IV. ANALISA PERANCANGAN Mesin penanam dan pemupuk jagung menggunakan traktor tangan sebagai sumber tenaga tarik dan diintegrasikan bersama dengan alat pembuat guludan dan alat pengolah tanah (rotary tiller). Dalam perancangan bagian-bagian mesin perlu diperhatikan ruang yang tersedia agar tidak mengganggu pengoperasian traktor atau mesin tersebut. Mesin ini direncanakan menggunakan jarak tanam jagung 75 20 cm dengan penanaman benih sebanyak 1-2 benih per lubang pada kedalaman 2.5-5 cm. Pupuk urea, TSP, dan KCl dengan dosis 150 kg/ha urea, 200 kg/ha TSP, dan 100 kg/ha KCl ditempatkan pada alur sedalam 7-10 cm dengan jarak 10 cm dari alur taman. 4.1. Dasar Modifikasi Dasar-dasar dan konsep yang digunakan dalam modifikasi prototipe-1 dijelaskan pada Tabel 3. Tabel 3. Dasar dan konsep modifikasi Kelemahan prototipe-1 Komponen Yang Harus Diperbaiki Konsep Modifikasi 1. Posisi poros metering device terlalu tinggi Rangka utama Rangka utama dimodifikasi sehingga posisi bearing poros metering device turun 5 cm 2. Dosis pupuk tidak dapat diatur Metering device pupuk Pembuatan metering device yang dilengkapi dengan pengatur dosis 3. Aplikasi pupuk hanya dalam satu alur untuk ketiga jenis pupuk Hopper, metering device, saluran, pembuka alur pupuk Tiap-tiap komponen unit pemupuk dibuat dua buah, yaitu untuk pupuk urea dan untuk campuran pupuk TSP dan KCl 4. Roda penggerak tidak mampu memutar metering device dengan baik Roda penggerak Memperbesar luas permukaan dan jumlah sirip, menambahkan pegas penekan roda penggerak 4.2. Rancangan Struktural Modifikasi Prototipe awal dari mesin penanam dan pemupuk jagung terintegrasi terdiri dari unit penanam, pemupuk, dan pembuat guludan. Bagian-bagian tersebut dilakukan beberapa modifikasi pada unit penanam dan pemupuk untuk meningkatkan kinerja penanaman dan pemupukan.
4.2.1. Rangka Utama Rangka utama terbuat dari besi plat setebal 6 mm. Modifikasi rangka dilakukan untuk mengubah posisi poros metering device. Posisi metering device akan diturunkan 5 cm agar hopper benih dan pupuk tidak mengganggu penggunaan tuas-tuas pada traktor. Bentuk rangka disesesuikan dengan posisi unit penanam yang berada di bagian tengah. Perubahan posisi lubang poros juga mempertimbangkan posisi alat pembuat guludan yang nantinya juga akan dipasang bersamaan. Rancangan modifikasi rangka utama dapat dilihat pada Gambar 13. Gambar 13. Bentuk rangka dan posisi metering device sebelum (a) dan setelah modifikasi (b) 4.2.2. Penjatah Benih Prototipe mesin sebelumnya menggunakan penjatah tipe lempeng bercelah yang dipasang pada posisi miring. Penjatah ini memiliki kinerja yang cukup baik pada rancangan mesin sebelumnya. Masalah pada saat pengujian adalah benih tersangkut pada celah sehingga benih tidak dapat jatuh. Ukuran celah bagian bawah metering device dapat diperbesar agar benih yang masuk dapat jatuh dengan lancar. Jadi penjatah benih seperti pada Gambar 14 tetap dipakai pada perancangan mesin ini. Sistem transmisi digunakan untuk meneruskan daya putar dari roda penggerak menuju poros metering device (Gambar 15). Sistem ini juga berfungsi untuk mengatur jumlah putaran sehingga sesuai dengan kebutuhan poros