BAB II PERJANJIAN SECARA UMUM

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PERJANJIAN SECARA UMUM"

Transkripsi

1 BAB II PERJANJIAN SECARA UMUM A. Pengertian Perjanjian dan Jenis-Jenis Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Untuk membuat suatu perjanjian hendaknya kita lebih dulu memahami arti dari perjanjian tersebut. Apabila dilihat di literatur banyak kita temui beraneka ragam pengertian perjanjian itu, dimana masing-masing dari sarjana memberikan pengertian sendiri-sendiri, hal mana pengertian tersebut dibuat oleh pakar hukum, oleh karena hal inilah kita tidak menemukan keseragaman pengertian perjanjian. Sebelum kita lebih jauh membahas tentang perjanjian ada baiknya kita terlebih dahulu membahas mengenai perikatan, sebab kita ketahui perjanjian itu tidak terlepas dari perikatan. Dimana disini nampak jelas bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji pada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melakukan sesuatu hal. Dari peristiwa itu dapat ditimbulkan suatu perhubungan antara dua orang itu yang dinamakan perikatan. Perjanjian tersebut menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya, dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Dengan demikian maka hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah sumber perikatan, disampingnya sumber-sumber lain. Perjanjian adalah sumber yang terpenting yang melahirkan perikatan. Dari ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata menyatakan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan baik karena Undang-Undang. Dari ketentuan pasal diatas mengandung arti bahwa suatu perikatan bersumber pada suatu perjanjian selain Undang-Undang. Dan dijelaskan pula di dalam buku ketiga KUHPerdata mengatur tentang Verbetenissenrecht diartikan sebagai perikatan dan overeenkomst diartikan sebagai perjanjian. Namun secara implisit buku ketiga KUHPerdata tidak menjelaskan defenisi perikatan oleh karena itu para ahli memberikan rumusan tentang perikatan ini beraneka ragam. Dari hal ini para ahli memberikan rumusan masing-masing.

2 Subekti, 10 memberikan rumusan perikatan sebagai berikut: Perikatan adalah hubungan antara dua orang atau dua pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Hofman 11 memberikan pengertian tentang perikatan adalah : Perikatan adalah suatu hubungan antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang dari padanya (debitur/para kreditur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak lain yang berhak atas sikap yang demikian itu. Wan Sadjaruddin Baros, 12 dalam bukunya Sendi Hukum Perikatan menyatakan: Perikatan itu ialah hubungan hukum antara dua orang (pihak) atau lebih dalam harta kekayaan yang menimbulkan hak di satu pihak dan kewajiban di pihak lain. Dari beberapa pendapat para sarjana diatas maka dapat disimpulkan bahwa dalam suatu perikatan (verbintenis) terkandung hal-hal sebagai berikut: 1. Adanya hubungan hukum 2. Biasanya mengenai kekayaan atau harta benda 3. Antara dua orang / pihak atau lebih 4. Memberikan hak kepada pihak yang satu, yaitu kreditur 5. Meletakkan kewajiban pada pihak yang lain, yaitu debitur 6. Adanya prestasi Setelah kita lebih mengetahui pengertian perikatan maka kita kembali pada pembahasan perjanjian, yang mana diatas telah dijelaskan bahwa perikatan bersumber pada perjanjian, dan selain perjanjian masih ada lagi sumber lain yang menerbitkan perikatan yaitu Undang-Undang. Pendapat beberapa sarjana mengenai pengertian perjanjian yaitu : Hartono Suprapto, 14 memberikan rumusan bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang lain itu saling berjanji untuk melakukan sesuatu hal. M. Yahya Harahap, 15 memberikan pengertian perjanjian atau verbintennis mengandung suatu pengertian suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata. PT. Internusa. Jakarta 1989, hal Hofman, Pokok Hukum Perikatan, Bandung, Bina Cipta, 2003, hal 2 12 W.S.Baros, Sendi Hukum Perikatan, Bandung, Bina Cipta, 1997, hal I.G.Rai Widjaya, Merancang suatu Kontrak, Jakarta, Kesaint Blanc, 2003, hal Hartono Suprapto, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bandung, 1999, hal 12

3 dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hukum pada satu pihak untuk memperoleh potensi dan sekaligus mewajibkan pihak lain untuk menaikkan prestasi. Wiryono Prodjodikoro, 16 mengemukakan perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai benda antara dua pihak dalam mana salah satu pihak berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu. Pengertian perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata adalah Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Dalam membuat perjanjian, kedudukan antara para pihak yang mengadakan perjanjian sama dan sederajat. Pengertian perjanjian tersebut ternyata mempunyai arti yang luas dan umum sekali, tanpa menyebutkan untuk tujuan apa suatu perjanjian dibuat. Hanya menyebutkan tentang pihak yang satu atau lebih, mengikatkan dirinya pada pihak lainnya. Karena itu, suatu perjanjian akan lebih tegas artinya, jika pengertian perjanjian diartikan sebagai suatu persetujuan dimana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam bidang harta kekayaan. Dalam membuat suatu perjanjian, dikenal adanya asas kebebasan berkontrak dan menganut sistem terbuka. Maksud asas tersebut, setiap orang pada dasarnya boleh membuat perjanjian mengenai apa saja. Peraturan mengenai hukum perjanjian pada umumnya juga bersifat menambah atau pelengkap, dimana pihak-pihak dalam membuat perjanjian, bebas untuk menyimpang dari ketentuan yang ada. Kebebasan itu menurut Undang-Undang dibatasi sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Suatu perjanjian itu dinamakan persetujuan, karena dua pihak setuju untuk melakukan sesuatu, dan juga bahwa perikatan merupakan persetujuan hukum yang konkrit atau riil, hal itu karena dapat dilihat adanya dua orang atau dua pihak yang mengucapkan atau menulis janji-janji dan kepadanya saling ditandai kesepakatan mereka berjabat tangan atau menandatangani suatu rumusan perjanjian istilah kontrak ditujukan pada perjanjian tertulis. Jadi dapat disimpulkan bahwa persetujuan atau perjanjian itu adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. 15 M.Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung, 2002, hal 6 16 Wiryono Prodjodikoro, Op.cit., hal 6

4 Apabila kita melihat dari sistemnya maka hukum perjanjian itu menganut sistem terbuka, artinya bahwa macam-macamnya hak atas benda adalah terbatas dan peraturanperaturan yang mengenai hak-hak atas benda itu bersifat memaksa, sedangkan hukum perjanjian sendiri memberikan kebebasan yang seluas luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi dan apa saja asal tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Dari kejelasan diatas dapat diartikan bahwa pengertian perjanjian yang diberikan para pakar sesuai dengan sistem hukum perjanjian yaitu sistem terbuka dimana para pihak diberikan kebebasan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu namun juga terikat akan perjanjian tersebut asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. 17 Di dalam suatu perjanjian pada umumnya memuat beberapa unsur, yaitu : Pihak-pihak, paling sedikit ada dua orang. Para pihak yang bertindak sebagai subyek perjanjian, dapat terdiri dari orang atau badan hukum. Dalam hal yang menjadi pihak adalah orang, harus telah dewasa dan cakap untuk melakukan hubungan hukum. 2. Persetujuan antara para pihak, sebelum membuat suatu perjanjian atau dalam membuat suatu perjanjian, para pihak memiliki kebebasan untuk mengadakan tawar menawar di antara mereka. 3. Adanya tujuan yang akan dicapai, baik yang dilakukan sendiri maupun oleh pihak lain, selaku subyek dalam perjanjian tersebut. Dalam mencapai tujuannya, para pihak terikat dengan ketentuan bahwa tujuan tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. 4. Ada prestasi yang harus dilaksanakan, para pihak dalam suatu perjanjian mempunyai hak dan kewajiban tertentu, yang satu dengan yang lainnya saling berlawanan. Apabila pihak yang satu berkewajiban untuk memenuhi suatu prestasi, bagi pihak lain hal tersebut merupakan hak, dan sebaliknya. 5. Ada bentuk tertentu, suatu perjanjian dapat dibuat secara lisan maupun tertulis. Dalam hal suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis, dibuat sesuai dengan ketentuan yang ada. 17 I.G.Rai Widjaya, Op.cit., hal Mohd. Syaufii Syamuddin, Perjanjian-perjanjian dalam hubungan industrial, jakarta, Sarana Bhakti Persada, 2005, hal 5

5 6. Syarat-syarat tertentu, dalam suatu perjanjian, isinya harus ada syarat-syarat tertentu, karena suatu perjanjian yang sah, mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Agar suatu perjanjian dapat dikatakan sebagai suatu perjanjian yang sah, perjanjian tersebut telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Sebagaimana diatur pada Pasal 1329 KUHPerdata yang menyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan cakap. Pasal 1330 KUHPerdata menyebutkan, tidak cakap membuat persetujuan adalah : 1.Orang-orang yang belum dewasa 2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan 3. Orang-orang yaitu perempuan, dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada undang-undang telah melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu. Kriteria orang yang belum dewasa menurut Pasal 330 KUHPerdata adalah : Ayat 1 : Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin. Ayat 2 : Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap 21 tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa. Ayat 3 : Mereka yang belum dewasa dan tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana diatur dalam bagian ketiga, keempat, kelima dan keenam bab ini. Sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 330 KUHPerdata tadi dan dari pasal ini dapat diketahui bahwa undang-undang menetapkan batas usia seseorang itu dinyatakan dewasa yaitu 21 tahun, diluar ketentuan ini seseorang tersebut masih dinyatakan belum dewasa, dengan demikian maka ia tersebut tidak dapat atau tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum dalam hal perjanjian. Pengecualian dari ketentuan diatas dapat dilihat dalam ayat 2 yang antara lain menyatakan, apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap 21 tahun, maka mereka tidak kembali dalam kedudukan belum dewasa. Tegasnya seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun tetapi telah melangsungkan perkawinan menurut ketentuan hukum perdata telah dinyatakan dewasa. Dan apabila mereka bercerai sedang usia mereka masih dibawah 21 tahun maka keadaan ini tidak menyebabkan berubahnya kedudukan mereka, artinya kedudukan dewasa yang

