BAB I LAPORAN KASUS. A. Anamnesis Identitas Pasien Nama : Nn. N Jenis Kelamin : Perempuan

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi saluran napas disusul oleh infeksi saluran cerna. 1. Menurut World Health Organization (WHO) 2014, demam tifoid

ASUHAN KEPERAWATAN DEMAM TIFOID

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Salmonella sp. yang terdiri dari S. typhi, S. paratyphi A, B dan C

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

LAPORAN JAGA 24 Maret 2013

ASKEP THYPOID A. KONSEP DASAR

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR DINAS KESEHATAN PUSKESMAS LENEK Jln. Raya Mataram Lb. Lombok KM. 50 Desa Lenek Kec. Aikmel

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Selatan dan 900/ /tahun di Asia (Soedarmo, et al., 2008).

Laporan Pendahuluan Typhoid

BAB II GAMBARAN UMUM OBJEK. sakit umum terbesar di daerah Pekanbaru, Riau. Rumah Sakit ini berada di Jalan

BAB I PENDAHULUAN. Salmonella typhi, suatu bakteri gram-negative. Demam tifoid (typhoid fever atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. PENGUMPULAN/PENYAJIAN DATA DASAR SECARA LENGKAP

BAB I PENDAHULUAN. penduduk tiap tahunnya. Insiden tertinggi demam thypoid terdapat pada anakanak. kelompok umur 5 tahun (Handini, 2009).

I. PENDAHULUAN. besar di Indonesia, kasus tersangka tifoid menunjukkan kecenderungan

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella Typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai

ETIOLOGI : 1. Ada 5 kategori virus yang menjadi agen penyebab: Virus Hepatitis A (HAV) Virus Hepatitis B (VHB) Virus Hepatitis C (CV) / Non A Non B

Portofolio Kasus 1 SUBJEKTIF OBJEKTIF

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian

BAB I PENDAHULUAN. subtropis terutama di negara berkembang dengan kualitas sumber air yang tidak

A. lisa Data B. Analisa Data. Analisa data yang dilakukan pada tanggal 18 April 2011 adalah sebagai. berikut:

Riwayat Penyakit Dahulu: Riwayat sakit serupa sebelumnya, batuk lama, dan asma disangkal Riwayat Penyakit Keluarga: Riwayat TB paru dan Asma

LAPORAN KASUS IDENTITAS PASIEN

BAB I PENDAHULUAN. oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara

BAB III TINJAUAN KASUS. Pengkajian dilakukan pada tanggal 8 Mei 2007 jam : Jl. Menoreh I Sampangan Semarang

BAB I PENDAHULUAN. adalah masalah kejadian penyakit Tifoid (Thypus) di masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi pada usus kecil yang disebabkan oleh kuman Salmonella Typhi.

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I KONSEP DASAR. Berdarah Dengue (DBD). (Aziz Alimul, 2006: 123). oleh nyamuk spesies Aedes (IKA- FKUI, 2005: 607 )

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn.S DENGAN DEMAM TYPHOID DI BANGSAL SOFA RS PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diberikan antibiotik pada saat dirawat di rumah sakit. Dari jumlah rekam medik

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Demam tifoid disebut juga dengan Typus Abdominalis atau. Typhoid fever. Demam tifoid ialah penyakit infeksi akut yang

IDENTITAS PASIEN. Tanggal Lahir : 17 September 1964 Status Perkawinan : Sudah menikah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang. disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di

BAB III TINJAUAN KASUS. Jenis kelamin : Laki-laki Suku bangsa : Jawa, Indonesia

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typoid fever.