metering device. Bagian ini tidak diubah karena tidak ada modifikasi sistem penjatahan benih. Jadi sistem transmisi yang digunakan adalah sproket, rantai, dan bevel gear. Pada poros roda penggerak menggunakan sproket dengan jumlah gigi sebanyak 14 buah dan 18 buah untuk poros penggerak metering device. Untuk mengubah arah putaran pada metering device benih digunakan 2 buah bevel gear dengan 14 buah gigi. Dengan celah metering device sebanyak 6 buah dan diameter roda penggerak sebesar 30 cm, maka jarak tanam benih menurut dapat dihitung menggunakan persamaan (1) (Syafri, 2010). 15
Gambar 14. Penjatah benih Gambar 15. Rancangan sistem transmisi yang digunakan *( ) ( ) ( ) ( )+ (1) Keterangan: J tanam G 1 G 2 b 1 b 2 j c = jarak tanam benih (cm) = jumlah gigi sproket pada poros roda penggerak (buah) = jumlah gigi sproket pada poros metering device (buah) = jumlah gigi bevel gear pada poros utama metering device (buah) = jumlah gigi bevel gear pada poros metering device benih (buah) = jumlah celah metering device benih (buah). = asumsi kemacetan roda penggerak. Dengan kombinasi beberapa ukuran sproket, hasil perhitungan tersebut dapat dilihat pada Tabel 4. 16
Tabel 4. Data hasil perhitungan jarak tanam benih jagung No D roda Macet Roda G 1 G 2 b 1 b 2 C b J tanam (cm) (%) (buah) (buah) (buah) (buah) (buah) (cm) 1 30 5 14 16 14 14 6 18.85 2 30 5 14 18 14 14 6 21.21 3 30 5 16 18 14 14 6 18.56 4 30 5 16 20 14 14 6 20.62 5 30 5 18 20 14 14 6 18.33 Untuk menghasilkan jarak tanam benih 20 cm, maka dipilih kombinasi sproket nomor 2, yaitu G 1 = 14, G 2 = 18, b 1 = 14, dan b 1 = 14. 4.2.3. Penjatah dan Pengatur Dosis Pupuk Pada prototipe-1, penjatah pupuk berbentuk rotor yang memiliki enam celah seperti terlihat pada Gambar 16. Sistem penjatahan pupuk ini memiliki beberapa kelemahan, yaitu dosis pupuk tidak bisa diatur secara langsung. Bentuk metering device seperti ini juga sulit untuk membuat pengaturnya. Untuk memudahkan pembuatan metering device dan pengaturnya, maka bentuk metering device pupuk dimodifikasi seperti Gambar 17. Gambar 16. Metering device pupuk prototipe-1 Perancangan penjatah pupuk disesuikan dengan kebutuhan pupuk untuk tanaman jagung (150 kg/ha urea, 200 kg/ha TSP, 100 kg/ha KCl). Penjatahan pupuk dibagi menjadi dua, yaitu penjatah untuk pupuk urea dan penjatah untuk campuran pupuk TSP dan KCl. Jadi dosis campuran pupuk TSP dan KCL (2:1) adalah 300 kg/ha. Menurut Syafri (2010) dosis pupuk per meter alur pupuk dihitung mengunakan persamaan (2) dan dosis pupuk tiap satu putaran metering device pupuk dapat dihitung menggunakan persamaan (3). 17
Gambar 17. Sketsa rancangan metering device pupuk prototipe-2 (2) ( ) (3) Keterangan: P p P 1put D p a G 1 G 2 = dosis pupuk per meter alur tanaman (g/m) = dosis pupuk per satu putaran metering device (g/putaran) = dosis pupuk per hektar (kg/ha) = jarak antar baris tanaman (m) = jumlah gigi sproket pada poros metering device (buah) = jumlah gigi sproket pada poros roda penggerak (buah) Hasil perhitungan tersebut disajikan dalam Tabel 5. Pupuk Tabel 5. Hasil perhitungan dosis pupuk per putaran D p (kg/ha) A (m) P p (g/m) P 1put (g/putaran) Urea 150 0.75 11.25 14.31 TSP + KCl (2:1) 300 0.75 22.5 28.63 18
