II. KAJIAN PUSTAKA A. Sumber Pustaka 1. Rujukan Istilah sadō atau chanoyu mengundang banyak pertanyaan seperti apakah perbedaan penyebutan sadō dan chanoyu. Arti kata chanoyu secara harafiah yaitu air panas untuk teh. Chanoyu mempunyai nama lain yakni chado atau Sadō yang berarti cara pembuatan teh atau sering disebut jalan teh, namun kemudian berkembang lebih luas menjadi upacara minum teh dalam tradisi Jepang seperti yang dijelaskan Plutschow dalam bukunya yang berjudul Historical Chanoyu terbitan tahun 1986. Teh bukan hanya dituang dengan air panas dan diminum, akan tetapi sebagai seni dalam arti luas. Sedangkan hasil wawancara pada tanggal 2 Maret 2016 dengan Gema Budiarto, alumni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember, penulis skripsi dengan judul Jepang Pada Masa Pemerintahan Kaisar Mutsuhito Tahun 1868-1912 mengatakan bahwa sadō dan chanoyu tidak dapat terpisahkan, secara garis besar menurutnya chanoyu merupakan upacara minum teh dan tata caranya itu sendiri, sedangkan sadō lebih menekankan pada maknamakna dibalik tata cara pelaksanaan upacara minum teh. Tema upacara minum teh ini juga pernah di angkat oleh Eva Nurintah Silalahi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan program studi Sastra Jepang pada tahun 2009. Pada skripsinya yang 6
7 berjudul Nilai-Nilai Ajaran Buddhisme dalam Estetika Keramik Tradisional Jepang ditulis untuk memenuhi persyaratan dalam mencapai gelar kesarjanaan. Tulisan Eva Nurintah memaparkan mengenai nilainilai keindahan keramik yang dipergunakan dalam upacara minum teh, keramik yang sesuai dengan ajaran Zen Buddhisme yang mengutamakan kesederhanaan, sedangkan penulis lebih menjelaskan seni upacara minum teh secara umum serta peralatan-peralatan yang digunakan yang kemudian akan divisualisasikan dalam bentuk karya seni lukis. Kesamaan pembahasan dengan penulis yaitu sama-sama menitik beratkan mengenai ajaran zen perihal keindahan. Pada 2014 lalu, Reni Perwitasari mahasiswi Program Studi Jepang Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia menulis karya ilmiah dengan judul Seni Tata Ruang Chaniwa dan Chashitsu dalam Chanoyu. Persamaan antara Reni Perwitasari dengan penulis adalah memaparkan secara umum mengenai, chanoyu, sejarah singkat chanoyu, peralatan yang dipergunakan, namun Reni Perwitasari lebih menitik beratkan pada seni penataan ruang dalam upacara minum teh, sedangkan penulis menitikberatkan pengaplikasian seni upacara minum teh ke dalam karya dua dimensional yang akan dipergunakan sebagai pengantar karya tugas akhir. Tema serupa juga pernah diangkat oleh seniman-seniman asal Jepang seperti Kasamatsu Shirou, Utagawa Kunisada, Kunichika Toyohara, dan Toshikata Mizuno, namun visualisasi mereka
8 menggambarkan upacara minum teh dengan apa adanya seperti menangkap suatu kejadian atau peristiwa, selain itu seniman asal Jepang mayoritas menggunakan teknik cukil kayu atau grafis. Dari beberapa rujukan tersebut, penulis belum menemukan kesamaan pengaplikasian seni upacara minum teh Jepang pada karya dua dimensional, yang berarti belum ada seniman yang mengangkat seni upacara minum teh Jepang yang dipadukan dengan bentuk ornamen Jawa. 2. Referensi Menurut M. Shaifuddin, dalam bukunya berjudul Karakteristik Bahan Seni Rupa Dwi Matra, Imajinasi adalah daya pikir untuk membayangkan (dalam angan-angan) atau menciptakan gambar (lukisan, karangan, dan sebagainya) kejadian berdasarkan kenyataan atau pengalaman seseorang. Pengertian itu sejalan dengan (Tim Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1998: 425), yang mengatakan Imajinasi ialah daya pikir untuk membayangkan (dalam angan-angan) atau menciptakan gambar-gambar kejadian berdasarkan pikiran dan pengalaman seseorang. sedangkan dalam Diksi Rupa imajinasi sangat terpaut erat dengan proses kreatif, serta berfungsi untuk menggabungkan berbagai serpihan informasi yang didapat dari bagian-bagian indera menjadi suatu gambaran utuh dan lengkap (Susanto, 2002: 53). Sedangkan menurut Sartre dalam bukunya yang berjudul Psikologi
