3. ANALISIS FAKTOR KEBIJAKAN PENGEMBANGAN HUTAN KOTA 3.1. PENDAHULUAN

dokumen-dokumen yang mirip
Nama Responden :... Alamat Responden :... Tanggal Wawancara :...

BAB III METODE KAJIAN

III. METODE PENELITIAN. informasi dari kalangan aparat pemerintah dan orang yang berhubungan erat

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

WALIKOTA LANGSA PROVINSI ACEH QANUN KOTA LANGSA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

OLEH : TOMI DWICAHYO NRP :

METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Data yang Dikumpulkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA,

LEMBARAN DAERAH KOTA JAMBI

LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 21 TAHUN 2013

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG

I. PENDAHULUAN. Kota Jakarta Barat dikenal sebagai kota jasa dan pusat bisnis yang

KAJIAN PELUANG PELIBATAN MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN HUTAN KOTA SRENGSENG JAKARTA BARAT TUGAS AKHIR

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI

I. PENDAHULUAN. Tatanan lingkungan, sebenarnya merupakan bentuk interaksi antara manusia dengan

Prioritas Pengembangan Jaringan Jalan Pendukung Kawasan Strategis Di Pulau Sumbawa

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan usaha-usaha untuk

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. mengembangkan otonomi daerah kepada pemerintah daerah.

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

METODE PENELITIAN. Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara

III. METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Februari Juni 2010 di DAS

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan, kawasan industri, jaringan transportasi, serta sarana dan prasarana

HASIL KAJIAN DAN REKOMENDASI ASPEK BIOFISIK HUTAN KOTA LANSKAP PERKOTAAN

FUNGSI HUTAN KOTA DALAM MENGURANGI PENCEMARAN UDARA DI KOTA SAMARINDA

III. METODE PENELITIAN

TENTANG BUPATI NGANJUK, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Pengumpulan Data

Kajian Perencanaan Infrastruktur Ruang Terbuka Hijau pada Perumahan Kota Terpadu Mandiri di Bungku Kabupaten Morowali Provinsi Sulawesi Tengah

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan

Departemen Arsitektur Lanskap Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia

PENGARUH METODE EVALUASI PENAWARAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH TERHADAP HASIL PEKERJAAN DENGAN PENDEKATAN ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG

Penyebaran Kuisioner

KATA PENGANTAR RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN

PENENTUAN URUTAN PRIORITAS USULAN PENANGANAN RUAS-RUAS JALAN DI KOTA SAMARINDA

BAB 3 METODE PENELITIAN

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SITUBONDO,

3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB III METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang

ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) Amalia, ST, MT

INFORMASI RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI PROVINSI JAMBI

BAB I PENDAHULUAN. dimensi ekonomi dibandingkan dengan dimensi ekologi. Struktur alami sebagai tulang punggung Ruang Terbuka Hijau harus dilihat

PENDAHULUAN. Kota adalah suatu wilayah yang akan terus menerus tumbuh seiring

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, sosial dan budaya dengan sendirinya juga mempunyai warna

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. artian yang lebih spesifik yakni pihak ketiga dalam supply chain istilah dalam

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang

PEMBANGUNAN HUTAN KOTA DALAM STRATEGI PEMBANGUNAN PERKOTAAN PROVINSI BANTEN

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

VIII. ANALISIS HIRARKI PROSES (AHP)

INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM

Rencana Tata Ruang Wilayah kota yang mengatur Rencana Struktur dan

PENDEKATAN ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) UNTUK PENENTUAN NILAI EKONOMI LAHAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang

jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt cüéä Çá ]tãt UtÜtà

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan dan Manfaat Batasan Penelitian...

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3 METODOLOGI PENELITIAN

Kriteria angka kelahian adalah sebagai berikut.

BAB II LANDASAN TEORI

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dipungkiri bahwa pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan aktivitas

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

BAB III METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN. A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional Penelitian. menganalisis data yang berhubungan dengan penelitian.

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin

Studi Kelayakan Pengembangan Wisata Kolong Eks Tambang Kabupaten Belitung TA LATAR BELAKANG

IV. METODE PENELITIAN

Pengertian lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitar manusia yang memengaruhi perkembangan kehidupan manusia baik langsung maupun tidak

JAWABAN UJIAN TENGAH SEMESTER MATA KULIAH ILMU HUTAN KOTA LANJUTAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI. Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ekonomi dan Produk Domestik Regional Bruto. Istilah ekonomi berasal dari bahasa Yunani, terdiri atas kata oikos dan

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG HUTAN KOTA TARAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PAPER SIMULASI KECUKUPAN LUASAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA BOGOR BERDASARKAN EMISI CO2 DARI KEGIATAN TRANSPORTASI