6 diperbolehkan karena perkawinan itu tetap melekat padanya walaupun perkawinan mereka berakhir. Lain halnya orang yang ditaruh dibawah pengampuan dimana orang tersebut karena keadaan-keadaan tertentu dinyatakan tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Misalnya karena dungu, gila atau karena pemboros. Maka untuk melakukan perbuatan hukum mereka dibantu oleh kuratornya. Menurut Pasal 1446 KUHPerdata, orang-orang yang belum dewasa bila melakukan perbuatan hukum, maka akibatnya dapat dibatalkan, oleh anak yang belum cukup umur itu (dalam hal ini dilakukan oleh orang tuanya atau walinya) dapat diminta pada hakim agar perjanjian tersebut dibatalkan, jadi pihak lawan tidak dapat minta pembatalan tersebut, dia telah membuat perjanjian, maka perjanjian itu dapat saja dimintakan pembatalannya kepada hakim oleh pengampunya. Dalam pengertian orangorang dibawah pengampuan itu, juga termasuk kedalamnya orang-orang yang sakit jiwa, pemabuk dan sebagainya. Sehingga mereka tidak cakap untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum. Dengan demikian otomatis orang-orang ini tidak cakap untuk membuat perjanjian. Jadi dengan demikian dewasa ini seorang istri dapat saja menjadi subjek dalam hukum perjanjian, karena dia juga cakap dalam melakukan perbuatan hukum dengan sempurn, meskipun ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata belum dicabut atau dirubah secara resmi oleh pembuat undang-undang negara kita. Dalam perkembangan selanjutnya oleh ilmu pengetahuan hukum diakui, bahwa bukan hanya manusia saja yang dapat mengadakan perhubungan hukum, tetapi ada suatu badan lain yaitu badan hukum, yang juga dapat bertindak dalam berbagai lapangan hukum. Pasal 1654 KUHPerdata menyebutkan bahwa, Semua badan hukum yang berdiri dengan sah, begitu pula orang-orang swasta, berkuasa untuk melakukan perbuatanperbuatan perdata, tanpa mengurangi perundang-undangan yang mengubah kekuasaan itu, membatasinya atau menundukkannya kepada cara tertentu. Berdasarkan ketentuan diatas maka saya menyatakan bahwa badan hukum juga dapat melakukan tindakantindakan hukum seperti halnya perjanjian. Badan hukum sebagai gejala sosial adalah suatu gejala yang nyata dalam pergaulan hukum. Yang menjadi unsur dalam suatu badan hukum ialah harus mempunyai tujuan tertentu dan mempunyai suatu kekayaan yang sama sekali terpisah

7 dari kekayaan anggotanya. Badan hukum ini dapat berupa suatu negara, suatu daerah otonom, suatu perkumpulan orang, suatu perusahaan atau yayasan. Objek dalam perjanjian adalah hal yang diwajibkan atau suatu hal yang diwajibkan atau suatu hal yang terhadap mana seseorang mempunyai hak. Dalam suatu perjanjian antara seorang manusia dengan manusia lain atau antara subjek-subjek hukum lain, maka yang menjadi objeknya berupa barang atau benda, terhadap barang atau benda mana orang atau badan hukum mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Misalnya dalam perjanjian jual beli mobil, maka yang menjadi objek perjanjian adalah mobil tersebut, terhadap mobil mana si pemilik dapat mengambil manfaat, seperti menjualnya dan sebagainya. Dengan melihat beberapa ketentuan undang-undang mana yang menjadi objek dari perjanjian itu dapat kita kemukakan sebagai berikut : 1. Barang-barang yang dapat diperdagangkan Pasal 1332 KUHPerdata menetapkan bahwa, yang dapat menjadikan objek dalam suatu perjanjian hanyalah barang-barang yang dapat diperdagangkan saja. 2. Pasal 1333 KUHPerdata menentukan bahwa suatu persetujuan harus mempunyai sebagai suatu pokok barang yang paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Tidak menjadi halangan bahwa jumlah barang itu tidak tertentu asal saja jumlah itu dapat dihitung atau ditentukan kemudian. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 1334 KUHPerdata ayat 1 kita jumpai bahwa yang dapat dijadikan objek dari suatu perjanjian bukanlah barang-barang yang sudah ada saja, melainkan mencakup pengertian yang lebih luas. Dimana barang-barang yang baru ada dikemudian hari dapat juga dijadikan objek dalam suatu perjanjian. 2. Jenis - Jenis Perjanjian Untuk mengetahui dari jenis-jenis perjanjian, disini dalam KUHPerdata, khususnya dalam buku III (tiga) mengenai perikatan terdapat jenis-jenis perjanjian, dimana perjanjian tersebut lebih dikenal dengan perjanjian bernama. Yang dimaksud dengan perjanjian bernama adalah perjanjian yang oleh undang-undang telah diberikan suatu nama khusus. Perjanjian bernama ini dalam KUHPerdata Pasal 1319 diatur bahwa semua persetujuan, baik yang mempunyai nama khusus, maupun yang tidak dikenal dengan

8 suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum, yang termuat didalam bab ini dan bab yang lain. Adapun jenis perjanjian yang dikenal dalam perjanjian bernama tersebut antara lain : 1. Perjanjian Jual Beli Berdasarkan ketentuan Pasal 1457 KUHPerdata yang mengatur tentang perjanjian jual beli, yaitu mengatakan bahwa suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang dan pihak lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Dan dari ketentuan Pasal 1458 KUHPerdata menyatakan bahwa jual beli dianggap sudah terjadi antara dua belah pihak seketika setelah mereka mencapai kata sepakat tentang barang dan harga, sekalipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar. Dari uraian diatas bahwa jual beli suatu perjanjian konsensual artinya ia sudah dilahirkan sebagai suatu perjanjian yang sah (mengikat, atau mempunyai kekuatan hukum) pada detik tercapainya yang sepakat antara penjual dan pembeli mengenai unsurunsur pokok yaitu barang dan harga, biarpun jual beli itu mengenai barang tidak bergerak. Namun menurut KUHPerdata salah satu prinsip yang penting dari jual beli bahwa perjanjian jual beli itu hanya Obligator saja, hal ini berarti bahwa menurut sistem KUHPerdata jual beli itu belum memindahkan hak milik, ia baru memberikan hak dan meletakkan kewajibannya pada kedua pihak yaitu memberikan kepada pembeli hak untuk menuntut diserahkannya hak atas barang yang dijual. Apa yang dikemukakannya disini mengenai sifat jual beli nampak jelas dari Pasal 1459, yang menerangkannya bahwa hak milik atas barang-barang yang dijual tidaklah berpindah kepada pembeli selama penyerahannya belum dilakukan. Jual beli terhadap barang-barang bergerak cukup dilakukan dengan lisan, sedangkan terhadap objek bendabenda yang tidak bergerak pada umumnya memakai akta jual beli, tujuan dari akta tersebut hanya mensejajarkan jual beli itu dengan keperluan penyerahan yang kadangkadang memerlukan penyerahan yuridis disamping penyerahan nyata. Dan terhadap resiko dimana resiko terhadap barang objek jual beli tidak sama melainkan terdapat dengan sifat keadaan barang yang menjadi objek jual beli. Terhadap objek jual beli yang terdiri dari barang-barang tertentu, resiko atas barang berada pada pihak pembeli terhitung sejak saat terjadinya persetujuan perjanjian, sekalipun