Penjatah pupuk merupakan poros stainless steel dengan diameter 22 mm dan panjang sirip 6 mm sebanyak 4 buah. Volume pupuk yang harus ditampung oleh metering device dihitung menggunakan persamaan (4) (Syafri, 2010). Panjang metering device ditentukan oleh dosis dan jenis pupuk menggunakan persamaan (5). (4) ( ) (5) Keterangan: V 1put = volume pupuk per satu putaran metering device (cm 3 ) p = massa jenis pupuk (g/cm 3 ) L r 1 r 2 l t n = panjang metering device (mm) = jari-jari pupuk yang mengisi metering device (mm) = jari-jari poros metering device (mm) = tebal sirip metering device (mm) = tinggi sirip metering device (mm) = jumlah sirip metering device (mm) Hasil perhitungan tersebut disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6. Hasil perhitungan panjang metering device Pupuk P 1put V 1put (g/putaran) (cm 3 ) (mm) Urea 14.31 20.02 41.73 TSP + KCl (2:1) 28.63 26.61 55.45 L mm. Berdasarkan perhitungan pada Tabel 6, panjang bukaan metering device yang dibuat adalah 60 Gambar 18. Rancangan metering device dan pengatur dosis pupuk prototipe-2 19
Selubung rotor metering device dirancang berdasarkan bentuk metering device pupuk dan dibusat dari bahan polietilen agar mudah dalam pembuatnnya (Gambar 18). Pengatur dosis ini akan mengatur panjang metering device yang terisi pupuk dengan cara menggesernya. 4.2.4. Kotak (hopper) Benih dan Pupuk Selain posisinya (Gambar 19) yang dipindahkan di tengah dan posisi lubang pengeluaran berada di depan, tidak ada modifikasi pada bagian hopper pupuk. Bagian ini terdiri dari penutup hopper, dinding hopper benih, dan katup ruang penjatah. Kebutuhan volume hopper benih dan pupuk dihitung menggunakan persamaan (6) dan persamaan (7) (Syafri, 2010). Gambar 19. Posisi hopper benih sebelum (a) dan sesudah (b) modifikasi (6) Keterangan: V hb = volume hopper benih (cm 3 ) A = luas penanaman sekali mengisi hopper benih (1000 m 2 ) J = jumlah benih jagung setiap lubang tanam (1 biji) b = massa per butir benih jagung rata-rata (0.3 g) µ = jumlah unit mesin penanam dalam satu lintasan operasi (1 unit) b = kerapatan isi benih (0.676 g/cm 3 ) p l = jarak antar barisan tanam (75 cm) = jarak antar lubang tanam dalam barisan (20 cm) = 2958 cm 3 Jadi kebutuhan volume hopper benih adalah 2958 cm 3 (7) 20
Keterangan: V hp = volume hopper pupuk (cm 3 ) A = luas lahan pemupukan sekali mengisi hopper pupuk (1000 m 2 ) D = dosis pemupukan (kg/ha) µ = jumlah unit mesin pemupuk dalam satu lintasan operasi (1 unit) p = kerapatan isi pupuk (g/cm 3 ) Hasil perhitungan tersebut disajikan dalam Tabel 7. Tabel 7. Hasil perhitungan kebutuhan volume hopper pupuk Pupuk Dosis (kg/ha) p (g/cm 3 ) V hp (cm 3 ) Urea 150 0.715 20979.02 TSP + KCl (2:1) 300 1.076 27881.04 Jadi kebutuhan volume hopper pupuk urea 20979.02 cm 3, sedangkan campuran pupuk TSP dan KCl adalah 27881.04 cm 3. Fungsi hopper pupuk pada prototipe sebelumnya adalah untuk menampung tiga jenis pupuk sekaligus. Bagian dalam hopper (Gambar 20) terdapat sekat untuk memisahkan dua jenis pupuk. Pembuatan sekat tersebut dimaksudkan untuk memisahkan pupuk urea dengan TSP dicampur dengan