BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. pengaturan yang berbeda-beda, Buku I mengenai perorangan (personenrecht),

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst,

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. tentang Pembuktian dan Kadaluwarsa/Bewijs en Verjaring.

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan adanya tujuan dan

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tidak ada dirumuskan dalam undang-undang, tetapi dirumuskan sedemikian rupa

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB II PROSEDUR PERALIHAN HAK GUNA USAHA MELALUI PERIKATAN JUAL BELI SEKALIGUS ALIH FUNGSI PENGGUNAAN TANAH

BAB II PERJANJIAN DAN AKIBAT HUKUMNYA

BAB II TINJAUAN MENGENAI KONTRAK SECARA UMUM. Istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris, yakni contract yang

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. KUH Perdata, yang memiliki sifat terbuka artinya isinya dapat ditentukan oleh para

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Pasal 1313 KUH Perdata berbunyi: Suatu perjanjian adalah suatu

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN KOPERASI. Perikatan-Perikatan yang dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI. 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum,

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSINYASI

BAB II RUANG LINGKUP TENTANG PERJANJIAN. yang membuat perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang

BAB II KEDUDUKAN HUKUM BILA PENANGGUNG KEHILANGAN KECAKAPAN BERTINDAK DALAM PERJANJIAN PENANGGUNGAN

PERJANJIAN JUAL BELI RUMAH TIDAK SERTA MERTA DAPAT MEMUTUSKAN HUBUNGAN SEWA MENYEWA ANTARA PEMILIK DAN PENYEWA RUMAH

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI

BERAKHIRNYA PERIKATAN

BAB II LANDASAN TEORI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal 1313

Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW)

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada

Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN SEWA MENYEWA. Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN PENITIPAN BARANG. Dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita mendengar kata perjanjian,

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. lebih. Perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi

KLASIFIKASI PERJANJIAN KELOMPOK I DWI AYU RACHMAWATI (01) ( )

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, perikatan

pada Klinik Kesehatan Bersama di Jl.AR Hakim No.168 Medan. mengenai permasalahan yang telah dibahas penulis serta saran-saran atas

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

BAB III TINJAUAN TEORITIS. bantuan dari orang lain. Untuk itu diperlukan suatu perangkat hukum demi

BAB 2 PEMBAHASAN. Jual beli tanah..., Ni Wayan Nagining Sidianthi, FH UI, , halaman 17. Universitas Indonesia

BAB II TANGGUNG JAWAB PARA PIHAK DALAM PELAKSANAAN KONTRAK KEAGENAN MINYAK TANAH YANG DIBUAT ANTARA PARA AGEN DENGAN PERTAMINA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

BAB II HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM. A. Pengertian Umum Tentang Perjanjian. kewajiban dalam lapangan harta kekayaan. Rumusan tersebut membawa

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT. Perjanjian kredit merupakan salah satu jenis perjanjian yang segala

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN (KONTRAK) masyarakat. Istilah perjanjian berasal dari bahasa Inggris, yaitu contracts.

URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN/PERIKATAN. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst,

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani*

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. Kata perjanjian berasal dari terjemahan overeenkomst dan

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN, PERJANJIAN GADAI DAN PEGADAIAN. 1. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA. Hubungan kerja adalah hubungan antara seseorang buruh dengan seorang

BAB VI PERIKATAN (VERBINTENISSEN RECHT)

AKIBAT HUKUM DARI PERJANJIAN BAKU (STANDART CONTRACT) BAGI PARA PIHAK PEMBUATNYA (Tinjauan Aspek Ketentuan Kebebasan Berkontrak) Oleh:

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TENTANG PERJANJIAN. A. Pengertian Perjanjian dan Asas-Asas Hukum Perjanjian

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. signigfikan terhadap sistem ekonomi global dewasa ini. Teknologi telah

BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR. A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KOMPENSASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal

BAB II PERJANJIAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Perjanjian Kredit. atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu.

BAB II PENGIKATAN PERJANJIAN LISENSI DAN KETENTUAN ROYALTI DITINJAU KETENTUAN HUKUM PERJANJIAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN UTANG. Dalam Pasal 1233 KUHPerdata disebutkan bahwa tiap-tiap perikatan

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakannya dalam sebuah perjanjian yang di dalamnya dilandasi rasa

BAB II PERJANJIAN SECARA UMUM

BAB II RUANG LINGKUP PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Suatu perjanjian dikatakan persetujuan karena kedua belah pihak setuju

BAB I PENDAHULUAN. khusus (benoemd) maupun perjanjian umum (onbenoemd) masih berpedoman

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus. AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL DARI KELALAIAN DEBITUR DALAM JUAL BELI TANAH 1 Oleh : Rael Wongkar 2

