BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan kemakmuran masyarakat yaitu melalui pengembangan. masalah sosial kemasyarakatan seperti pengangguran dan kemiskinan.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. miskin mulai dari awal peradaban hingga sekarang ini. Kemiskinan

BAB I PENDAHULUAN. bermartabat. Kemiskinan menurut PBB didefenisikan sebagai kondisi di mana

BAB I PENDAHULUAN. multidimensi, yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek. hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi.

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan

BAB I PENDAHULUAN. pada sebuah ketidakseimbangan awal dapat menyebabkan perubahan pada sistem

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. dihadapi oleh semua negara di dunia. Amerika Serikat yang tergolong sebagai

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pembangunan pada dasarnya merupakan suatu proses multidimensional

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembangunan daerah adalah meningkatkan. pertumbuhan sektor ekonomi, dengan pendapatan sektor ekonomi yang tinggi

BAB I PENDAHULUAN. fisik/fasilitas fisik (Rustiadi, 2009). Meier dan Stiglitz dalam Kuncoro (2010)

BAB I PENDAHULUAN. dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya yang menjadi masalah

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi hampir

BAB I PENDAHULUAN. telah memberlakukan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. negara. Menurut Bank Dunia (2000) dalam Akbar (2015), definisi kemiskinan adalah

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Kabupaten Wonogiri di bagian tenggara, Kabupaten Klaten di bagian timur laut,

BAB I PENDAHULUAN. yang baik. Perencanaan berfungsi sebagai alat koordinasi antar lembaga pemerintahan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Masalah. Pembangunan adalah kenyataan fisik sekaligus keadaan mental (state

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan penggunaan waktu (Boediono, 1999). pada intinya PDB merupakan nilai moneter dari seluruh produksi barang jadi

BAB I PENDAHULUAN. selalu mengalami kenaikan dalam jumlah maupun kualitas barang dan jasa

BAB I PENDAHULUAN. Pada konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa

BAB I PENDAHULUAN. baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan suatu kondisi bukan hanya hidup dalam

BAB I PENDAHULUAN. suatu perhatian khusus terhadap pembangunan ekonomi. Perekonomian suatu

BAB I PENDAHULUAN. senantiasa berada di garda terdepan. Pembangunan manusia (human development)

PENDAHULUAN. 1 Butir 7 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah pembangunan Indonesia seutuhnya. Kemiskinan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. negara di dunia, terutama negara sedang berkembang. Secara umum

BAB I PENDAHULUAN. (Pemekaran setelah Undang-Undang Otonomi Khusus) yang secara resmi

BAB I PENDAHULUAN. Pendekatan pembangunan manusia telah menjadi tolak ukur pembangunan. pembangunan, yaitu United Nations Development Programme (UNDP)

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari

BAB I PENDAHULUAN. maka membutuhkan pembangunan. Manusia ataupun masyarakat adalah kekayaan

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. terbukti PBB telah menetapkan Millenium Development Goals (MDGs). Salah

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan masyarakat di suatu wilayah. Hasil dari pembangunan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan pembangunan. Pembangunan pada dasarnya adalah suatu proses

BAB I PENDAHULUAN. Kesejahteraan masyarakat merupakan tujuan dari pembangunan, namun pada

BAB I PENDAHULUAN. dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah disparitas (ketimpangan)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu indikator kemajuan suatu negara tercermin pada kemajuan bidang

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional. Pembangunan. secara material dan spiritual (Todaro dan Smith, 2012: 16).

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. memiliki tingkat kemiskinan ekstrem yang mencolok (Todaro dan Smith, 2011:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan daerah lain di pulau Jawa yang merupakan pusat dari pembangunan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu isi deklarasi milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Pembangunan di Indonesia secara keseluruhan

BAB I PENDAHULUAN. Pendapatan Perkapita Terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Di Provinsi Riau. Vol. II, No. 02, (Oktober, 2015), 1-2.