KCL. Pada saat beroperasi pencampuran pupuk tidak dapat dihindari karena pupuk tercampur saat berada pada metering device. Sekat hanya memisahkan kedua pupuk tersebut pada hopper pupuk. Selain itu getaran yang terjadi saat beroperasi mengakibatkan kebocoran pada sekat tersebut. Modifikasi yang dilakukan pada bagian ini adalah membuat dua hopper untuk pupuk urea dan untuk campuran pupuk TSP dan KCl. Selain untuk menghindari pengumpalan pupuk, pembuatan dua hopper ini akan menambah volume pupuk yang bisa ditampung. Pupuk KCl memiliki sudut curah yang paling besar, yaitu 41.82 (Syafri, 2010). Sehingga sudut kemiringan hopper yang direncanakan adalah 45. Rancangan dan posisi hopper pupuk diperlihatkan pada Gambar 21. Gambar 20. Desain hopper pupuk prototipe-1 21
Gambar 21. Rancangan hopper pupuk prototipe-2 4.2.5. Roda Penggerak Agar poros metering device dapat berputar dengan baik, roda penggerak harus mampu memberikan torsi yang diperlukan. Untuk mengetahui besarnya gaya yang diperlukan untuk memutar poros tersebut diukur kebutuhan torsi untuk memutar poros metering device setelah unit penanam dan pemupuk selesai dibuat. Kebutuhan torsi yang diperlukan untuk memutar metering device dapat diukur seperti yang diilustrasikan pada Gambar 22. Pada saat pengukuran, hopper pupuk dan benih dalam keadaan terisi. Dari hasil pengukuran, kebutuhan gaya paling besar adalah 4.15 kg dengan panjang lengan pengukuran 50 mm. Gambar 22. Pengukuran kebutuhan gaya pada metering device Setelah nilai W diketahui, dengan faktor koreksi (f c ) sebesar 1.5 kemudian dihitung besar torsi yang dibutuhkan pada poros metering device (T 1 ) dan roda penggerak (T 2 ) menggunakan persamaan (8) dan (9) berikut ini: (8) m 22
(9) Kebutuhan torsi pada roda penggerak tersebut dihasilkan dari tahanan gelinding (rolling resistance) yang besar nilainya dapat diduga berdasarkan Persamaan (10) (Gill dan Berg, 1967). Pada persamaan tersebut d adalah diameter roda penggerak (inci), b adalah lebar roda (inci), W adalah bobot roda (lb) dan K adalah proporsionalitas yang nilainya tergantung dari kondisi tanah. Tahanan gelinding (F RR ) yang dihasilkan tergantung pada berat roda penggerak. Untuk menambah gaya yang dihasilkan oleh berat roda penggerak maka ditambahkan gaya pegas (Fp). Besarnya tahanan gelinding yang dibutuhkan dihitung menggunakan persamaan (11). Mekanisme penggunaan pegas dapat dilihat pada Gambar 23 dan gaya-gaya yang bekerja pada roda penggerak dapat dilihat pada Gambar 24. Gambar 23. Mekanisme penggunaan pegas Gambar 24. Gaya-gaya yang bekerja pada roda penggerak ( ) (10) 23
(11) Nilai d = 30 cm, b = 10 cm, W = 5 kg, dan K = 1.3 (Gill dan Berg, 1967). Massa roda akan ditambahkan gaya vertikal (F y ) dari gaya pegas, maka: ( ) ( ) ( ) = 3.66 lb = 1.66 kg = 16.28 N Besar sudut maksimal adalah 35, maka besar F p yang dihitung menggunakan persamaan (12). (12) = 5.87 kg = 57.57 N Gaya pegas yang dibutuhkan roda penggerak sebesar 57.57 N. Jadi pegas pada prototipe sebelumnya bisa digunakan, yaitu pegas yang memiliki koefisien pegas 0.5 kg/mm yang ditekan sejauh 12 mm. Untuk meningkatkan cengkeraman dengan permukaan tanah pada puncak guludan dengan permukaan tanah pada puncak guludan dilakukan modifikasi sirip roda seperti pada Gambar 25. Roda penggerak ditambahkan sirip radial dan luas permukaan sirip rodadiperbesar. Sirip radial pada tepi silinder roda berfungsi agar guludan tidak rusak akibat tekanan roda. Gambar 25. Rancangan modifikasi roda penggerak 24