9 penyerahan barang belum terjadi (Pasal 1460 KUHPerdata), terhadap objek jual beli yang terdiri dari barang-barang yang dijual dengan timbangan bilangan atau ukuran resiko atas barang tetap berada di pihak penjual sampai barang itu ditimbang, diukur atau dihitung (Pasal 1461 KUHPerdata). 2. Perjanjian Tukar Menukar Perjanjian tukar menukar adalah persetujuan dimana kedua belah pihak berjanji untuk saling memberikan benda secara timbal balik. Mengenai perjanjian tukar menukar ini diatur dalam ketentuan Pasal KUHPerdata. Pada Pasal 1543 KUHPerdata mengatakan bahwa jika seseorang pihak telah menerima barang tukaran dan pihak lain membuktikan bahwa barang yang diserahkan padanya adalah barang orang lain bukan kepunyaannya sendiri, pihak yang telah menerima barang tadi tidak dapat memaksa pihak lain untuk menerima barang tersebut, dan pihak yang menerima barang diwajibkan untuk mengembalikan barang yang sudah sempat diterimanya tadi. Dan Pasal 1544 KUHPerdata menjelaskan seseorang yang telah menerima tukaran barang dan kemudian dicabut dan diserahkan kepada pihak ketiga sebagai pemilik yang sebenarnya, dan pencabutan untuk pihak yang ketiga dilakukan atas dasar putusan hakim, dalam hal ini pihak yang kena cabut dapat bertindak meminta ganti rugi dari pihak pemberi dan menuntut agar barang yang telah diserahkan kepadanya dikembalikan. Selanjutnya pada prinsipnya aturan dalam tukar menukar hampir sama dengan jual beli, hal ini ketentuan Pasal 1546 KUHPerdata menjelaskan segala sesuatu yang diatur dalam persetujuan tukar menukar dapat diterapkan aturan-aturan yang ditetapkan dalam persetujuan jual beli. Dan kemudian dalam Pasal 1545 KUHPerdata mengatur persetujuan tukar menukar atas barang tertentu, jika salah satu objek tukar menukar tadi terdiri dari barang tertentu dan sebelum diserahkan kepada pihak lain barang tersebut hilang atau musnah akibat diluar kesalahan, maka persetujuan tukar menukar seperti ini dianggap gugur atau pihak yang telah menyerahkan barang dapat menuntut pengembalian barang yang telah diserahkannya. 3. Perjanjian Sewa Menyewa Pengertian mengenai sewa menyewa terdapat dalam Pasal 1548 KUHPerdata, sewa menyewa adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu

10 tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut. Pasal 1550 KUHPerdata pihak yang menyewakan karena sifat persetujuan dan tanpa perlu adanya suatu janji, wajib untuk: 1. Menyerahkan barang yang disewakan 2. Memelihara barang yang disewakan sedemikian rupa sehingga dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksud 3. Memberikan kepada penyewa kenikmatan yang tenteram dari barang-barang yang disewakan selama berlangsung sewa menyewa. Dan kewajiban pihak penyewa adalah : 1. Memakai barang yang disewakan tersebut dengan baik sesuai dengan tujuan yang diberikan menurut perjanjian sewa menyewa tersebut. 2. Membayar harga sewa pada waktu yang telah diperjanjikan 3. Bertindak sebagai bapak rumah yang baik Dari ketentuan Pasal 1553 KUHPerdata, dalam sewa menyewa itu resiko mengenai barang yang dipersewakan dipikul oleh si pemilik barang, yaitu pihak yang menyewakan. Apabila barang yang disewakan itu musnah karena satu peristiwa yang terjadi diluar kesalahan salah satu pihak maka perjanjian sewa menyewa itu gugur demi hukum. Mengenai berakhirnya sewa menyewa secara umum, Undang-Undang memberikan beberapa ketentuan yaitu sewa menyewa berakhir apabila batas yang ditentukan berakhir, adanya ketentuan khusus yang mengakhirinya. 4. Perjanjian Kerja Dalam perundangan-undangan membagi perjanjian untuk melakukan pekerjaan dalam tiga macam yaitu : a. Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu b. Perjanjian kerja / perburuhan c. Perjanjian pemborongan kerja Pada perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu, dimana pihak menghendaki pihak lainnya melakukan pekerjaan-pekerjaan untuk mencapai suatu tujuan, untuk mana ia bersedia membayar upah sedangkan apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut sama sekali diserahkannya pada pihak lain, dan biasanya pihak yang lain itu adalah seorang yang ahli dalam melakukan pekerjaan tersebut dan untuk pekerjaan itu ia memasang tarif.

11 Dan perjanjian kerja atau perburuhan adalah perjanjian antara seorang majikan dengan seorang buruh dimana ditandai dengan ciri-ciri adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan diperatas yaitu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu berhak memberikan perintah yang harus ditaati oleh yang lain. Selanjutnya untuk perjanjian pemborongan kerja menurut Pasal 1601 b KUHPerdata perjanjian pemborongan adalah perjanjian dengan mana pihak satu yaitu pemborong mengikatkan diri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan bagi pihak lain yaitu yang memberi tugas dengan menerima suatu harga yang ditentukan. Jadi dalam perjanjian pemborongan hanya ada dua pihak yang terikat dalam perjanjian pemborongan yaitu : Pihak yang kesatu disebut pihak yang memborongkan atau prinsipal dan pihak kedua disebut pemborong atau rekanan, kontraktor. Perjanjian pemborongan diatur dalam Pasal KUHPerdata dan peraturan-peraturan khusus yang dibuat pemerintah. Jadi dengan adanya perjanjian pemborongan selalu ada pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian pemborongan, tetapi ada pihak-pihak lain secara tidak langsung terikat dengan adanya perjanjian pemborongan. Baik pihak-pihak yang terikat, maupun yang secara tidak langsung terikat dengan adanya perjanjian pemborongan disebut peserta dalam perjanjian pemborongan. Dalam melakukan pekerjaannya yaitu bagaimana caranya pemborong mengerjakan tidaklah penting bagi pihak pertama karena yang dikehendakinya adalah hasil yang akan diserahkan dalam keadaan baik, dalam suatu jangka waktu yang ditentukan dalam perjanjian. B. Asas-asas Perjanjian Beserta Dasar Hukum Di dalam membuat perjanjian, terdapat sepuluh asas yang harus diperhatikan, sebagai berikut : 1. Asas kebebasan mengadakan perjanjian Kesepakatan pihak yang mengikatkan diri adalah asas yang menentukan adanya perjanjian, asas esensial dari hukum perjanjian. Asas kebebasan ini bersifat universal. Asas konsensualisme ini mengandung arti kemauan para pihak untuk saling mengikatkan diri. Kemauan ini menimbulkan kepercayaan bahwa perjanjian itu akan

12 dipenuhi. Asas konsensualisme mempunyai hubungan yang erat dengan asas kebebasan berjanji dan asas kekuatan mengikat (Pasal 1338 KUHPerdata). Asas kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, sebagai bukti perlindungan terhadap hak asasi manusia. Asas kebebasan berkontrak berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan apa dan dengan siapa perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang dibuat sesuai ketentuan, mempunyai ketentuan mengikat. Dalam perkembangannya yang terakhir, asas kebebasan berkontrak ini dinilai tidak lagi mencerminkan keadilan. Masyarakat ingin pihak yang lemah lebih banyak mndapat perlindungan. Oleh karena itu kehendak bebas tidak lagi diberi arti mutlak, akan tetapi diberi arti relatif, selalu dikaitkan dengan kepentingan umum. Sejak itu pengaturan isi perjanjian tidak semata mata diserahkan kepada para pihak, akan tetapi mulai dibatasi. Pemerintah sebagai pengemban kepentingan umum menjaga keseimbangan kepentingan perorangan dan kepentingan masyarakat, mulai ikut campur. Akibatnya asas kebebasan berkontrak ini semakin sempit dilihat dari beberapa segi yaitu : a. Kepentingan umum b. Perjanjian baku c. Perjanjian dengan Pemerintah. 2. Asas persesuaian kehendak Dalam persesuaian kehendak, setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya, yang menurut mereka baik, dalam membuat perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian. 3. Asas kepercayaan Membuat perjanjian, menumbuhkan kepercayaan diantara kedua pihak, untuk saling memegang janjinya. Tanpa adanya kepercayaan, perjanjian tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak, karena dengan kepercayaan itulah kedua belah pihak mengikatkan dirinya dan bagi mereka perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang. 4. Asas kekuatan mengikat Di dalam perjanjian terkandung pula suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata mata terbatas pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan

13 kepatutan serta moral. Dengan demikian asas moral, kepatutan dan kebiasaan mengikat pula para pihak. 5. Asas persamaan hukum Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, para pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai sesama manusia ciptaan Tuhan. 6. Asas keseimbangan Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Di sini kedudukan kreditur yang kuat di imbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang. 7. Asas kepastian hukum Perjanjian sebagai suatu bentuk hukum mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, sebagai undang-undang bagi para pihak. 8. Asas moral Asas ini terlihat dalam perikatan wajar, dimana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontrapretasi dari pihak debitur. Juga hal ini terlihat di dalam perbuatan sukarela, dimana seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela, mempunyai kewajiban untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Faktor-faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu berdasarkan pada kesusilaan, sebagai panggilan dari hati nuraninya. 9. Asas kepatutan Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat. 10. Asas kebiasaan Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang dalam keadaan dan kebiasaan yang lazim diikuti. Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut

14 sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Hal-hal yang menurut kebiasaan senantiasa diperjanjikan dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam perjanjian, meskipun hal itu tidak dengan tegas dinyatakan (Mariam Darus Badrulzaman, 1987). 19 Menurut ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yaitu sebagaimana secara yuridis suatu perjanjian baru dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi empat unsur pokok. Adapun keempat unsur pokok tersebut yaitu : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian 3. Suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal Dua syarat yang pertama dinamakan syarat subjektif karena mengenai orangorangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian. Dan apabila salah satu syarat subjektif ini tidak dipenuhi maka perjanjian yang diadakan tersebut dapat dibatalkan oleh hakim atas permohonan yang bersangkutan, dengan perkataan lain perjanjian itu masih tetap berlaku sepanjang tidak ada pembatalan dari hukum. Dan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau objeknya dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. Apabila salah satu syarat ini tidak dipenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum maksudnya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan dimaksudkan bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu adalah juga yang dikehendaki oleh pihak lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Apabila kita lihat ketentuan Pasal 1321 KUHPerdata, dimana kata sepakat itu dikatakan menjadi tidak sah apabila kata sepakat tersebut diberikan karena : 1. Salah pengertian dan kekhilafan 2. Paksaan 19 Mohd. Syaufii Syamsuddin, Op.cit., hal 20

