BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PERILAKU UNSUR MINOR DALAM PELEBURAN TEMBAGA Unsur-unsur minor dalam fasa leburan tembaga

dokumen-dokumen yang mirip
4.1. TERMODINAMIKA ARSEN DALAM LELEHAN TEMBAGA DAN TERAK

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH

STUDI PENGARUH PROSES DELEADING TERHADAP DISTRIBUSI ARSENIK DI DALAM TANUR ANODA PT. SMELTING, GRESIK TUGAS AKHIR

TINGKAT PERGURUAN TINGGI 2017 (ONMIPA-PT) SUB KIMIA FISIK. 16 Mei Waktu : 120menit

TES AWAL II KIMIA DASAR II (KI-112)

BAB II DASAR TEORI. FeO. CO Fe CO 2. Fe 3 O 4. Fe 2 O 3. Gambar 2.1. Skema arah pergerakan gas CO dan reduksi

PENGARUH PENAMBAHAN FLUX DOLOMITE PADA PROSES CONVERTING PADA TEMBAGA MATTE MENJADI BLISTER

30 Soal Pilihan Berganda Olimpiade Kimia Tingkat Kabupaten/Kota 2011 Alternatif jawaban berwarna merah adalah kunci jawabannya.

Diagram Latimer (Diagram Potensial Reduksi)

Hubungan koefisien dalam persamaan reaksi dengan hitungan

KESETIMBANGAN FASA. Sistem Satu Komponen. Aturan Fasa Gibbs

Antiremed Kelas 10 KIMIA

Redoks dan Elektrokimia Tim Kimia FTP

KISI KISI SOAL ULANGAN AKHIR SEMESTER GASAL MADRASAH ALIYAH TAHUN PELAJARAN 2015/2016

BAB II PEMBAHASAN. II.1. Electrorefining

Chapter 7 Larutan tirtawi (aqueous solution)

LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON ELEKTROLIT. Perbandingan sifat-sifat larutan elektrolit dan larutan non elektrolit.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

LOGO. Stoikiometri. Tim Dosen Pengampu MK. Kimia Dasar

MODUL 9. Satuan Pendidikan : SMA SEDES SAPIENTIAE JAMBU Mata Pelajaran : Kimia Kelas/Semester : X/2

BAB III TATA NAMA SENYAWA DAN PERSAMAAN REAKSI

06 : TRANFORMASI FASA

STUDI PERILAKU UNSUR TIMBAL (Pb) PADA PROSES DELEADING DI TANUR ANODA PT. SMELTING, GRESIK TUGAS AKHIR

Ikatan kimia. 1. Peranan Elektron dalam Pembentukan Ikatan Kimia. Ikatan kimia


STOKIOMETRI BAB. B. Konsep Mol 1. Hubungan Mol dengan Jumlah Partikel. Contoh: Jika Ar Ca = 40, Ar O = 16, Ar H = 1, tentukan Mr Ca(OH) 2!

BAB 5 KONSEP LARUTAN 1. KOMPOSISI LARUTAN 2. SIFAT-SIFAT ZAT TERLARUT 3. KESETIMBANGAN LARUTAN 4. SIFAT KOLIGATIF LARUTAN

Sulistyani, M.Si.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

KESETIMBANGAN FASA. Komponen sistem

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Bilangan Oksidasi (b.o)

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA BAHAN AJAR KIMIA DASAR BAB II RUMUS KIMIA DAN TATANAMA

LOGO ANALISIS KUALITATIF KATION DAN ANION

BAB V DIAGRAM FASE ISTILAH-ISTILAH

Elektrokimia. Tim Kimia FTP

Mengubah energi kimia menjadi energi listrik Mengubah energi listrik menjadi energi kimia Katoda sebagi kutub positif, anoda sebagai kutub negatif

Kesetimbangan Kimia. Chapter 9 P N2 O 4. Kesetimbangan akan. Presentasi Powerpoint Pengajar oleh Penerbit ERLANGGA Divisi Perguruan Tinggi

Stoikhiometri : dan metron = mengukur. Membahas tentang : senyawa) senyawa (stoikhiometri. (stoikhiometri. reaksi)

PENGETAHUAN PROSES PADA UNIT SINTESIS UREA

Sel Volta (Bagian I) dan elektroda Cu yang dicelupkan ke dalam larutan CuSO 4

L A R U T A N _KIMIA INDUSTRI_ DEWI HARDININGTYAS, ST, MT, MBA WIDHA KUSUMA NINGDYAH, ST, MT AGUSTINA EUNIKE, ST, MT, MBA

KROMATOGRAFI PENUKAR ION Ion-exchange chromatography

HASIL DAN PEMBAHASAN. nm. Setelah itu, dihitung nilai efisiensi adsorpsi dan kapasitas adsorpsinya.

BAB V KIMIA AIR. 5.1 Tinjauan Umum

LATIHAN ULANGAN TENGAH SEMESTER 2

TUGAS KIMIA FISIKA KESETIMBANGAN FASE DISUSUN OLEH KELOMPOK 4 : ANDI AZIS RUSDI MOH. SOFYAN HARMILA EKA YULIASTRI

: Komposisi impurities air permukaan cenderung tidak konstan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (C), serta unsur-unsur lain, seperti : Mn, Si, Ni, Cr, V dan lain sebagainya yang

BAB VI KINETIKA REAKSI KIMIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SKL 2 RINGKASAN MATERI. 1. Konsep mol dan Bagan Stoikiometri ( kelas X )

KIMIA. Sesi POLIMER. A. LOGAM ALKALI a. Keberadaan dan Kelimpahan Logam Alkali. b. Sifat-Sifat Umum Logam Alkali. c. Sifat Keperiodikan Logam Alkali

KIMIA ELEKTROLISIS

LAMPIRAN C CCT pada Materi Ikatan Ion

BAB 4 HASIL DAN ANALISIS

KESETIMBANGAN KIMIA SOAL DAN PEMBAHASAN

Ion Exchange Chromatography Type of Chromatography. Annisa Fillaeli

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SIFAT KOLIGATIF LARUTAN

Soal ini terdiri dari 10 soal Essay (153 poin)

Sudaryatno Sudirham ing Utari. Mengenal Sudaryatno S & Ning Utari, Mengenal Sifat-Sifat Material (1)

SATUAN ACARA PERKULIAHAN (SAP)

SELEKSI OLIMPIADE NASIONAL MIPA PERGURUAN TINGGI (ONMIPA-PT) 2014 TINGKAT UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA BIDANG KIMIA

Nama Kelompok : Adik kurniyawati putri Annisa halimatus syadi ah Alfie putri rachmasari Aprita silka harmi Arief isnanto.