Penyebab, gejala dan cara mencegah polio Friday, 04 March :26. Pengertian Polio

BAB I PENDAHULUAN. rendah, cenderung meningkat dan terjadi secara endemis. Biasanya angka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. (40 60%), bakteri (5 40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Setiap. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

KONSEP TEORI. 1. Pengertian

BED SITE TEACHING. Dani Dania D Siti Fatimah Lisa Valentin S Perceptor dr. Octo Indradjaja, Sp.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PEMERIKSAAN WIDAL SLIDE UNTUK DIAGNOSA DEMAM TIFOID. Agnes Sri Harti 1, Saptorini 2

LAPORAN KASUS BEDAH SEORANG PRIA 34 TAHUN DENGAN TUMOR REGIO COLLI DEXTRA ET SINISTRA DAN TUMOR REGIO THORAX ANTERIOR

ADHIM SETIADIANSYAH Pembimbing : dr. HJ. SUGINEM MUDJIANTORO, Sp.Rad FAKULTAS KEDOKTERAN UNIV. MUHAMMADIYAH JAKARTA S t a s e R a d i o l o g i, R u

Laporan Pendahuluan Thypoid Fever (Demam Thypoid)

BAB I PENDAHULUAN. Sumber penularan penyakit demam typhoid adalah penderita yang aktif,

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al.

Implementasi dan Evaluasi Keperawatan No. Dx. Tindakan dan Evaluasi

DIARE AKUT. Berdasarkan Riskesdas 2007 : diare merupakan penyebab kematian pada 42% bayi dan 25,2% pada anak usia 1-4 tahun.

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095

BAB III RESUME KEPERAWATAN. Pengkajian dilakukan pada hari masa tanggal jam WIB di ruang Barokah 3C PKU MUHAMMADIYAH GOMBONG

APPENDISITIS. Appendisitis tersumbat atau terlipat oleh: a. Fekalis/ massa keras dari feses b. Tumor, hiperplasia folikel limfoid c.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. penyakit yang menyerang seperti typhoid fever. Typhoid fever ( typhus abdominalis, enteric fever ) adalah infeksi

KEJANG DEMAM SEDERHANA PADA ANAK YANG DISEBABKAN KARENA INFEKSI TONSIL DAN FARING

Mata: sklera ikterik -/- konjungtiva anemis -/- cor: BJ I-II reguler, murmur (-) gallop (-) Pulmo: suara napas vesikuler +/+ ronki -/- wheezing -/-

GAMBARAN GEJALA KLINIK, HEMOGLOBIN, LEUKOSIT, TROMBOSIT DAN WIDAL PADA PENDERITA DEMAM TIFOID DENGAN

Kekurangan volume cairan b.d kehilangan gaster berlebihan, diare dan penurunan masukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Farmakoekonomi juga didefenisikan sebagai deskripsi dan analisis dari biaya terapi

ASUHAN KEPERAWATAN. Latar belakang pendidikan. : Perumahan Pantai Perak gang 3 no 21 Semarang. Tanggal masuk RS : 6 September 2013 Diagnosa medis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai obat antihipertensi (Palu et al., 2008). Senyawa aktif yang

MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT MODUL - 2 PENILAIAN DAN KLASIFIKASI ANAK SAKIT UMUR 2 BULAN SAMPAI 5 TAHUN

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Wanita 29 tahun G2P1A0 dengan post-term, fetal distress, dan ruptura uteri iminens

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK RAWAT INAP PENDERITA DEMAM TIFOID DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA PERIODE 2008 SKRIPSI

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Pembangunan nasional dapat

LAPORAN JAGA. 26/1/ 2010 pukul WITA 21-22/6/2014 pukul WITA. Jaga : Ludi Dokter Jaga : dr. Fahroni Dokter Jaga : dr.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB XIX DEMAM TIFOID

DAFTAR ISI. SAMPUL DALAM i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI... iii

riwayat personal-sosial

TATALAKSANA MALARIA. No. Dokumen. : No. Revisi : Tanggal Terbit. Halaman :

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang

BAB III TINJAUAN KASUS. Lukman RS Roemani Semarang, data diperoleh dari hasil wawancara dengan

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA BAGIAN PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan parasit Plasmodium yang

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

BAB III TINJAUAN KASUS

Transkripsi:

