1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit tuberkulosis (TB) paru adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis complex. Tuberkulosis di Indonesia merupakan masalah utama kesehatan masyarakat karena Indonesia adalah negara dengan pravalensi tuberkulosis ke-3 tertinggi di dunia setelah China dan India. World Health Organization (1999) menyatakan jumlah kasus tuberkulosis di Indonesia adalah 583.000 orang per tahun dan menyebabkan kematian sekitar 140.000 orang per tahun. WHO memperkirakan bahwa tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang paling banyak menyebabkan kematian pada anak dan orang dewasa (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006; Anonim, 2008). Departemen Kesehatan RI (2001) menjelaskan bahwa penderita TB paru 95% berada di negara berkembang dan 75% penderita TB paru adalah kelompok usia produktif (15 50 tahun) dengan tingkat sosial ekonomi rendah. TB paru di Indonesia merupakan penyebab kematian utama setelah penyakit jantung dan saluran pernafasan. Resiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-2%. Hal ini berarti pada daerah sebesar 1%, setiap tahun diantara 100.000 penduduk, 100 (seratus) orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB paru, hanya 10 % dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita TB paru. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita TB paru adalah daya tahan tubuh yang rendah (Depkes,2002).
2 Penelitian di Iran selama 5 tahun dari Januari 1999 sampai Agustus 2004 menjelaskan bahwa dari 350 pasien TB Paru 7 diantaranya mengalami Multi Drug Resisten Tuberkulosis. Tuberkulosis dari 7 kasus tersebut 6 (68%) kasus resisten tehadap rifampisin, 5 (71%) resisten terhadap isoniazid, 4 (57%) resisten terhadap streptomycin dan 2 (29 %) resisten terhadap etambutol, dan penambahannya 2 kasus (29%) resisten pada 4 obat (rifampisin, isoniazid, streptomycin dan etambutol), 1 kasus (14%) terhadap isoniazid, rifampisin, srteptomicin dan 2 kasus (29%) terhadap rifampisin, streptomycin, 1 kasus (14%) hanya resisten terhadap streptomycin, dan 1 kasus (14%) hanya resisten terhadap rifampicin (Khalilzadeh dkk, 2006). Berdasarkan Wulandari (2006) tentang gambaran pengobatan penyakit Tuberkulosis di instalasi rawat jalan RSUD dr. Moewardi Solo tahun 2003-2004, didapatkan pemakaian obat antituberkulosis paling banyak diberikan adalah kombinasi isoniazid, rifampisin dan pirazinamid sebanyak 61,17% dan kombinasi isoniazid, rifampisin sebanyak 37,65% dan kombinasi isoniazid, rifampisin dan etambutol 1,18% dengan lama pengobatan lengkap selama 6 bulan (Anonim, 2005). Isoniazid dan rifampisin merupakan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang menyebabkan hepatotoksik. Penanda dini dari hepatotoksik adalah peningkatan kadar enzim pada hati (http://www.journal.unair.ac.id; Sherlock, S. Dooley, J., 2002). Kerusakan hati dapat diakibatkan toksisitas langsung oleh obat atau metabolitnya. Reaksi hepatotoksik yang meningkat dapat ditandai dengan pemeriksaan fungsi hati seperti bilitubin, SGPT, GGT atau pemeriksaan yang lain (Kaplowitz N, 2001). Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan setelah pengobatan tuberkulosis adalah darah rutin, dan pemeriksaan fungsi hati seperti bilirubin, SGPT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase), GGT (Gamma Glutamiltransferase). Berdasarkan uraian diatas maka
3 dilakukan penelitian tentang kajian pemeriksaan laboratorium setelah pengobatan tuberkulosis paru. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, permasalahan yang dijadikan penelitian ini adalah Kajian pemeriksaan laboratorium setelah pengobatan tuberkulosis paru. 1.3.Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Mengetahui pengaruh obat tuberkulosis setelah 6 bulan pengobatan terhadap fungsi hati. 1.3.2. Tujuan Khusus 1. Mengukur kadar darah rutin setelah pengobatan 6 bulan. 2. Mengukur kadar SGPT setelah pengobatan 6 bulan. 3. Mengukur kadar GGT setelah pengobatan 6 bulan. 4. Mengukur kadar bilirubin setelah pengobatan 6 bulan. 5. Menganalisa pengaruh pengobatan tuberkulosis terhadap fungi hati.
4 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Bagi Penulis paru. Menambah pengetahuan pemeriksaan laboratorium setelah pengobatan tuberkulosis 1.4.2. Bagi Fakultas Ilmu Kesehatan Menyediakan informasi bagi civitas akademik tentang pengetahuan pemeriksaan laboratorium setelah pengobatan tuberkulosis paru. 1.4.3. Bagi Mayarakat Memberikan masukan dan informasi tentang pemeriksaan laboratorium setelah pengobatan tuberkulosis. 1.5. Originalitas Penelitian Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang sudah pernah dilakukan terdapat pada variabel terikatnya, dimana penelitian ini melihat perbedaan kadar SGOT dan SGPT sebelum dan sesudah pengobatan tuberkulosis paru. Adapun penelitian yang pernah dilakukan adalah : Peneliti, Penerbit, Tahun Judul Penelitian Hasil Penelitian Siska Sari Wulandari. Universitas Surakarta. 2008 Kajian Penggunaan Antibiotik pada Pasien Anak-anak Penyakit Tuberkulosis Paru di Instalansi Rawat Jalan Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta. Kajian penggunaan obat tuberkulosis yaitu jenis antibiotik, bentuk sediaan, dosis, frekuensi pemberian dan durasi pengobatan.
5 Bambang Ruswanto. UNDIP. 2010 Irma Tabrani. FK USU. 2007 Ucok Martin. FK USU. 2008 Analisis Spasial Sebarkan Kasus Tuberkulosis Paru ditinjau dari Faktor Lingkungan dalam dan Luar Rumah di Kabupaten Pekalongan. Konversi Sputum BTA pada Fase Intensif TB Paru Kategori I antara Kombinasi Dosis Tetap (KDT) dan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Generik di RSUP. H. Adam Malik Medan Prevalensi TB Laten pada Petugas Kesehatan di RSUP H. Adam Malik. Kondisi lingkungan dalam rumah dengan kejadian tuberkulosis paru ternyata menunjukkan ada hubungan yang bermakna dengan kejadian tuberkulosis paru. Penggunaan obat KDT dan OAT tidak dijumpai perbedaan konversi sputum BTA. Prevalensi TB Laten sama dengan prevalensi TB laten pada petugas kesehatan di Negaranegara yang sedang berkembang. Suwarno Usman. FK USU. 2008 Konversi BTA pada Penderita TB Paru Kategori I dengan Berat Badan Rendah Dibandingkan Berat Badan Normal yang Mendapatkan Terapi Intensif. Tidak ada perbedaan bermakna antara TB katego berat badan rendah dengan berat badan normal.
6