Dengan mengalikan kedua sisi persamaan dengan T akan dihasilkan

UJIAN NASIONAL TAHUN PELAJARAN 2007/2008

Sel Volta KIM 2 A. PENDAHULUAN B. SEL VOLTA ELEKTROKIMIA. materi78.co.nr

STOIKIOMETRI Konsep mol

No. BAK/TBB/SBG201 Revisi : 00 Tgl. 01 Mei 2008 Hal 1 dari 8 Semester I BAB I Prodi PT Boga BAB I MATERI

pendinginan). Material Teknik Universitas Darma Persada - Jakarta

REAKSI REDUKSI DAN OKSIDASI

12/03/2015. Nurun Nayiroh, M.Si

SOAL SELEKSI NASIONAL TAHUN 2006

K13 Revisi Antiremed Kelas 11 Kimia

LARUTAN ELEKTROLIT DAN NONELEKTROLIT (Diskusi Informasi) INFORMASI Larutan adalah campuran yang homogen antara zat terlarut dan zat pelarut.

OLIMPIADE SAINS NASIONAL 2012 SELEKSI KABUPATEN / KOTA SOAL. UjianTeori. Waktu: 100 menit

Sudaryatno Sudirham ing Utari. Mengenal. Sudaryatno S & Ning Utari, Mengenal Sifat-Sifat Material (1)

Komponen Materi. Kimia Dasar 1 Sukisman Purtadi

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Tabel Periodik. Bab 3a. Presentasi Powerpoint Pengajar oleh Penerbit ERLANGGA Divisi Perguruan Tinggi 2010 dimodifikasi oleh Dr.

D. H 2 S 2 O E. H 2 S 2 O 7

Reaksi Oksidasi-Reduksi

TERMODINAMIKA METALLURGI

STOIKIOMETRI. STOIKIOMETRI adalah cabang ilmu kimia yang mempelajari hubungan kuantitatif dari komposisi zat-zat kimia dan reaksi-reaksinya.

UJIAN I - KIMIA DASAR I A (KI1111)

3. ELEKTROKIMIA. Contoh elektrolisis: a. Elektrolisis larutan HCl dengan elektroda Pt, reaksinya: 2HCl (aq)

DAFTAR PUSTAKA. 1. Dra. Sukmriah M & Dra. Kamianti A, Kimia Kedokteran, edisi 2, Penerbit Binarupa Aksara, 1990

Kelompok I. Anggota: Dian Agustin ( ) Diantini ( ) Ika Nurul Sannah ( ) M Weddy Saputra ( )

Persamaan Redoks. Cu(s) + 2Ag + (aq) -> Cu 2+ (aq) + 2Ag(s)

LAPORAN LENGKAP PRAKTIKUM ANORGANIK PERCOBAAN 1 TOPIK : SINTESIS DAN KARAKTERISTIK NATRIUM TIOSULFAT

ION. Exchange. Softening. Farida Norma Yulia M. Fareid Alwajdy Feby Listyo Ramadhani Fya Widya Irawan

MODUL KIMIA SMA IPA Kelas 10

PENGOLAHAN AIR SUNGAI UNTUK BOILER

II. DESKRIPSI PROSES. Precipitated Calcium Carbonate (PCC) dapat dihasilkan melalui beberapa

SAP-GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN

Antiremed Kelas 11 Kimia

KIMIA TERAPAN LARUTAN

MODEL-MODEL IKATAN KIMIA

! " "! # $ % & ' % &

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PERILAKU UNSUR MINOR DALAM PELEBURAN TEMBAGA 2.1.1. Unsur-unsur minor dalam fasa leburan tembaga Termodinamika dapat digunakan untuk memprediksi perilaku unsur minor di dalam lelehan tembaga. Untuk menggunakan prinsip-prinsip termodinamika ini diperlukan beberapa asumsi. Asumsi utama adalah bahwa proses berlangsung sampai tercapai kesetimbangan kimia. Karena proses peleburan tembaga berlangsung pada temperatur tinggi dan terjadi turbulensi yang kuat sehingga secara kinetik proses berlangsung dengan cepat. Menurut Harris 13), komposisi matte industri sangat dekat dengan garis Cu 2 S-FeS pada sistem terner Cu-S-Fe sehingga seringkali matte tembaga dianggap terikat secara kovalen (gambar 2.1). Perilaku termodinamik matte tembaga berkadar tinggi dapat dijelaskan dengan teori lelehan ionik. Dalam kondisi sebenarnya matte tembaga terdiri dari campuran ionik dan kovalen tapi fenomena yang berkaitan dengan distribusi unsur minor dapat dijelaskan lebih baik dengan menggunakan teori ionik. Dalam teori ionik matte tembaga digambarkan sebagai jejaring ion kompleks yang terdiri dari ion S 2- yang besar dan ion Cu + dan Fe 2+ yang berukuran kecil. Gambar 2.2 berikut menunjukkan perbandingan gambaran ukuran ion dari beberapa eleman yang ada dalam leburan tembaga. Dalam matte grade (kandungan tembaga dalam lelehan) tinggi, arsen dan antimoni sebagian besar berada dalam bentuk molekul. Karena BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6

ukurannya yang relatif besar dibandingkan dengan ion Cu 2+ dan Fe 2+, maka mereka akan menggantikan S 2- dalam lelehan. Gambar 2.1 Diagram terner Cu-Fe-S 1) Gambar 2.2 Pengaruh valensi pada ukuran ion 13) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7

