BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis yang bersifat

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mycobacterium tuberculosis dan menular secara langsung. Mycobacterium

II. TINJAUAN PUSTAKA. penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Berdasarkan penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Panduan OAT yang digunakan di Indonesia adalah:

Penemuan PasienTB. EPPIT 11 Departemen Mikrobiologi FK USU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan secara retrospektif berdasarkan rekam medik dari bulan Januari

PENANGANAN DAN PENCEGAHAN TUBERKULOSIS. Edwin C4

SAFII, 2015 GAMBARAN KEPATUHAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU TERHADAP REGIMEN TERAPEUTIK DI PUSKESMAS PADASUKA KECAMATAN CIBEUNYING KIDUL KOTA BANDUNG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kepatuhan menurut Trostle dalam Simamora (2004), adalah tingkat perilaku

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. meminum obatnya secara teratur dan tuntas. PMO bisa berasal dari keluarga,

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini

Mengapa Kita Batuk? Mengapa Kita Batuk ~ 1

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Tuberculosis Paru (TB Paru) merupakan salah satu penyakit yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sulianti (2004) Tuberculosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB tidak hanya menyerang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ukuran dari bakteri ini cukup kecil yaitu 0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang yakni

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. penyakit infeksius yang menyerang paru-paru yang secara khas ditandai oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit ini tersebar ke seluruh dunia. Pada awalnya di negara industri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. jumlah kematian per tahun. Kematian tersebut pada umumnya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Peran ISTC dalam Pencegahan MDR. Erlina Burhan Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI RSUP Persahabatan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

HUBUNGAN DUKUNGAN PASANGAN PENDERITA TB DENGAN KEPATUHAN MINUM OBAT PADA PENDERITA TB PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PEKAUMAN BANJARMASIN TAHUN 2016

ABSTRAK EFEK SAMPING PENGOBATAN TUBERKULOSIS DENGAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS KATAGORI 1 PADA FASE INTENSIF

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan dan kehidupan bangsa. Dalam mewujudkan hal ini secara optimal

Lampiran 1. Universitas Sumatera Utara

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pemeriksaan dahak penderita. Menurut WHO dan Centers for Disease Control

Materi Penyuluhan Konsep Tuberkulosis Paru

BAB 1 PENDAHULUAN. Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO) memperkirakan

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Mikobakterium tuberculosis dan kadang-kadang oleh Mikobakterium bovis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB 1 PENDAHULUAN. seluruh dunia. Jumlah kasus TB pada tahun 2014 sebagian besar terjadi di Asia

BAB I PENDAHULUAN. menular (dengan Bakteri Asam positif) (WHO), 2010). Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan global utama dengan tingkat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

KUESIONER PENGARUH PROMOSI KESEHATAN TERHADAP PERILAKU PENCEGAHAN TUBERKULOSIS PARU DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS 1 DAN RUMAH TAHANAN KELAS 1 MEDAN

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis complex (Depkes RI, 2008). Tingginya angka

Penyebab Tuberkulosis. Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit infeksi yang menular langsung, disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis

Pengertian. Tujuan. b. Persiapan pasien - c. Pelaksanaan

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat di dunia, terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling mematikan di

BAB 1 PENDAHULUAN. Tuberkulosis atau TB (singkatan yang sekarang ditinggalkan adalah TBC)

BAB II. Meningkatkan Pengetahuan dan, Mirandhi Setyo Saputri, Fakultas Farmasi UMP, 2014

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular yang

Tinjauan Pustaka. Tuberculosis Paru. Oleh : Ziad Alaztha Pembimbing : dr. Dwi S.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bakteri Mycobacterium Tuberkulosis (KemenKes, 2014). Kuman tersebut

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Pemberantasan penyakit. berperanan penting dalam menurunkan angka kesakitan

Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi kronis yang masih menjadi

Dasar Determinasi Kasus TB

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan terutama di Negara berkembang seperti di Indonesia. Penyebaran

Dasar Determinasi Pasien TB

I. PENDAHULUAN. secara global masih menjadi isu kesehatan global di semua Negara (Dave et al, 2009).

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Sampai saat ini penyakit Tuberkulosis Paru ( Tb Paru ) masih menjadi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

S T O P T U B E R K U L O S I S

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang dapat mengenai paru-paru

BAB 2 BAHAN, SUBJEK, DAN METODE PENELITIAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai sediaan obat uji, subjek uji dan disain penelitian.