BAB I LAPORAN KASUS A. Anamnesis Identitas Pasien Nama : Nn. N Jenis Kelamin : Perempuan Usia : 15 tahun Axlamat : Sempalai Masuk RS : 15 Februari 2012 Pulang : 18 Februari 2012 Anamnesis dilakukan tanggal 15 februari 2012, pukul 08.00, secara auto dan alloanamnesis Keluhan Utama : Demam Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke Puskesmas dengan keluhan demam sejak 6 hari. Demam dirasakan terutama sore hari, naik perlahan, kadang disertai menggigil (hari pertama dan kedua) Demam disertai mual, muntah sebanyak 2 kali, pusing dan nafsu makan berkurang. Demam tidak disertai pilek dan batuk. Pasien juga tidak mengeluh bab cair. Bab berwarna merah atau kehitaman disangkal. buang air kecil seperti biasa. Pasien sebelumnya sudah mengkonsumsi obat warung (namanya tidak diketahui) Demam dirasakan berkurang, tetapi demam kembali terjadi jika obat dihentikan. Riwayat Penyakit Dahulu Tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya Riwayat Penyakit Keluarga dan Lingkungan Tidak ada yang mengalami keluhan serupa. 1

B. Pemeriksaan fisik Keadaan Umum : tampak sakit sedang Kesadaran : composmentis Tanda vital : Tekanan darah : 90/60 mmhg Nadi : 98 x/menit, regular, isi cukup RR : 24 x / menit Suhu : 38,6 C Pemeriksaan status generalis : Kepala : tidak tampak kelainan Mata : mata cekung (+), konjungtiva anemis (-),sclera ikterik (-) THT : faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1, lidah tampak kotor, tremor (+) Leher : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening Thorax : bentuk normal. Paru : Inspeksi : dalam keadaan statis simetris, dalam keadaan dinamis tidak ada ketinggalan gerak. Palpasi : stem fremitus paru kanan sama dengan paru kiri Perkusi : sonor di kedua lapang paru, batas paru normal Auskultasi : suara nafas vesikuler, ronkhi (-) Jantung : Inspeksi : iktus kordis tidak tampak Palpasi : iktus kordis tidak teraba Perkusi : batas jantung dalam batas normal Auskultasi : S1,S2 tunggal, regular, gallop(-), murmur (-) Abdomen : bentuk datar, nyeri tekan epigastrium (+), turgor baik (<3 detik), bising usus normal tidak meningkat Inspeksi : datar Palpasi : nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan lien tidak teraba, turgor baik Perkusi : timpani Auskultasi : bising usus normal (3x/menit) Ekstremitas : akral hangat, petekie (-), CR <2 detik 2

C. Daftar masalah - Demam 6 hari,terutama sore hari kadang disertai menggigil - Mual, pusing - Nafsu makan berkurang - Lidah tampak kotor - Nyeri tekan epigastrium D. Diagnosis Diagnosis : Susp. Demam Tifoid Diagnosis banding : malaria E. Usulan pemeriksaan penunjang - Cek malaria - Pemeriksaan widal tidak tersedia Hasil pemeriksaan Laboratorium tanggal 15 februari 2012 - RDT (-) F. Penatalaksanaan - Diet lunak - Infus RL 20 tetes / menit - Inj. Cefotaxim 2x1gr - Inj. Ranitidin 2x1amp - Drip B12 1amp/24jam - Paracetamol 3 x 500mg G. Prognosis Ad vitam Ad functionam Ad sanationam : ad bonam : ad bonam : dubia ad bonam 3