EFEKTIFITAS PENERAPAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) DALAM PEMILIHAN PERANGKAT LUNAK PENGOLAH CITRA DENGAN MENGGUNAKAN EXPERT CHOICE

PEMANFAATAN SUMBER MATA AIR DALAM KAWASAN HUTAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 116 TAHUN 2016 T E N T A N G

Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan BAB III Urusan Desentralisasi

4. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik

III. METODE PENELITIAN

LAMPIRAN II HASIL ANALISA SWOT

JURNAL ILMIAH TEKNIK INDUSTRI

Gambar 3. Kerangka pemikiran kajian

Transkripsi:

3. ANALISIS FAKTOR KEBIJAKAN PENGEMBANGAN HUTAN KOTA 3.1. PENDAHULUAN DKI Jakarta merupakah provinsi yang memiliki jumlah penduduk terbesar di Indonesia yaitu 9.607.787 jiwa (BPS Provinsi DKI Jakarta 2010). Besarnya penduduk di wilayah ini menyebabkan banyak terdapat pencemaran lingkungan, seperti peningkatan polusi dan peningkatan suhu udara. Jumlah polusi udara dari sektor transportasi dan industri di Jakarta pada tahun 2007 telah mencapai 170 juta ton emisi CO 2 dan akan terus meningkat seiring dengan perkembangan jumlah penduduk dan aktivitas industri. Sementara untuk peningkatan suhu di tahun 2007 sudah mencapai 29.12 o C 31.26 o C. Salah satu upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah pencemaran lingkungan ini yaitu melalui keberadaan dan kelestarian hutan kota. Hutan kota menjadi salah satu alternatif dalam mengatasi pencemaran lingkungan ini dikarenakan pepohonan secara alami dapat menyerap gas CO 2 dari atmosfer yang disimpan dalam bentuk karbon dan dikeluarkan dalam bentuk oksigen. Manfaat hutan kota sebagai salah satu jasa lanskap perkotaan sebenarnya telah dirasakan oleh masyarakat dan pemerintah sejak lama. Hal ini dapat dilihat ketika DKI Jakarta secara resmi melakukan penanaman pohon pada saat pemerintah Indonesia menjadi tuan rumah Kongres Kehutanan Dunia ke-7 pada tahun 1978. Penanaman pohon di atas lahan 5 ha pada lingkungan Gedung Wanabakti menjadi awal sejarah dicanangkannya hutan kota di seluruh Indonesia. Berawal dari kegiatan tersebut, maka bermunculan gerakan penanaman pohon di DKI Jakarta, diantaranya Gerakan Sejuta Pohon, Pembangunan Hutan Kota UI Depok, Hutan Kota Kemayoran, Hutan Kota Mabes ABRI Cilangkap dan Hutan Kota Bumi Perkemahan Cibubur (Samsoedin dan Waryono, 2010). Seiring dengan pesatnya laju pertumbuhan penduduk dan pembangunan infrastruktur kota di DKI Jakarta, maka ruang terbuka hijau (RTH) dan hutan kota sering menjadi korban. Pada tahun 1965, DKI Jakarta memiliki RTH lebih dari 35 % tetapi jumlah ini terus berkurang sampai dengan 9.3 % pada tahun 2003 dan diperkirakan akan menjadi 6.2 % pada tahun 2007 akibat komersialisasi ruang dan industrialisasi, padahal jika mengacu pada pasal 29 ayat 2 UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dijelaskan bahwa proporsi RTH paling sedikit 30 % (20 % publik dan 10 % privat) dengan presentase luas hutan kota minimal 10 % dari luas wilayah perkotaan dan disesuaikan dengan kondisi wilayah setempat, seperti jumlah penduduk, tingkat pencemaran dan kondisi fisik kota (PP No. 63 Tahun 2002). Melihat permasalahan ini, pemerintah DKI Jakarta mencoba melakukan upaya peningkatan jumlah RTH dan hutan kota seperti melakukan penutupan SPBU yang berlokasi di kawasan hijau, penertiban bangunan-bangunan liar di sempadan sungai dan membangun hutan kota skala kecil di berbagai wilayah. Akan tetapi masih terdapat persoalan-persoalan dalam pengembangan hutan kota diantaranya yaitu persepsi stakeholder yang berbeda-beda terhadap hutan kota, lahan negara yang semakin terbatas, mahalnya harga tanah, tidak adanya insentif bagi masyarakat yang menanam pohon pada lahan miliknya, sulitnya mencari sumber dana, penegakan hukum dan sanksi yang masih lemah, kuranya sosialisasi 23

