PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan dunia era sekarang ini begitu cepat, ditandai dengan banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang sebelumnya kota telah berkembang menjadi metropolitan. Pembangunan di sanasini seperti perumahan dan pendirian kawasan industri membuat wajah kota semakin sempit dan penuh sesak. Tidak dapat disangkal iklim kota menjadi sangat panas dan gerah dengan bangunan-bangunan yang tanpa ada ruang terbuka hijau, seperti taman kota. Dampak dari semakin pesatnya pembangunan di perkotaan meyebabkan polusi dan mobilitas penduduk yang sangat tinggi, yang jika tidak ditangani maka akan menimbulkan dampak yang lebih serius yaitu pemanasan global (global warming). Alih fungsi lahan sangat berperan dalam ruang terbuka hijau kota yang semakin berkurang, dimana ruang terbuka hijau kota tersebut menurut Fandeli dkk (2004) merupakan bagian dari penataan ruang perkotaan yang berfungsi sebagai kawasan lindung. Menurunnya kuantitas dan kualitas ruang terbuka publik yang ada di perkotaan, baik berupa ruang terbuka hijau (RTH) dan ruang terbuka non-hijau telah mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan perkotaan seperti seringnya terjadi banjir di perkotaan, tingginya polusi udara, dan meningkatnya kerawanan sosial (kriminalitas dan krisis sosial), menurunnya produktivitas masyarakat akibat stress karena terbatasnya ruang publik yang tersedia untuk interaksi sosial.
Kecenderungan terjadinya penurunan kualitas ruang terbuka publik, terutama ruang terbuka hijau (RTH) pada 30 tahun terakhir sangat signifikan. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan Bandung, luasan RTH telah berkurang dari 35% pada awal tahun 1970an menjadi kurang dari 10% pada saat ini. RTH yang ada sebagian bersar telah dikonversi menjadi infrastruktur perkotaan seperti jaringan jalan, gedung-gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, dan kawasan permukiman baru. Jakarta dengan luas RTH sekitar 9 persen, saat memiliki rasio RTH per kapita sekitar 7.08 m 2, relatif masih lebih rendah dari kota-kota lain di dunia (Dirjen PU, 2007). Penataan ruang kawasan perkotaan diselenggarakan untuk (1) mencapai tata ruang kawasan perkotaan yang optimal, serasi, selaras, dan seimbang dalam pengembangan kehidupan manusia (2) Meningkatkan fungsi kawasan perkotaan secara serasi, selaras, dan seimbang antara perkembangan lingkungan dengan tata kehidupan masyarakat (3) Mengatur pemanfaatan ruang guna meningkatkan kemakmuran rakyat dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan alam, lingkungan buatan, dan lingkungan sosial (UU Nomor 24 Tahun 1992). Ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan merupakan bagian dari penataan ruang kota yang berfungsi sebagai kawasan hijau pertamanan kota, kawasan hijau hutan kota, kawasan hijau rekreasi kota, kawasan hijau kegiatan olahraga kawasan hijau dan kawasan hijau pekarangan. Ruang terbuka hijau adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur. Pemanfatan ruang terbuka hijau lebih bersifat pengisian hijau tanaman atau tumbuh-tumbuhan secara alamiah ataupun
budidaya tanaman seperti lahan pertanian, pertamanan, perkebunan dan sebagainya (Inmendagri No. 14 Tahun 1988). Pembangunan yang terintegrasi tidak saja memikirkan satu aspek saja seperti ekonomi atau sosial, tetapi segala aspek diperhatikan termasuk lingkungan. Pembangunan era sekarang tidak saja melihat keuntungan ekonomi tetapi keuntungan ekologi juga harus diperhatikan. Pembangunan kota tidak saja mementingkan pembangunan gedung-gedung dan kawasan industri tetapi kegiatan penghijauan kota juga diperhatikan sehingga pembangunan kota harus direncanakan dengan terarah dan terpadu. Dalam mencapai hal ini sarana dan media diperlukan agar pelaksanaannya baik. Kota Medan yang merupakan ibu kota Propinsi Sumatera Utara dan juga sebagai pintu gerbang Indonesia bagian Barat, dengan jumlah penduduk 1.909.700 jiwa dengan luas wilayah 26.500 Ha, dimana perkembangan hutan kota di Medan dimulai sejak tahun 1980 yang meliputi pembangunan dan pemeliharaan taman, jalur hijau, kebun dan perkarangan serta hutan kota. Hutan kota sendiri merupakan kawasan di dalam kota yang didominasi oleh berbagai jenis pohon yang berfungsi sebagai paru-paru kota dan juga sebagai plestarian berbagai jenis tumbuhan yang habitatnya dibiarkan tumbuh secara alami (Dinas Pertamanan Kota Medan, 2003). Pertumbuhan kota yang pesat ditandai dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk di perkotaan. Kota Medan dengan laju pertambahan penduduk pada tahun 2005 sebesar 1,5% memiliki jumlah penduduk sebesar 2.036.018, yang dari tahun 2001 sebesar 1.926.052 terus mengalami pertambahan yang pesat.