BAB XXV. Tuberkulosis (TB) Apakah TB itu? Bagaimana TB bisa menyebar? Bagaimana mengetahui sesorang terkena TB? Bagaimana mengobati TB?

BAB I PENDAHULUAN. berkualitas. Salah satu upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah utama. kesehatan global. TB menyebabkan kesakitan pada jutaan

BAB I PENDAHULUAN. Diperkirakan sekitar 2 miliar atau sepertiga dari jumlah penduduk dunia telah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tuberkulosis paru adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium

LatihanPenemuanKasusTB dan MenentukanKlasifikasiSerta TipePasien. Kuliah EPPIT 13 Departemen Mikrobiologi FK USU

PRATIWI ARI HENDRAWATI J

BAB 3 KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP. TB Paru

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kuman Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru

BAB 1 PENDAHULUAN. Millenium Development Goals (MDGs) merupakan agenda serius untuk

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat dunia. Setiap tahunnya, TB Paru menyebabkan hampir dua juta

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Tuberkulosis Dapat Disembuhkan

PENGARUH KOINSIDENSI DIABETES MELITUS TERHADAP LAMA PENGOBATAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA TAHUN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis, dengan gejala klinis seperti batuk 2

I. PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu masalah kesehatan utama yang

BAB 1 PENDAHULUAN. TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar bakteri TB menyerang paru, tetapi

I. PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pneumonia, yaitu pneumonia yang disebabkan oleh M. tuberculosa

Transkripsi:

2.1 Tuberkulosis (TB) Paru 2.1.1 Definisi TB Paru BAB II TINJAUAN PUSTAKA TB paru adalah penyakit yang ditimbulkan karena adanya infeksi akut atau kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis yang bersifat sistemis (menyeluruh) sehingga dapat mengenai hampir seluruh organ tubuh, dengan lokasi terbanyak di paru-paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi yang pertama kali terjadi. TB paru menyebabkan reaksi jaringan yang aneh di dalam paru-paru, yang meliputi penyerbuan daerah terinfeksi oleh makrofag dan pembentukan dinding di sekitar lesi oleh jaringan fibrosa yang membentuk tuberkel. Proses pembentukan dinding ini membantu membatasi penyebaran bakteri tuberkulosis kemudian di dalam paru-paru (Algasaff, 1989). Tuberkulosis disebabkan oleh kuman, dan bukanlah penyakit keturunan. Karena disebabkan oleh kuman maka tuberkulosis dapat ditularkan dari seseorang ke orang lain. Bila seorang penderita tuberkulosis batuk-batuk misalnya, maka kuman tuberkulosis yang ada di dalam paru-parunya akan ikut dibatukkan keluar, dan bila kemudian terhirup orang lain maka kuman tuberkulosis tersebut akan ikut pula terhisap dan mungkin menimbulkan penyakit. Hanya saja memang perlu diketahui bahwa tidak semua penderita tuberkulosis paru berpotensi menularkan penyakitnya pada orang lain (Amin dan Bahar, 2006). 10