15 3. Penipuan Ketiga kata sepakat ini tidak sah oleh karena persetujuan diberikan dengan cacat kehendak. Dan perjanjian seperti ini dapat dimohonkan pembatalan di Pengadilan. Kekhilafan atau kekeliruan terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu. Kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa, hingga seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuannya. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1322 KUHPerdata yaitu : Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan selainnya apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok persetujuan. Paksaan atau dwangsom maksudnya adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa jadi bukannya paksaan badan. Misalkan seorang atau salah satu pihak karena diancam atau ditakut-takuti terpaksa menyetujui suatu perjanjian. Dalam hal ini Mariam Darus Badrulzaman, 20 menyatakan : Yang dimaksud dengan paksaan bukan dalam arti absolut, sebab dalam hal demikian itu perjanjian sama sekali tidak terjadi. Yang dimaksud dengan paksaan ialah kekerasan jasmani dan ancaman (akan membuat rahasia) dengan sesuatu yang diperbolehkan hukum menimbulkan ketakutan kepada seseorang sehingga ia membuat perjanjian. Sedangkan penipuan terjadi, apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan akal-akalan cerdik (tipu muslihat) untuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya. Mengenai penipuan ini Wiryono Prodjodikoro, 21 memberikan tanggapan bahwa : satu macam pembohongan saja tidaklah cukup untuk adanya penipuan ini, melainkan harus ada suatu rangkaian pembohongan yang didalamnya hubungan satu dengan yang lainnya merupakan suatu tipu muslihat. Dari hal penipuan ini nampak bahwa pihak yang menipu itu bertindak secara aktif untuk menjerumuskan pihak lawannya. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian Dalam penerapannya orng yang akan membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada azasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya 20 Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku II, Hukum Perikat Dengan Penjelasannya, Alumni Bandung, 2003, hal Wiryono Prodjodikoro, Op.cit., hal 14

16 adalah cakap menurut hukum. Didalam KUHPerdata apabila dikaitkan dengan usia maka yang dikatakan dewasa seseorang yaitu 21 tahun atau sudah kawin dan apabila seseorang yang belum 21 tahun tapi ia sudah kawin. Dan menurut hukum adat sekitar 15 tahun sudah dianggap dewasa dan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan menetapkan usia dewasa adalah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita. Pada Pasal 1330 KUHPerdata disebutkan sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian yaitu : 1. Orang-orang yang belum dewasa 2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampunan 3. Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang membuat perjanjian tertentu. Khusus untuk orang-orang yang belum dewasa, Undang-Undang mengadakan pelunakan terhadap hal tersebut yaitu bagi setiap anak yang belum dewasa dapat dinyatakan dewasa bila kepentingan si anak menghendaki demikian (Pasal 419 KUHPerdata) misalnya hal-hal warisan. Dalam mengadakan suatu perjanjian kecakapan seseorang memang merupakan syarat mutlak untuk syahnya perjanjian, karena seseorang yang terikat oleh perjanjian mempunyai kemampuan untuk menyadari benar akan timbul dengan perbuatannya itu, sehingga hal itu perlu untuk rasa keadilan. Dan memang dari sudut rasa keadilan, perlulah bahwa orang yang membuat satu perjanjian dan nantinya akan terikat oleh perjanjian itu, mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi benar-benar akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatannya itu. Dan apabila kita lihat dari sudut ketertiban hukum oleh karena seorang yang membuat suatu perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaan orang tersebut harus orang yang sungguh-sungguh berhak berbuat bebas dengan harta kekayaannya. Untuk mengadakan suatu perjanjian itu orang yang tidak sehat pikirannya tidak sanggup menginsyafi tanggung jawab yang dipikul oleh seorang yang mengadakan suatu perjanjian. Dan bagi orang yang dibawah pengampuan menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya. Dimana ia berada dibawah pengawasan pengampuannya, jadi kedudukannya adalah sama dengan anak yang belum dewasa. 3. Suatu Hal Tertentu Suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu artinya apa yang diperjanjikan harus cukup jelas. Syarat ini adalah perlu untuk menetapkan hak-hak dan kewajiban

17 kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Dengan kata lain barang tersebut belum ada pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian yang tidak menyatakan secara tegas apa yang menjadi objeknya adalah batal demi hukum. Menurut ketentuan Undang-Undang, barang itu tidak perlu disebutkan jumlahnya atau apakah sesudah data ada ditangan debitur, tetapi yang perlu adalah barang itu dapat dihitung atau ditetapkan, misalnya harga sebuah mobil Rp ,- dari hal itu dengan tidak memakai penjelasan lebih jelas lagi dianggap tidak cukup jelas. 4. Suatu sebab yang halal Dengan sebab bahasa belanda disebut Oorzaak, bahasa latin Causa ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian yang dimaksud. Sesuatu yang menyebabkan seorang membuat suatu perjanjian atau dorongan jiwa untuk membuat suatu perjanjian pada azasnya tidak diperdulikan oleh Undang-Undang. Hukum pada azasnya tidak menghiraukan apa yang berada dalam gagasan seseorang atau apa yang dicita-citakan seorang. Yang diperhatikan oleh hukum dan Undang-Undang hanyalah tindakan orang-orang dalam masyarakat. Jadi yang dimaksud dengan sebab atau Causa suatu perjanjian adalah isi dari pada perjanjian itu sendiri. Misalnya dalam suatu perjanjian jual beli isi tadi adalah pihak satu menghendaki hak milik orang lain. Sebab yang dimaksudkan oleh Undang-Undang tersebut dalam hal ini bukanlah merupakan hubungan sebab akibat atau causalitas. Penerapan asas kebebasan membuat kontrak yang terkandung dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata harus ditafsirkan dan dipahami secara sistemik yang terintegrasi dengan ketentuan-ketentuan normatif lainnya dalam KUHPerdata, yaitu: Ketentuan imperatif yang menentukan syarat-syarat sahnya suatu kontrak (Pasal 1320) 2. Ketentuan limitatif yang melarang pembuatan kontrak tanpa sebab atau causa, atau pembuatan kontrak berdasarkan sebab atau causa yang dilarang, sehingga berakibat hukum kontrak itu tidak mempunyai kekuatan mengikat (Pasal 1335) 3. Ketentuan limitatif yang menentukan bahwa suatu sebab adalah terlarang jika dilarang oleh undang-undang, atau jika berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum (Pasal 1337) 22 Muhammad Syaifuddin, Op.cit., hal 90

18 4. Ketentuan imperatif yang mengharuskan suatu kontrak dilaksanakan dengan itikad baik (Pasal 1338 ayat 3) 5. Ketentuan imperatif yang mengikat kontrak dengan sifat, kepatutan, kebiasaan dan undang-undang (Pasal 1339) dan 6. Ketentuan enumeratif yang mengatur hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya disetujui untuk secara diam-diam dimasukkan dalam kontrak (Pasal 1347). Kontrak menurut persyaratan dan proses terjadi/terbentuknya dapat dibedakan menjadi tiga jenis kontrak, yaitu: a. Kontrak konsensual Kontrak konsensual yaitu kontrak yang dianggap sah jika telah terjadi sepakat antara para pihak yang membuat kontrak. Misalnya, kontrak jual beli menurut Pasal 1457 KUHPerdata terjadi sepakat mengenai barang dan harganya. b. Kontrak riil Kontrak riil yaitu kontrak yang memerlukan kata sepakat, tetapi barangnyapun harus diserahkan. Misalnya, kontrak penitipan barang menurut Pasal 1741 KUHPerdata dan kontrak pinjam mengganti menurut Pasal 1754 KUHPerdata. c. Kontrak formil Kontrak formil yaitu suatu kontrak yang memerlukan kata sepakat, tetapi undangundang mengharuskan kontrak tersebut dibuat dalam bentuk tertentu secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yaitu Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah. Contohnya, kontrak jaminan fidusia menurut Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 harus dalam bentuk akta Notaris. Kontrak menurut hak dan kewajiban para pihak yang membuatnya terdiri atas dari dua jenis kontrak, yaitu: a. Kontrak timbal balik adalah kontrak yang meletakkan hak dan kewajiban kepada kedua pihak yang membuat kontrak. Misalnya, dalam kontrak jual beli menurut Pasal 1457 KUHPerdata, pihak penjual berkewajiban menyerahkan barang yang dijual dan berhak mendapat pembayaran, sebaliknya pihak pembeli berkewajiban membayar harga barang dan berhak menerima barangnya. b. Kontrak sepihak adalah kontrak yang meletakkan kewajiban pada satu pihak saja. Misalnya, dalam kontrak hibah menurut Pasal 1666 KUHPerdata, kewajiban hanya ada pada orang yang menghibahkan barang, sedangkan penerima hibah hanya berhak menerima barang yang dihibahkan, tanpa berkewajiban apapun kepada orang yang menghibahkan.