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus

DINAMIKA PEREKONOMIAN LAMPUNG

BAB I PENDAHULUAN. Perekonomian yang secara terus menerus tumbuh akan menimbulkan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Determinan kemiskinan..., Roy Hendra, FE UI, Universitas Indonesia

BAB VII P E N U T U P

BAB I PENDAHULUAN. dalam Millenium Development Goals (MDGs). MDGs berisi delapan tujuan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan suatu negara sangat tergantung pada jumlah penduduk

LATAR BELAKANG DAN KONDISI UMUM

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pada Bab IV, maka hasil yang

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusiinstitusi

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan, BPS (2007). Kemiskinan dipengaruhi oleh berbagai fakor antara lain,

BAB I PENDAHULUAN. dibahas adalah masalah kemiskinan. Baik di negara maju atau negara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan serta penanganan ketimpangan pendapatan. dunia. Bahkan dari delapan butir Millenium Development Goals (MDGs) yang

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Barat. Bab ini

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

I-1 BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup

Sebagai sebuah instansi sektor publik, Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, memperluas angkatan kerja dan mengarahkan pendapatan yang merata

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam mewujudkan pendidikan yang lebih upaya untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Isi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 diantaranya menyatakan

BAB 1 PENDAHULUAN. upaya-upaya secara maksimal untuk menciptakan rerangka kebijakan yang

I. PENDAHULUAN. setiap negara, terutama di negara-negara berkembang. Negara terbelakang atau

Ikhtisar Pencapaian MDGs Provinsi Kepulauan Riau Menurut Jumlah Indikator

I. PENDAHULUAN. orang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yaitu sandang, pangan, dan papan.

BAB I PENDAHULUAN. manusia atau masyarakat suatu bangsa, dalam berbagai kegiatan

Daftar Isi DAFTAR ISI... I DAFTAR GAMBAR... IIII DAFTAR TABEL... IV

BAB I PENDAHULUAN. menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi jika bergantung pada

DAFTAR ISI. RAD MDGs Jawa Tengah

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, sehingga harus disembuhkan atau paling tidak dikurangi. Permasalahan kemiskinan memang

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan pada era 1950-an hanya berfokus pada bagaimana

Penilaian Pencapaian MDGs di Provinsi DIY Oleh Dyna Herlina Suwarto, SE, SIP

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

I. PENDAHULUAN. (NSB) termasuk Indonesia sering berorientasi kepada peningkatan pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi tingkat kalangsungan hidup. Menurut World bank (2004), salah

BAB I PENDAHULUAN. mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi di daerah adalah pertumbuhan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses yang terintegrasi dan komprehensif dari perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian yang tidak terpisahkan. Di samping mengandalkan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan per kapita penduduk, tujuan pembangunan juga harus memeperhatikan proses pemerataan kegiatan ekonomi disuatu wilayah. Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk mewujudkan kemakmuran masyarakat. Salah satu upaya untuk mewujudkan kemakmuran masyarakat yaitu melalui pengembangan perekonomian. Pengembangan perekonomian diharapkan dapat menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan seperti pengangguran dan kemiskinan. Kemiskinan merupakan masalah yang sangat komplek dan multidimensional yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya. Oleh karena itu penanggulangan kemiskinan harus dilakukan dengan cara menyusun strategi penanganan yang tepat, berkelanjutan, dan tidak bersifat temporer. Hal tersebut yang pada akhirnya membuat Perserikatan Bangsa- Bangsa atau sering disebut PBB mengeluarkan sebuah program yang bertujuan untuk melakukan pembangunan diberbagai aspek, baik ekonomi maupun sosial. Program tersebut dikenal dengan nama Millennium Development Goals (MDGs). Di tahun 2000 beberapa negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) menandatangani Deklarasi Milenium yang menunjukkan komitmen 1