dan lain sebagainya. Oleh karena itu, dilakukan penelitian ini sebagai salah satu upaya untuk mencari solusi dan prioritas kebijakan yang dapat mendukung pengembangan hutan kota. 3.2. BAHAN DAN METODE 3.2.1. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah kuisioner yang berfungsi sebagai panduan dan media input data ketika wawancara dengan responden, peta dasar hutan kota UI, peta dasar hutan kota Srengseng dan peta dasar hutan kota PT JIEP. Alat yang digunakan adalah Softwere Experrt Choice 11 untuk analisis input indepth interview dan Kamera untuk mengambil gambar-gambar yang terkait dengan penelitian. 3.2.2. Metode 3.2.2.1. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan metode survey. Data diperoleh dari focus group discussion (FGD) tentang kebijakan hutan kota, wawancara dengan stakeholder hutan kota dan pengumpulan data dari lembaga atau instansi yang terkait dengan penelitian. 3.2.2.2. Pemilihan Responden Pemilihan responden AHP dilakukan dengan metode purposive sampling. Responden pada penelitian ini merupakan individu atau lembaga yang dianggap mengerti persoalan hutan kota, dan mempunyai kemampuan dalam memberikan masukan kepada para pengambil kebijakan pengembangan hutan kota. Responden tersebut berasal dari Dinas Kelautan dan Pertanian Bidang Kehutanan Provinsi DKI Jakarta, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Kementerian Kehutanan RI-Bogor, Balai Penelitian Benih Kehutanan-Bogor, Kebun Raya Bogor serta pihak pengelola hutan kota UI, Srengseng dan PT JIEP. 3.2.2.3. Penentuan Prioritas Kebijakan Pengembangan Hutan Kota Penentuan prioritas kebijakan pengembangan hutan kota dilakukan dengan metode Analitical Hierarchy Process (AHP). AHP merupakan metode atau alat yang dapat digunakan oleh seseorang pengambil keputusan untuk memahami kondisi suatu sistem, membantu melakukan prediksi dan pengambilan keputusan (Saaty 1993). AHP juga merupakan metode yang memodelkan prioritas permasalahan yang tidak terstruktur seperti dalam bidang sosial, kebijakan dan ilmu manajemen. Metode AHP memiliki kelebihan, yaitu sederhana dan tidak banyak asumsi dan juga cocok untuk menyelesaikan permasalahan yang bersifat strategis dan makro. AHP memasukkan pertimbangan dan nilai-nilai pribadi dan logis. Proses ini tergantung pada imajinasi, pengalaman dan pengetahuan untuk menyusun hirarki suatu masalah berdasarkan logika, instuisi, dan pengalaman untuk memberikan pertimbangan. 24

Terdapat tiga prinsip dasar pada AHP, yaitu (1) penyusunan skema hirarki yaitu menggambarkan dan menguraikan masalah secara hirarki dengan memecah persoalan menjadi unsur-unsurr yang terpisah (Gambar 3.1), (2) penetapan prioritas, yaitu menentukan peringkat elemen menurut kepentingannya dan (3) konsistensi logis, yaitu menjamin bahwa semua elemen elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan. Tahapan terpenting dalam AHP adalah penilaian dengan teknik komparasi berpasangan (pairwise comparison) terhadap elemen - elemen pada suatuu tingkatann hirarki (level). Penilaian dilakukan dengan memberikan bobot numerik dan membandingkan antara satu elemen dengan elemen lainya. Tahap selanjutnya adalah melakukan sintesa terhadap hasil penilaian untuk menentukan elemen yang memiliki prioritas tertinggii dan terendah. Ciri pemecahan masalah dengan menggunakann AHP adalah digunakannya hirarki untuk menguraikan sistem yang kompleks menjadi elemen - elemen yang sederhana, yaitu: (1) hirarki harus mampu menggambarkan sistem secara menyeluruh, (2) hirarki harus mampu memperhitungkan keputusan, (3) hirarki harus mampu mengidentifikasi faktor yang berhubungan dengann keputusan, dan (4) hirarki harus mampu mengidentifikasii alternatif yang berhubungan dengan keputusan. Keuntungan digunakannya hirarki dalam pemecahan masalah yaitu: (1) hirarki mewakili suatu sistem yang dapat menerangkan bagaimana prioritas pada levell yang lebih tinggi dapat dipengaruhi prioritas pada level dibawahnya, (2) hirarkii memberikan informasi rinci mengenai struktur dan fungsi dari sistem pada levell yang lebih rendah dan memberikan gambaran pada level yang lebih tinggi, (3) sistem akan menjadi lebih efisien jika disusun dalam bentuk hirarki dibandingkan dalam bentuk lain, dan (4) bersifat stabil dan fleksibel yaitu penambahan elemen pada struktur yang telah tersusun tidak akan mengganggu elemen lain (Saaty 1993). Gambar 3.1. Abstraksi struktur hirarki AHP 25