BAB II SEKILAS TENTANG HUKUM PERJANJIAN DAN KONTRAK PENYEDIA JASA PEKERJA DI INDONESIA

BAB III TINJAUAN TEORITIS. menjadi sebab lahirnya suatu perikatan, selain sumber lainya yaitu undangundang.jika

BAB II TINJAUAN MENGENAI PERJANJIAN PADA UMUMNYA DAN PERJANJIAN JASA BERDASARKAN BUKU III KUHPERDATA

BAB II HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM. mengatur tentang perikatan (verbintenissenrecht), di mana tercakup pula

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1313 KUH Perdata merumuskan perjanjian, yaitu: Suatu perjanjian adalah

A. Pengertian Perjanjian. C. Unsur-unsur Perjanjian. B. Dasar Hukum Perjanjian 26/03/2017

BAB I PENDAHULUAN. manusia menjadi hal yang tidak terelakkan, terutama dalam memenuhi kebutuhan

Transkripsi:

14 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Pengaturan mengenai perjanjian terdapat di dalam Buku III KUH Perdata (selanjutnya disebut dengan KUH Perdata) yang merupakan bagian dari KUH Perdata yang terdiri atas empat buku. Keempat buku tersebut memberikan pengaturan yang berbeda-beda, Buku I mengenai perorangan (personenrecht), Buku II memuat ketentuan hukum kebendaan (zakenrecht), Buku III mengenai hukum perikatan (verbintenissenrecht), dan yang terakhir adalah Buku IV mengatur pembuktian dan daluarsa (bewijs en verjaring). Dalam buku III KUH Perdata memuat pengaturan tentang verbintenissenrecht yang di dalamnya juga tercakup istilah overeenkomst. Kata verbintenis bila diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dapat diterjemahkan kedalam dua istilah, yaitu perjanjian dan persetujuan. 7 Subekti berpendapat bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dengan demikian suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan karena kedua pihak itu bersetuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya. Perkataan kontrak adalah lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis. 8 74. 7 Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2009. hal. 8 R. Subekti (I), Hukum Perjanjian Cetakan Kedua Satu, Intermasa, Jakarta, 2005, hal.1 14

15 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja berpendapat bahwa, perjanjian adalah salah satu sumber perikatan. Perjanjian melahirkan perikatan, yang menciptakan kewajiban pada salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian. Kewajiban yang dibebankan pada debitor dalam perjanjian, memberikan hak pada pihak kreditor dalam perjanjian untuk menuntut pelaksanaan prestasi dalam perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut. Pelaksanaan prestasi dalam perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian adalah pelaksanaan dari perikatan yang terbit dari perjanjian tersebut. Dalam hal debitor tidak melaksanakan perjanjian yang telah disepakati tersebut, maka kreditor berhak untuk menuntut pelaksanaan kembali perjanjian yang belum, tidak sepenuhnya atau tidak sama sekali dilaksanakan atau yang telah dilaksanakan secara bertentangan atau tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, kerugian dan biaya yang telah dikeluarkan oleh kreditor. 9 M. Yahya berpendapat bahwa perjanjian atau verbintenis mengandung pengertian suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi. 10 Dari pengertian singkat di atas kita jumpai di dalamnya beberapa unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain : hubungan hukum (rechtsbetrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang (persoon) atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi. 11 9 Kartini Muljadi&Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 91 10 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal.6 11 Ibid., hal. 6.

16 Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perujanjian, bukan suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang kita jumpai dalam harta benda kekeluargaan. Dalam hubungan hukum kekayaan keluarga, dengan sendirinya timbul hubungan hukum antara anak dengan kekayaan orang tuanya seperti yang diatur dalam hukum waris. Berdasarkan KUH Perdata menurut ketentuan Pasal 1313 didefenisikan sebagai: Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengingatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Jika kita perhatikan dengan seksama, rumusan yang diberikan dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut ternyata menegaskan kembali bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain. Ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak) kepada satu atau prestasi dan satu atau lebih orang (pihak) lainnya, yang berhak atas prestasi tersebut. Rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, di mana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor). Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri dari satu atau lebih orang, bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari satu atau lebih badan hukum. 12 Hubungan hukum antara pihak yang satu dengan yang lain tidak bisa timbul dengan sendirinya. Hubungan itu tercipta oleh karena adanya tindakan hukum /rechtshandeling.. Tindakan/perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak 12 Kartini Muljadi&Gunawn Widjaja, Op. Cit, hal. 91-92.