19 Kontrak menurut penamaan dan sifat pengaturan hukumnya dapat dibedakan menjadi dua jenis kontrak, yaitu: a. Kontrak bernama adalah kontrak yang mempunyai nama sendiri yang telah diatur secara khusus dalam KUHPerdata Bab V sampai dengan Bab XVIII. Misalnya, kontrak jual beli, kontrak sewa menyewa, kontrak hibah, kontrak tukar menukar, kontrak persekutuan perdata, kontrak untuk melakukan pekerjaan, kontrak tentang perkumpulan, kontrak penitipan barang, kontrak pinjam pakai, kontrak pinjam meminjam, kontrak pemberian kuasa, kontrak penanggungan utang, kontrak bunga tetap atau bunga abadi, kontrak untung-untungan, dan kontrak perdamaian. b. Kontrak tidak bernama adalah kontrak yang tidak diatur secara khusus dalam KUHPerdata, tetapi timbul dan berkembang di masyarakat berdasarkan asas kebebasan membuat kontrak menurut Pasal 1338 KUHPerdata. Jumlah kontrak ini tidak terbatas dengan nama yang disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang membuatnya. Misalnya, kontrak pembiayaan konsumen, kontrak sewa guna usaha, kontrak anjak piutang, kontrak modal ventura, kontrak waralaba, kontrak lisensi hak kekayaan intelektual dan lain-lain. Dilihat dari aspek pengaturan hukumnya, kontrak tidak bernama dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: 1. Kontrak tidak bernama yang diatur secara khusus dan dituangkan dalam bentuk undang-undang dan/atau telah diatur dalam pasal-pasal tersendiri. Misalnya kontrak production sharing yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi dan kontrak konstruksi yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang jasa konstruksi dan lain-lain. 2. Kontrak tidak bernama yang diatur dalam peraturan pemerintah, misalnya kontrak waralaba yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang waralaba. 3. Kontrak tidak bernama yang belum diatur atau belum ada undang-undangnya di Indonesia, misalnya kontrak rahim.

20 Kontrak tidak bernama bersifat khusus sebagaimana tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan kontrak bernama bersifat umum, sehingga di sini asas lex spesialis derogate legi generale berlaku. 23 C. Perjanjian Kerjasama Perjanjian kerja menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1 angka 14 adalah suatu perjanjian antara pekerja dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak. Perjanjian kerja pada dasarnya harus memuat pula ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan hubungan kerja itu, yaitu hak dan kewajiban buruh serta hak dan kewajiban majikan. Sedangkan menurut Subekti perjanjian kerja adalah perjanjian antara seorang buruh dengan majikan, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan di peratas yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu yaitu majikan berhak memberikan perintahperintah yang harus ditaati oleh pihak yang lain yaitu buruh. Perjanjian kerja yang didasarkan pada pengertian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak disebutkan bentuk perjanjiannya tertulis atau lisan, demikian juga mengenai jangka waktunya ditentukan atau tidak sebagaimana sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan. Bagi perjanjian kerja tidak dimintakan bentuk yang tertentu. Jadi dapat dilakukan secara lisan, dengan surat pengangkatan oleh pihak pengusaha atau secara tertulis, yaitu surat perjanjian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. Undang-Undang hanya menetapkan bahwa jika perjanjian diadakan secara tertulis, biaya surat dan biaya tambahan lainnya harus dipikul oleh pengusaha. Apalagi perjanjian yang diadakan secara lisan, perjanjian yang dibuat secara tertulis pun biasanya diadakan dengan singkat, tidak memuat semua hak dan kewajiban kedua belah pihak. Sebagai bagian dari perjanjian pada umumnya, maka perjanjian kerja harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Ketentuan ini juga tertuang dalam pasal 52 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa perjanjian kerja dibuat atas dasar : 23 Ibid hal 147

21 1. Kesepakatan kedua belah pihak 2. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum 3. Adanya pekerjaan yang dijanjikan 4. Pekerjaan yang dijanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kesepakatan kedua belah pihak maksudnya bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian kerja harus setuju atau sepakat, mengenai hal-hal yang diperjanjikan. Apa yang dikehendaki pihak yang satu dikehendaki pihak yang lain. Pihak pekerja menerima pekerjaan yang ditawarkan, dan pihak pengusaha menerima pekerja tersebut untuk dipekerjakan. Kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak yang membuat perjanjian maksudnya pihak pekerja maupun pengusaha cakap membuat perjanjian. Seseorang dipandang cakap membuat perjanjian jika yang bersangkutan telah cukup umur. Ketentuan hukum ketenagakerjaan memberikan batasan umur minimal 18 tahun (Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Selain itu seseorang dikatakan cakap membuat perjanjian jika orang tersebut tidak terganggu jiwanya atau waras. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dalam istilah Pasal 1320 KUHPerdata adalah hal tertentu. Pekerjaan yang diperjanjikan merupakan obyek dari perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha, yang akibat hukumnya melahirkan hak dan kewajiban para pihak. Obyek perjanjian harus halal yakni tidak boleh bertentangan dengan Undang- Undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Jenis pekerjaan yang diperjanjikan merupakan salah satu unsur perjanjian kerja yang harus disebutkan secara jelas. Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif artinya harus dipenuhi semuanya baru dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut sah. Unsur-unsur yang ada dalam perjanjian kerja : Adanya unsur pekerjaan Dalam suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan (obyek perjanjian), pekerjaan tersebut haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja, hanya dengan seizin pengusaha dapat menyuruh orang lain. Hal ini dijelaskan dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata Pasal 1603 a yang berbunyi : 24

22 Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya, hanya dengan seizin majikan ia dapat menyuruh orang ketiga menggantikannya Sifat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja itu sangat pribadi karena bersangkutan dengan ketrampilan atau keahliannya, maka menurut hukum jika pekerja meninggal dunia maka perjanjian kerja tersebut putus demi hukum. 2. Adanya unsur perintah Manifestasi dari pekerjaan yang diberikan kepada pekerja oleh pengusaha adalah pekerja yang bersangkutan harus tunduk pada perintah pengusaha untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan yang diperjanjikan. Disinilah perbedaan hubungan kerja dengan hubungan lainnya, misalnya hubungan dokter dengan pasien, pengacara dengan klien. Hubungan tersebut merupakan hubungan kerja karena dokter, pengacara tidak tunduk pada perintah klien. 3. Adanya upah Upah memegang peranan penting dalam hubungan kerja (perjanjian kerja), bahkan dapat dikatakan bahwa tujuan utama seorang pekerja bekerja pada pengusaha adalah untuk memperoleh upah. Sehingga jika tidak ada unsur upah, maka suatu hubungan tersebut bukan merupakan hubungan kerja. Seperti seorang narapidana yang diharuskan untuk melakukan pekerjaan tertentu, seorang mahasiswa perhotelan yang sedang melakukan praktik lapangan di hotel. 4. Waktu tertentu Perkataan waktu tertentu sebagai unsur yang harus ada dalam perjanjian kerja adalah bahwa hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja tidak berlangsung terusmenerus atau abadi. Jadi bukan waktu tertentu yang dikaitkan dengan lamanya hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja. Waktu tertentu tersebut dapat ditetapkan dalam perjanjian kerja, dapat pula tidak ditetapkan. Di samping itu, waktu tertentu tersebut, meskipun tidak ditetapkan dalam perjanjian kerja mungkin pula didasarkan pada peraturan perundang-undangan atau kebiasaan. Jangka waktu perjanjian kerja dapat dibuat untuk waktu tertentu bagi hubungan kerja yang dibatasi jangka waktu berlakunya, dan waktu tidak tertentu bagi hubungan kerja yang tidak dibatasi jangka waktu berlakunya atau selesainya pekerjaan tertentu. Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu biasanya disebut dengan perjanjian kerja kontrak atau perjanjian kerja tidak tetap. Status pekerjaannya adalah pekerja tidak tetap atau pekerja kontrak. Sedangkan untuk perjanjian kerja yang dibuat

23 untuk waktu tidak tertentu biasanya disebut dengan perjanjian kerja tetap dan status pekerjanya adalah pekerja tetap. Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu harus dibuat secara tertulis (Pasal 57 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Ketentuan ini dimaksudkan untuk lebih menjamin atau menjaga hal-hal yang tidak diinginkan sehubungan dengan berakhirnya kontrak kerja. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak boleh mensyaratkan adanya masa percobaan. Dalam Pasal 59 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu : 1. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya 2. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 tahun 3. Pekerjaan yang bersifat musiman 4. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jelaslah bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjan yang bersifat tetap. Pada Bab 2 point A sudah dijelaskan mengenai pengertian perjanjian dan jenisjenis perjanjian. Perjanjian kerjasama adalah salah satu jenis perjanjian dalam proses pelaksanaan pekerjaan pada suatu perusahaan. Perjanjian kerjasama berbeda dengan perjanjian kerja bersama. Adapun terhadap perjanjian kerja bersama tata cara pembuatannya adalah sebagai berikut : 25 Perjanjian kerja bersama dirundingkan oleh serikat pekerja/buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha. Perundingan perjanjian kerja bersama harus didasari itikad baik dan kemauan kedua belah pihak. Meskipun perusahaan pada dasarnya memiliki posisi lebih dominan dibandingkan dengan serikat buruh, tetapi perusahaan harus memberikan kesempatan dan ruang kepada serikat pekerja dalam menyampaikna aspirasinya sebab aspirasi dari serikat pekerja mencerminkan aspirasi para buruh yang diwakilinya. Perundingan perjanjian kerja bersama dilakukan secara musyawarah untuk mufakat. 25