3.2.2.4. Analisis Data a. Penyusunan Hirarki Analisis kebijakan pengembangan hutan kota dilakukan dengan metode AHP melalui bantuan kuisioner dan Software Expert Choise 11. Tujuannya adalah menentukan prioritas kebijakan yang mendukung pengembangan hutan kota. Landasan utama pengisian kuisioner adalah struktur hirarki dengan komponen yang telah disusun berdasarkan pendapat ahli atau pakar hutan kota (Gambar 3.2). KEBIJAKAN PENGEMBANGAN HUTAN KOTA YANG MENDUKUNG POTENSI CADANGAN KARBON Sasaran Dukungan Peraturan (0,35) Peningkatan Kualitas Hutan Kota (0,49) Evaluasi dan Kontrol (0,16) Faktor Pemerintah (0,61) Masyarakat (0,23) Swasta (0,16) Aktor Evaluasi Peraturan (0,25) Perluasan Hutan Kota (0,20) Pemilihan Jenis Pohon (0,10) Dukungan Dana (0,13) Sanksi (0,04) Insentif (0,19) Sosialisasi (0,11) Alternatif Gambar 3.2. Skema hirarki kebijakan pengembangan hutan kota DKI Jakarta Berdasarkan pendapat ahli atau pakar hutan kota pada saat focus group discussion (FGD) dan wawancara langsung dengan dengan stakeholder, maka faktor yang dianggap mempengaruhi pengembangan hutan kota yaitu: (1). Dukungan Peraturan Dukungan peraturan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah dukungan peraturan perundangan tertulis (aspek legal) tentang hutan kota atau yang terkait baik langsung maupun tidak langsung, yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Hirarkinya yaitu: UUD 1945, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri dan Peraturan Daerah. Selain itu, dukungan peraturan ini juga dapat diartikan sebagai panduan teknis penyelenggaraan hutan kota yang menyertakan andil cadangan karbon didalamnya, sehingga diperoleh fungsi hutan kota yang optimal. 26

Fungsi peraturan hutan kota ini adalah untuk mengatur substansi hutan kota, sehingga dapat dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan dalam pengembangan hutan kota. Artinya peraturan hutan kota adalah sebagai instrumen kebijakan dalam bentuk apapun, baik penetapan, pengesahan, pencabutan dan perubahan. Peraturan ini semakin penting dalam penerapannya karena setiap tindakan harus didasari pada asas legalitas hutan kota itu sendiri. Hal ini berarti ketika stakeholder ingin melakukan tindakan terhadap hutan kota maka harus sesuai dengan aturan main yang telah ditetapkan. (2). Peningkatan Kualitas Hutan Kota Peningkatan kualitas hutan kota yang dimaksud dalam penelitian ini adalah optimalisasi mutu dan kesesuaian hutan kota dengan peraturan dan pedoman. Peningkatan kualitas hutan kota juga dapat diartikan sebagai suatu sistem verifikasi dan perawatan hutan kota dari suatu tingkat kualitas antara lain, yaitu: (a) penyusunan pengelolaan hutan kota (tujuan, program-program, kelembagaan dan dukungan dana), (b) pemeliharaan hutan kota (optimalisasi fungsi dan manfaat, deversifikasi jenis pohon, dan kualitas tempat tumbuh), (c) perlindungan hutan kota (perlindungan dari pengrusakan, kebakaran dan hama penyakit), (d) serta pemanfaatan hutan kota (pemanfaatan untuk wisata, rekreasi, olahraga, pendidikan, konservasi keanekaragaman flora dan fauna, penelitian, potensi cadangan karbon dan serapan CO 2 ). (3). Evaluasi dan Monitoring Hutan Kota Evaluasi dan monitoring hutan kota yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tindakan korektif dan pengawasan terhadap pengelolaan, pemeliharaan, perlindungan, dan pemanfaatan hutan kota ke arah pengembangan ekonomi. Evaluasi dan monitoring berfungsi untuk menilai kekurangan dan kekuatan hutan kota sebagai salah satu upaya dalam mengatasi pencemaran lingkungan, sehingga diperoleh kebijakan yang terbaik dalam pengembangan hutan kota. Berdasarkan pendapat ahli atau pakar hutan kota pada saat focus group discussion (FGD) dan wawancara langsung dengan dengan stakeholder, maka aktor yang dianggap terlibat dalam pengembangan hutan kota yaitu: (1). Pemerintah Pemerintah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah organisasi atau lembaga pemerintah baik pusat maupun daerah yang menjalankan fungsinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pemerintah adalah pihak yang memiliki kewenangan dan berperan penting dalam menentukan kebijakan pengembangan hutan kota. Pemerintah harus bisa menengahi berbagai kepentingan stakeholder sehingga tidak terjadi konflik dalam pengembangan hutan kota. (2). Masyarakat Masyarakat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah individu atau sekelompok manusia yang memiliki kepedulian atau kepentingan terhadap keberadaan dan pengembangan hutan kota. Masyarakat merupakan pihak penting 27