11 2.1.2 Tatalaksana Pasien TB 2.1.2.1 Penemuan Pasien TB dan Diagnosis TB Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan terduga pasien, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien (Kemenkes, 2014). Kegiatan ini membutuhkan adanya pasien yang memahami dan sadar akan keluhan dan gejala TB, akses terhadap fasilitas kesehatan dan adanya tenaga kesehatan yang kompeten untuk melakukan pemeriksaan terhadap gejala dan keluhan tersebut. Penemuan pasien TB merupakan langkah pertama dalam tatalaksana pasien TB (Kemenkes RI, 2014). Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular secara bermakna akan dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB serta sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB. Penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap: a. Kelompok khusus yang rentan terhadap atau beresiko tinggi sakit TB seperti pada pasien HIV, Diabetes melitus, dan malnutrisi. b. Kelompok yang rentan karena berada di lingkungan yang beresiko tinggi terjadinya penularan TB, seperti: lapas/rutan, tempat pengungsian, daerah kumuh, tempat kerja, asrama, dan panti jompo. c. Anak di bawah umur lima tahun yang kontak dengan pasien TB. d. Kontak erat dengan pasien TB dan pasien TB resisten obat. Tahap awal penemuan pasien TB paru dilakukan dengan menjaring mereka yang memiliki gejala utama batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,

12 malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan (Kemenkes RI, 2014). Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Berdasarkan pedoman TB nasional yang dikeluarkan oleh Kemenkes RI pada tahun 2014, menjelaskan bahwa pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 contoh uji dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS): a. S (sewaktu): dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang berkunjung pertama kali ke fasilitas pelayanan kesehatan. Pada saat pulang, terduga pasien membawa sebuah pot dahak untuk menampung dahak pagi pada hari kedua. b. P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di fasilitas pelayanan kesehatan. c. S (sewaktu): dahak ditampung di fasilitas pelayanan kesehatan pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi. Dalam upaya pengendalian TB secara nasional, maka diagnosis TB paru harus ditegakkan terlebih dahulu dengan pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud adalah pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan, dan tes cepat. Apabila pemeriksaan bakteriologis hasilnya negatif, maka penegakan diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil pemeriksaan klinis dan penunjang yang sesuai dan ditetapkan oleh dokter yang

13 telah terlatih TB. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan serologis. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang spesifik pada TB paru, sehingga dapat menyebabkan terjadi overdiagnosis ataupun underdiagnosis. Juga tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya dengan pemeriksaan uji tuberkulin. 2.1.2.2 Klasifikasi dan Tipe Pasien TB Berdasarkan pedoman TB nasional yang dikeluarkan oleh Kemenkes RI pada tahun 2014, menjelaskan bahwa tujuan dari pengklasifikasian dan pemberian tipe pada pasien TB adalah untuk kepentingan pengobatan dan surveilan penyakit, dengan maksud: a. Pencatatan dan pelaporan pasien yang tepat. b. Penetapan paduan pengobatan yang tepat. c. Standardisasi proses pengumpulan data untuk pengendalian TB. d. Evaluasi proporsi kasus sesuai lokasi penyakit, hasil pemeriksaan bakteriologis dan riwayat pengobatan. e. Analisis kohort hasil pengobatan. f. Pemantauan kemajuan dan evaluasi efektifitas program TB secara tepat baik dalam maupun antar kabupaten / kota, provinsi, nasional, dan global. Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, pasien TB dapat dikelompokkan menjadi : a. Pasien baru

14 Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan. b. Pasien kambuh (relaps) Adalah pasien TB yang telah sembuh atau mendapat pengobatan lengkap, kemudian dinyatakan sakit TB kembali dengan BTA(+). c. Pasien pengobatan setelah putus berobat Adalah pasien yang putus berobat selama 2 bulan atau lebih, kemudian dinyatakan masih sakit TB dengan hasil BTA(+) d. Pasien gagal (failure) Adalah pasien TB yang mulai pengobatan kembali setelah hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan ke-5 atau lebih, pada masa pengobatan sebelumnya. e. Pasien pindahan (transfer in) Adalah pasien yang dipindahkan dari Puskesmas/Rumah Sakit antar kabupaten/kota yang berbeda untuk melanjutkan pengobatannya. 2.1.2.3 Pengobatan Pasien TB Pengobatan TB merupakan salah satu upaya paling efisien untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari kuman TB (Kemenkes RI, 2014). Dalam proses pengobatan, pasien TB akan diberi OAT (Obat Anti Tuberkulosis) karena OAT adalah komponen terpenting dalam pengobatan TB. Tujuan pengobatan TB adalah: a. Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup b. Mencegah kematian oleh karena TB atau dampak buruk selanjutnya