17 pihaklah yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak yang lain untuk memperoleh prestasi. Sedangkan pihak yang lain itupun menyediakan diri dibebani dengan kewajiban untuk menunaikan prestasi. 13 Prestasi ini adalah objek atau voorwerp dari verbintenis. Tanpa prestasi, hubungan hukum yang dilakukan berdasar tindakan hukum sama sekali tidak mempunyai arti apa-apa bagi hukum perjanjian. Pihak yang berhak atas prestasi mempunyai kedudukan sebagai schuldeiser atau kreditor. Pihak yang wajib menunaikan prestasi berkedudukan sebagai schuldenaar atau debitor. 14 Selain itu, terhadap defenisi perjanjian yang tercantum pada Pasal 1313 KUH Perdata ini dianggap kurang begitu memuaskan karena memiliki kelemahankelemahan tersebut adalah sebagai berikut 15 : 1. Hanya menyangkut sepihak saja Hal ini dapat disimak dari perumusan satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya Kata mengikat merupakan kata kerja yang bersifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak berasal dari kedua pihak. Sedang maksud perjanjian itu adalah para pihak saling mengikatkan diri, sehingga tampaklah kekurangannya. Seharusnya pengertian perjanjian itu ditambah dengan rumusan saling mengikatkan diri. 2. Kata perbuatan mencakup juga kata consensus/kesepakatan Pengertian kata perbuatan berarti termasuk juga tindakan mengurus kepentingan orang lain (zaakwaarneming) dan perbuatan melawan hukum 88 13 M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal. 7. 14 Ibid., hal. 7. 15 Abdulkadir Muhammad (II), Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hal.

18 (onrechtmatige daad). Hal ini menunjukkan makna kata perbuatan itu sangatlah luas dan dapat menimbulkan akibat hukum. Seharusnya dalam kalimat tersebut dipakai kata persetujuan. 3. Pengertian perjanjian terlalu luas Perjanjian yang di khendaki dalam Buku Ketiga KUH Perdata adalah perjanjian yang bersifat kebendaan, bukanlah perjanjian yang bersifat personal. Sementara itu, pengertian perjanjian dalam Pasal tersebut dianggap terlalu luas, karena mencakup juga perlangsungan perkawinan, janji kawin, yang dimana hal ini diatur dalam lapangan hukum keluarga. 4. Tanpa menyebutkan tujuan Dalam perumusan Pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga para pihak yang mengikatkan diri tersebut dianggap tidak jelas tujuannya saling mengikatkan diri. Pengertian perjanjian di atas memiliki kelemahan-kelemahan, sehingga atas dasar tersebut perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian tersebut. Pengertian perjanjian yang dikemukakan para ahli di atas melengkapi kekurangan defenisi Pasal 1313 KUHPerdata, sehingga secara lengkap pengertian perjanjian adalah perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. 16 B. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: 1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya; 2. Cakap untuk membuat suatu perikatan; 16 Abdulkadir Muhammad, (II) Op, Cit. hal. 79

19 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal. Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. 17 Yang mengenai subyeknya perjanjian ialah : a. Orang yang memuat perjanjian harus cakap atau mampu melakukan perbuatan hukum tersebut. b. Ada sepakat (konsensus) yanng menjadi dasar perjanjian, yang harus dicapai atas dasar kebebasan menetukan kehendaknya (tidak ada paksaan, kekhilafan dan penipuan). 18 Dengan diperlakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti bahwa kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Para pihak tidak mendapat sesuatu tekanan yang mengakibatkan adanya cacat bagi perwujudan kehendak tersebut. Pengertian sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang setuju (overeenstemende wilsverklaring) antara pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima tawaran dinamakan akseptasi (acceptatie). 19 Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk 17 R.Subekti (I), Op.Cit, hal. 17 18 R. Subekti (II), Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Penerbit Alumni, Bandung, 1976 19 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 73-74

20 dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, dan siapa yang harus melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus melaksanakannya. Pada dasarnya sebelum para pihak sampai pada kesepakatan mengenai hal-hal tersebut, maka salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut akan menyampaikan terlebih dahulu suatu bentuk pernyataan mengenai apa yang dikehendaki oleh pihak tersebut dengan segala macam persyaratan yang mungkin dan diperkenankan oleh hukum untuk disepakati oleh para pihak. 20 Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh para pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Sehubungan dengan syarat kesepakatan mereka yang mengikatkan diri dalam KUH Perdata dicantumkan beberapa, hal yang merupakan faktor yang dapat menimbulkan cacat pada kesepakatan tersebut. Dilihat dari syarat-syarat sahnya perjanjian ini, maka Asser membedakan bagian perjanjian, yaitu bagian inti (wezenlijk oordeel) dan bagian yang bukan inti (non wezenlijk oordeel). Bagian inti disebutkan esensialia, bagian non-inti terdiri dari naturalia dan aksidentialia. Esensialia : Bagian ini merupakan sifat yang harus ada di dalam perjanjian. Sifat yang menentukan atau menyebabkan perjanjian itu tercipta (constructieve oordel). Seperti, persetujuan antara para pihak dan objek, perjanjian. 20 Kartini Muljadi&Gunawan Widjaja, Op.Cit, hal. 95