Follow Up Tanggal 16 Februari 2012 S : demam (+), mual(+), muntah (-), pusing (+), menggigil (+), nafsu makan turun, O : ku : tampak sakit sedang TD: 90/60 mmhg, nadi 100 x/ menit, RR 22 x/menit, Suhu : 38,7 C, konjungtiva anemis (-), lidah kotor (+), nyeri tekan epigastrium (+), akral hangat A : Susp.Demam tifoid P : - Diet lunak - Infus RL 20 tetes / menit - Inj. Cefotaxim 2x1gr - Inj. Ranitidin 2x1amp - Drip B12 1amp/24jam - Paracetamol 3 x 500mg Tanggal 17 Februari 2012 S : Demam turun naik, mual berkurang, pusing (-), menggigil (-), nafsu makan berkurang O : ku : tampak sakit sedang TD: 90/60 mmhg, nadi 94 x/ menit, RR 20 x/menit, Suhu : 38,2 C, konjungtiva anemis (-), nyeri tekan epigastrium (+), akral hangat A : Susp. Demam tifoid P : - Diet lunak - Infus RL 20 tetes / menit - Inj. Cefotaxim 2x1gr - Inj. Ranitidin 2x1amp - Drip B12 1amp/24jam - Paracetamol 3 x 500mg Tanggal 18 Februari 2012 S : Demam (-), mual (-), nafsu makan (+) O : ku : baik TD: 100/70 mmhg, nadi 88 x/ menit, RR 20 x/menit, Suhu : 37 C, nyeri tekan epigastrium (-), akral hangat A : Susp. Demam tifoid P : - Cefixime 2x100mg - Paracetamol 3 x 500mg - Vit B complex 3x1 tab 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Penyakit sistemik akut yang ditandai demam akut akibat infeksi Salmonella sp (lebih dari 500 sp). Spesies yang sering dikenal di klinik adalah Salmonella typhi, Salmonella paratyphi A, B, C B. Epidemiologi Demam tifoid masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah. Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus. C. Etiologi Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi (S. typhi), basil gram negatif, berflagel, dan tidak berspora. S. typhi memiliki 3 macam antigen yaitu antigen O (somatik berupa kompleks polisakarida), antigen H (flagel), dan antigen Vi. Dalam serum penderita demam tifoid akan terbentuk antibodi terhadap ketiga macam antigen tersebut. 5

Gambar 1. Salmonella Typhi D. Patofisiologi Masuknya kuman Salmonella Typhi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Penelitian yang dilakukan terhadap sukarelawan menunjukkan dosis infeksi organism adalah 10 5-10 9 organisme, dengan masa inkubasi berjarak selama 4-14 hari, bergantung jumlah kuman yang dapat masuk. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk kedalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Seperti yang diketahui S.typhi menginvasi tubuh dengan menembus mukosa usus ileum terminal, yang mungkin melalui antigen sample sel yang dikhususkan yang diketahui sebagai sel M, yang melapisi usus, berhubungan dengan jaringan limfoid, melalui enterosit atau melalaui rute paraselular. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama olah makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak didalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterica. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat didalam makrofag ini masuk kedalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak diluar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk kedalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sitemik. 6

Didalam hati kuman masuk kedalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intemiten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi infeksi sitemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular, gangguan mental dan koagulasi. Didalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan (S.typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plague peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear didinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga kelapisan otot, serosa usus dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel direseptor endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan dan gangguan organ lainnya. Gambar 2. Patofisiologi Demam Tifoid 7

E. Manifestasi klinis Masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 7-14 hari, namun ini juga bergantung dosis infeksi (3-30 hari). Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi. Gambar 3. Perjalanan Penyakit Demam Tifoid Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa infeksi akut pada umumnya yaitu Demam sekitar interminten/remiten Lidah kotor, mulut kering, mual muntah Gambaran gejala saluran nafas atas Sakit kepala hebat, tampak apatis, lelah Tidak enak di perut dan mungkin kontipasi/ diare, ditemukan splenomegali/ hepatomegali Raseola mungkin ditemukan 8

Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa Demam kontinyu Bradikardi relatif (peningkatan suhu 1 C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali permenit) Keadaan penderita semakin menurun, apatis, bingung Hepatomegali dan splenomegali, Lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung merah serta tremor) dan kehilangan nafsu makan Nyeri, distensi perut, meteorismus Pada minggu ketiga dapat ditemukan gejala antara lain: Suhu turun jika berhasil diobati tanpa komplikasi Jika keadaan memburuk: - Disorientasi, bingung, insomnia, - Komplikasi perdarahan dan perforasi. F. Penegakan diagnosis Penegakan diagnosis demam tifoid dapat dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Namun diagnosis pasti dapat ditegakkan dari hasil kultur darah. Hasil kultur darah menunjukkan 40-60% positif pada pasien di awal penyakit dan kultur feses dan urin akan positif setelah minggu pertama infeksi. Hasil kultur feses kadang-kadang juga positif pada masa inkubasi. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis demam tifoid tidak terlalu spesifik. Pada pemeriksan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia, namun dapat pula terjadi leukositosis atau kadar leukosit normal. Pemeriksaan widal juga dilakukan dalam membantu penegakan diagnosis demam tifoid. Uji widal dilakukan dengan mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari Salmonella Typhi, namun tes ini kurang spesifik dan sensitive. Karena bnyak hasil tes false-negative dan falsepositif terjadi. Tes Widal Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S.typhi. pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibody yang disebut agglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspense 9

Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah dilaboratorium. Tujuan uji widal adalah untuk menentukan adanya agluitinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu : a). agglutinin O (dari tubuh kuman) b). agglutinin H (flagella kuman) c). agglutinin Vi (simpai kuman) Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini. Pembentukan agglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu keempat dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul agglutinin O, kemudian diikuti dengan agglutinin H. Pada orang yang telah sembuh agglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, setelah agglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Sekurang-kurangnya diperlukan dua bahan serum, yang diperoleh dengan selang waktu 7-10 hari, untuk membuktikan adanya kenaikan titer antibody. Serum yang tidak dikenal diencerkan berturut-turut (dua kali lipat) lalu dites terhadap antigen Salmonella. Hasilnya ditafsirkan sebagai berikut : 1) Titer O yang tinggi atu kenaikan titer O ( 1 : 160) menunjukkan adanya infeksi aktif. 2) Titer H yang tinggi ( 1 : 160) menunjukkan bahwa penderita itu pernah divaksinasi atau pernah terkena infeksi. 3) Titer Vi yang tinggi terdapat pada beberapa pembawa bakteri Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu : 1) Pengobatan dini dengan antibiotik 2) Gangguan pembentukan antibodk dan pemberian kortikosteroid 3) Waktu pengambilan darah 4) Daerah endemik atau non endemik 5) Riwayat vaksinasi 6) Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer agglutinin pada infeksi bukan demam tifoid akibat demam tifoid masa lalu atau vaksinasi 7) Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang dan strain Salmonella yang digunakan untuk suspense antigen. 10

Kultur darah Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses. Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut : 1) Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah mendapat antibiotic, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil mungkin negatif. 2) Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah yang diambil sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke dalam media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman 3) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi dimasa lampau menimbulkan antibody dalam darah psien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan darah dapat negatif. 4) Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat agglutinin semakin meningkat. G. Penatalaksanaan Penegakan diagnosis awal demam tifoid dan penatalkasaan yang tepat merupakan hal yang penting. Sebagian besar anak-anak dengan tifoid dapat dirawat dirumah dengan antibiotic oral dan dilakukan follow-up utnuk mengikuti perkembangan penyakit dan melihat apakah ada komplikasi atu kegagalan terapi. Pasien dengan muntah yang persisten, diare berta dan distensi abdomen memerlukan perawatan di rumah sakit dan terapi antibiotic parenteral. Secara umum terdapat tiga prinsip penatalaksanaan demam tifoid. Istirahat yang adekuat, hydrasi dan pengobatan penting untuk mengoreksi ketidakseimbangan cairan-elektrolit. Terapi antipiretik (aceminophen 120-750 mg stiap 4-6 jam PO) harus diberikan jika diperlukan. Makanan yang lunak, harus dilanjutkan pada pasien distensi abdomen atau ileus. Terapi antibiotic penting untuk meminimalisir 11