15 c. Mencegah terjadinya kekambuhan TB d. Menurunkan penularan TB e. Mencegah terjadinya dan penularan TB resisten obat Berdasarkan pedoman TB pada tahun 2014, prinsip pengobatan TB adalah sebagai berikut: a. OAT adalah komponen terpenting dalam pengobatan b. Pengobatan TB merupakan salah satu upaya yang paling efisien untuk mencegah penularan lebih lanjut dari kuman TB c. Pengobatan diberikan dalam paduan OAT yang tepat mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi d. Diberikan dalam dosis yang tepat e. OAT ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO sampai selesai pengobatan f. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan Pengobatan TB harus meliputi 2 tahap yaitu: a. Tahap awal: pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resisten sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan pengobatan teratur

16 dan tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2 minggu. b. Tahap lanjutan: tahap ini merupakan tahap yang penting untuk membunuh sisa kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya kuman persister sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang digunakan dalam pengobatan TB adalah sebagai berikut: a. Isoniazid (H) b. Rimfapisin (R) c. Parazinamid (Z) d. Streptomisin (S) e. Etambutol (E) Paduan obat yang digunakan di Indonesia sesuai dengan rekomendasi WHO yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis adalah : a. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3 Paduan OAT ini diberikan kepada pasien baru yaitu pasien TB paru yang terkonfirmasi bakteriologis, pasien TB paru yang terdiagnosis klinis, dan pasien TB ekstra paru. b. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 Paduan OAT ini dberikan kepada pasien BTA(+) yang pernah diobati sebelumnya (pengobatan ulang), yaitu pasien kambuh, pasien gagal pada

17 pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya, dan pasien yang diobati kembali setelah putus obat (lost to follow-up). c. Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZA(S)/4-10HR d. Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resisten obat di Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin dan PAS, serta OAT lini ke-1 yaitu piranizamid dan etambutol. Dalam kegiatan pengobatan TB, harus selalu dilakukan pemantauan. Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis (Kemenkes RI, 2014). Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan dua contoh uji dahak (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 contoh uji dahak tersebut negatif. Bila salah satu contoh uji positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif (Kemenkes RI, 2014). Hasil dari pemeriksaan mikroskopis semua pasien sebelum memulai pengobatan harus dicatat. Pemeriksaan ulang dahak pasien TB BTA positif merupakan suatu cara terpenting untuk menilai hasil kemajuan pengobatan. Setelah pengobatan tahap awal, tanpa memperhatikan hasil pemeriksaan ulang dahak apakah masih tetap BTA positif atau sudah menjadi BTA negatif, pasien harus memulai pengobatan tahap lanjutan (tanpa pemberian OAT sisipan apabila tidak mengalami konversi). Pada semua pasien TB BTA positif, pemeriksaan

18 ulang dahak selanjutnya dilakukan pada bulan ke 5. Apabila hasilnya negatif, pengobatan dilanjutkan hingga seluruh dosis pengobatan selesai dan dilakukan pemeriksaan ulang dahak kembali pada akhir pengobatan (Kemenkes RI, 2014). 2.2 Perilaku 2.2.1 Pengertian Perilaku Perilaku menurut Skinner dalam Notoatmodjo (2003) adalah hasil hubungan antara rangsangan (stimulus) dan tanggapan (respons). Perilaku dari pandangan biologis adalah merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan. Jadi perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktifitas dari manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, perilaku manusia itu mempunyai bentangan yang sangat luas, mencakup berjalan, berbicara, bereaksi, berpakaian, dan sebagainya. Bahkan kegiatan internal (internal activity) seperti berpikir, persepsi dan emosi juga merupakan perilaku manusia. Untuk kepentingan kerangka analisis dalam penelitian ini dapat dikatakan bahwa perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh penderita TB paru dalam menjalani pengobatan, baik dapat diamati secara langsung atau secara tidak langsung. Prosedur pembentukan perilaku dalam operant conditioning menurut Skinner dalam Notoatmodjo (2003) adalah sebagai berikut : a. Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat atau reinforcer berupa hadiah-hadiah atau rewards bagi perilaku yang akan dibentuk. b. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen kecil yang membentuk perilaku yang dikehendaki. Kemudian komponen-