21 Naturalia : Bagian ini merupakan sifat bawaan (natuur) perjanjian sehingga secara diam-diam melekat pada perjanjian, seperti menjamin tidak ada cacat dalam benda yang dijual (vrijwaring). Aksidentialia : Bagian ini merupakan sifat yang melekat pada perjanjian dalam hal secara tegas diperjanjikan oleh para pihak, seperti ketentuanketentuan mengenai domisili para pihak. 21 Adanya kecakapan untuk bertindak dalam hukum merupakan syarat subyektif yang kedua terbentuknya perjanjian yang sah di antara para pihak. Kecakapan bertindak ini dalam banyak hal berhubungan dengan masalah kewenangan bertindak dalam hukum. jika masalah kecakapan untuk bertindak berkaitan dengan masalah kedewasaan dari orang perorangan yang melakukan suatu tindakan atau perbuatan hukum, masalah kewenangan berkaitan dengan kapasitas orang perorangan tersebut yang bertindak atau berbuat dalam hukum. 22 Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akilbaliq dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum. Dalam Pasal 1330 KUH Perdata disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian : 1.) Orang-orang yang belum dewasa; 2.) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; 3.) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. 23 Sebabnya orang yang belum dewasa dan orang yang tidak sehat pikirannya 21 Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal. 74-75 22 Ibid., hal. 127. 23 Subekti (I), Op Cit, hal. 17.

22 dianggap tidak dapat melakukan perbuatan hukum secara sah, bahwa pada umumnya dapat dikhawatirkan, kalau-kalau orang itu terjerumus dalam perangkap yang disediakan oleh pihak lain dalam pergaulan hidup. Maka untuk kepentingan orang-orang itu sendirilah adanya anggapan ketidak sanggupan untuk melakukan perbuatan hukum yang sah. Juga mereka membikin suatu perjanjian dengan orang lain, hanya mereka sendiri dan bukannya pihak lawan diberikan hak untuk minta pembatalan dari perjanjian itu. 24 Dengan demikian persetujuan semacam ini pelaksanaannya selalu tergantung dari apa maunya pihak yang belum dewasa atau pihak yang berada dalam pengawasan curatele yaitu mau melaksanakan pembatalan dari persetujuan yang bersangkutan. Kontrak semacam ini sering dinamakan kontrak pincang (hinkend contract). 25 Menurut Pasal 433 KUH Perdata, orang-orang yang diletakkan di bawah pengampuan adalah setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap dan boros. Dalam hal ini bentuk undang-undang memandang bahwa yang bersangkutan tidak mampu menyadari tanggung jawabnya dan karena itu tidak cakap bertindak untuk mengadakan perjanjian. Apabila seorang yang belum dewasa dan mereka yang diletakkan di bawah pengampuan itu mengadakan perjanjian, maka yang mewakilinya masing-masing adalah orang tua atau pengampunya. 26 Kecakapan seorang perempuan yang bersuami dalam KUH Perdata, ada hubungan dengan sistem yang dianut dalam Hukum Perdata Barat (Belanda) yang 24 R.Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Sumur Bandung, Jakarta, 1973, hal. 18 25 Ibid, hal. 18. 26 Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit, hal.78

23 menyerahkan kepemimpinan keluarga itu kepada sang suami. Oleh karena ketentuan tentang ketidakcakapan seorang perempuan yang bersuami itu di Negeri Belanda sendiri sudah dicabut karena dianggap tidak sesuai lagi dengan kemajuan zaman, maka sebaiknya ketentuan tersebut di Indonesia juga dihapuskan. Memang dalam praktek notaris sekarang sudah mulai mengizinkan seorang istri, yang tunduk kepada Hukum Perdata Barat membuat suatu perjanjian di hadapannya, tanpa bantuan suami. Surat edaran Mahkamah Agung No. 3/1963 tanggal 4 Agustus 1963 kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia bahwa Mahkamah Agung menganggap pasal-pasal 108 dan 110 KUH Perdata tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya, sudah tidak berlaku lagi. 27 Syarat obyektif sahnya perjanjian dapat ditemukan dalam: a) Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 KUH Perdata mengenai keharusan adanya suatu hal tertentu dalam perjanjian. b) Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 KUH Perdata yang mengatur mengenai kewajiban adanya suatu sebab yang halal dalam setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak. 28 Tentang Hal Tertentu dalam Perjanjian KUH Perdata menjelaskan maksud hal tertentu, dengan memberikan rumusan dalam Pasal 1333 KUH Perdata, yang berbunyi sebagai berikut: Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya. 27 Subekti (I), Op. Cit, hal.19 28 Kartini Muljadi&Gunawan Widjaja, Op. Cit, hal. 155