4.2.6. Poros Metering device Besarnya torsi pada poros metering device adalah 311.25 kg mm. Bahan poros adalah stainless steel dengan kekuatan tarik ( B ) 85 kg/mm 2. Dengan menggunakan safety factor (S f ) 6 dan 2 maka tegangan geser yang diijinkan ( a ) dapat dihitung dengan persamaan (13) dan diameter minimal poros dihitung menggunakn persamaan (14) (Sularso dan Suga, 1987). a = B /( S f1 S f1 ) (13) = 85 / (6 2) = 7.08 kg/mm 2 K t = 1 C b = 1.5 * + (14) * + = 6.95 mm Jadi diameter poros yang dipilih adalah 12 mm. 4.2.7. Poros Roda Penggerak Poros roda penggerak mengalami pembebebanan yang berasal dari pegas. Dengan digunakannya pegas dengan nilai koefisien pegas (k) 0.5 kg/mm dan besar lendutan maksimum 54 ( x) mm, gaya maksimum yang diberikan pegas (F p ) dihitung menggunakan persamaan (15). (15) = 0.5 54 = 27 kg = 264.78 N Jadi gaya maksimum yang diberikan pegas adalah 27 kg. Seperti yang terlihat pada Gambar 26, beban yang direncanakan terbagi dua di ujung-ujungnya masing-masing 13.5 kg. Momen pada titik A dan B sama besar dan arahnya berlawanan. Jadi besar momen (M) pada titik A dan B adalah 243 kg mm. Gambar 26. Gaya-gaya yang bekerja pada poros roda penggerak 25
Bahan poros mempunyai kekuatan tarik maksimum 48 kg/mm 2, beban dianggap statis, dan faktor keamanan 6, maka menurut Sularso dan Suga (1987) diameter minimum poros dapat dihitung dengan persamaan (16). * + (16) [ ] Poros yang digunakan adalah poros berulir dengan diameter dalam 9 mm disesuikan dengan diameter lubang bearing. 4.2.8. Saluran Penempatan dan Pembuka Alur Benih dan Pupuk Dari hopper, benih menuju tanah melalui selang yang terbuat dari plastik. Selang tersebut cukup lentur, sehingga mudah dibengkokkan mengikuti posisi pembuka alur. Bersama dengan pembuka alur, ujung saluran diletakkan 10 cm di depan alat pembuat guludan (Gambar 27). Pembuka alur terbuat dari plat stainless steel setebal 1 mm dan tangkai pembuka alur terbuat dari poros berulir. Kedalaman pembuka alur adalah 5 cm dengan lebar 4.7 cm. Poros tersebut disatukan dengan bagian rangka menggunakan mur, sehingga kedalaman penanaman dapat diatur. Panjang tangkai maksimum adalah 17 cm. Gambar 27. Desain pembuka alur benih Desain saluran penempatan pupuk berbeda dengan saluran penempatan benih (Gambar 28). Saluran pupuk sekaligus pembuka alur terbuat dari pipa baja. Di ujung saluran tersebut dipasang pembuka alur yang terbuat dari plat stainless steel setebal 1 mm. Letak saluran terletak di samping kiri dan kanan 10 cm dari pembuka alur benih dengan kedalaman 5 cm (Gambar 29). 26