bangsa-bangsa tersebut untuk mencapai delapan sasaran pembangunan millenium (Millenium Development Goals-MDGs) dimana salah satu tujuannya adalah mengentaskan masalah kemiskinan. Hal tersebut menunjukkan bahwa masalah kemiskinan sangat penting dan harus segera diatasi agar taraf kehidupan masyarakat meningkat. Kemiskinan tidak hanya berkenaan dengan tingkat pendapatan tetapi juga dari aspek sosial, lingkungan, bahkan keberdayaan dan tingkat partisipasi. Menurut Sen, 1995 (Yacoub, 2012) menyatakan bahwa kemiskinan jangan dianggap hanya sebagai pendapatan rendah (low income), tetapi harus dianggap sebagai ketidakmampuan kapabilitas (capability handicap). Menurut Chambers (dalam Nanga, 2006; dalam Yacoub, 2012), kemiskinan terutama di daerah pedesaan (rural poverty) adalah masalah ketidakberdayaan, keterisolasian, kerentanan, dan kelemahan fisik, dimana satu sama lain saling terkait dan memperngaruhi. Namun demikian, kemiskinan merupakan faktor penentu yang memiliki pengaruh paling kuat dari pada yang lainnya. Berdasarkan pemahaman tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kemiskinan dapat menjadi penentu dan faktor dominan yang mempengaruhi persoalan kemanusiaan seperti keterbelakangan, kebodohan, keterlantaran, kriminalitas, kekerasan, perdagangan manusia, buta huruf, putus sekolah, anak jalanan, dan pekerja anak. Dengan demikian kemiskinan tidak bisa hanya dipandang dari satu sisi rendahnya pendapatan tetapi harus dari banyak aspek yang saling terkait sehingga bersifat multidimensi. 2

Di Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri Pemerintah DIY telah memiliki komitmen kuat dalam upaya mewujudkan tercapainya target MDGs. Integrasi tujuan-tujuan MDGs tersebut dapat dicermati dalam berbagai program prioritas pembangunan yang terdapat pada dokumen Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) sebagai penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta melaui Peraturan Gubernur Nomor 56 tahun 2011 telah menyusun Rencana Aksi Percepatan Pencapaian Tujuan MDGs di Daerah dan telah diperkuat dalam pelaksanaannya dengan surat Keputusan Gubernur Nomor 36.2/TIM/2012 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Percepatan Pencapaian Target MDGs. Secara umum, capaian MDGs di DIY telah menunjukkan hasil yang positif. Mayoritas indikator dari 8 tujuan pembangunan telah dicapai. Beberapa indikator di bidang pendidikan telah menunjukkan pencapaian yang baik, seperti pencapaian angka melek huruf usia 15-25 tahun, ataupun rasio angka partisipasi murni baik perempuan dan laki-laki di jenjang pendidikan SD dan SLTP. Begitu juga dengan prevalensi balita dengan berat badan rendah/kekurangan gizi serta gizi buruk, telah mencapai target. Namun, beberapa indikator memerlukan perhatian khusus dan kerja keras. Salah satunya adalah indikator yang terkait dengan masalah penurunan angka kemiskinan. Pada Tabel 1.1 menunjukkan target dan realisasi pencapaian MDGs di DIY tahun 2014 yang terkait dengan indikator penanggulangan kemiskinan dan kelaparan. 3

Tabel 1.1 Target dan Realisasi Pencapaian MDGs di DIY Tahun 2014 No Indikator 1 Proporsi penduduk dengan pendapatan kurang dari USD 1,00 (PPP) per kapita per hari dan Prosentase Penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan 2 Indeks kedalaman kemiskinan Capaian Target MDGs 2014 2015 Status 14,55 10,30% Perlu Perhatian Khusus 2,19 2,50% Perlu Perhatian Khusus Sumber: Laporan Kinerja DIY 2014 (diolah)tabel 1 Dari tabel 1.1 dapat disimpulkan bahwa indikator yang terkait dengan masalah kemiskinan perlu mendapatkan perhatian khusus karena indikator tersebut belum mencapai target. Oleh karena itu upaya pengentasan kemiskinan penting dilakukan. Walaupun dapat kita lihat pada tabel 1.2 angka kemiskinan di DIY semakin menurun dari tahun ke tahun, namun laju penurunannya juga menunjukkan kecenderungan yang lebih melambat. Hal ini menandakan bahwa target pengurangan angka kemiskinan tidak mudah untuk dicapai. Tabel 1.2 Penduduk Miskin di DIY Jumlah % terhadap % naik turunnya Tahun Jumlah Penduduk jumlah penduduk (000/jiwa) Provinsi miskin setiap tahun 2006 648.720 19,15 5,3 2007 633.600 18,99 2,3 2008 608.830 18,02 3,9 2009 574.920 16,86 5,6 2010 540.400 16,83 6,0 2011 564.300 16,14 4,4 2012 565.700 15,88 0,2 2013 541.900 15,03 4,2 Sumber: BPS DIY (diolah)tabel 2 4