24 Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung. Secara sepintas, dengan rumusan pokok perjanjian berupa barang yang telah ditentukan jenisnya tampaknya KUH Perdata hanya menekankan pada perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu. Namun demikian jika diperhatikan lebih lanjut, rumusan tersebut hendak menegaskan kepada kita semua bahwa apapun jenis perikatannya, baik itu perikatan untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu, KUH Perdata hendak menjelaskan, bahwa semua jenis perikatan tersebut pasti melibatkan keberadaan atau eksistensi dari suatu kebendaan yang tertentu. 29 Jumlah benda itu tidak perlu ditentukan dahulu, asal saja kemudian dapat ditentukan. Misalnya seorang pedagang mempunyai beras dalam gudangnya dan berjanji menjual semua atau sebagian dari beras itu kepada orang lain dengan harga sekian rupiah sekilogramnya. Perjanjian ini diperbolehkan, oleh karena kemudian secara menimbang dapat ditentukan berapa kilogramnya beras yang sebetulnya dijual. 30 Pada perikatan untuk melakukan sesuatu, dalam pandangan KUH Perdata, hal yang wajib dilakukan oleh salah satu pihak dalam perikatan tersebut (debitor) pastilah juga berhubungan dengan suatu kebendaan tertentu, baik itu berupa kebendaan berwujud maupun kebendaan tidak berwujud. 31 Tentang Sebab yang Halal Sebab yang halal diatur dalam Pasal 1335 hingga Pasal 1337 KUH Perdata. Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan bahwa: 29 Ibid., hal. 155 30 R. Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit, hal. 22 31 Kartini Muljadi&Widjaja Gunawan, Op, Cit. hal. 156

25 Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan. KUH Perdata tidak memberikan pengertian atau defenisi dari sebab yang dimaksud dalam Pasal 1320 Perdata. Hanya saja dalam Pasal 1335 KUH Perdata, dijelaskan bahwa yang disebut dengan sebab yang halal adalah: 1.1 Bukan tanpa sebab; 1.2 Bukan sebab yang palsu; 1.3 Bukan sebab yang terlarang. 32 Sebab ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian. Dengan segera harus dihilangkan suatu kemungkinan salah sangka, bahwa sebab itu adalah sesuatu yang menyebabkan seorang membuat suatu perjanjian dorongan jiwa untuk membuat suatu perjanjian pada asasnya tidak diperdulikan undang-undang. Hukum pada asasnya tidak menghiraukan apa yang berada dalam gagasan seorang atau apa yang di cita-citakan seorang. Yang diperhatikan oleh hukum atau undang-undang hanyalah tindakan orang-orang dalam masyarakat. 33 C. Jenis-Jenis Perjanjian Menurut Pasal 1314 KUH Perdata suatu persetujuan dibuat dengan cumacuma atau atas beban. Suatu perjanjian/persetujuan dengan cuma-cuma adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri, misalnya hibah, pemberian, anugrah dan wasiat. Suatu persetujuan atas beban ialah suatu persetujuan yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. 32 Ibid, hal. 161 33 Subekti (I), Op. Cit. hal. 20

26 Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara yaitu sebagai berikut: 1. Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak. Perjanjian timbal balik ialah perjanjian-perjanjian yang menimbulkan kewajiban-kewajiban pokok pada kedua belah pihak, misalnya: jual beli, sewa menyewa dan sebagainya. 2. Perjanjian bernama dan perjanjian tak bernama. Perjanjian bernama (benoemd) ialah perjanjian yang mempunyai nama tersendiri yang diberikan (ditentukan) boleh undang-undang berdasarkan tipe (bentuk) yang paling banyak terjadi sehari-hari walaupun jumlahnya terbatas. Perjanjian itu juga disebut perjanjian khusus. Perjanjian tak bernama adalah perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata tetapi hidup dalam kehidupan masyarakat. 34 3. Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligator Perjanjian kebendaan ialah suatu perjanjian untuk mengadakan suatu hak kebendaan, yaitu perjanjian dengan mana hak milik dari seorang atas sesuatu beralih kepada pihak lain, misalnya hipotik. 35 Perjanjian obligator ialah perjanjian dimana para pihak terikat untuk melakukan kewajiban kepada pihak lain, dengan perkataan lain perjanjian ini menimbulkan perikatan. 4. Perjanjian yang konsensuil dan yang riil. Perjanjian konsensuil ialah perjanjian yang terjadi dengan adanya kata sepakat untuk mengadakan perikatan. 34 Wan Sadjarudidin Baros, Beberapa Sendi Hukum Perikatan, USU PRESS, Medan, 1992, hal. 25 35 Ibid., hal. 26