Komponen-komponen fasa terak sebagian berada dalam bentuk ionik. Dalam tanur peleburan tembaga, terak sebagian besar terdiri dari kation besi dan anion silikat yang saling berhubungan berbentuk cincin (Gambar 2.3). Gambar 2.3 Struktur terak 15) Setelah melalui proses dalam tanur konversi (converting furnace) diperoleh tembaga dalam bentuk blister. Dalam blister struktur lelehan tembaga tidak dalam bentuk ionik tetapi dalam bentuk kovalen. Dengan demikian teori ionik tidak dapat digunakan untuk menggambarkan distribusi unsur minor di dalam lelehan tembaga. Dalam blister unsur minor berada dalam bentuk bebasnya (atomik). Terjebaknya unsur minor dalam lelehan blister tembaga, serta proses pemisahan yang tidak sesuai dengan kondisi ideal menyebabkan masih adanya unsur minor dalam blister tembaga. Untuk itu diperlukan proses BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8

pemurnian guna mendapatkan kandungan tembaga yang sesuai dengan spesifikasi anoda tembaga. Mekanisme yang sering digunakan untuk pemisahan unsur minor ke fasa terak adalah oksidasi. Spesi metalik atau sulfat dapat juga masuk ke dalam terak yang diakibatkan oleh terbatasnya kelarutan fisik unsur minor dalam bentuk tersebut atau dapat juga disebabkan terperangkapnya matte dalam terak. Hal ini tidak dapat diabaikan karena lebih dari 25% keberadaan unsur minor di dalam terak disebabkan oleh terperangkapnya blister dalam terak. Fenomena ini disebabkan oleh tingginya proses turbulensi yang disebabkan oleh desain alat dan proses produksi. Selain ke dalam terak unsur minor juga dapat terbuang dalam bentuk gas melalui proses penguapan menjadi fasa gas. Penguapannya merupakan proses sederhana yang melibatkan transfer massa spesi dari fasa lelehan ke fase gas. Potensial transfer spesi menjadi gas proporsional dengan tekanan uap spesi dalam lelehan didefinisikan dalam persamaan 2.1 13). (2.1) Keterangan: p i : tekanan uap unsur i : bentuk metalik, sulfida atau oksida dari unsur minor γ : koefisien aktivitas Raoult x i : fraksi mol unsur minor P o i : tekanan uap unsur minor murni Penghilangan pengotor pada tembaga dapat dilakukan dengan cara transfer ke dalam terak atau melalui penguapan. Semua peleburan tembaga mengembangkan sendiri kondisi optimum sebagai parameter operasi. Hal ini menyebabkan perbedaan distribusi unsur minor. Untuk mengetahui kuantitas distribusi unsur minor dalam tanur peleburan maka digunakan koefisien partisi dan koefisien distribusi (sub bab 2.1.3). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9

2.1.2. Termodinamika unsur minor dalam leburan tembaga Unsur-unsur minor yang terlarut dalam leburan tembaga blister terdiri dari: Fe, As, Pb, Zn, Se, Bi, Sb, Cd, Te, Ni dan S. Dari diagram Ellingham- Richardson pada Gambar 2.2 terlihat pada temperatur rata-rata operasi 173K reaksi oksidasi yang memiliki nilai ΔG o lebih negatif cenderung lebih mudah berlangsung. Gambar 2. Diagram Ellingham untuk reaksi oksidasi 21) Aktivitas pengotor dalam leburan dipengaruhi oleh nilai koefisien aktivitasnya. Koefisien aktivitas ini dapat meningkat atau menurun tergantung pada keberadaan unsur terlarut lain di dalam leburan logam. Koefisien aktivitas logam pengotor terlarut dalam leburan tembaga dicantumkan pada Tabel 2.1. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 10

Tabel 2.1 Koefisien Aktivitas Raoult pada 1523 K 13) As 0,0007 Sb 0,02 Bi 2,3 Pb,9 Ni 2,5 Dari data pada Tabel 2.1 dapat disimpulkan bahwa unsur As dan Sb di dalam logam tembaga cenderung lebih stabil daripada Bi, Ni dan Pb, karena secara umum koefisien aktivitas sebanding dengan kelarutan.. Hal ini secara teoretis menguntungkan ditinjau dari termodinamika proses oksidasi untuk mempertahankan As di dalam fasa logam. Antrekowitsch 3) mencoba menggambarkan hubungan antara temperatur dan koefisien aktivitas, sehingga didapatkan diagram seperti yang terlihat di gambar 2.5. Gambar 2.5 Koefisien aktivitas beberapa logam dalam lelehan tembaga 3) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 11