Dilihat dari Tabel 1.2, jumlah penduduk miskin di Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2006 mengalami kenaikan sebesar 648.720 jiwa dari 615.790 jiwa di tahun sebelumnya. Jumlah tersebut naik sekitar 5,3 persen dari tahun sebelumnya. Di tahun 2007 sebesar 633.600 jiwa, jumlah tersebut turun sebanyak 2,3 persen dari tahun sebelumnya. Di tahun 2008 jumlah penduduk miskin turun menjadi 608.830 jiwa atau turun sebesar 3,9 persen dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2009 jumlah penduduk miskin kembali turun menjadi 574.920 jiwa dengan persentase penurunan sebesar 5,6 persen dari tahun sebelumnya. Jumlah tersebut masih mengalami penurunan sebesar 540.400 jiwa pada tahun 2010 dengan persentase penurunan sebesar 6,0 persen. Tahun 2011 terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin dari 540.400 jiwa menjadi 564.300 dan terus meningkat sampai tahun 2012 menjadi 565.700 jiwa. Persentase peningkatannya sebesar 4,4 persen di tahun 2011 dan 0,2 persen di tahun 2012. BPS (2011) melaporkan peningkatan ini disebabkan oleh laju inflasi 7,45 persen dalam periode bulan Februari 2010 sampai Februari 2011. Jumlah penduduk miskin kembali turun di tahun 2013 menjadi 541.900 jiwa dengan persentase penurunan sebesar 4,2 persen. Menurut dokumen RKPD DIY tahun 2015 tingkat kemiskinan di DIY cenderung mengalami penurunan tetapi secara nasional jumlah penduduk miskin di DIY masih tergolong tinggi. Hal tersebut dapat dilihat pada Grafik 1.1 yang menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan DIY masih di atas tingkat kemiskinan secara nasional. Oleh karena itu, pemerintah daerah DIY terus berupaya untuk mengatasi masalah kemiskinan. 5

Grafik 1.1 Tingkat Kemiskinan DIY dan Nasional tahun 2006-2013 (%) 25 20 15 10 19,15 18,99 17,75 16,58 18,32 15,42 17,23 16,83 14,25 13,33 16,08 15,88 15,03 12,49 11,96 11,47 DIY NASIONAL 5 0 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Sumber: Laporan EKPD DIY 2009 (diolah) Grafik 1 Meskipun data tahunan menunjukkan kencenderungan penurunan persentase penduduk miskin di DIY dari tahun ke tahun namun secara nasional masih tergolong tinggi. Tidak hanya dilihat secara nasional bahwa tingkat kemiskinan di DIY masih tergolong tinggi, tetapi juga dapat dilihat dari rata-rata persentase penduduk miskin se-jawa pada tahun 2006-2013. Alasan pulau Jawa dijadikan pembanding karena pulau Jawa memiliki beberapa keistimewaan salah satunya yaitu pulau jawa memiliki pertumbuhan yang sangat pesat dibandingkan dengan pulau-pulau yang lain. Pulau Jawa juga sebagai tempat yang memiliki kualitas SDM yang cukup tinggi, beberapa kota seperti Yogyakarta, Jakarta, Bandung, Malang merupakan pusat pendidikan dengan kualitas yang baik berada di Pulau Jawa. Kualitas SDM dan pendidikan dapat dicerminkan melalui nilai Indeks Pembangunan Manusianya. Bila dibandingkan dengan pulau-pulau besar lainnya pulau Jawa memiliki nilai IPM yang cukup tinggi. Dilihat pada grafik rata-rata IPM di setiap pulau besar yang ada di Indonesia dari tahun 2006-2013. 6