dalam pengembangan hutan kota, karena selain sebagai penikmat jasa hutan kota, masyarakat juga bisa menjadi mitra pemerintah dalam optimalisasi perluasan lahan dan monitoring terhadap pengelolaan hutan kota. (3). Swasta Swasta yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pihak yang berasal dari lembaga non pemerintah yang memiliki kepedulian terhadap pengembangan hutan kota. Pihak swasta menjadi salah satu aktor dalam pengembangan hutan kota, dikarenakan pihak swasta juga memiliki tanggung jawab dalam menjaga kualitas lingkungan hidup dan sekaligus penunjang dalam pencapaian target hutan kota yang diamanatkan pada PP No. 63 Tahun 2002. Pihak swasta bisa juga berperan sebagai salah satu sumber dana dalam pengembangan hutan kota. Berdasarkan pendapat ahli atau pakar hutan kota pada saat focus group discussion (FGD) dan wawancara langsung dengan dengan stakeholder, maka alternatif yang dianggap mempengaruhi pengembangan hutan kota yaitu: (1). Evaluasi Peraturan Evaluasi peraturan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah melakukan penyesuaian atau telaah terhadap kebijakan yang dianggap kurang sesuai dengan pemahaman stakeholder dan konsep hutan kota itu sendiri. Evaluasi peraturan ini juga mengupayakan lahirnya peraturan daerah tentang hutan kota yang dapat dijadikan acuan dalam pengembangan hutan kota. (2). Peluasan Hutan Kota Peningkatan kualitas hutan kota yang dimaksud dalam penelitian ini adalah optimalisasi peningkatan ratio hutan kota oleh pemerintah DKI Jakarta yang belum capai target 10 persen dari RTH yang ditetapkan sesuai dengan amanat PP No. 63 Tahun 2002. (3). Pemilihan Jenis Pohon Pemilihan jenis pohon yang dimaksud dalam penelitian ini adalah mengupayakan pemilihan jenis pohon yang sesuai dengan tipe atau fungsi hutan kota. Jenis pohon yang memiliki cadangan karbon potensial dapat diupayakan sebagai salah satu nilai tambah dalam fungsi hutan kota yang tertuang pada pasal 3 PP No. 63 Tahun 2002, sehingga fungsi hutan kota sebagai sebuah ekosistem akan lebih optimal. (4). Dukungan Dana Dukungan dana yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemudahan dana untuk melakukan pengembangan hutan kota. Dukungan dana untuk masyarakat lebih kepada dukungan teknis (tunjangan sarana dan prasarana). Dana berfungsi untuk mempermudah proses pelaksanaan pengembangan hutan kota. 28

(5). Insentif Insentif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pemberian kompensasi kepada pihak masyarakat dan swasta yang bersedia melakukan kegiatan pengembangan hutan kota di tanah hak atau lahan mereka. Insentif tidak hanya berupa uang tapi juga bisa dalam bentuk penghargaan, kemudahan usaha bagi swasta, penurunan pajak dan menjalin mitra kerja. (6). Sanksi Sanksi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hukuman kepada perusak hutan kota dan pemda yang tidak dapat mencapai target pengembangan hutan kota. Hukuman bertujuan sebagai koreksi, menakuti, mendidik serta menanggulangi kerusakan terhadap hutan kota. (7). Sosialisasi Sosialisasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sebuah proses transfer kebiasaan oleh pemerintah atau pakar hutan kota. Fungsi sosialisasi hutan kota adalah agar masyarakat memiliki pemahaman dan persepsi yang baik tentang hutan kota. Melalui sosialisasi, pemerintah juga dapat melakukan kerjasama dalam pengembangan hutan kota. Sosialisasi hutan kota, tidak sekedar memberikan informasi tapi juga berupaya melakukan penyuluhan dan pembinaan yang meliputi pemberian bimbingan, pelatihan dan supervisi. b. Pengisian Matriks Perbandingan Matriks perbandingan adalah matriks yang menggambarkan perbandingan kepentingan relatif antara satu elemen dengan elemen lainya pada level yang sama maupun terhadap level di atasnya. Pengisian matriks perbandingan dilakukan berdasarkan pendapat ahli atau pakar hutan kota, dengan menilai tingkat kepentingan suatu elemen terhadap elemen lainnya. Untuk menilai perbandingan tingkat kepentingan tersebut, maka digunakan pembobotan berdasarkan skala nilai proses AHP (Tabel 3.1 3.2). Tabel 3.1. Skala nilai yang digunakan dalam perbandingan berpasangan Nilai Perbandingan (A dibandingkan dengan B) Definisi 1 A sama penting dengan B 3 A sedikit lebih penting dari B 1 / 3 Kebalikannya (B sedikit lebih penting dari A) 5 A jelas lebih penting dari B 1 / 5 Kebalikannya (B jelas lebih penting dari A) 7 A sangat jelas lebih penting daripada B 9 A mutlak lebih penting daripada B 1 / 9 Kebalikannya (B mutlak lebih penting daripada A) 2, 4, 6, 8 atau ½, ¼, 1 / 6, 1 / 8 Diberikan apabila terdapat sedikit perbedaan dengan patokan di atas (apabila ragu-ragu antara dua nilai perbandingan yang berdekatan) 29