27 Perjanjian riil ialah perjanjian dimana selain diperlukan adanya kata sepakat untuk mengadakan perikatan. Perjanjian rill ialah perjanjian dimana selain diperlukan adanya kata sepakat juga dilanjutkan dengan penyerahan barang, misalnya penitipan barang. 5. Perjanjian-perjanjian yang istimewa sifatnya. a. Perjanjian liberator ialah perjanjian dimana atas dasar kata sepakat para pihak membebaskan diri dari perikatan (kewajiban) yang ada, misalnya Pasal-Pasal 1438, 1440 dan 1442 KUH Perdata. b. Perjanjian pembuktian yaitu dimana para pihak bebas menentukan alat-alat pembuktian yang akan mereka pergunakan dalam suatu proses. Perjanjian pembuktian (bewijs overeenkomst). c. Perjanjian untung-untungan yaitu suatu perjanjian dimana satu pihak melaksanakan kewajiban (memberikan prestasi) terlebih dahulu dengan harapan akan menerima yang lebih besar dari apa yang telah diberikannya pada suatu waktu yang tertentu atau telah ditentukan, misalnya perjanjian asuransi. d. Perjanjian publik yaitu perjanjian yang seluruhnya atau untuk sebagian oleh hukum publik karena salah satu pihak adalah penguasa bertindak sebagai penguasa, misalnya perjanjian ikatan dinas. 36 D. Akibat Hukum Perjanjian 1. Perjanjian Hanya Berlaku di Antara Para Pihak Yang Membuatnya Pasal 1340 ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa perjanjianperjanjian yang dibuat hanya berlaku di antara para pihak yang 36 Ibid., hal.7

28 membuatnya. Ini berarti bahwa setiap perjanjian, hanya membawa akibat berlakunya ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata bagi para pihak yang terlibat atau membuat perjanjian tersebut. Jadi apa yang menjadi kewajiban atau prestasi yang harus dilaksanakan oleh debitor dalam perjanjian hanya merupakan dan menjadi kewajibannya semata-mata. Dalam hal terdapat seorang pihak ketiga yang kemudian melaksanakan kewajibannya tersebut kepada kreditor, maka ini tidak berarti debitor dilepaskan atau dibebaskan dari kewajibannya tersebut. Pihak ketiga yang melakukan pemenuhan kewajiban debitor, demi hukum diberikan hak untuk menuntut pelaksanaan kewajiban debitor (yang telah dipenuhi oleh pihak ketiga tersebut kepada kreditor) dari debitor. Demikianlah Pasal 1400 KUH Perdata merumuskan: Subrogasi atau penggantian hak-hak kreditor oleh seorang pihak ketiga yang membayar kepada kreditor itu, terjadi, baik dengan perjanjian, maupun demi undang-undang. Dengan demikian jelaslah bahwa prestasi yang dibebankan oleh KUH Perdata bersifat personal dan tidak dapat dialihkan begitu saja. 37 Di dalam istilah secara sah pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa pembuataan perjanjian harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Semua persetujuan yang dibuat menurut hukum atau secara sah (Pasal 1320 KUHPerdata) adalah mengikat sebagai undang-undang terhadap para pihak. 38 Dengan ketentuan tersebut jelas bahwa apa yang sudah di sepakati oleh siapapun juga, kecuali jika hal tersebut memang di 37 Kartini Muljadi&Gunawan Widjaja. Op, Cit. hal.166 38 Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit. hal. 82

29 khendaki secara bersama oleh para pihak, ataupun ditentukan demikian oleh undang-undang berdasarkan suatu perbuatan hukum atau peristiwa hukum atau keadaan hukum tetentu. 39 2. Mengenai Kebatalan atau Nulitas Dalam Perjanjian Pada dasarnya perjanjian bersifat konsensuil, namun demikian terdapat perjanjian-perjanjian tertentu yang mewajibkan dilakukan sesuatu tindakan yang lebih dari hanya sekedar kesepakatan lisan, sebelum pada akhirnya perjanjian tersebut dianggap sah dan kiranya mengikat serta melahirkan perikatan di antara para pihak yang membuatnya. 40 Dalam perjanjian konsensuil, seperti telah dijelaskan, keabsahannya ditentukan oleh terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat yang ditentukan oleh undangundang, dalam hal ini Pasal 1320 KUH Perdata. Jika suatu perjanjian yang dibuat tersebut tidak memenuhi salah satu atau lebih persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, maka perjanjian tersebut tidak sah, yang berarti perjanjian itu terancam batal. Hal ini mengakibatkan nulitas atau kebatalan menjadi perlu untuk diketahui oleh tiap pihak yang mengadakan perjanjian. Oleh karena masing-masing perjanjian memiliki karakteristik dan cirinya sendiri-sendiri, maka nulitas atau kebatalan dari suatu perjanjian juga memiliki karakteristik dan cirinya sendiri-sendiri. 41 E. Berakhirnya Suatu Perjanjian Berakhirnya perjanjian juga memiliki sinonim lain, seperti berakhirnya kontrak dan hapusnya perikatan (KUH Perdata Pasal 1381). Secara umum, 39 Kartini Muljadi&Gunawan Widjaja, Op. Cit. hal. 166 40 Ibid., hal. 171 41 Ibid., hal. 172