Grafik 1.2 Rata-rata IPM 5 Pulau Besar di Indonesia Tahun 2006-2013 73,17 73,14 71,97 71,15 66,66 59,54 Sumatera Jawa Indonesia Sulawesi Papua Kalimantan Sumber: BPS (diolah) Grafik 2 Grafik di atas menunjukkan rata-rata nilai IPM 5 pulau besar di Indonesia dari tahun 2006-2013, dapat dilihat bahwa pulau Jawa menempati posisi kedua setelah pulau Sumatera dengan nilai IPM sebesar 73,14 jika dibandingkan dengan pulau-pulau besar lainnya. Jika dilihat dari jumlah provinsi yang ada di setiap pulau, pulau Jawa memiliki jumlah provinsi yang lebih sedikit dibandingkan dengan pulau Sumatera namun sudah memiliki nilai IPM yang cukup tinggi. Hasil rata-rata persentase penduduk miskin se-jawa pada tahun 2006-2013 menunjukkan bahwa DIY menempati posisi kedua setelah provinsi Jawa Tengah. Dapat dilihat pada tabel dan grafik berikut ini dimana rata-rata persentase penduduk miskin di DIY masih tergolong tinggi dibandingkan dengan provinsi lain yang berada di pulau jawa dengan rata-rata persentase sebesar 16,96 persen. Tabel 1.3 Persentase Penduduk Miskin se-jawa Tahun 2006-2013 Provinsi 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Rata-rata DKI Jakarta 4,57 4,61 4,29 3,62 3,48 3,75 3,70 3,72 3,97 Banten 9,79 9,07 8,15 7,64 7,16 6,32 5,71 5,89 7,47 Jawa Barat 14,49 13,55 13,01 11,96 11,27 10,65 9,89 9,61 11,80 Indonesia 17,75 16,58 15,42 14,25 13,33 12,49 11,96 11,47 14,16 Jawa Timur 21,09 19,98 18,51 16,68 15,26 14,23 13,08 12,73 16,45 DI.Yogyakarta 19,15 18,99 18,02 16,86 15,63 16,14 15,88 15,03 16,96 Jawa Tengah 22,19 20,43 19,23 17,72 16,56 15,76 14,98 14,44 17,66 Sumber: BPS (diolah) Tabel 3 7

Grafik 1.3 Rata-rata Persentase Penduduk Miskin se-jawa Tahun 2006-2013 11,80 14,16 16,45 16,96 17,66 7,47 3,97 DKI Jakarta Banten Jawa Barat Indonesia Jawa Timur DI.Yogyakarta Jawa Tengah Sumber: BPS (diolah)grafik 3 Apabila dilihat menurut wilayah per kabupatennya jumlah penduduk miskin per kabupaten di beberapa tahun mengalami fluktuatif. Berikut Tabel 1.4 yang menunjukkan jumlah penduduk miskin dan Grafik 1.4yang menunjukkan tingkat kemiskinan kabupaten/kota di DIY dari tahun 2006-2013. Tabel 1.4 Jumlah Penduduk Miskin Kabupaten/Kota di DIY (000) Jiwa Kabupaten 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Kulonprogo 106.120 103.820 97.920 89.910 90.000 92.800 93.200 86.500 Gunung Kidul 194.440 192.070 173.520 163.670 148.700 157.100 157.800 152.400 Bantul 178.160 169.320 164.330 158.520 146.900 159.400 159.200 156.600 Sleman 128.090 125.350 125.050 117.530 117.000 117.300 118.200 110.800 Kota Yogyakarta 45.180 42.930 48.110 45.290 37.800 37.700 37.400 35.600 Sumber: BPS DIY (diolah)tabel 4 Grafik 1.4 Tingkat Kemiskinan Kabupaten/Kotadi DIYtahun 2006-2013 35,00 30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 0,00 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Kulonprogo Gunung Kidul Bantul Sleman Kota Yogyakarta Sumber: BPS DIY (diolah)grafik 4 8