Dari Gambar 2.5 terlihat bahwa dengan semakin meningkatnya suhu dalam leburan tembaga, koefisien aktivitas Zn dan Sn meningkat, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada aktivitas pengotor tetap, konsentrasinya menurun. Hal sebaliknya berlaku untuk pengotor Fe, Pb, dan Ni, konsentrasinya dalam leburan cenderung meningkat dengan naiknya suhu. Dengan demikian proses oksidasi untuk menurunkan Zn dan Sn dalam leburan akan semakin baik pada suhu yang semakin tinggi dan sebaliknya bagi unsur Fe, Pb, dan Ni. Pembentukan oksida suatu pengotor dalam leburan akan terjadi jika aktivitas oksigen dalam leburan lewat jenuh. Pada kelarutan oksigen yang lewat jenuh tersebut, kesetimbangan akan terjadi antara pengotor dalam leburan dan oksidanya. Oksida yang terbentuk akan terdorong ke fasa terak. Oksida ini dapat dikelompokkan berdasarkan kemampuannya untuk memasok atau mengakomodasi oksigen. Oksida yang dapat mengakomodasi ion oksigen dikenal sebagai oksida asam, dan sebaliknya yaitu oksida basa. Oksida yang mampu bersifat sebagai oksida asam dalam terak basa dan berlaku sebagai oksida basa dalam terak asam adalah oksida amfoter. Dalam pemurnian oksidasi, terak mempunyai kemampuan untuk mengoksidasi unsur-unsur terlarut dalam leburan. Kemampuan ini dikenal dengan kapasitas oksidasi terak. Terak yang mempunyai kapasitas oksidasi yang tinggi adalah terak yang dapat memasok oksigen terlarut yang tinggi ke dalam leburan di bawahnya. Salah satu terak yang sering digunakan dalam proses pemurnian oksidasi adalah terak fayalit (gambar 2.6). Antrekowitsch 3) menunjukkan bahwa koefisien aktivitas oksida logam adalah fungsi dari temperatur, potensial oksigen dan komposisi terak. Pengaruh temperatur terhadap koefisien aktivitas dalam terak fayalit ditunjukkan pada gambar 2.7. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 12

Gambar 2.6 Diagram terner untuk terak fayalit 1) Gambar 2.7 Koefisien aktivitas oksida logam pada terak fayalit 3) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 13

Dari gambar 2.7 terlihat bahwa nilai koefisien aktivitas NiO, SnO dan ZnO cenderung turun dengan naiknya temperatur, sehingga lebih stabil berada di dalam terak. Sedangkan koefisien aktivitas Cu 2 O dan PbO cenderung stabil dengan kenaikan temperatur. Dapat disimpulkan kenaikan temperatur akan meningkatkan konsentrasi NiO, SnO dan ZnO dalam terak fayalit tetapi tidak berpengaruh pada konsentrasi Cu 2 O dan PbO. 2.1.3. Partisi dan distribusi pengotor (unsur minor) dalam leburan tembaga 2.1.3.1 Koefisien partisi Partisi adalah bagian dari unsur yang berada dalam fasa tertentu dari total umpan. Besaran dari partisi disebut koefisien partisi yang dapat didefinisikan sebagai 13) : % % (2.2) Dimana koefisien partisi dievaluasi untuk fasa j ( seperti matte, logam, terak atau gas) dan M = As,Bi, Sb. Pb, Ni. Koefisien ini biasanya digunakan sebagai pendekatan engineering untuk melihat distribusi unsur minor. Koefisien partisi ini tidak dapat dikaitkan dengan besaran-besaran termodinamika. Oleh karena itu didefinisikan koefisien distribusi. 2.1.3.2 Koefisien Distribusi Koefisien distribusi adalah rasio komposisi logam diantara 2 fasa pada kesetimbangan 13) Keterangan : L : koefisien distribusi i : terak, gas pada sistem lelehan tembaga. j : matte, tembaga,. M : As, Sb, Bi, Pb, Ni % (2.3) % BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1

Pada sistem kesetimbangan seperti pada matte/terak atau tembaga/terak, koefisien distribusi lebih akurat daripada koefisien partisi karena dapat dikaitkan dengan termodinamika sistem. Untuk reaksi berikut : (2.) Konstanta kesetimbangan (K T ) pada temperatur T diberikan sebagai : (2.5) Dimana a, pada sistem terak/tembaga, adalah aktivitas dari spesi dan p O2 adalah tekanan parsial oksigen pada antarmuka terak/tembaga. Aktivitas dari spesi didefinisikan dalam persamaan 2.6. a = (γ M ) (χ M ) (2.6) Keterangan: γ M χ M : koefisien aktivitas unsur : fraksi mol unsur Dan fraksi mol (pers 2.6) dapat diubah ke fraksi massa dengan : % (2.7) Rasio distribusi untuk unsur M dapat diperoleh dengan menurunkan persamaan 2.7 sehingga didapatkan: Keterangan: / (2.8) / : koefisien distribusi unsur M K T po 2 γ MO : konstanta reaksi : tekanan parsial oksigen : koefisien aktivitas oksida unsur M BAB II TINJAUAN PUSTAKA 15

γ M MW terak MW tembaga : koefisien aktivitas unsur M : massa unsur M dalam terak : massa unsur M dalam tembaga Penurunan persamaan 2.8 dapat dilihat di lampiran D Pada temperatur tertentu K t mempunyai nilai tetap dan telah diketahui. Dengan demikian variasi rasio ini hanya bergantung dari tekanan parsial oksigen dan koefisien aktivitas untuk sistem tembaga dan terak. Koefisien aktivitas unsur di dalam terak ditentukan oleh sifat kimia terak. Di sisi lain, tekanan parsial oksigen dan koefisien aktivitas dalam tembaga tergantung dari parameter operasi seperti pengayaan oksigen dan grade tembaga. Koefisien distribusi tidak dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti berat terak dan tembaga sebagaimana koefisien partisi. Sehingga walaupun ada perubahan berat input nilai L akan tetap selama tidak ada perubahan secara termodinamik. Untuk tembaga dengan kesetimbangan tiga fasa (tembaga, terak dan gas) koefisien partisi dapat diubah menjadi koefisien distribusi bila berat relatif dari 2 fasa lelehan diketahui. Keterangan: / (2.9) : koefisien partisi unsur M dalam tembaga : koefisien partisi unsur M dalam terak Penjumlahan koefisien partisi sama dengan satu atau dalam tanur peleburan dapat ditulis: 1 (2.10) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 16