19 komponen tersebut disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju kepada terbentuknya perilaku yang dimaksud. c. Dengan menggunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai tujuan- tujuan sementara, mengidentifikasi reinforcer atau penguat untuk masing-masing komponen tersebut. d. Melakukan pembentukan perilaku dengan menggunakan urutan komponen yang telah tersusun itu. Apabila komponen pertama telah dilakukan maka penguatnya diberikan. Hal ini akan mengakibatkan komponen atau perilaku (tindakan) tersebut cenderung akan sering dilakukan. Kalau perilaku ini sudah terbentuk kemudian dilakukan komponen (perilaku) yang kedua, diberi penguat (komponen pertama tidak memerlukan penguat lagi), demikian berulang-ulang sampai komponen kedua terbentuk. Setelah itu dilanjutkan dengan komponen ketiga, keempat, dan selanjutnya sampai seluruh perilaku yang diharapkan terbentuk. 2.2.2 Perilaku Kesehatan Menurut Notoatmodjo (2010), perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dengan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman, serta lingkungan. Backer dalam Notoatmodjo (2010), membuat klasifikasi lain tentang perilaku kesehatan antara lain :

20 1. Perilaku hidup sehat adalah perilaku-perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya. 2. Perilaku sakit (illness behavior), yakni mencakup respon seseorang terhadap sakit dan penyakit, persepsinya terhadap sakit, pengetahuan tentang penyebab dan gejala penyakit, pengobatan penyakit dan sebagainya. 3. Perilaku peran sakit (the sick role behavior), yakni dari segi sosiologis orang sakit (pasien) mempunyai peran yang mencakup hak-hak orang sakit dan kewajiban sebagai orang sakit. Hak dan kewajiban itu harus diketahui oleh orang sakit sendiri maupun orang lain, yang selanjutnya disebut perilaku orang sakit. Perilaku ini melipuli : a. Tindakan untuk memperoleh kesembuhan. b. Mengenal atau mengetahui fasilitas atau sarana pelayanan atau penyembuhan penyakit yang layak. c. Mengetahui hak dan kewajiban orang sakit. 2.2.3 Determinan dan Perubahan Perilaku Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi karena perilaku merupakan resultansi dari berbagai faktor (Notoatmodjo, 2003). Perilaku menurut Notoatmodjo (2003) terbentuk dari dua faktor utama yakni: Stimulus merupakan faktor dari luar diri seseorang tersebut (faktor eksternal). Faktor eksternal adalah faktor lingkungn, baik lingkungan fisik

21 maupun non-fisik dalam bentuk sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Respons merupakan faktor dari diri dalam diri orang yang bersangkutan tersebut (faktor internal). Faktor internal adalah faktor yang menentukan respons seseorang terhadap stimulus seperti: perhatian, pengamatan, persepsi, motivasi, fantasi, sugesti, dan sebagainya. Green dalam Notoatmodjo (2003) menyatakan dalam teorinya bahwa perilaku itu sendiri ditentukan atau dibentuk oleh 3 faktor: a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors) yaitu faktor-faktor yang mempermudah atau mempredisposisikan terjadinya perilaku seseorang, yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilainilai, dan sebagainya. b. Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, misalnya Puskesmas, obat-obatan, laboratorium, dan sebagainya. c. Faktor-faktor pendorong atau penguat (reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan, atau petugas yang lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat. Karr dalam Notoatmodjo (2010) mengidentifikasi adanya 5 determinan perilaku, yaitu : a. Adanya niat (intention) seseorang untuk bertindak sehubungan dengan objek atau stimulus diluar dirinya.