30 berakhirnya perjanjian merupakan selesai atau hapusnya suatu perjanjian yang dibuat di antara dua pihak, yaitu pihak kreditor dan debitor, tentang sesuatu hal. Pihak kreditor dipahami sebagai pihak atau orang yang berhak atas suatu prestasi sesuai dengan isi perjanjian. Pihak debitor adalah pihak yang berkewajiban untuk memenuhi suatu prestasi sesuai dengan apa yang diperjanjikan. Apabila perjanjian berjalan lancar dan dipenuhi dengan seksama maka pemenuhan itu tanda pengakhiran suatu perjanjian otomatis. 1. Hukum Dasar Berakhirnya Perjanjian Sampai saat ini, pedoman atau dasar hukum yang dipakai sebagai landasan berakhirnya perjanjian (perikatan) masih merujuk pada isi Pasal 1381 KUH Perdata, yang dalam beberapa hal telah ketinggalan zaman. Menurut Pasal 1381 KUH Perdata, perikatan-perikatan dapat hapus: 1. Karena pembayaran; 2. Karena penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan; 3. Karena pembaruan utang; 4. Karena perjumpaan utang atau kompensasi; 5. Karena percampuran utang; 6. Karena pembebasan utangnya; 7. Karena musnahnya barang yang terutang; 8. Karena kebatalan atau pembatalan; 9. Karena berlakunya suatu syarat batal, yang diatur dalam bab pertama buku ini; 10. Karena lewatnya waktu, hal mana akan diatur dalam satu bab tersendiri. ad.1. Pembayaran Pembayaran ialah setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela, misalnya pembayaran uang oleh pembeli, pemenuhan perjanjian kerja oleh buruh. Perikatan selalu dibayar oleh debitor, juga oleh setiap orang yang berkepentingan, misalnya orang yang turut berutang atau seorang penanggung (borg) dan orang yang tidak berkepentingan misalnya

31 pihak ketiga yang melakukan pembayaran. Dalam melakukan pembayaran, pihak ketiga dapat bertindak atas nama si berutang atau nama sendiri. Jika pembayaran dilakukan atas nama si terutang, berarti pembayaran dilakukan oleh si pembayar sendri, jika pembayaran dilakukan atas nama sendiri berarti pihak ketigalah yang membayarnya. 42 ad.2. Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpan atau penitipan. Dalam suatu perjanjian mungkin terjadi kreditor menolak pembayaran dengan alasan tertentu. Contoh: A harus membayar sejumlah uang sebagai harga pembelian barang kepada B. Akan tetapi karena harga barang tersebut naik, B tidak mau menerimanya apabila A tidak menambah jumlah uang sesuai dengan harga barang yang telah naik untuk membebaskan dirinya dari kewajiban tersebut, A dapat menawarkan pembayaran diikuti dengan penitipan. Prosedur pelaksanaan pembayaran diikuti oleh penitipan atau penyimpanan adalah sebagai berikut: Uang atau barang yang akan dibayarkan itu ditawarkan secara resmi oleh seorang notaris atau seorang juru sita pengadilan kepada kreditor. Apabila kreditor mau menerima uang atau barang yang ditawarkan itu maka selesailah pekara pembayaran itu. Apabila kreditor menolak penawaran, maka notaris atau juru sita membuat proses verbal dan kreditor di minta untuk menandatanginya. Proses verbal ini merupakan 42 Komariah, Hukum Perdata, Universitas Muhammaddiyah Malang, Malang, 2005, hal. 200

32 surat bukti bahwa kreditor menolak pembayaran. Langkah selanjutnya, debitor mengajukan permohonan kepada pengadilan supaya pengadilan mengesahkan penawaran pembayaran yang telah di lakukan itu. Setelah penawaran pembayaran itu di sahkan, maka uang atau barang yang akan dibayarkan itu di simpan atau di titipkan kepada panitera Pengadilan Negeri dan dengan demikian hapuslah piutang itu. Uang atau barang tersebut berada dalam simpanan Kepaniteraan Pengadilan Negeri atas risiko kreditor. ad 3. Pembaharuan utang Menurut Pasal 1413 KUH Perdata ada 3 macam jalan untuk melaksanakan pembaharuan utang atau novasi, yaitu: a. Apabila seorang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna orang yang mengutangkan kepadanya, yang menggantinya utang yang lama, yang dihapuskan karenanya. b. Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang terutang lama, yang oleh si berpiutang dibebaskan dari perikatannya. c. Apabila sebagai akibat suatu persetujuan baru, seorang berpiutang baru ditunjuk dengan menggatikan orang berpiutang lama, terhadap siapa si berutang dibebaskan dari perikatannya. ad. 4. Perjumpaan utang atau kompensasi Perjumpaan utang atau konpensasi ialah suatu cara hapusnya perikatan dengan jalan memperhitungkan utang piutang secara timbal balik antara kreditor dengan debitor. Jadi pihak-pihak yang mengadakan perikatan itu masing-masing merupakan debitor satu sama lain.