Jika partisi ke gas diketahui atau diasumsikan, dan uji tembaga dan terak tersedia maka dapat diperoleh nilai partisi dari blister. (2.11) Sementara menurut Riveros 19), koefisien distribusi dapat ditulis dalam persamaan berikut: / % 100 % % (2.12) Dimana : M terak dan M M : berat rata-rata molekul terak dan berat molekul unsur M. F M dan f O y K % : koefisien aktivitas unsur M dan oksigen : setengah valensi unsur M dalam oksida : konstanta kesetimbangan reaksi : persentasi oksigen dalam tembaga : koefisien aktivitas oksida Sehingga dari persamaan 2.12 koefisien distribusi terutama akan bergantung dari dua variabel: 1. Derajat oksidasi sistem yang diukur dari kandungan oksigen yang ada di dalam tembaga, atau dengan tekanan oksigen kesetimbangan 2. Koefisien aktivitas dari oksida pengotor di dalam terak γ Moy, yang dikendalikan melalui komposisi kimia terak. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 17

2.1. Perilaku unsur minor dalam proses pemurnian anoda 2.1..1 Pengaruh grade tembaga Distribusi unsur minor dalam tembaga pada kesetimbangan dengan terak proses pemurnian anoda pada umumnya diturunkan dari teori kesetimbangan terak dan matte. Secara umum distribusi unsur antara terak dengan matte dapat dipakai untuk menganalogikan distribusi antara tembaga dengan terak dengan catatan hubungan termodinamika, aktivitas dan koefisien aktivitas dalam tembaga harus disesuaikan karena perbedaan struktur dengan matte. Secara teoritis, pengaruh kadar matte pada kesetimbangan matte/terak dapat dilihat dari persamaan 2.8. / (2.8) Gambar 2.8 Pengaruh kadar tembaga terhadap koefisien distribusi arsen 13) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 18

Dari kurva 2.8 terlihat bahwa koefisien distribusi arsen cenderung meningkat dengan semakin meningkatnya kadar Cu. Dari persamaan / (Persamaan 2.8) terlihat bahwa tekanan parsial oksigen pada antarmuka dan γ M di matte adalah variabel yang dipengaruhi oleh kadar Cu. K T tetap pada temperatur tertentu dan γ MO bergantung dari sistem terak yang digunakan. Tekanan parsial oksigen pada lelehan tembaga oleh persamaan: 3 2 (2.13) Konstanta kesetimbangan reaksinya adalah: (2.1) Sehingga tekanan parsial oksigen dapat ditulis : (2.15) Kadar besi di dalam matte (%Fe) matte memiliki pengaruh langsung pada potensial oksigen sistem oleh a FeS seperti terlihat dari persamaan diatas %. Kandungan besi dalam matte mungkin adalah indikasi terbaik dari tekanan parsial oksigen. Tetapi indikasi yang biasa digunakan dalam dunia industri adalah berdasarkan grade Cu (%Cu dalam matte). Metode ini memang tidak seakurat %Fe tetapi cukup memberikan hasil yang memuaskan karena tembaga adalah unsur logam utama. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 19

Gambar 2.9 Diagram fasa biner Cu dan As 13) Afinitas suatu unsur terhadap tembaga dapat dievaluasi secara kualitatif dengan melihat diagram fasa biner. Pada daerah konsentrasi rendah, keberadaan beberapa fasa stabil menunjukkan tingginya afinitas antara kedua logam. Diagram fasa biner unsur minor dengan tembaga dapat dilihat dari gambar 2.9. Terlihat bahwa pada konsentrasi Cu besar dan As kecil, arsen dan tembaga berada dalam fasa stabilnya. Untuk mengetahui pengaruh grade matte terhadap konsentrasi unsur minor dapat dilihat dari koefisien aktivitas unsur minor. Seperti terlihat di gambar 2.10, dan semakin kecil dengan meningkatnya grade matte. Maka untuk Bi dan Sb nilai / akan naik dengan meningkatnya grade matte karena dominannya po 2. Sedangkan untuk arsen peningkatan / disebabkan oleh efek dominan dari kenaikan dengan meningkatnya tekanan parsial oksigen. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 20

Gambar 2.10 Pengaruh grade matte terhadap koefisien aktivitas unsur terlarut 13) Untuk blister perilaku unsur minor dalam lelehan dapat dianalogikan dengan kondisi dalam matte. Akan tetapi ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penggunaannya. Dalam matte unsur-unsur berada dalam bentuk ionik sedangkan dalam blister unsur-unsur berada dalam bentuk atomik/kovalen. Perubahan kadar tembaga dalam matte relatif besar dimana gradenya berkisar antara 0-70% sementara dalam blister grade blister berkisar antara 97-99,8%. Kadar sulfur dalam blister jauh lebih kecil (0,001-0,03%) daripada matte karena sebagian besar sulfur telah teroksidasi dalam proses di tanur konversi. 2.1..2 Pengaruh oksigen terlarut Untuk membentuk oksida arsen bereaksi dengan oksigen yang terlarut dalam lelehan tembaga. Semakin besar kandungan oksigen terlarut, semakin banyak arsen yang teroksidasi seperti yang ditunjukkan di gambar 2.11. dari gambar 2.11 terlihat bahwa pada kosentrasi oksigen tertentu (>7000ppm) koefisien distribusi arsen turun. Fenomena ini mungkin disebabkan arsen dari terak melarut kembali ke dalam tembaga akibat turunnya koefisien aktivitas arsen dalam lelehan tembaga. Menurut Acuna 1) hal tersebut disebabkan pada konsentrasi oksigen terlarut yang tinggi, peningkatan kandungan oksigen terlarut justru cenderung menurunkan koefisien aktivitas arsen dalam lelehan tembaga. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 21

Gambar 2.11 Pengaruh oksigen terlarut pada koefisien distribusi arsen 1) 2.1..3 Pengaruh Temperatur Pada umumnya proses oksidasi adalah proses eksotermik dimana reaksi berlangsung lebih baik pada temperatur yang relatif lebih rendah. Tetapi proses pemurnian oksidasi adalah proses yang berlangsung pada temperatur tinggi dengan tujuan agar secara kinetik proses oksidasi berlangsung dengan cepat. Pengaruh temperatur terhadap pemisahan arsen ke dalam terak juga dapat dilihat dari pengaruh temperatur terhadap koefisien aktivitas. Zhong 25) merumuskan suatu persamaan yang menunjukkan pengaruh temperatur terhadap koefisien aktivitas: 9,09 1,3. 10 (173 K T 1533 K) (2.16) Dari persamaan 2.16 tampak bahwa dengan kenaikan temperatur koefisien aktivitas arsen akan semakin kecil. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi temperatur operasi yang digunakan maka semakin stabil arsen didalam tembaga. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 22