9 Imajinasi terbitan tahun 2000 menjelaskan bahwa majinasi adalah cara manusia melihat dunia dengan pikiran dan budinya. Seni Lukis menurut Bastomi dalam buku Wawasan Seni tahun 1992 ialah penyusunan kembali konsep dan emosi dalam suatu bentuk baru yang menyenangkan lewat media dua dimensional. Dekoratif adalah aliran dalam seni lukis yang cara menggambarkan seakan-akan merupakan gambar dekor atau pelataran. Lukisan dekoratif lebih mengutamakan nilai menghias. Bentuk visual di buat dengan datar tanpa memperhatikan volume ruang maupun perspektif. Selain itu merupakan gaya penampilan karya yang lebih mengutamakan keindahan garis, bidang warna. Warna pada bidang tidak memiliki kesan terang gelap, tetapi rata atau datar saja. Garis diusahakan lancar, rapi. Bentuk tidak menuruti benda aslinya, tetapi direkayasa demi keindahan. Pada sebuah website yang ditulis oleh Sudrajat menjelaskan mengenai stilasi menjelaskan bahwa stilasi adalah penampilan objek dengan menggayakan atau membuat indah, dengan garis meliuk-liuk, melingkar-lingkar agar tampak indah (dalam hal ini, stilasi dapat dipandang bagian dari dekorasi). Gaya stilasi lazim dibuat pada hiasan atau ornamen seni hias Indonesia klasik Garis menurut Susanto dalam buku berjudul Diksi Rupa terbitan tahun 2011, yaitu perpaduan sejumlah titik-titik yang sejajar dan sama besar. Garis memiliki dimensi memanjang juga punya arah, bisa panjang, pendek, halus, tebal, berombak melengkung, serta lurus. Hal
10 inilah yang menjadi ukuran garis. Garis memiliki ukuran yang bersifat nisbi, yakni ukuran yang panjang-pendek, tinggi-rendah, besar-kecil, tebal-tipis. Sedangkan arah garis ada tiga: horizontal, vertikal, diagonal, meskipun garis bisa melengkung, bergerigi maupun acak. Menurut Nooryan Bahari dalam buku berjudul Kritik Seni Wacana, Apresiasi dan Kreasi, tekstur adalah kesan halus atau kasar permukaan yang ditampilkan pada sebuah karya. Berdasarkan macamnya tekstur dibagi menjadi dua yaitu, tekstur nyata, nilai permukaan yang sama secara visual mata dengan rabanya. Tekstur semu, nilai permukaan yang berbeda secara visual mata dengan rabanya. Sunyoto dalam buku berjudul Nirmana, Elemen-elemen Seni dan Desain terbitan tahun 2009 mengatakan bahwa proses pewarnaan tanpa adanya cahaya maka tidak akan terjadi warna, itu pun berlaku pada karya seni, tanpa adanya cahaya maka karya tersebut tidak akan menampakkan warna. Warna merupakan pantulan cahaya dan warna. Ukiyo-e adalah nama lukisan klasik di Jepang yang muncul pada periode Edo (1600-1868). Ukiyo-e berbeda dengan lukisan biasa karena dibuat di atas balok kayu dengan tehnik cukil sehingga menampakkan efek 3-dimensi. Di Jepang, lukisan-lukisan bertema kan Sadō mayoritas mudah ditemui pada jenis lukisan ini. Anime merupakan animasi khas Jepang yang dapat dicirikan melalui gambar, Anime dipengaruhi gaya gambar manga (komik khas Jepang). Bagi penulis, Anime ini selalu menginspirasi dalam proses
