaya kembali ke muara ataupun ke perairan di sekitar tambak yang memiliki hutan mangrove untuk berlindung dan berkembang. 4. Pentingnya melestarikan hutan mangrove di sekitar areal tambak serta mempertahankan kualitas lingkungan yang juga dapat mendukung kelestarian dan keberadaan kepiting bakau (Scylla sp). Ucapan Terima Kasih Terima Kasih sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada BPKLN - DIKTI atas beasiswa unggulan yang telah penulis terima, Ketua jurusan program Magister Manajemen Sumber Daya Pantai Undip, Prof. Dr.Ir. Johanes Hutabarat, MSc dan Dr. Ir. Djoko Suprapto, M.Sc selaku pembimbing, Serta Dr. Ir. Jusup Suprijanto, Dea dan tim penelitian hibah pascasarjana Universitas Diponegoro 2013 atas kerja samanya selama penelitian berlangsung. Daftar Pustaka Afrianto, E dan E. Liviawaty. 1992. Pemeliharaan Kepiting. Kanisius, Jakarta. Semnaskan_UGM/Poster MSP (pms-12) 5

Bengen, DG. 2002. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan laut Serta Prinsip Pengelolaannya. PKSPL IPB. Bogor. Boer,D.R., Zafran, A. Pareurengi dan T. Ahmad.1993 Studi Pendahuluan Penyabit Kunang-Kunang pada Larva Kepiting Bakau (Scylla Sp). Jurnal Penelitian Budidaya Pantai. Jakarta. Hlm. 40 Kanna, I. 2002. Budidaya Kepiting Bakau. Penerbit Kanisius. Yogyakarta Kasry, A. 1996. Budidaya Kepiting Bakau dan Biologi Ringkas. Penerbit Bharata. Jakarta. Le Vay L. 2001. Ecology and management of mud crab Scylla spp. Asian Fisheries Society, Manila, Phillippines. Asian Fisheries Sciences14: 101-111. Moosa, M.K. Aswandy dan A. Kasry. 1995. Kepiting Bakau dari Perairan Indonesia. Lembaga Oceanologi Nasional. Jakarta. Motoh H. 1977. Biological synopsis of Alimango, Genus Scylla. SEAFDEC Aquaculture Department. 136-153. Pemerintah Kabupaten Pemalang. 2005. Profil Desa Mojo 2005 Kantor Desa Mojo Kec. Ulujami Kab. Pemalang. -------------------------------------. 2006. Monogafi Desa Mojo Semester II 2006. Kantor Desa Mojo Kec. Ulujami Kab. Pemalang. 6 Semnaskan_UGM/Poster MSP (pms-12)