Begitupula halnya dengan populasi ternak besar, kecil dan unggas yang terus bertambah dari tahun ke tahun, sebagai dampak dari besarnya permintaan penduduk yang besar. Kepadatan aktivitas sehari-hari harus didukung dengan kebutuhan akan kendaraan bermotor, sehingga jumlahnya pun menjadi indikasi semakin pesatnya perkembangan suatu kota, seperti Kota Medan. Hutan kota merupakan bagian dari ruang terbuka hijau kota, keberadaannya memiliki makna mengamankan ekosistem alam yang besar pengaruhnya terhadap eksistensi dan kelangsungan hidup kota itu sendiri. Manfaat keberadaan hutan kota yaitu untuk memperbaiki lingkungan dan menjaga iklim, meresapkan air, menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota serta mendukung pelestarian plasma nutfah dan aspek lainnya, sehingga pembangunan dapat berjalan seiring sejalan dengan aspek kelestarian lingkungan. Pendekatan pembangunan hutan kota yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan parsial yakni menyisihkan sebagian dari kota untuk kawasan hutan kota (Dahlan, 2004). Salah satu metoda yang dapat dilakukan untuk menetapkan luasannya yakni berdasarkan perhitungan persentase luas (Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1988). Persentase luas yang dipakai menjadi acuan adalah 40 % dari luas wilayah adalah kawasan hijau. Luasan per kapita yang digunakan adalah kebutuhan ruang terbuka hijau masyarakat yaitu 40 meter persegi/jiwa (Iverson et. al. 1993). Perhitungan persentase luas ruang terbuka hijau dapat dilakukan dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) yang dalam bidang kehutanan sering digunakan terutama dalam perencanaan kehutanan. Dengan menggunakan data berupa citra satelit (Landsat TM), peta dasar yang dikelola dengan
menggunakan sistem berbasis komputer menjadikan SIG sebagai teknologi yang memebrikan kemudahan dan pemahamn yang baik bagi setiap perencana yag menggunakannya. SIG akan mempermudah dalam perhitungan ruang terbuka hijau ideal kawasan Kota Medan sebagai bagian dari pembangunan kota yang terintegrasi. Rumusan Masalah Perkembangan Kota Medan sebagai salah satu kota terbesar di Indonesia telah merambah dalam segala aspek pembangunan. Pembangunan yang begitu cepat telah menghadirkan wajah kota yang padat dengan bangunan-bangunan tinggi bahkan pencakar langit beserta industrinya yang terintegrasi dengan sosial budaya masyarakatnya. Kota Medan menuju kota yang BESTARI (Bersih, Tertib, Aman, Rapi dan Indah) membutuhkan ruang terbuka hijau atau taman-taman kota yang berada di tengah-tengah kota, sepanjang jalan maupun tempat pemakaman. Pertambahan penduduk yang besar telah menuntut ruang yang besar sebagai tempat pemukiman beserta sarana dan prasarananya, sehingga alih fungsi lahan termasuk ruang terbuka hijau tidak dapat dihindarkan. Permasalahan pokok yang muncul dan hendak diteliti atau diungkapkan pada penelitian ini adalah: keberadaan ruang terbuka hijau, sudahkah memenuhi persentase luas ideal (40%) dari luas wilayah kota sebagai bagian dari pembangunan yang terintegrasi. Dimana Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang menyebutkan Kewajiban dalam memelihara kualitas ruang merupakan pencerminan rasa tanggung jawab sosial setiap ruang terhadap pemanfaatan ruang.
Adanya ruang terbuka hijau di perkotaan dapat dijadikan sebagai salah satu idikator kondisi lingkungan. Faktor lingkungan di perkotaan pada dasarnya sangat erat dengan masalah pencemaran. Apabila usaha pengendalian pencemaran dilakukan dengan konsep pembangunan hutan kota, maka cemaran CO 2 merupakan kriteria yang harus digunakan sebagai standar. O 2 merupakan parameter yang sangat erat kaitannya dengan CO 2 dalam produksi biomassa pohon. Oleh karenannya jumlah kebutuhan O 2 manusia, jumlah kebutuhan O 2 ternak, dan jumlah kebutuhan O 2 kendaraan bermotor dapat dijadikan indikator penentuan luas hutan kota yang ideal pada Kota Medan. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1. Menghitung luas ruang terbuka hijau yang tersebar di Kota Medan menggunakan Sistem Informasi Geografi dengan memanfaatkan citra satelit Landsat TM tahun 2006. 2. Menghitung luas ruang terbuka hijau di Kota Medan dengan menggunakan jumlah kebutuhan O 2 manusia, jumlah kebutuhan O 2 ternak, dan jumlah kebutuhan O 2 kendaraan bermotor, sebagai parameter yang erat kaitannya dengan CO 2 dalam produksi biomassa pohon. 3. Menganalisis kebutuhan ruang terbuka hijau berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1988 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebesar 40%.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi pihakpihak yang membutuhkan dalam pembangunan ruang terbuka hijau kota, terutama bagi Dinas Pertamanan Kota Medan dan Dinas Kehutanan Kota Medan