Tabel 3.2. Contoh pengisian matriks perbandingan Elemen A Elemen B Pemerintah Masyarakat Swasta Pemerintah 1...3 (a)......4 (b).. Masyarakat 1...3... Swasta 1 Keterangan: Nilai pada (a) Nilai pada (b) catatan : elemen pemerintah sedikit lebih penting dari masyarakat : apabila ragu-ragu antara dua nilai perbandingan yang berdekatan, yaitu antara elemen pemerintah dengan swasta : konsistensi penilaian sangat penting untuk diperhatikan Sebelum dilakukan pengisian pada matrik perbandingan maka terlebih dahulu pakar melakukan pengurutan prioritas kepentingan terhadap setiap elemenelemen aktor yaitu sebagai berikut: 1. Pemerintah 2. Masyarakat 3. Swasta c. Menghitung Bobot Prioritas Setelah semua nilai perbandingan dimasukkan ke dalam struktur hirarki, maka selanjutkan diproses pada Software Expert Choice 11 sehingga dihasilkan bobot prioritas yang berurutan. d. Menghitung Tingkat Konsistensi Konsistensi suatu matriks perbandingan diukur dengan rumus indek konsistensi (CI ά ), CI yaitu indeks konsistensi, ά max yaitu akar ciri maksimum dan n yaitu ukuran matriks. Nilai indeks konsistensi selanjutnya diuji dengan cara membandingkan indeks konsistensi (CI) terhadap indeks random (RI). Hasil perbandingan indeks konsistensi dengan indeks random disebut rasio konsistensi (Consistency Ratio, CR), dengan rumus CR = CI/RI. Jika CR 0,1 maka nilai perbandingan berpasangan pada matriks kriteria yang diberikan sudah konsisten, tetapi jika CR > 0,1 maka nilai perbandingan berpasangan pada matriks kriteria yang diberikan tidak konsisten dan harus segera dilakukan penyesuaian dalam pengisian matriks perbandingan. 30

3.3. HASIL PENELITIAN Berdasarkan hasil AHP maka diperoleh nilai skala bobot atas level faktor, aktor dan alternatif dalam rangka pengambilan keputusan pengembangan hutan kota. Nilai bobot tertinggi untuk elemen faktor terdapat pada peningkatan kualitas hutan kota sebesar 0.49, kemudian diikuti dengan dukungan peraturan sebesar 0.35 dan evaluasi dan kontrol hutan kota sebesar 0.16. Selanjutnya untuk elemen aktor terdapat pada pemerintah sebesar 0.61, kemudian diikuti dengan masyarakat sebesar 0.23 dan swasta sebesar 0.16. Selanjutnya untuk elemen alternatif, nilai bobot tertinggi terdapat pada evaluasi peraturan sebesar 0.25, kemudian di ikuti dengan perluasan hutan kota sebesar 0.20, insentif bagi masyarakat/swasta sebesar 0.19, dukungan dana sebesar 0.13, sosialisasi sebesar 0.11, pemilihan jenis pohon sebesar 0.10 dan sanksi sebesar 0.04 (Gambar 3.3 3.5). Evaluasi dan Kontrol Hutan Kota 0.16 Faktor Peningkatan Kuantitas Hutan Kota 0.49 Dukungan Peraturan 0.35 0.00 0.20 0.40 0.60 Bobot Gambar 3.3. Hasil pembobotan faktor Swasta 0.16 Aktor masyarakat 0.23 Pemerintah 0.61 0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.70 Bobot Gambar 3.4. Hasil pembobotan aktor 31