Grafik dan tabel di atas menunjukkan bahwa rata-rata tingkat kemiskinan paling tinggi berada di kabupaten Kulonprogo, kemudian posisi kedua ditempati oleh kabupaten Gunung Kidul, diposisi ketiga adalah kabupaten Bantul, diposisi keempat adalah kabupaten Sleman dan diposisi kelima dengan tingkat kemiskinan paling rendahadalah Kota Yogyakarta. Selain melihat seberapa besar tingkat kemiskinan di DIY dengan membandingkan pada tingkat nasional maupun pada tingkat provinsi se-jawa, bila dilihat menurut persentase luas wilayah provinsi se-jawa terhadap Indonesia, persentase luas wilayah DIY terhadap Indonesia yang dibandingkan dengan provinsi lain se-jawa hanya sebesar 0,16 persen, sedangkan rata-rata persentase penduduk miskin DIY se-jawa sebesar 16,96 persen dimana rata-rata tersebut menunjukkan DIY memiliki tingkat kemiskinan yang cukup tinggi setelah provinsi Jawa Tengah. Selain itu juga rasio antar provinsi se-jawa terutama rasio antar provinsi yang tingkat kemiskinannya berada di atas tingkat kemiskinan nasional yaitu provinsi Jawa timur dan provinsi Jawa Tengah, DIY merupakan wilayah dengan angka rasio tertinggi dibandingkan dengan kedua provinsi yang tingkat kemiskinannya berada di atas nasional. Angka rasio didapat dari perhitungan antara rata-rata jumlah penduduk miskin di setiap provinsi se-jawa yang dibandingkan dengan luas wilayahnya. Berikut grafik persentase luas wilayah setiap provinsi se-jawa terhadap luas Indonesia dan tabel rasio antara rata-rata jumlah penduduk miskin se-jawa dengan luas wilayah setiap provinsi di Pulau Jawa. 9

Grafik 1.5 Persentase Luas Wilayah setiap Provinsi se-jawa terhadap Luas Indonesia Sumber: BPS (diolah)grafik 5 Tabel 1.5 Rasio Rata-rata Jumlah Penduduk Miskin terhadap Luas Wilayah Provinsi di setiap Provinsi se-jawa Rata-rata Jumlah Penduduk Miskin Luas Wilayah (Km 2 ) Rasio DKI Jakarta 366,72 664,01 0,55 Banten 771,88 9662,92 0,08 Jawa Barat 4962,86 35377,76 0,14 Jawa Timur 6027,39 47799,75 0,13 DI.Yogyakarta 583,50 3133,15 0,19 Jawa Tengah 5702,24 32800,69 0,17 Sumber: BPS (diolah) Tabel 5 Dari grafik dan tabel di atas alasan lain mengapa peneliti mengambil studi kasus di DIY karena DIY memiliki wilayah yang tidak terlalu luas tetapi memiliki tingkat kemiskinan yang cukup tinggi dibandingkan dengan provinsi lain se-jawa dan memiliki angka rasio tertinggi dibandingkan dengan provinsi lain yang tingkat kemiskinannya di atas nasional. Kualitas sumber daya manusia merupakan salah satu faktor penyebab tingkat kemiskinan pada masyarakat. Kualitas sumber daya ini biasanya diukur melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yaitu dengan melihat tinggi 10