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A.Pengertian perjanjian pada umumnya a.1 Pengertian pada umumnya istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari istilah Overeenkomst

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau kepentingan-kepentingan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Manusia di dalam memenuhi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A.Pengertian Perjanjian Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM A. Segi-segi Hukum Perjanjian Mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur perjanjian pada umumnya terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Buku

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA. Hubungan kerja adalah hubungan antara seseorang buruh dengan seorang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA. Hubungan kerja adalah hubungan antara seseorang buruh dengan seorang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA A. Pengertian Perjanjian Kerja Hubungan kerja adalah hubungan antara seseorang buruh dengan seorang majikan. Hubungan kerja menunjukkan kedudukan kedua belah

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA A. Pengertian Perjanjian Jual Beli Menurut Black s Law Dictionary, perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya 36 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya Perjanjan memiliki definisi yang berbeda-beda menurut pendapat para ahli yang satu dengan

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA Perjanjian jual beli diatur dalam Pasal 1457-1540 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dalam Pasal 1457 KUH Perdata pengertian jual beli adalah suatu persetujuan

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata 23 BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM A. Pengertian Pinjam Meminjam Perjanjian Pinjam Meminjam menurut Bab XIII Buku III KUH Pedata mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Tinjauan Umum Perjanjian Kerja 1. Pengertian Perjanjian Kerja Dengan telah disahkannya undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUKK) maka keberadaan perjanjian

Lebih terperinci

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA 25 BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Hukum perjanjian

Lebih terperinci

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana ketentuan hukum mengenai pembuatan suatu kontrak

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015 PEMBERLAKUAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK MENURUT HUKUM PERDATA TERHADAP PELAKSANAANNYA DALAM PRAKTEK 1 Oleh : Suryono Suwikromo 2 A. Latar Belakang Didalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia akan selalu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu alat transportasi yang banyak dibutuhkan oleh manusia adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini menjadi salah satu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI A. Pengertian Perjanjian Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

Lebih terperinci

URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak

URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN Rosdalina Bukido 1 Abstrak Perjanjian memiliki peran yang sangat penting dalam hubungan keperdataan. Sebab dengan adanya perjanjian tersebut akan menjadi jaminan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum, 19 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN 2.1 Perjanjian Pembiayaan Konsumen 2.1.1 Pengertian Perjanjian Pembiayaan konsumen Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, perikatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, perikatan 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, perikatan yang berasal dari perjanjian dikehendaki

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan adanya tujuan dan

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan adanya tujuan dan BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Pengertian Perjanjian Hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya selalu terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan A. Pengertian Perjanjian Jual Beli BAB II PERJANJIAN JUAL BELI Jual beli termasuk dalam kelompok perjanjian bernama, artinya undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan pengaturan secara

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. bantuan dari orang lain. Untuk itu diperlukan suatu perangkat hukum demi

BAB III TINJAUAN TEORITIS. bantuan dari orang lain. Untuk itu diperlukan suatu perangkat hukum demi BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Perjanjian Dalam menjalankan bisnis pada dasarnya manusia tidak bisa melakukannya dengan sendiri, tetapi harus dilakukan secara bersama atau dengan mendapat bantuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian A.1 Pengertian perjanjian Perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan, hal ini berdasarkan bahwa perikatan dapat lahir karena perjanjian dan undang undang. Sebagaimana

Lebih terperinci

Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW)

Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW) Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW) Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUHPerdata: Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Oleh: Nama

Lebih terperinci

BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR. A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor

BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR. A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor Menurut sistem terbuka yang mengenal adanya asas kebebasan berkontrak

Lebih terperinci

BAB II KEABSAHAN PERJANJIAN KERJA ANTARA PERUSAHAAN PENYEDIA JASA PEKERJA DENGAN PEKERJA OUTSOURCING

BAB II KEABSAHAN PERJANJIAN KERJA ANTARA PERUSAHAAN PENYEDIA JASA PEKERJA DENGAN PEKERJA OUTSOURCING 15 BAB II KEABSAHAN PERJANJIAN KERJA ANTARA PERUSAHAAN 2.1 Hubungan Hukum Antara Perusahaan Penyedia Jasa Dengan Pekerja/Buruh Hubungan hukum antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa itu sendiri

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN 2.1 Perjanjian secara Umum Pada umumnya, suatu hubungan hukum terjadi karena suatu

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN PUSTAKA BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata berbunyi: Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang

Lebih terperinci

Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan

Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan Perikatan dalam bahasa Belanda disebut ver bintenis. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti 17 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN 2.1 Pengertian Perjanjian Pengangkutan Istilah pengangkutan belum didefinisikan dalam peraturan perundangundangan, namun banyak sarjana yang mengemukakan

Lebih terperinci

Asas asas perjanjian

Asas asas perjanjian Hukum Perikatan RH Asas asas perjanjian Asas hukum menurut sudikno mertokusumo Pikiran dasar yang melatar belakangi pembentukan hukum positif. Asas hukum tersebut pada umumnya tertuang di dalam peraturan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI. 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI. 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli Sebelum membahas tentang pengertian dan pengaturan juali beli, terlebih dahulu perlu dipahami tentang

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN HUKUM BILA PENANGGUNG KEHILANGAN KECAKAPAN BERTINDAK DALAM PERJANJIAN PENANGGUNGAN

BAB II KEDUDUKAN HUKUM BILA PENANGGUNG KEHILANGAN KECAKAPAN BERTINDAK DALAM PERJANJIAN PENANGGUNGAN 31 BAB II KEDUDUKAN HUKUM BILA PENANGGUNG KEHILANGAN KECAKAPAN BERTINDAK DALAM PERJANJIAN PENANGGUNGAN A. PENANGGUNGAN ADALAH PERJANJIAN Sesuai defenisinya, suatu Penanggungan adalah suatu persetujuan

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM DARI PERJANJIAN BAKU (STANDART CONTRACT) BAGI PARA PIHAK PEMBUATNYA (Tinjauan Aspek Ketentuan Kebebasan Berkontrak) Oleh:

AKIBAT HUKUM DARI PERJANJIAN BAKU (STANDART CONTRACT) BAGI PARA PIHAK PEMBUATNYA (Tinjauan Aspek Ketentuan Kebebasan Berkontrak) Oleh: AKIBAT HUKUM DARI PERJANJIAN BAKU (STANDART CONTRACT) BAGI PARA PIHAK PEMBUATNYA (Tinjauan Aspek Ketentuan Kebebasan Berkontrak) Oleh: Abuyazid Bustomi, SH, MH. 1 ABSTRAK Secara umum perjanjian adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Hal janji adalah suatu sendi yang amat penting dalam Hukum

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Hal janji adalah suatu sendi yang amat penting dalam Hukum BAB I PENDAHULUAN Hukum perjanjian adalah bagian dari Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia. Hal janji adalah suatu sendi yang amat penting dalam Hukum Perdata, karena Hukum Perdata banyak mengandung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Teori 2.1.1. Pengertian Perjanjian dan Wanprestasi Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN PENITIPAN BARANG. Dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita mendengar kata perjanjian,

BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN PENITIPAN BARANG. Dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita mendengar kata perjanjian, 17 BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN PENITIPAN BARANG 2.1 Pengertian Perjanjian Pada Umumnya Dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita mendengar kata perjanjian, namun ada banyak pengertian perjanjian.

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. tentang Pembuktian dan Kadaluwarsa/Bewijs en Verjaring.

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. tentang Pembuktian dan Kadaluwarsa/Bewijs en Verjaring. 28 BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Pengertian Perjanjian Hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata sebagai bagian dari KUH Perdata yang terdiri dari IV buku. Buku

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Definisi perjanjian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Selanjutnya

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBORONGAN KERJA. 1. Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu; 2. Perjanjian kerja/perburuhan dan;

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBORONGAN KERJA. 1. Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu; 2. Perjanjian kerja/perburuhan dan; BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBORONGAN KERJA A. Pengertian Pemborongan Kerja Undang-undang membagi perjanjian untuk melakukan pekerjaan dalam tiga macam yaitu : 1. Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa

Lebih terperinci

HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM.

HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM. HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM. PERIKATAN & PERJANJIAN Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang berdasarkan mana yang satu berhak menuntut hal dari

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11 BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

Lebih terperinci

Common Law Contract Agreement Agree Pact Covenant Treaty. Civil Law (Indonesia) Kontrak Sewa Perjanjian Persetujuan Perikatan

Common Law Contract Agreement Agree Pact Covenant Treaty. Civil Law (Indonesia) Kontrak Sewa Perjanjian Persetujuan Perikatan Common Law Contract Agreement Agree Pact Covenant Treaty Civil Law (Indonesia) Kontrak Sewa Perjanjian Persetujuan Perikatan 2 Prof. Subekti Perikatan hubungan hukum antara 2 pihak/lebih, dimana satu pihak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Perikatan yang berasal dari perjanjian dikehendaki oleh dua orang atau

Lebih terperinci

BAB II TANGGUNG JAWAB PARA PIHAK DALAM PELAKSANAAN KONTRAK KEAGENAN MINYAK TANAH YANG DIBUAT ANTARA PARA AGEN DENGAN PERTAMINA

BAB II TANGGUNG JAWAB PARA PIHAK DALAM PELAKSANAAN KONTRAK KEAGENAN MINYAK TANAH YANG DIBUAT ANTARA PARA AGEN DENGAN PERTAMINA 51 BAB II TANGGUNG JAWAB PARA PIHAK DALAM PELAKSANAAN KONTRAK KEAGENAN MINYAK TANAH YANG DIBUAT ANTARA PARA AGEN DENGAN PERTAMINA A. Pengertian Perjanjian pada Umumnya Perjanjian adalah suatu peristiwa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. ketentuan Buku III Kitab Undang Undang Hukum Perdata, dengan menyatakan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. ketentuan Buku III Kitab Undang Undang Hukum Perdata, dengan menyatakan 17 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Perjanjian Pada Umumnya Ketentuan Pasal 1233 Kitab Undang Undang Hukum Perdata mengawali ketentuan Buku III Kitab Undang Undang Hukum Perdata, dengan menyatakan

Lebih terperinci

BAB II PROSEDUR PERALIHAN HAK GUNA USAHA MELALUI PERIKATAN JUAL BELI SEKALIGUS ALIH FUNGSI PENGGUNAAN TANAH

BAB II PROSEDUR PERALIHAN HAK GUNA USAHA MELALUI PERIKATAN JUAL BELI SEKALIGUS ALIH FUNGSI PENGGUNAAN TANAH BAB II PROSEDUR PERALIHAN HAK GUNA USAHA MELALUI PERIKATAN JUAL BELI SEKALIGUS ALIH FUNGSI PENGGUNAAN TANAH A. Pengaturan tentang Perikatan Jual Beli Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas.

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas. BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA A. Tinjauan Umum tentang Jual Beli 1. Pengertian Jual Beli Sebelum membahas mengenai aturan jual beli saham dalam perseroan

Lebih terperinci

2.1 Pengertian Pekerja Rumah Tangga dan Pemberi Kerja

2.1 Pengertian Pekerja Rumah Tangga dan Pemberi Kerja BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA RUMAH TANGGA, PEMBERI KERJA, DAN PERJANJIAN KERJA 2.1 Pengertian Pekerja Rumah Tangga dan Pemberi Kerja 2.1.1. Pengertian pekerja rumah tangga Dalam berbagai kepustakaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tidak ada dirumuskan dalam undang-undang, tetapi dirumuskan sedemikian rupa

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tidak ada dirumuskan dalam undang-undang, tetapi dirumuskan sedemikian rupa 16 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Hukum Perikatan Pada Umumnya 1. Pengertian Perikatan Hukum perikatan diatur dalam buku III KUH Perdata. Definisi perikatan tidak ada dirumuskan dalam undang-undang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan dilakukan manusia sudah berabad-abad. Pembangunan adalah usaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan dilakukan manusia sudah berabad-abad. Pembangunan adalah usaha untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan dilakukan manusia sudah berabad-abad. Pembangunan adalah usaha untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan, oleh karena itu dapat dikatakan hukum tentang

Lebih terperinci

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1 HUKUM PERJANJIAN Ditinjau dari Hukum Privat A. Pengertian Perjanjian Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain/lebih (Pasal

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata adalah :

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata adalah : II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata adalah : Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Koperasi secara etimologi berasal dari kata cooperation, terdiri dari kata

BAB II LANDASAN TEORI. Koperasi secara etimologi berasal dari kata cooperation, terdiri dari kata BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Uraian Teori 2.1.1. Pengertian Koperasi Koperasi secara etimologi berasal dari kata cooperation, terdiri dari kata co yang artinya bersama dan operation yang artinya bekerja

Lebih terperinci

ASAS-ASAS DALAM HUKUM PERJANJIAN

ASAS-ASAS DALAM HUKUM PERJANJIAN ASAS-ASAS DALAM HUKUM PERJANJIAN Selamat malam semua Bagaimana kabarnya malam ini? Sehat semua kan.. Malam ini kita belajar mengenai Asas-asas dalam Hukum Perjanjian ya.. Ada yang tahu asas-asas apa saja

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Pengertian perjanjian di dalam Buku III KUH Perdata diatur di dalam Pasal 1313 KUH Perdata,

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK 44 BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK 3.1 Hubungan Hukum Antara Para Pihak Dalam Perjanjian Kartu Kredit 3.1.1

Lebih terperinci

PERIKATAN YANG BERSUMBER DARI PERJANJIAN 10/9/2013 BISNIS SYARIAH/WP/TM 6 1

PERIKATAN YANG BERSUMBER DARI PERJANJIAN 10/9/2013 BISNIS SYARIAH/WP/TM 6 1 PERIKATAN YANG BERSUMBER DARI PERJANJIAN 10/9/2013 BISNIS SYARIAH/WP/TM 6 1 Sumber Perikatan Perikatan 1233 Perjanjian 1313 Perbuatan manusia 1353 Undang-Undang 1352 Ditentukan UU Perbuatan Menurut Hukum

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT) A. Pengertian Perjanjian, Perjanjian Bernama dan Tidak Bernamaserta Perjanjian Kerja

BAB III LANDASAN TEORI PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT) A. Pengertian Perjanjian, Perjanjian Bernama dan Tidak Bernamaserta Perjanjian Kerja BAB III LANDASAN TEORI PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT) A. Pengertian Perjanjian, Perjanjian Bernama dan Tidak Bernamaserta Perjanjian Kerja 1. Pengertian Perjanjian Jika membicarakan tentang defenisi

Lebih terperinci

BAB 2 PEMBAHASAN. Jual beli tanah..., Ni Wayan Nagining Sidianthi, FH UI, , halaman 17. Universitas Indonesia

BAB 2 PEMBAHASAN. Jual beli tanah..., Ni Wayan Nagining Sidianthi, FH UI, , halaman 17. Universitas Indonesia 16 BAB 2 PEMBAHASAN 2.1. Pengertian dan Pelaksanaan Jual Beli Tanah di Hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah 2.1.1. Pengertian dan Syarat Sahnya Perjanjian Manusia adalah makhluk sosial yang kodratnya harus

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi 142 PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT Deny Slamet Pribadi Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda ABSTRAK Dalam perjanjian keagenan

Lebih terperinci

KLASIFIKASI PERJANJIAN KELOMPOK I DWI AYU RACHMAWATI (01) ( )

KLASIFIKASI PERJANJIAN KELOMPOK I DWI AYU RACHMAWATI (01) ( ) PENGERTIAN PERJANJIAN KLASIFIKASI PERJANJIAN KELOMPOK I DWI AYU RACHMAWATI (01) (166010200111038) FANNY LANDRIANI ROSSA (02) (166010200111039) ARLITA SHINTA LARASATI (12) (166010200111050) ARUM DEWI AZIZAH

Lebih terperinci

BAB II PENGERTIAN UMUM PERJANJIAN BAKU. A. Pengertian Perjanjian dan Syarat-Syarat Sah Suatu Perjanjian

BAB II PENGERTIAN UMUM PERJANJIAN BAKU. A. Pengertian Perjanjian dan Syarat-Syarat Sah Suatu Perjanjian BAB II PENGERTIAN UMUM PERJANJIAN BAKU A. Pengertian Perjanjian dan Syarat-Syarat Sah Suatu Perjanjian Menurut pasal 1313 KUHPerdata: Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau

Lebih terperinci

HUKUM PERBURUHAN (PERTEMUAN IV) PERJANJIAN KERJA. copyright by Elok Hikmawati

HUKUM PERBURUHAN (PERTEMUAN IV) PERJANJIAN KERJA. copyright by Elok Hikmawati HUKUM PERBURUHAN (PERTEMUAN IV) PERJANJIAN KERJA copyright by Elok Hikmawati 1 PENDAHULUAN Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak, yang isinya adalah hak dan kewajiban, suatu hak untuk menuntut sesuatu

Lebih terperinci

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan di bidang ekonomi yang semakin meningkat mengakibatkan keterkaitan yang erat antara sektor riil dan sektor moneter, di mana kebijakan-kebijakan khususnya

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI TENTANG PERJANJIAN PADA UMUMNYA DAN PERJANJIAN UTANG PIUTANG

BAB II KAJIAN TEORI TENTANG PERJANJIAN PADA UMUMNYA DAN PERJANJIAN UTANG PIUTANG BAB II KAJIAN TEORI TENTANG PERJANJIAN PADA UMUMNYA DAN PERJANJIAN UTANG PIUTANG A. Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian Pengertian perjanjian menurut pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Lebih terperinci

PENERAPAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN KERJA UNTUK WAKTU TERTENTU DI PT. TIGA SERANGKAI PUSTAKA MANDIRI SURAKARTA

PENERAPAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN KERJA UNTUK WAKTU TERTENTU DI PT. TIGA SERANGKAI PUSTAKA MANDIRI SURAKARTA 0 PENERAPAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN KERJA UNTUK WAKTU TERTENTU DI PT. TIGA SERANGKAI PUSTAKA MANDIRI SURAKARTA Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. macam kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk dapat memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. macam kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk dapat memenuhi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia selalu berusaha untuk mencapai kesejahteraan dalam hidupnya. Hal ini menyebabkan setiap manusia di dalam kehidupannya senantiasa melakukan berbagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. Kata perjanjian berasal dari terjemahan overeenkomst dan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. Kata perjanjian berasal dari terjemahan overeenkomst dan BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Kata perjanjian berasal dari terjemahan overeenkomst dan verbintenis, yang diterjemahkan dengan menggunakan istilah perjanjian maupun persetujuan.