33 ad.5. Percampuran utang Percampuran utang adalah salah satu hapusnya perikatan karena kedudukan sebagai kreditor dan debitor berkumpul pada satu orang. Percampuran ini terjadi secara otomatis atau demi hukum. ad.6. Pembebasan utang Pembebasan utang adalah pernyataan dengan tegas si berpiutang atau si kreditor bahwa ia tidak menghendaki lagi prestasi dari si debitor dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian. Apabila terjadi pembebasan uang, maka hapuslah hubungan utang piutang antara kreditor dan debitor. Pembebasan utang tidak boleh dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan. ad.7. Musnahnya barang yang terutang Menurut Pasal 1444 KUH Perdata, jika barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian musnah tak dapat lagi diperdagangkan atau hilang, maka perikatan hapus asal musnahnya atau hilangnya barang itu di luar kesalahan si berutang (debitor) dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Jadi menurut ketentuan tersebut, apabila barang yang menjadi musnah di luar kesalahan debitor, maka debitor tidak diwajibkan memberikan prestasi kepada kreditor. Pasal ini lahir dari ketentuan Pasal 1237 KUH Perdata, yang merupakan satu-satunya Pasal yang mengatur tentang risiko dalam ketentuan umum tentang perikatan yang menentukan bahwa risiko atas suatu benda dalam perikatan untuk memberikan sesuatu dipikul oleh kreditor sejak perikatan tersebut dilahirkan. ad.8. Batal/Pembatalan

34 Meskipun dalam KUH Perdata disebutkan batal atau pembatalan, tetapi yang dimaksudkan adalah dapat dibatalkan. Sebab apabila perjanjian itu batal demi hukum maka tidak ada suatu perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, sehingga tentu saja tidak dapat dihapus. ad.9. Berlakunya syarat batal Yang dimaksud dengan berlakunya syarat batal ialah syarat yang apabila dipenuhi akan menghentikan atau mengakhiri perjanjiannya, dan membawa segala sesuatu kembali kepada keadaan semula seolaholah tidak pernah ada suatu perjanjian. Berlakunya syarat batal ini berkaitan dengan adanya perjanjian bersyarat dengan syarat batal, yaitu perikatan yang berdasarkan pada peristiwa yang masih akan datang dan yang masih belum tentu terjadi secara membatalkan perikatan. ad.10. Lewatnya waktu atau verjaring Lewat waktu atau daluwarsa ialah suatu upaya umtuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. 2. Berakhirnya karena Undang-Undang dan Perjanjian Rumusan berakhirnya perjanjian dalam KUH Perdata tidak menjelaskan apakah karena perjanjian atau undang-undang. Namun, secara tersirat KUH Perdata telah mengatakan atau memuat hal itu secara inklusif. Dari Praktik, dapat diamati perjanjian (perikatan) yang berakhir karena undang-undang adalah: a. Konsinyasi;

35 b. Musnahnya barang terutang; dan c. Daluarsa. Adapun perjanjian (perikatan) yang berakhir karena perjanjian adalah: 1. Pembayaran; 2. Novasi (pembaruan utang) 3. Kompensasi; 4. Percampuran utang (konfusio); 5. Pembebasan utang; 6. Kebatalan atau pembatalan; dan 7. Berlaku syarat batal. Dalam praktik, ditemukan juga fakta cara berakhirnya perjanjian (perikatan) yang disebabkan oleh : a) Jangka waktunya berakhirnya, b) Dilaksanakan objek perjanjian, c) Kesepakatan kedua belah pihak, d) Pemutusan perjanjian secra sepihak oleh salah sati pihak, dan e) Adanya keputusan pengadilan. Demikian garis besar bagaimana dan kapan berakhirnya suatu perjanjian dengan segala konsekuensi hukumnya. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, hukum perjanjian termasuk materi hukum rumit yang mengatur tentang kegiatan kehidupan sehari-hari, walaupun skalanya mungkin berbeda antara satu orang dengan yang lain. 43 43 BN. Marbun, Membuat Perjanjian Yang Aman & Sesuai Hukum, Puspa Swara, Jakarta, 2009, hal. 23-25