rendahnya pendapatan masyarakat, pendidikan, dan kesehatan. Rendahnya produktivitas penduduk akan berdampak pada rendahnya perolehan pendapatan penduduk. Jika pertumbuhan pendapatan masyarakat rendah, maka akibatnya terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin di suatu daerah. Pendapatan per kapita merupakan pendapatan yang didapat dari keseluruhan rata-rata penduduk suatu negara pada suatu periode tertentu. Pendapatan per kapita juga merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk menggambarkan tingkat kemakmuran masyarakat secara makro. Menurut UNDP tahun 2007 dalam dokumen evaluasi kinerja pembangunan Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2009, DIY menempati urutan ke dua tertinggi setelah DKI Jakarta mengenai kualitas sumber daya manusia yang salah satunya indikator daya beli. Padahal dibandingkan dengan angka nasional tingkat pendapatan per kapita penduduk DIY tergolong rendah. Hal ini menunjukkan bahwa sekalipun pendapatan per kapita penduduk DIY relatif rendah tetapi tingkat kemakmuran yang dicapai lebih tinggi, karena apabila pendapatan per kapita yang rendah diikuti oleh inflasi yang relatif rendah menjadikan penduduk memiliki daya beli yang baik. Investasi merupakan salah satu indikator pertumbuhan ekonomi suatu negara atau daerah. Dengan adanya investasi, suatu daerah dapat mengembangkan produk dan jasa yang bernilai sehingga dapat menciptakan lapangan pekerjaan dan menurunkan angka pengangguran. Terserapnya tenaga kerja pada lapangan pekerjaan di daerah tersebut dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Dengan 11

demikian, perkembangan investasi dapat mengurangi jumlah masyarakat yang berada dibawah garis kemiskinan. Menurut UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah menyebabkan perubahan mendasar dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia. Perubahan mendasar kedalam sistem pemerintahan daerah ini tercermin dari berlakunya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Salah satu upaya untuk mengatasi kemiskinan adalah dengan menetapkan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal dapat mempengaruhi jumlah penduduk melalui komposisi anggaran atau belanja daerah. Belanja modal merupakan bagian dari belanja daerah yang dapat memberikan dampak pada kesejahteraan masyarakat dan pengurangan kemiskinan melalui berbagai program penanggulangan kemiskinan yang dianggarkan. Belanja modal berfungsi sebagai pemicu dan memperlancar terlaksananya pembangunan ekonomi daerah dengan baik sehingga pertumbuhan ekonomi meningkat lebih cepat (Wati, 2015). Melalui gambaran dari realita dan data di atas, dapat disimpulkan bahwa kemsikinan di Daerah Istimewa Yogyakarta masih tergolong tinggi hal tersebut terjadi karena adanya faktor-faktor dari komponen ekonomi lain yang masih belum ditingkatkan secara maksimal. Padahal tujuan dari pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk. Kesejahteraan yang dimaksud tidak semata-mata diukur dari aspek tinggi atau rendahnya pendapatan per kapita maupun tingkat pertumbuhannya, tetapi juga menyangkut aspek penurunan tingkat kemiskinan dan pemerataan pendapatan yang diterima penduduk. Tingkat 12

kemiskinan menjadi tolak ukur utama kesejahteraan penduduk, semakin tinggi kemiskinan mencerminkan tingkat kesejahteraan yang semakin memburuk, dan sebaliknya jika semakin rendah kemiskinan maka mencerminkan kesejahteraan yang semakin membaik. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahannya adalah tingkat kemiskinan di DIY masih cukup tinggi meskipun nilai IPM, pendapatan per kapita, dan belanja modal daerah selalu mengalami peningkatan dari tahun 2006-2013 kecuali investasi yang pernah mengalami kemunduran akibat dari beberapa faktor seperti bencana alam yaitu gempa bumi. Menurut teori apabila suatu daerah memiliki nilai IPM, pendapatan per kapita, belanja modal daerah, dan investasi yang terus naik seharusnya memiliki tingkat kemiskinan yang rendah, terutama bila dibandingkan pada tingkat nasional dan tingkat provinsi se-jawa. Apabila dilihat dari wilayah DIY yang tidak terlalu luas bila dibandingkan dengan provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur dimana kedua provinsi tersebut memiliki tingkat kemiskinan di atas tingkat kemiskinan nasional, seharusnya tingkat kemiskinan di DIY berada di bawah tingkat kemiskinan nasional mengingat bahwa wilayah DIY tidak terlalu luas. 1.3 Tujuan Penelitian Dari rumusan masalah tersebut, tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah: 1. Mengetahui pengaruh indeks pembangunan manusia terhadap tingkat kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta. 13