2.2 PERILAKU UNSUR MINOR DALAM TERAK 2.2.1 Bahan imbuh Salah satu cara untuk mengatur koefisien aktivitas dalam proses pemurnian tembaga adalah dengan penggunaan bahan imbuh yang sesuai. Dengan penambahan bahan imbuh maka diharapkan didapatkan terak dengan kondisi yang dibutuhkan. Bahan imbuh tersebut dapat dikelompokkan menjadi 16) : 1. Bahan imbuh alkali Bahan imbuh alkali (Na 2 CO 3, CaCO 3, CaO, Li 2 CO 3, K 2 CO 3 ) digunakan untuk meningkatkan kebasaan terak dan menurunkan koefisien aktivitas oksida arsen dan antimoni di dalam terak. Reaksi antara unsur minor dan bahan imbuh sebagai berikut: 3 2, 35 3. 3 3 2, 35 3. 2. Bahan imbuh asam Senyawa karbonat atau oksida basa lainnya tidak cocok digunakan dalam penghilangan Pb ke fasa terak dikarenakan PbO bersifat oksida basa. Penghilangan Pb dapat dilakukan dengan penambahan oksida asam seperti SiO 2, P 2 O 5, atau B 2 O 3 karena sifatnya yang menurunkan koefisien aktivitas PbO. Reaksi yang menjelaskan penghilangan Pb adalah sebagai berikut:. 3. Bahan imbuh halida Senyawa klorida dan fluorida diinjeksikan dalam bentuk padatan atau gas sehingga akan membentuk senyawa halida dengan unsur minor yang mudah menguap dari fasa leburan. Senyawa yang sering BAB II TINJAUAN PUSTAKA 23

digunakan adalah SF 6. Reaksi penghilangan As, Sb, atau Bi dengan menginjeksikan SF 6 adalah sebagai berikut: 2,, 2,, Dari percobaan laboratorium yang dilakukan oleh Larouche (17) didapatkan bahwa proses oksidasi unsur minor tersebut dengan urutan sebagai berikut: Sb-As-Bi. Selain SF 6 halida lain yang dapat digunakan adalah klorida. Klorida dapat digunakan dalam bentuk padatan seperti MgCl 2, CaCl 2, dll.oleh karena itu reaksinya terdiri dari dua macam reaksi yaitu rekasi dekomposisi dan reaksi dengan unsur minor:,,,,,, 2.2.2 Kebasaan terak Penambahan bahan imbuh dalam proses pemurnian oksidasi mempengaruhi sifat terak yang dihasilkan dari proses tersebut. Salah satu sifat yang dipengaruhi adalah indeks kebasaan terak. Indeks kebasaan terak didefinisikan sebagai 1) : % / % (2.17) Arsen adalah unsur yang amfoter, dalam kata lain dapat bersifat sebagai basa maupun asam. Oleh karena itu arsen secara teoritis seharusnya dapat teroksidasi dengan baik pada kondisi terak asam dan basa. Tetapi dari urutan tingkat kebasaan oksidanya (gambar 2.12) 15) terlihat bahwa oksida arsen cenderung bersifat asam, akibatnya arsen akan lebih mudah masuk ke dalam terak yang bersifat basa. Hasil studi Acuna 1) juga menunjukkan bahwa nilai koefisien distribusi arsen meningkat dengan naiknya indeks kebasaan terak (gambar 2.13) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2

Gambar 2.12 Urutan tingkat kebasaan oksida unsur-unsur 15) Gambar 2.13 Pengaruh indeks kebasaan terhadap koefisien distribusi arsen 1) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 25

2.2.3 Teori aktivitas unsur-unsur di dalam terak Dalam menentukan koefisien aktivitas unsur dalam terak, ada beberapa teori yang menjelaskan perilaku unsur di dalam terak. Teori-teori tersebut terbagi menjadi dua kelompok besar yaitu teori ionik dan teori molekul. Tetapi karena unsur minor di dalam terak berada dalam bentuk ionik maka digunakan teori ionik untuk menjelaskan perilaku unsur minor tersebut. Teori ionik sendiri dikelompokkan menjadi tiga yaitu 8) : 1. Teori Temkin Menurut Temkin, terak adalah larutan yang seluruhnya terdisosiasi kedalam bentuk ion tanpa ada interaksi antara ion dengan muatan yang sama. Sehingga lelehan garam atau oksida kemudian dapat diasumsikan terdiri dari dua larutan ideal, kation dan anion. Dengan hipotesis tersebut maka dapat dituliskan aktivitas ion sebagai berikut: Σ Σ Keterangan : a : aktivitas kation(i + ) atau anion (j - ) N : molalitas unsur dalam larutan n : mol unsur dalam larutan (2.18) (2.19) Untuk menggambarkan kondisi standar dari komponen ij dalam larutan ini maka ditentukan kesetimbangan sebagai berikut: (2.20) Energy bebas reaksi diatas adalah nol sehingga Δ. Jika unsur murni dalam kesetimbangan dengan ionnya dianggap sebagai kondisi standar maka energi bebas adalah nol dan K = 1: 1 (2.21) Sehingga aktivitas ij dapat ditulis :. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 26