22 b. Adanya dukungan dari masyarakat sekitarnya (social support). c. Terjangkaunya informasi (accessibility of information), adalah tersedianya informasi-informasi terkait dengan tindakan yang akan diambil oleh seseorang. d. Adanya otonomi atau kebebasan pribadi (personal autonomy) untuk mengambil keputusan. e. Adanya kondisi atau situasi yang memungkinkan (action situation). Untuk bertindak apapun memang diperlukan suatu kondisi dan situasi yang tepat WHO menganalisis bahwa ada 4 alasan pokok (determinan) yang menyebabkan seseorang berperilaku, yaitu: a. Pemikiran dan perasaan (thoughts and feeling) dapat diartikan sebagai pertimbangan-pertimbangan pribadi terhadap objek atau stimulus, merupakan modal awal untuk bertindak atau berprilaku. b. Kepercayaan (personal references). Di dalam masyarakat dimana sikap paternalistik masih kuat, maka perubahan perilaku masyarakat tergantung dari perilaku acuan (referensi) yang pada umumnya adalah para tokoh setempat. c. Sumber daya (resources) yang tersedia merupakan pendukung untuk terjadinya perilaku seseorang. d. Sosio budaya (culture) setempat biasanya sangat berpengaruh terhadap terbentuknya perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2010).

23 2.3 Kepatuhan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kepatuhan dapat didefinisikan sebagai sifat patuh atau ketaatan (taat pada perintah, aturan, dan sebagainya). Kepatuhan atau ketaatan adalah tingkat pasien dalam melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau orang lain. Haynes & Sackett (1976) mendefinisikan kepatuhan pasien sebagai sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan. Dalam hal pengobatan TB Paru, Kemenkes RI (2014) mengemukakan bahwa penderita yang patuh berobat ialah yang menyelesaikan pengobatannya secara teratur dan lengkap tanpa terputus selama minimal 6 bulan sampai dengan 8 bulan, sedangkan penderita yang tidak patuh adalah penderita yang tidak datang rutin berobat dan bila frekuensi meminum obat tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana pengobatan yang ditetapkan. Selain menyelesaikan pengobatannya secara teratur dan lengkap tanpa terputus selama minimal 6 bulan hal penderita TB paru dinyatakan patuh dalam pengobatan TB paru ialah penderita yang melakukan pemeriksaan dahak mikroskopis secara langsung yaitu : a. Akhir tahap intensif b. Sebulan sebelum akhir pengobatan c. Akhir pengobatan. Dunbar & Stunkard dalam Niven (2002) mengemukakan bahwa saat ini ketidakpatuhan pasien telah menjadi masalah serius yang dihadapi tenaga

24 kesehatan profesional. Oleh karena itu penting untuk diketahui tentang tingkat kepatuhan, faktor-faktor yang memengaruhi kepatuhan dan cara-cara untuk meningkatkan kepatuhan. Ley (1988) menyatakan bahwa 48,7% pasien gagal meminum antibiotik mereka, 37,5% gagal meminum obat-obat anti tuberkulosis, dan bahkan diantara pasien-pasien yang berusaha untuk mematuhi instruksi yang diberikan pada mereka, 25% sampai 75% mungkin meminum dosis yang salah, lebih dari 30% membuat kesalahan yang potensial berakibat fatal. Niven (2002) menyatakan bahwa derajat kepatuhan ditentukan oleh beberapa faktor: Kompleksitas prosedur pengobatan Derajat perubahan gaya hidup yang dibutuhkan Lamanya waktu dimana pasien harus mematuhi nasihat tersebut Apakah penyakit tersebut benar-benar menyakitkan Apakah pengobatan tersebut terlihat berpotensi menyelamatkan hidup Keparahan penyakit yang dipersepsikan sendiri oleh pasien dan bukan profesional kesehatan. Niven (2002) menyatakan ada empat faktor yang memengaruhi kepatuhan, diantaranya yaitu: 1. Pemahaman tentang instruksi, 2. Kualitas interaksi, 3. Isolasi sosial dan keluarga, 4. Keyakinan, sikap dan kepribadian

