1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hasil studi lima tahunan yang dikeluarkan oleh Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) pada tahun 2006, yang melibatkan siswa Sekolah Dasar (SD), hanya menempatkan Indonesia pada posisi 36 dari 40 negara yang dijadikan sampel penelitian (Yuwanto, 2012). Menurut Pusat Perbukuan (2007), hasil penelitian PISA tahun 2000 yang meilbatkan siswa sekolah menengah menunjukkan bahwa kemampuan membaca siswa Indonesia menduduki peringkat ke-39, sedikit di atas Albania dan Peru. Kemampuan membaca siswa di Indonesia tersebut masih di bawah siswa Thailand (peringkat ke-32). Sementara itu, pada PISA tahun 2003 menunjukkan bahwa siswa Indonesia berada pada posisi terbawah sampai ketiga dari bawah. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kemampuan membaca siswa di Indonesia sangat memprihatinkan. Salah satu hal yang mempengaruhi kemampuan membaca adalah keberadaan buku teks pelajaran. Buku teks pelajaran dalam sistem pendidikan merupakan salah satu sarana yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan proses belajar mengajar. Buku teks pelajaran merupakan buku yang berisi ilmu pengetahuan yang diturunkan dari Kompetensi Dasar (KD) yang tertuang dalam kurikulum dan digunakan oleh peserta didik untuk belajar (Prastowo, 2011). Dalam berbagai literatur asing, buku teks pelajaran
2 diistilahkan dengan istilah textbook (Suryaman, 2007). Untuk menghindari kebingungan, dalam penelitian ini digunakan istilah buku teks pelajaran. Buku teks pelajaran sudah dipersiapkan dari segi kelengkapan dan penyajiannya. Buku teks pelajaran memberikan fasilitas bagi kegiatan belajar mandiri, baik tentang substansinya maupun tentang caranya (Suryaman, 2007). Melalui kegiatan membaca buku teks pelajaran, seseorang dapat memperoleh pengalaman tak langsung yang banyak sekali (Suryaman dan Utorodewo dalam Suryaman, 2007). Dalam pendidikan, perolehan ilmu secara langsung merupakan hal yang berharga bagi siswa. Akan tetapi, banyak bagian dalam pelajaran yang tidak dapat diperoleh dengan pengalaman langsung. Oleh karena itu, mendapatkan pengalaman tidak langsung sangatlah penting dalam pembelajaran di sekolah ataupun dalam kehidupan di luar sekolah. Dengan demikian, penggunaan buku teks pelajaran memiliki peranan yang penting dalam proses pembelajaran untuk memudahkan ketercapaian tujuan pembelajaran sehingga buku teks pelajaran perlu mendapat perhatian yang utama. Ditjen Dikdasmen melakukan penilaian terhadap buku sekolah mulai tahun 1979 sampai dengan 1996. Hasilnya menunjukkan bahwa 47,9 % buku sekolah tidak memenuhi syarat untuk dipakai di sekolah sebagai sumber pembelajaran. Buku-buku tersebut memiliki kelemahan dari segi materi, metode penyajian, bahasa dan grafika (Sitepu, 2002). Berdasarkan hasil penilaian tahap I terhadap 832 buku teks pelajaran pada tahun 2011, hanya 429
3 buku teks pelajaran yang lolos uji pada aspek isi, bahasa, penyajian dan kegrafikaan (Suryadi, 2011). Salah satu faktor rendahnya kualitas buku berhubungan dengan tingkat keterbacaan buku tersebut. Suryadi (2007) melakukan penelitian mengenai tingkat keterbacaan buku teks pelajaran kimia. Hasilnya memperlihatkan bahwa buku-buku kimia memiliki tingkat keterbacaan sedang. Berdasarkan hal tersebut, tingkat keterbacaan buku teks pelajaran dapat dikatakan kurang memenuhi kriteria buku yang baik. Buku yang baik memiliki tingkat keterbacaan tinggi dan memuat materi yang sesuai kurikulum agar dapat menunjang pendidikan yang baik (Suryadi, 2007). Pada dasarnya, ilmu kimia meliputi tiga aspek representasi yang berbeda, yakni makroskopik, sub-mikroskopik dan simbolik, yang ketiganya saling memiliki keterkaitan satu sama lain (Johnstone dalam Treagust et al., 2003). Menurut Wu (2003) hubungan antara ketiga level representasi kimia, pengalaman sehari-hari, dan kejadian-kejadian di kelas yang dialami siswa dapat dianggap sebagai hubungan intertekstual. Menurut Gabel dalam Wu (2003) hubungan antara representasi kimia selalu didiskusikan dalam kerangka perubahan model konseptual. Tujuannya untuk memperkaya pemahaman mengenai kimia dilihat dari segi hubungan sosial dan menghubungkan representasi kimia dengan pengalaman mereka sehari-hari menggunakan intertekstual untuk menciptakan interaksi di antara siswa. Berdasarkan hal tersebut, intertekstual dapat digunakan sebagai strategi mengembangkan buku teks pelajaran kimia dalam rangka mempermudah pemahaman siswa ketika