2. Teori Flood Teori Flood sebagian berdasarkan teori Temkin dan menganggap kesetimbangan terdiri dari unsur terlarut dalam fasa logam dan unsur penyusunnya dalam terak. Sebagai contoh kesetimbangan antara sulfur-oksigen diantara logam dan terak : (2.22) konstanta kesetimbangan dapat ditulis:.. (2.23) Menurut definisi Temkin aktivitas anion S 2- dan O 2- sama dengan fraksi anion dan. Sehingga konstanta kesetimbangan akan menjadi: %... (2.2) %.. Dimana: %. %. f : fraksi ionik dengan mengikuti hukum Henry maka nilai K mendekati nilai K 3. Teori Mason Teori Mason dapat digunakan untuk menghitung aktivitas oksida basa di dalam terak silikat. Menurut Mason, terak adalah larutan kompleks yang mengandung anion polimer silikat, derajat polimerisasi diatur dengan karakter dan kuantitas oksida basa yang tersedia. Sehingga terak yang sangat basa akan mengandung silika yang sebagian besar berada dalam bentuk dan terak yang lebih asam akan mengandung ion,,,.,, semua berada dalam kondisi kesetimbangan satu dengan yang lain. Kesetimbangan masing-masing dapat ditulis: (2.25) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 27

(2.26) (2.27) Karena semua reaksi terdiri dari penambahan tetrahedron silika pada rantai yang ada, dapat diasumsikan sebagai pendekatan pertama bahwa energi bebas sama pada konstanta kesetimbangan.. (2.28).. (2.29).. (2.30) ΣN +.. (2.31) Ketika hanya terdapat ion silikat dan ion oksigen, teori Temkin memberikan: ΣN 1 (2.32) Sehingga Kandungan silika ditentukan dari analisa kimia, dapat dikaitkan dengan sebagai berikut: (2.33)... (2.3) 1 3 (2.35) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 28

Teori molekul yang dajukan oleh Schenck 23) mengasumsikan kondisi ideal dari semua molekul yang ada di dalam terak. oksida-oksida sederhana (CAO, MgO, FeO Al 2 O 3, MnO,dll) bergabung untuk membentuk molekul kompleks seperti CaAl 2 O, Ca P 2 O, dll, atau tetap berada dalam kondisi bebas. Tiap-tiap oksida kemudian akan berada dalam bentuk yang berbeda dalam kondisi setimbang dan bergantung pada kandungan relatif dari oksida lain. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut maka ditentukan terlebih dahulu semua molekul yang mungkin terbentuk. Misal pada terak yang mengandung FeO, CaO, dan SiO 2, molekul yang mungkin terbentuk sebagian besar adalah FeO,CaO,Ca 2 SiO, CaSiO 3, FeSiO 3, FeSiO, Ca 2 Si 2 O 6 dan Ca Si 2 O 8. Untuk menentukan fraksi mol diperlukan delapan persamaan. Tiga diantaranya diperoleh dari kesetimbangan massa. Untuk kalsium oksida persamaan dan kesetimbangan massa dapat ditulis: SO 2 SO 2 S O S O (2.36) Jumlah mol total dari, dan didapatkan dari hasil analisa kimia terak. Sedangkan lima persamaan yang lain diturunkan dari konstanta kesetimbangan: 2. / 2 / Dengan menyelesaikan delapan persamaan tersebut maka akan dimungkinkan untuk menentukan fraksi mol dari spesi sebenarnya yang akan terdapat di dalam terak yang berada dalam kondisi ideal. Dalam kesetimbangan logam-terak hanya spesi bebas yang dapat ikut dalam reaksi. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 29

2.2. Kapasitas arsen Untuk mengetahui kemampuan terak mengikat unsur minor dalam bentuk oksidanya maka salah satu metode yang umum digunakan adalah perhitungan kapasitas unsur minor. Reddy 11) membuat suatu model untuk memprediksi nilai kapasitas arsenat di dalam terak. Dalam sistem MO- SiO 2 kesetimbangan reaksi arsenik dapat ditulis dengan: (2.37) Konstanta kesetimbangan K M untuk reaksi : a K M = a M 3 2 3 2 MO a As P 5 O2 kapasitas arsenat yang didefinisikan oleh Reddy : C 3 ( wt% = a P As 3 5 O 2 ) (2.38) (2.39) penggabungan persamaan 2.38 dan 2.39 menghasilkan persamaan untuk kapasitas arsenat sebagai: C 3 untuk terak basa ( 0 < X SiO2 = K a 3 2 ( % 3 ) M MO wt am 3 2 (2.0) < 0,33) kapasitas arsenat ditentukan dari nilai K M dan a MO yang telah diketahui. Aktivitas arsenat am 3 2 relatif terhadap cairan M 3/2 yang didinginkan pada temperatur sangat rendah sebagai kondisi standar: a M 3 2 γ = M 3 2 ( wt% 3 100M )[ M MO + X (1 2X SiO SiO 2 ( M ) 2 SiO 2 M MO ) (2.1) dimana γ M 3 2 adalah koefisien aktivitas Henrian. Substitusi dari persamaan 2.0 dan 2.1 akan menghasilkan persamaan kapasitas arsenat untuk lelehan basa di dalam sistem biner MO-SiO 2 : BAB II TINJAUAN PUSTAKA 30

C 3 = γ M 3 100K 2 M [ M a 3 2 MO MO M + X SiO 2 (1 2X ( M SiO 2 SiO 2 ) M MO )] (2.2) untuk terak yang asam ( 0,33 < X SiO <1 ) arsen larut dalam terak MO- 2 SiO 2 yang mengandung spesi polimer. Diasumsikan bahwa ion SiO membentuk rantai polimer dan bebas dari ion encer, volume fraksi dari ion As di larutan dapat dianggap : φ As n = n Sehingga kapasitas arsenat dapat dituliskan : As Si 3 dan 2 O. Untuk larutan (2.3) C 3 2 100K M amom X SiO φ 2 3 = [ M + X ( M M )] a MO SiO 2 SiO 2 MO M As 3 2 (2.) Untuk terak multikomponen, Reddy (11) menuliskan persamaan kapasitas arsen sebagai berikut: C 3 = L M { n } As T 5/ γ AsPO 2 (2.5) 2.3 KINETIKA REAKSI OKSIDASI UNSUR-UNSUR MINOR Kinetika proses dalam tanur anoda dapat dianalogikan dengan kinetika proses pengikatan pengotor dalam terak pada pembuatan baja, yaitu kinetika reaksi oksidasi oleh oksigen di dalam udara tiup dengan unsurunsur minor di dalam leburan logam. Proses di dalamnya melibatkan reaksi simultan komponen-komponen pada antarmuka berbagai fasa pada temperatur tinggi. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 31