25 Lorenc dalam Niven (2002) menyatakan dalam kuesioner penelitiannya bahwa : 1. Kepatuhan dapat ditingkatkan dengan menyediakan informasi yang komprehensif melalui leaflet. 2. Tingkat pengetahuan pasien tidak ada yang perlu dilakukan dengan kemungkinannya untuk menjadi patuh. 3. Pasien yang mengalami perawatan dalam jangka waktu lama, kepatuhannya kurang dibandingkan dengan pasien yang mengalami perawatan dalam jangka waktu pendek. 4. Pasien yang merasa puas akan lebih patuh terhadap anjuran pengobatan. 5. Pasien diatas 65 tahun akan lebih tidak patuh dibandingkan dengan pasien yang lebih muda. 6. Orang-orang yang hidup sendiri cenderung melakukan pengobatan dibandingkan dengan pasien-pasien lainnya. 7. Frekuensi minum obat yang lebih sering, secara otomatis akan menurunkan kepatuhan. Pengkajian yang akurat terhadap individu yang tidak patuh merupakan suatu tugas yang sulit (Cluss dalam Niven, 2002). Gordin dalam Niven (2002) mengatakan bahwa perkiraan tentang kepatuhan yang dilakukan oleh profesional kesehatan dan laporan yang disampaikan oleh pasien sendiri adalah tidak akurat.

26 2.4 LandasanTeori Landasan teori yang diterapkan dalam penelitian ini berdasarkan teori Lawrence Green yang dijelaskan oleh Notoatmodjo (2003) mengenai determinan perilaku dalam hal ini perilaku yang dimaksud adalah perilaku penderita TB paru dalam melakukan pengobatan TB paru. Green dalam Notoatmodjo (2003) menyatakan dalam teorinya bahwa perilaku itu sendiri ditentukan atau dibentuk oleh 3 faktor: a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors) yaitu faktor-faktor yang mempermudah atau mempredisposisikan terjadinya perilaku seseorang, yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilainilai, dan sebagainya. b. Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, misalnya Puskesmas, obat-obatan, laboratorium pemeriksaan sputum, dan sebagainya. c. Faktor-faktor pendorong atau penguat (reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan, atau petugas yang lain, motivasi dari keluarga yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

27 2.5 KerangkaKonsep Berdasarkan penjelasan dari landasan teori diatas, maka kerangka konsep dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut: Variabel Independen Variabel Dependen Faktor Predisposisi (predisposing factors): 1. Karakteristik (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, penghasilan keluarga ) 2. Pengetahuan pasien tentang TB paru 3. Sikap pasien TB paru Faktor Pendukung (enabling factors) : 1. Jarak dari tempat tinggal ke Puskesmas 2. Ketersediaan OAT di Puskesmas Kepatuhan Pengobatan Penderita TB Paru Faktor Pendorong (reinforcing factors) : 1. Sikap Petugas Kesehatan 2. Motivasi dari keluarga Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

28 2.6 Hipotesis Hipotesis penelitian ini meliputi: 1. Ada pengaruh karakteristik responden terhadap kepatuhan pengobatan penderita TB paru di puskesmas Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang tahun 2016. 2. Ada pengaruh pengetahuan responden terhadap kepatuhan pengobatan penderita TB paru di puskesmas Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang tahun 2016. 3. Ada pengaruh sikap responden terhadap kepatuhan pengobatan penderita TB paru di puskesmas Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang tahun 2016. 4. Ada pengaruh jarak tempat responden dengan Puskesmas terhadap kepatuhan pengobatan penderita TB paru di puskesmas Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang tahun 2016. 5. Ada pengaruh ketersediaan OAT di Puskesmas terhadap kepatuhan pengobatan penderita TB di puskesmas Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang tahun 2016. 6. Ada pengaruh sikap petugas kesehatan terhadap kepatuhan pengobatan penderita TB paru puskesmas Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang tahun 2016. 7. Ada pengaruh motivasi dari keluarga terhadap kepatuhan pengobatan penderita TB paru di puskesmas Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang tahun 2016.