4 membaca buku kimia. Hal ini sejalan dengan apa yang ungkapkan Gkitzia (2010) bahwa representasi kimia merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari buku teks pelajaran dan memiliki peranan penting untuk membantu siswa dalam memahami konsep sehingga proses belajar mengajar berjalan dengan baik. Dalam rangka mengoptimalisasikan kemampuan siswa, maka diperlukan buku teks pelajaran yang berkualitas yang menyajikan konsep yang valid dalam lingkup metode ilmiah dan menghubungkan sains dengan kehidupan sehari-hari para siswa. Buku teks pelajaran yang merupakan salah satu dari bahan ajar harus memiliki kebenaran isi, penyajian yang sistematis, penggunaan bahasa dan keterbacaan yang baik, serta grafika yang fungsional (Departemen pendidikan nasional, 2008a). Pemilihan materi pokok hidrolisis garam yang dilakukan pada penelitian ini, didasarkan karena pada dasarnya semua materi subjek kimia memiliki karakteristik yang sama yaitu meliputi ketiga level representasi. Menurut Ikhsanudin (Juwita, 2010) hidrolisis garam merupakan salah satu materi pembelajaran kimia SMA kelas XI semester genap yang pembelajarannya sering kali hanya mengutamakan level makroskopik dan simboliknya saja, bahkan lebih cenderung hanya ditekankan pada level simboliknya saja, sedangkan level sub-mikroskopiknya kurang tersentuh. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Murniati (2007) terhadap siswa SMA menunjukkan bahwa siswa kesulitan merepresentasikan level sub-mikroskopik pada materi hidrolisis garam dikarenakan kurang dikembangkannya
5 representasi pada level tersebut. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ilyadi (2010) model mental siswa pada materi hidrolisis garam berada pada tingkat yang sangat sederhana. Hal ini menunjukkan masih rendahnya pemahaman siswa terhadap materi hidrolisis garam. Berdasarkan analisis di atas, maka diperlukan penelitian untuk mengembangkan suatu model buku teks pelajaran berbasis intertekstual pada materi hidrolisis garam. Diharapkan dengan dilakukannya penelitian ini, didapatkan suatu model buku teks pelajaran dengan tingkat keterbacaan mudah agar membantu siswa dalam mempermudah memahami konsep kimia dan dapat meningkatkan minat baca siswa terhadap buku teks pelajaran kimia. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana model buku teks pelajaran berbasis intertekstual yang dikembangkan pada materi hidrolisis garam. Agar penelitian ini lebih terarah dan memberikan gambaran yang jelas mengenai arah penelitian, maka rumusan masalah tersebut dirinci dalam bentuk pertanyaan penelitian berikut: 1. Bagaimana indikator dan konsep materi hidrolisis garam yang sesuai dengan Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) dalam Standar Isi? 2. Bagaimana representasi kimia yang dikembangkan pada setiap konsep dalam materi hidrolisis garam?
6 3. Bagaimana tingkat keterbacaan model buku teks pelajaran berbasis intertekstual yang dikembangkan? 4. Bagaimana pandangan guru dan siswa terhadap model buku teks pelajaran berbasis intertekstual yang dikembangkan? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh model buku teks pelajaran berbasis intertekstual pada materi hidrolisis garam dan mengetahui tingkat keterbacaan serta pandangan guru dan siswa terhadap model buku teks pelajaran berbasis intertekstual yang dikembangkan. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Bagi siswa, model buku teks pelajaran yang dikembangkan dapat dijadikan sebagai bahan belajar siswa untuk lebih memahami materi hidrolisis garam. 2. Bagi guru, model buku teks pelajaran yang dikembangkan dapat dijadikan sebagai bahan referensi dan bahan pertimbangan guru kimia dalam melaksanakan pembelajaran pada materi hidrolisis garam sehingga diharapkan guru menjadi lebih termotivasi untuk terus menghasilkan inovasi yang berkaitan dengan proses pembelajaran yang lebih baik.
7 3. Bagi peneliti selanjutnya, model buku teks pelajaran yang dikembangkan dapat dijadikan sebagai bahan kajian untuk melakukan penelitian lanjutan atau penelitian yang sejenis. E. Definisi Istilah Operasional Untuk menghindari adanya perbedaan penafsiran mengenai sejumlah istilah yang ada pada penelitian ini, maka peneliti perlu menjelaskan istilahistilah berikut: 1. Buku teks pelajaran diartikan sebagai buku yang berisi ilmu pengetahuan, yang diturunkan dari Kompetensi Dasar (KD) yang tertuang dalam kurikulum, dimana buku tersebut digunakan oleh peserta didik untuk belajar (Prastowo, 2011). 2. Model merupakan pola, contoh, acuan atau ragam dari sesuatu yg akan dibuat atau dihasilkan (Pusat Bahasa Depdiknas, 2008) 3. Intertekstual diartikan sebagai keterkaitan di antara teks-teks yang merupakan bahasa fungsional yang menjadi satu kesatuan (Wu, 2003). 4. Representasi dalam kimia merupakan metafor, model, dan gagasan teoritis berdasarkan sifat dasar dari alam dan kenyataan (Hoffman dan Laszlo dalam Wu, et al., 2000). Representasi kimia terdiri dari tiga level yaitu : level makroskopik, level sub-mikroskopik, dan level simbolik (Johnstone dalam Treagust et al., 2003).
8 5. Level makroskopik merupakan fenomena riil dan dapat dilihat, seperti fenomena kimia yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam laboratorium yang dapat diamati langsung (Chittleborough, 2004). 6. Level sub-mikroskopik merupakan fenomena berdasarkan observasi riil tetapi masih memerlukan teori untuk menjelaskan apa yang terjadi pada level molekuler dan menggunakan representasi model teoritis, seperti partikel mikroskopik yang tidak dapat dilihat secara langsung (Chittleborough, 2004). 7. Level simbolik merupakan representasi dari suatu kenyataan, seperti representasi simbol dari atom, molekul, dan senyawa, baik dalam bentuk gambar, aljabar, maupun bentuk-bentuk hasil pengolahan komputer (Chittleborough, 2004).