Pengetahuan mengenai laju reaksi atau kinetika dibutuhkan untuk memprediksi perubahan yang terjadi dalam proses yang lebih khusus sebagai fungsi dari waktu hingga proses tersebut mencapai kesetimbangan. Laju keseluruhan dari reaksi bergantung pada sifat masing-masing fasa yang terlibat di dalam reaksi serta tahapan kinetika yang berjalan dari keadaan awal hingga akhir. Pada prinsipnya sebuah reaksi yang melibatkan lebih dari dua fasa adalah kombinasi dua reaksi terpisah yang melibatkan dua fasa sekaligus. Reaksi oksidasi arsen oleh gas oksigen di dalam sistem tiga fasa gaslogam-terak 3/2 5/ (2.6) terdiri dari : 1). reaksi gas-logam : pelarutan oksigen di dalam lelehan tembaga, (O 2 ) g 2[O] (2.7) Oksigen terlarut dituliskan sebagai [O]. 2). reaksi logam-terak : pembentukan senyawa yang merupakan reaksi antara arsen dan oksigen terlarut seperti terlihat dalam persamaan 2.6. 3/2 5/2 (2.6) Secara khusus, reaksi oksidasi unsur arsen di dalam pemurnian tembaga dapat dianalogikan dengan reaksi oksidasi mangan di dalam pemurnian baja. Pada proses pemurnian tembaga, oksidasi unsur arsen yang terlarut di dalam lelehan dengan atom oksigen hanya terjadi pada awal proses penghembusan udara ketika konsentrasi arsen di dalam lelehan masih relatif tinggi dan temperatur lelehan rendah. Selama pemurnian, reaksi oksidasi arsen yang dominan adalah reaksi yang melibatkan logam utama BAB II TINJAUAN PUSTAKA 32

dan oksida logam utama (Cu dan Cu 2 O) yang terjadi pada antarmuka logam-terak. antarmuka logamterak terak [As] O 2 tembaga [O] O 2 antarmuka gas logam Gambar 2.1 Skema Tanur Anoda selama Proses Deleading antarmuka gas logam antarmuka logamk O 2 [O] [O] [As] [As] [Cu] [Cu] (Cu 2 O) Gambar 2.15 Antarmuka Antara Dua Fasa BAB II TINJAUAN PUSTAKA 33

Tahap-tahap yang terjadi selama proses deleading berlangsung adalah: 1). pelarutan molekul oksigen dari fasa gas hingga terdisosiasi menjadi atomatomnya di dalam lelehan tembaga yang dapat diuraikan lagi menjadi beberapa tahap yaitu : a. difusi (transfer massa) molekul oksigen melalui fasa gas menuju antarmuka gas-logam, b. reaksi kimia penguraian oksigen menjadi atom-atomnya pada antarmuka gas-logam, c. difusi atom oksigen meninggalkan antarmuka gas-logam menuju fasa logam, 2). reaksi oksidasi unsur arsen dengan atom oksigen pada antarmuka gaslogam selama awal proses penghembusan udara, 3). difusi produk dari antarmuka gas-logam menuju fasa logam, ). difusi dari fasa logam menuju antarmuka logam-terak, 5). difusi dari antarmuka logam-terak menuju fasa terak, 6). difusi arsen dari fasa logam menuju antarmuka logam-terak, 7). difusi atom oksigen dari fasa logam menuju antarmuka logam-terak, 8). reaksi kimia arsen dengan atom oksigen pada antarmuka logam-terak, Tiap tahap di atas dikenal sebagai tahap kinetika. Tahap kinetika yang paling lambat akan mengendalikan laju dari proses keseluruhan sehingga dinamakan tahap pengendali laju. Pada berbagai kasus diamati bahwa suatu proses dikendalikan oleh reaksi kimia pada temperatur rendah sedangkan pada temperatur tinggi tahap yang paling lambat sebagai pengendali proses adalah tahap difusi 8). Hal ini disebabkan karena reaksi kimia sangat dipengaruhi oleh perubahan temperatur sedangkan difusi tidak begitu terpengaruh. Koefisien difusi merupakan fungsi linier dari temperatur, kt D= b+ (persamaan Stokes-Einstein) (2.8) 6 π r η BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3

dengan D= koefisien difusi, b=tetapan (bergantung jenis partikel), k= tetapan Boltzmann, T= temperatur mutlak, r= jari-jari partikel, dan η= viskositas fluida. Sedangkan tetapan laju reaksi kimia bergantung kepada temperatur secara eksponensial, k = Ae Ea RT (persamaan Arrhenius) (2.9) dengan k = tetapan laju reaksi, Ea = energi aktivasi, dan A= tetapan Arrhenius, R= tetapan gas. Dengan kata lain, jika temperatur dinaikkan sebesar dua kali, laju difusi akan meningkat kira-kira sebanyak dua kali sedangkan laju reaksi meningkat jauh lebih besar karena peningkatan temperatur selain meningkatkan konstanta laju, juga menurunkan energi aktivasi reaksi kimia. Secara umum, proses yang dikendalikan oleh difusi memiliki nilai energi aktivasi pada kisaran 1 hingga 3 kkal/mol sedangkan jika reaksi kimia menjadi pengendali, energi aktivasi biasanya lebih besar dari 10 kkal/mol. Proses yang dikendalikan oleh difusi sekaligus reaksi kimia memiliki nilai energi aktivasi pada rentang 5-8 kkal/mol. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 35