11 pembuatan karya. Contoh pada bagian mata, penulis terinspirasi pada mata lebar yang terdapat pada Anime, namun tidak serta merta meniru secara keseluruhan, berikut contoh beberapa bentuk mata yang terdapat di beberapa Anime serta bandingannya dengan mata yang terdapat pada karya penulis. Gambar 1. Beberapa bentuk mata pada Anime (Sumber :http://4.bp.blogspot.com/- sk0udz6usf8/uxuyarxss9i/aaaaaaaabvu/bqvdvvdnlci/s1600/anime_an d_manga_eyestyles_by_akitomaru.jpg) Gambar 2. Bentuk mata pada karya penulis (Sumber :Dokumentasi penulis)
12 Seni ornamen merupakan suatu ungkapan perasaan yang diwujudkan dalam bentuk visual sebagai pelengkap rasa estetika dan pengungkapan simbolsimbol tertentu. Pada umumnya ornamen Jawa adalah gubahan atau pendeformasian dari daun dan tumbuhan lain yang merupakan daun pokok dan tangkai daun yang berbentuk lung. Pada karya penulis terdapat potongan ornamen Jawa, selain sebagai penyesuaian bentuk, filosofi ornamen ini sejalan dengan karakter Sadō yang lembut dan luwes, berikut gambar ornamen Jawa yang terdapat pada karya penulis. Gambar 3. Ornamen Jawa (Sumber :http://3.bp.blogspot.com/- H6JZ13aTv54/Uq13XKChe0I/AAAAAAAAApQ/ic0UL6F23JQ/s1600/gb.ornam en.jpg)
13 Gambar 4. Bentuk ornamen Jawa pada karya penulis (Sumber :Dokumentasi penulis) B. Sumber Ide Sumber Ide dalam berkarya dapat muncul dan diperoleh dari mana saja, tidak terbatas hanya pada bidang yang sama, begitu juga sumber ide dalam pembuatan karya seni lukis ini selain dari seni upacara minum teh di Jepang juga terinspirasi dari aliran seni Ukiyo e yaitu sebuah aliran seni cetak dari cukil kayu yang berkembang pada tahun (1600-1868) di Jepang. Seniman yang pernah mengangkat upacara minum teh kedalam sebuah karya cetak diantaranya yaitu Kasamatsu Shiro, Utagawa Kunisada, Kunichika Toyohara, dan Toshikata Mizuno. Karya-karya mereka disajikan sangat detail dengan warna-warna yang tidak begitu mencolok yang sesuai dengan ciri khas karya seni Jepang. Berikut adalah karya-karya mereka:
14 Gambar 5. Kasamatsu Shiro, 1954 (Sumber : http://www.artelino.com/articles/japanese_tea_ceremony.asp) Gambar 6. Kasamatsu Shirou (1898-1991) (Sumber http://www.arcadja.com/auctions/en/kasamatsu_shiro/artist/42709)
15 Gambar 7.Utagawa Kunisada (1786-1865) A woman performing the tea ceremony (Sumber https://id.pinterest.com/pin323414816965610200/) Gambar 8.Tea Ceremony - Chikanobu Toyohara 1838-1912 (Sumber : http://www.artelino.com/articles/japanese_tea_ceremony.asp)
16 Gambar 9.Tea Ceremony Chieko Minagawa born 1924 (Sumber : http://www.artelino.com/articles/japanese_tea_ceremony.asp) Gambar 10. Tea Ceremony - Genji Goju-yo Jo- Maiko - Sadanobu III Kunichika Toyohara 1835-1900 (Sumber: http://www.artelino.com/articles/japanese_tea_ceremony.asp)
17 Gambar 11.Tea Ceremony - Kyo- Hasegawa 1881-1963 (Sumber: http://www.artelino.com/articles/japanese_tea_ceremony.asp) Gambar 12. Tea Ceremony at 9 a.m - Scenes of the Twenty-four Hours, A Pictorial Trope Kunichika Toyohara 1835-1900 (Sumber: http://www.artelino.com/articles/japanese_tea_ceremony.asp)
18 Gambar 13. Toshikata Mizuno (1866-1903) (Sumber: https://www.lessingimages.com/viewimage.asp?i=03070316+&cr=20&cl=1) Penulis mencoba menemukan karakter baru dari referensi yang di gunakan sebagai sumber, kemudian ditemukanlah karakter asli dengan menambahkan bentuk-bentuk ornamen dari Surakarta yang belum terdapat pada karya bertemakan upacara minum teh ala Jepang lain. Selain itu, media yang digunakan berbeda, karya-karya seniman asal Jepang mengangkat tema upacara minum teh ini kebanyakan menggunakan media grafis atau cukil kayu, sedangkan karya yang penulis sajikan berupa lukisan dengan media cat minyak di atas kanvas.