komplikasi. Pengggunaan chloramphenicol atau amoxicillin diketahhui mempunyai angka kekambuhan masing-masing 5-15% dan 4-14%. Penggunaan antibiotik untuk demam tifoid pada anak juga dipengaruhi oleh prevalensi dari resistensi antimikroba. Berikut adalah antibiotik yang biasa digunakan pada demam tifoid. Sebagai tambahan untuk antibiotik, terapi suportif juga penting dan pemeliharaan keseimbangan cairan dan elektrolit juga harus diperhatikan. Pemberian terapi tambahan dengan dexametason(3mg/kgbb dosis awal, diikuti 1 mg/kg setiap 6 jam selama 48 jam) telah diekomendasikan pada pasien dengan syok, penurunan kesadaran, stupor atau koma, hal ini harus dilakukan dengan pengawasan. Gambar 4. Pengobatan pada demam tifoid 12

Gambar 5. Antibiotik yang direkomendasi untuk demam tifoid H. Komplikasi Komplikasi pada demam tifoid dibagi menjadi komplikasi intestinal dan ekstraintestinal. - Intestinal : peritonitis, perdarahan intestinal dan perforasi - Ekstraintestinal : ensefalitis, pneumonia, meningitis, osteomielitis, hepatitis. I. Pencegahan - Higiene peorangan dan lingkungan Demam tifoid ditularkan melalui rute fekal-oral, maka pencagahan utama memutuskan rantai tersebut dengan meningkatkan higiene perorangan dan lingkungan, seperti mencuci tangan sebelum makan, penyediaan air bersih, dan penanganan pembuangan limbah feses. 13

- Imunisasi Imunisasi aktif terutama diberikan bila terjadi kontak dengan pasien demam tifoid, terjadi kejadian luar biasa dan untuk turis yang bepergian ke daerah endemik. o Vaksin polisakarida (capsular Vi polysacharide), pada usia 2 tahun atau lebih diberikan secara intramuscular dan diulang setiap 3 tahun. o Vaksin tifoid oral, diberikan pada usia >6 tahun dengan interval selang sehari (hari 1,3 dan 5), ulangan setiap 3-5 tahun. Vaksin ini belum beredar di Indonesia, terutama direkomendasikan untuk turis yang bepergian ke daerah endemik. J. Prognosis Prognosis terhadap pasien demam tifoid bergantung kepada kecepatan penegakan diagnosis dan ketepatan terapi antibiotik. Faktor lain yang mempengaruhi meliputi umur pasien, status kesehatan dan nutrisi, serotype Salmonella dan munculnya komplikasi. Meskipun terapi yang didapat tepat, 2-4% anak yang terinfeksi dapat kambuuh setelah respon awal terapi. Individu yang mengekskresikan S.typhi 3bulan setelah infeksi dianggap sebagai karier kronik. Bagaimanapun resiko untuk menjadi karier rendah pada anak-anak dan meningkat dengan bertambahnya umur, namun secara umum < 2% dari semua anak yang terinfeksi. 14

DAFTAR PUSTAKA Background Document.2003.The Diagnosis, Treatment and Prevention of Thypoid Fever. Comunicable Disease Surveillance and Response Vaccinase and Biologicals. WHO. Bhutta ZA. 2006.Clinical Review. Current Concepts in the Diagnosis and Treatment of Thypoid Fever. BMJ; 333: 78-82 Braunwald. 2008.Harrison s Principles of Internal Medicine. 17th Edition, New York, Brush, John L. 2009. Typhoid Fever, in http:// emedicine.medscape.com/article 231135-overview dikunjungi pada 20 Februari 2011. Jawetz Ernest et al. 1996. Mikrobiologi Kedokteran. Alih Bahasa : Nugroho Edi, Maulani RF. Jakarta EGC Ranjan L.Fernando et al. 2001. Tropical Infectious Diseases Epidemiology, Investigation, Diagnosis and Management, London,;45:270-272 Widodo Djoko. 2007. Demam Tifoid didalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III edisi IV. Jakarta FKUI 15