2. Mengetahui pengaruh pendapatan per kapita riil terhadap tingkat kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta. 3. Mengetahui pengaruh investasi terhadap tingkat kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta. 4. Mengetahui pengaruh belanja modal daerah terhadap tingkat kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta. 1.4 Manfaat Penelitian 1. Bagi Penulis Memberikan pengalaman dan wawasan yang bermanfaatbagi penulis untuk mengaplikasikan teori-teori yang didapat selama kuliah dan diterapkan dalam sebuah penelitian. 2. Bagi Universitas Menjadi bukti bahwa mahasiswa mampu memahami ilmu yang telah didapatkan selama mengikuti proses pembelajaran di universitas. 3. Bagi Pembaca a. Memberikan wawasan baru bagi pembaca, khususnya dibidang perencanaan pembangunan daerah. b. Pembaca dapat mengetahui didalam proses penerapan ilmu pengetahuan bahwasanya sering menemui kendala dan kesulitan yang perlu diteliti dan diuji dengan menggunakan teori-teori yang sudah ada. c. Memberikan informasi yang berguna bagi pembaca mengenai faktorfaktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta. d. Dapat dijadikan sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya dengan menggunakan metode analisis dan alat analisis yang sama. 14

1.5 Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran dari penelitian ini adalah sebagai berikut: Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran Latar Belakang Adanya indikasi bahwa tingkat kemiskinan di DIY masih tergolong tinggi, meskipun dalam tiga tahun terakhir mengalami penurunan, namun penurunan tersebut cenderung melambat. Rumusan Masalah Tingkat kemiskinan di DIY masih cukup tinggi meskipun nilai IPM, pendapatan per kapita, dan belanja modal daerah selalu mengalami peningkatan kecuali investasi. Tujuan Mengetahui pengaruh IPM, pendapatan per kapita riil, investasi, dan belanja modal daerah terhadap tingkat kemiskinan di DIY dan seberapa besar pengaruhnya. Metodologi Menggunakan analisis deskriptif dan kuantitatif Data Data jumlah penduduk miskin kabupaten/kota DIY, IPM, pendapatan per kapita riil, investasi, dan belanja modal daerah kabupaten/kota DIY tahun 2006-2013. Alat Analisis Regresi Data Panel Hipotesis H 0 : Variabel IPM, pendapatan per kapita riil, investasi, dan belanja modal daerah berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan didiy tahun 2006-2013. H 1 : Variabel IPM, pendapatan per kapita riil, investasi, dan belanja modal daerah tidak berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan didiy tahun 2006-2013. Gambar Sumber:Data 1 penelitian terdahulu (diolah) Wati (2015), Nurmainah (2013), Rika, dkk(2012) 15

Analisis pengaruh IPM, pendaptan per kapita riil, investasi, dan belanja modal daerah di setiap kabupaten/kota di DIY terhadap tingkat kemiskinan kabupaten/kota di DIY merupakan pembahasan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Dimana data yang akan digunakan adalah data kabupaten/kota di DIY selama delapan tahun yaitu tahun 2006-2013. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi data panel karena data yang akan dianalisis merupakan data cross section berupa data kabupaten/kota di DIY dan data time series selama periode 2006-2013. Setelah regresi data panel dilakukan kemudian dapat diketahui bagaimana pengaruh dari IPM, pendapatan per kapita riil, investasi, dan belanja modal daerah dari setiap kabupaten/kota di DIY apakah berpengaruh secara signifikan dan memiliki hubungan yang positif terhadap tingkat kemiskinan di setiap kabupaten/kota di DIY ataupun sebaliknya. Setelah diketahui pengaruh dari IPM, pendapatan per kapita riil, investasi, dan belanja modal daerah dari setiap kabupaten/kota di DIY terhadap tingkat kemiskinan kabupaten/kota di DIY maka dapat dibuat kesimpulan dan saran yang sesuai dalam perencanaan pembangunan yang lebih baik untuk periode mendatang guna mengurangi tingkat kemiskinan di DIY. 16