Sosialisasi 0.11 Insentif bagi Swasta dan Masyarakat 0.19 Alternatif Sanksi Dukungan Dana Pemilihan Jenis Pohon Potensi C-stock 0.04 0.10 0.13 Perluasan Hutan Kota 0.20 Evaluasi Peraturan 0.25 0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30 Bobot Gambar 3.5. Hasil pembobotan alternatif 3.4. PEMBAHASAN 3.4.1. Analisis Faktor pada Hirarki Pengambilan Keputusan Berdasarkan analisis AHP terhadap kebijakan pengembangan hutan kota DKI Jakarta, maka diperoleh hasil pembobotan pada masing-masing level hirarki. Pada level faktor ditemukan bobot tertinggi adalah peningkatan kualitas hutan kota sebesar 0.49 (Gambar 3.2). Keputusan ini menjadi prioritas karena belum optimalnya kualitas dan kesesuaian hutan kota dengan kebijakan yang telah ada. Hal ini dapat dilihat dari kurang optimalnya pengelolaan hutan kota, seperti program-program pengelolaan, dukungan dana dan kelembagaan; pemeliharaan hutan kota seperti optimalisasi fungsi hutan kota, pemilihan jenis dan kualitas tempat tumbuh; perlindungan dan pengamanan hutan kota seperti pengrusakan, membuang sampah, kebakaran dan hama penyakit; serta minimnya pemanfaatan hutan kota kearah pengembangan ekonomi seperti pariwisata dan rekreasi. Terkait dengan pemeliharaan hutan kota, berdasarkan pengamatan lapang masih ditemukan masyarakat yang membuang sampah domestik ke areal hutan kota, seperti pada hutan kota Srengseng dan PT JIEP. Selain itu, ditemukan juga pengrusakan pada beberapa pohon hutan kota. Jika mengacu pada PP No. 63 Tahun 2002 tentang hutan kota, pada pasal 26 ayat 4 sudah jelas tertuang larangan membuang benda-benda yang dapat mengakibatkan kerusakan hutan kota dan larangan merambah, menebang dan memotong hutan kota. Pasal ini kemudian dipertegas dengan pasal 37 tentang sanksi terhadap pengrusak hutan kota. Namun demikian, peraturan ini belum optimal dilaksanakan oleh masyarakat dan adanya ketidaktegasan dari aparat terkait. Selain faktor kurangnya pedulian masyarakat terhadap hutan kota, juga disebabkan kurangnya sosialisasi pemerintah terhadap fungsi dan manfaat hutan kota bagi masyarakat. Belum adanya Peraturan Daerah tentang hutan kota juga merupakan salah satu kendala dalam optimalisasi peningkatan kualitas hutan kota di DKI Jakarta. 32

Hal ini menyebabkan kepincangan dalam PP No. 63 Tahun 2002 terutama dalam aspek teknis pengelolaan hutan kota di lapangan, karena banyak aturan-aturan yang disebutkan pada PP No. 63 Tahun 2002 lebih lanjut diatur pada Perda. 3.4.2. Analisis Aktor pada Hirarki Pengambilan Keputusan Level aktor, bobot tertinggi adalah pemerintah sebesar 0.61 (Gambar 3.3). Keputusan ini menjadi prioritas karena pemerintah dianggap sebagai pihak yang paling berperan dalam pengembangan hutan kota DKI Jakarta. Hal ini sesuai dengan pasal 10 ayat 3 pada PP No. 63 Tahun 2002 tentang hutan kota, bahwa pembangunan hutan kota dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pemerintah sebagai pihak yang memiliki kewenangan semestinya dapat melaksanakan pengembangan hutan kota baik melalui optimalisasi kebijakan peraturan, peningkatan kuantitas dan kualitas, maupun evaluasi dan monitoring kebijakan hutan kota. Kewenangan pemerintah sebenarnya semakin kuat karena pada dasarnya rencana pengembangan hutan kota telah tertuang dalam pasal 12 ayat 2 PP. No 63 Tahun 2002 tentang hutan kota, yang menyebutkan bahwa pembangunan hutan kota merupakan bagian dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta. Pemerintah DKI Jakarta sebenarnya telah mencadangkan 13.94 persen wilayahnya untuk dijadikan kawasan RTH sebagaimana tercantum dalam RTRW DKI Jakarta 2000-2010, namun pada tahun 2003 luas RTH DKI Jakarta ternyata menjadi 9.12 persen dan semakin berkurang menjadi 6.2 persen pada tahun 2007 (Daroyni 2010). Dalam hal optimalisasi peraturan, pemerintah DKI Jakarta semestinya membuat Perda tentang hutan kota dalam upaya peningkatan kuantitas dan kualitas serta evaluasi dan monitoring hutan kota. Jika memungkinkan, perlu juga dilakukan evaluasi PP No. 63 Tahun 2002 tentang hutan kota. Perda hutan kota ini dimaksudkan untuk memberikan pedoman atau arahan, seperti pengelolaan, aspek legal, kerjasama, insenstif, pemilihan jenis dan sanksi. 3.4.3. Analisis Alternatif pada Hirarki Pengambilan Keputusan Berdasarkan analisis AHP dengan menggunakan bantuan Softwere Expert Choice 11, maka diperoleh alternatif pengembangan hutan dengan bobot tertinggi yaitu evaluasi peraturan sebesar 0.25, perluasan hutan kota sebesar 0.20, insentif bagi masyarakat dan swasta sebesar 0.19, dukungan dana sebesar 0.13, sosialisasi sebesar 0.11, pemilihan jenis pohon sebesar 0.10 dan penerapan sanksi 0.04 (Gambar 3.4). Alternatif dengan prioritas tertinggi adalah evaluasi peraturan sebesar 0.25. Keputusan ini menjadi prioritas untuk dilakukan karena terdapat beberapa bagian pada peraturan perundangan (PP No. 63 Tahun 2002) yang masih kurang sesuai dengan konsep hutan kota dan pemahaman stakeholder, sedangkan untuk melakukan pengembangan hutan kota sangat dibutuhkan aturan main yang tepat dan sesuai dengan kondisi lingkungan DKI Jakarta. Beberapa bagian dalam PP No. 63 Tahun 2002 yang kurang sesuai dengan pemahaman stakeholder seperti pada pasal 1 tentang definisi hutan kota, pasal 3 tentang fungsi hutan kota, pasal 8 ayat 3 tentang persentase luas minimum hutan kota. Hutan kota menurut PP No. 63 Tahun 2002 adalah suatu suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai 33