Gambar 28. Desain pembuka alur pupuk Gaya yang bekerja pada alur pupuk dan benih dapat diduga menggunakan persamaan (17) (McKyes, 1985). Keterangan: = densitas tanah (kg/m 3 ) g = percepatan gravitasi (m/s 2 ) q = tekanan vertikal pada permukaan tanah (Pa) c = kohesi tanah (Pa) d = kedalaman impleman (m) w = lebar implemen (m) ( ) (17) N, N c, N q adalah faktor gesekan tanah, geometri tanah,dan gesekan tanah dengan alat, q = 0 jika tidak ada tekanan yang bekerja pada permukaan tanah. Nilai N dan N c didapatkan dari grafik pada Lampiran 8. Parameter pengukuran kondisi tanah dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Parameter pengukuran tanah d W c G (cm) (cm) d/w N N c (Pa) a (kg/m 3 ) a (m/s 2 ) ( ) a ( ) a ( ) 5 4.7 1.06 3.1 10.5 3231.8 991 9.81 17.9 11.1 90 a Syafri, 2010 27
Gambar 29. Mekanisme pembuka alur Gaya untuk pembuka alur benih dan pupuk: P ( ) Gambar 30. Gaya yang bekerja pada rangkai pembuka alur benih Gaya yang bekerja pada tangkai pembuka alur benih dapat dilihat pada Gambar 30.Tangkai pembuka alur dirancang agar mampu menerima beban lentur dari tahanan tanah. Diameter minimum tangkai pembuka alur benih dapat ditentukan menggunakan persamaan (18). (18) 28
Tangkai pembuka alur benih menggunakan besi poros dengan kekuatan tarik maksimum sebesar 470.88 Mpa. Dengan memimilih faktor keamanan 2, maka besar diameter minimum tangkai pembuka alur benih (d): = 8 10-3 m = 8 mm Jadi tangkai pembuka alur benih yang digunakan adalah poros berulir dengan diameter dalam 9 mm dan diameter luar 12 mm Gambar 31. Gaya yang bekerja pada saluran pupuk. Kekuatan tarik besi pipa yang digunakan untuk tangkai pembuka alur dapat dihitung menggunakan persamaan (19). ( ) (19) Gaya yang bekerja pada tangkai pembuka alur pupuk dapat dilihat pada Gambar 31. Tangkai pembuka alur pupuk menggunakan besi pipa dengan kekuatan tarik maksimum sebesar 100 Mpa. Jika dipakai besi pipa dengan diameter luar (d 2 ) 26 mm dan dipilih faktor keamanan 2, maka besar diameter dalam (d 1 ) maksimum tangkai pembuka alur benih adalah: [ ] ( ) [ ] ( ) m = 25 mm Tebal pipa = d 2 - d 1 = 26 25 = 1 mm 29
4.2.9. Rantai Sproket dan rantai yang digunakan adalah yang umum dipakai untuk sepeda, yaitu menggunakan rantai nomor 40. Rantai ini memiliki jarak bagi (p) 12.7 mm, batas kekuatan tarik ratarata ( ) 1950 kg, dan beban maksimum yang diijinkan (F u ) sebesar 300 kg. Jarak sumbu seproket (C) 390 mm dan sproket yang digunakan adalah sproket dengan jumlah gigi 14 dan 18. Dengan asumsi kecepatan maju sebesar 6 m/s, maka poros roda penggerak (n 2 ) akan berputar 190.96 rpm dan poros metering device metering device (n 1 ) akan berputar 148.54 rpm. Daya (P d ) pada poros metering device dapat dihitung menggunakan persamaan (20) (Sularso dan Suga, 1987). ( )( ) (20) ( ) ( ) Rantai dapat digunakan jika memenuhi syarat daerah kecepatan rantai (v) kurang dari 10 m/s, beban (F) kurang dari beban maksimum yang diijinkan, dan faktor keamanan (S f ) lebih dari 6. Berdasarkan Sularso dan Suga (1987) nilai tersebut dihitung menggunakan persamaan (21), persamaan (22) dan persamaan (23). (21) (22) (23) 30
Dengan nilai v = 0.47 m/s, F = 8.55 kg, dan S f = 227.94 maka rantai nomor 40 dengan satu rangkaian dapat digunakan. Untuk menghitung panjang rantai (Lp) yang digunakan, dapat menggunakan persamaan (24) (Sularso dan Suga, 1987). [( ) ] (24) [( ) ] = 77.43 Jadi sistem transmisi menggunakan rantai dengan panjang 78 mata rantai. 31