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Perjanjian Dalam istilah perjanjian atau kontrak terkadang masih dipahami secara rancu, banyak pelaku bisnis mencampuradukkan kedua istilah tersebut seolah merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PERLINDUNGAN HUKUM, ITIKAD BAIK, DAN AKIBAT HUKUM

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PERLINDUNGAN HUKUM, ITIKAD BAIK, DAN AKIBAT HUKUM BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PERLINDUNGAN HUKUM, ITIKAD BAIK, DAN AKIBAT HUKUM 2.1 Pengertian Perjanjian 2.1.1 Definisi Perjanjian Pengertian perjanjian pada umumnya, ada berbagai macam pendapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak untuk menuntut sesuatu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN MENGENAI KONTRAK SECARA UMUM. Istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris, yakni contract yang

BAB II TINJAUAN MENGENAI KONTRAK SECARA UMUM. Istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris, yakni contract yang BAB II TINJAUAN MENGENAI KONTRAK SECARA UMUM A. Pengertian kontrak Istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris, yakni contract yang bermakna perjanjian. Dalam bahasan belanda kontrak dikenal dengan kata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia menjadi hal yang tidak terelakkan, terutama dalam memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. manusia menjadi hal yang tidak terelakkan, terutama dalam memenuhi kebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pada saat ini dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi maka hubungan antar manusia menjadi hampir tanpa batas, karena pada dasarnya manusia adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TENAGA KERJA PEREMPUAN, CITY HOTEL, DAN PERJANJIAN KERJA. Adanya jaminan yang dituangkan di dalam Undang-undang Dasar

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TENAGA KERJA PEREMPUAN, CITY HOTEL, DAN PERJANJIAN KERJA. Adanya jaminan yang dituangkan di dalam Undang-undang Dasar BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TENAGA KERJA PEREMPUAN, CITY HOTEL, DAN PERJANJIAN KERJA 2.1. Tenaga Kerja Perempuan Adanya jaminan yang dituangkan di dalam Undang-undang Dasar 1945Pasal 27 ayat (2) berbunyi

Lebih terperinci

BAB II PEMBERIAN KUASA DIREKTUR PADA PROYEK PEMBANGUNAN JALAN

BAB II PEMBERIAN KUASA DIREKTUR PADA PROYEK PEMBANGUNAN JALAN 23 BAB II PEMBERIAN KUASA DIREKTUR PADA PROYEK PEMBANGUNAN JALAN A. Bentuk dan Isi Pemberian Kuasa Apabila dilihat dari cara terjadinya, perjanjian pemberian kuasa dibedakan menjadi enam macam yaitu: 28

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. A. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. 2 Perjanjian kerja wajib

BAB III LANDASAN TEORI. A. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. 2 Perjanjian kerja wajib BAB III LANDASAN TEORI A. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Pengaturan perjanjian bisa kita temukan didalam buku III bab II pasal 1313 KUHPerdata yang berbunyi Perjanjian adalah suatu perbuatan

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 29 BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Akibat Hukum dari Wanprestasi yang Timbul dari Perjanjian Kredit Nomor 047/PK-UKM/GAR/11 Berdasarkan Buku III KUHPERDATA Dihubungkan dengan Putusan Pengadilan Nomor

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Pasal 1313 KUH Perdata berbunyi: Suatu perjanjian adalah suatu

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Pasal 1313 KUH Perdata berbunyi: Suatu perjanjian adalah suatu BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian dan Jenis Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata berbunyi: Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun selalu hidup bersama serta berkelompok. Sejak dahulu kala pada diri manusia terdapat hasrat untuk berkumpul

Lebih terperinci

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 2.1 Pengertian Perkawinan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN SEWA MENYEWA. Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN SEWA MENYEWA. Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN SEWA MENYEWA A. Pengertian Perjanjian Sewa-Menyewa Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM SURAT WASIAT MENURUT HUKUM PERDATA M. WIJAYA. S / D

TINJAUAN HUKUM SURAT WASIAT MENURUT HUKUM PERDATA M. WIJAYA. S / D TINJAUAN HUKUM SURAT WASIAT MENURUT HUKUM PERDATA M. WIJAYA. S / D 101 08 063 ABSTRAK Membuat wasiat (testament) adalah perbuatan hukum, seseorang menentukan tentang apa yang terjadi dengan harta kekayaannya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSINYASI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSINYASI 20 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSINYASI A. Pengertian Konsinyasi Penjualan konsinyasi dalam pengertian sehari-hari dikenal dengan sebutan penjualan dengan cara penitipan. Konsinyasi merupakan penyerahan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yaitu Verbintenis untuk perikatan, dan Overeenkomst untuk perjanjian.

II. TINJAUAN PUSTAKA. yaitu Verbintenis untuk perikatan, dan Overeenkomst untuk perjanjian. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pada kenyataannya masih banyak orang yang dikacaukan oleh adanya istilah perikatan dan perjanjian. Masing-masing sebagai

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. berjudul Perihal Perikatan (Verbintenis), yang mempunyai arti lebih luas

BAB II LANDASAN TEORI. berjudul Perihal Perikatan (Verbintenis), yang mempunyai arti lebih luas BAB II LANDASAN TEORI A. RUANG LINGKUP PERJANJIAN 1. Pengertian Perjanjian Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) berjudul Perihal Perikatan (Verbintenis), yang mempunyai arti lebih luas

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA HUKUM PERJANJIAN KERJA YANG DIBUAT OLEH PERUSAHAAN DENGAN TENAGA KERJA YANG DIDAFTARKAN PADA DINAS SOSIAL DAN TENAGA KERJA KOTA MEDAN

BAB II KERANGKA HUKUM PERJANJIAN KERJA YANG DIBUAT OLEH PERUSAHAAN DENGAN TENAGA KERJA YANG DIDAFTARKAN PADA DINAS SOSIAL DAN TENAGA KERJA KOTA MEDAN 42 BAB II KERANGKA HUKUM PERJANJIAN KERJA YANG DIBUAT OLEH PERUSAHAAN DENGAN TENAGA KERJA YANG DIDAFTARKAN PADA DINAS SOSIAL DAN TENAGA KERJA KOTA MEDAN A. Perjanjian pada Umumnya Suatu perikatan adalah

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata, bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. signigfikan terhadap sistem ekonomi global dewasa ini. Teknologi telah

BAB I PENDAHULUAN. signigfikan terhadap sistem ekonomi global dewasa ini. Teknologi telah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan sains dan teknologi membawa dampak yang signigfikan terhadap sistem ekonomi global dewasa ini. Teknologi telah membawa kontribusi yang begitu domain

Lebih terperinci

seperti Hak Cipta (Copyright), Merek (Trade Mark)maupun Desain

seperti Hak Cipta (Copyright), Merek (Trade Mark)maupun Desain 19 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perlindungan Hukum Rahasia Dagang 1. Penjelasan Rahasia Dagang Rahasia Dagang (Trade Secret) memegang peranan penting dalam ranah Hak Kekayaan Intelektual. Rahasia Dagang

Lebih terperinci

BAB II FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TUNTUTAN PEMBATALAN AKTA PERJANJIAN BANGUN BAGI DI KOTA BANDA ACEH

BAB II FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TUNTUTAN PEMBATALAN AKTA PERJANJIAN BANGUN BAGI DI KOTA BANDA ACEH BAB II FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TUNTUTAN PEMBATALAN AKTA PERJANJIAN BANGUN BAGI DI KOTA BANDA ACEH A. Pengertian Perjanjian dan Perjanjian Bangun Bagi Hukum perjanjian merupakan bagian dari hukum perikatan,

Lebih terperinci

Diskusi Mata Kuliah Gemar Belajar Perjanjian dan Waris

Diskusi Mata Kuliah Gemar Belajar Perjanjian dan Waris Diskusi Mata Kuliah Gemar Belajar Perjanjian dan Waris Pembicara : 1. Betric Banjarnahor (2012) : 2. Dian Prawiro Napitupulu (2013) Pemateri : 1. Tioneni Sigiro (2014). 2. Waristo Ritonga (2014) Moderator

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN KOPERASI. Perikatan-Perikatan yang dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN KOPERASI. Perikatan-Perikatan yang dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian, 23 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN KOPERASI 2.1 Pengertian Perjanjian Kredit Pasal 1313 KUHPerdata mengawali ketentuan yang diatur dalam Bab Kedua Buku III KUH Perdata, dibawah judul Tentang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT A. Pengertian Hukum Jaminan Kredit Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, zekerheidsrechten atau security of law. Dalam Keputusan

Lebih terperinci