hutan kota oleh pejabat yang berwenang. Stakeholder memahami definisi hutan kota ini terlalu kaku jika dilihat dari kondisi lanskap perkotaan saat ini, khususnya DKI Jakarta. Ketetapan seperti ini dikhawatirkan melemahkan semangat pengembangan hutan kota itu sendiri, karena konsekuensinya tanpa pohon yang kompak dan rapat serta penetapan dari pejabat yang berwenang maka lahan yang berpepohonan belum dapat dikategorikan sebagai hutan kota, walaupun secara fisik sudah memenuhi kriteria hutan kota (Subarudi et al. 2010). Pada hal lain, terkait aspek legal (status hukum), masih banyak areal atau lahan yang sudah dibebaskan untuk hutan kota di DKI Jakarta oleh pelaksana hutan kota (Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi DKI Jakarta), namun belum mendapatkan status hukum atau pengukuhan melalui SK Gubernur, padahal jika mengacu pada pasal 5 ayat 3 PP No. 63 Tahun 2002 menyebutkan bahwa untuk DKI Jakarta, penunjukkan lokasi dan luasan hutan kota harus dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta, jika tidak maka lahan yang sudah ditetapkan sebagai hutan kota belum dapat dikatakan sebagai hutan kota. Evaluasi peraturan juga meliputi pengupayaan lahirnya Perda tentang hutan kota, karena banyak aturan-aturan yang disebutkan pada PP No. 63 Tahun 2002 diatur lebih lanjut pada Perda. Selain itu, diperlukan juga panduan teknis pembangunan hutan kota yang dapat dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan hutan kota khususnya DKI Jakarta dan menjadi cerminan terhadap pengembangan hutan kota di wilayah lainnya. Selain evaluasi peraturan, alternatif kebijakan yang juga memiliki bobot tinggi adalah perluasan hutan kota sebesar 0.20. Keputusan ini menjadi prioritas karena belum optimalnya penyediaan hutan kota di DKI Jakarta, yaitu masih seluas 149.18 ha. Padahal jika mengacu pada luas wilayah yang dimiliki oleh DKI Jakarta yaitu 661.52 Km atau sama dengan 6.615.200 ha maka penyediaan hutan kota di DKI Jakarta masih kurang. Hal ini menggambarkan bahwa masih banyak wilayah di DKI Jakarta yang belum mencapai target pengembangan hutan kota, padahal pasal 8 ayat 3 pada PP No. 63 Tahun 2002 tentang hutan kota disebutkan bahwa persentase luas hutan kota paling sedikit 10 persen dari luas wilayah perkotaan. Proporsi hutan kota DKI Jakarta masih di ratio 2.2 persen. Jika mengacu pada pasal 8 PP No. 63 Tahun 2002 tentang hutan kota, maka dengan luas wilayah DKI Jakarta 661.52 km 2, jumlah penduduk yang padat, dan tingkat pencemaran yang tinggi maka seharusnya pencapaian target hutan kota sudah mesti dilakukan. Berdasarkan hasil wawancara dengan stakeholder hutan kota, hal ini disebabkan keterbatasan aset Pemda DKI Jakarta dalam hal penguasaan atas tanah akibat mahalnya harga tanah untuk pembangunan dan atau pengembangan hutan kota (Subarudi et al. 2010). 34