MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES JOURNAL Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman 1-8 Online di :

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISA VARIABEL OSEANOGRAFI DATA MODIS TERHADAP SEBARAN TEMPORAL TENGGIRI (Scomberomorus commersoni, Lacépède 1800) DI SEKITAR SELAT KARIMATA

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kata kunci: Citra satelit, Ikan Pelagis, Klorofil, Suhu, Samudera Hindia.

Gambar 1. Diagram TS

Hubungan Upwelling dengan Jumlah Tangkapan Ikan Cakalang Pada Musim Timur Di Perairan Tamperan, Pacitan

J. Sains & Teknologi, Agustus 2008, Vol. 8 No. 2: ISSN

Pengaruh Sebaran Konsentrasi Klorofil-a Berdasarkan Citra Satelit terhadap Hasil Tangkapan Ikan Tongkol (Euthynnus sp) Di Perairan Selat Bali

VARIABILITAS SPASIAL DAN TEMPORAL SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KONSENTRASI KLOROFIL-a MENGGUNAKAN CITRA SATELIT AQUA MODIS DI PERAIRAN SUMATERA BARAT

ABSTRAK. Kata kunci: Suhu Permukaan Laut; Klorofil-a; Ikan Tuna Sirip Kuning (Thunnus albacares); Pancing Ulur ABSTRACT

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial. Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan

KETERKAITAN VARIBILITAS ANGIN TERHADAP PERUBAHAN KESUBURAN DAN POTENSI DAERAH PENANGKAPAN IKAN DI PERAIRAN JEPARA

ABSTRAK. Kata Kunci: Tuna mata besar, Suhu Permukaan Laut, Klorofil-a, Positif catch, High catch

Sebaran suhu permukaan laut dan tracking daerah penangkapan Ikan Cakalang di Perairan Barat Laut Banda

PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) BERDASARKAN SEBARAN SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN IDI RAYEUK KABUPATEN ACEH TIMUR

PERTEMUAN KE-5 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN SIRKULASI MASSA AIR (Bagian 2) ASEP HAMZAH

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et

Abstrak. Kata kunci: Jalur migrasi penyu, Transmitter, NOAA (Tinggi muka laut,suhu permukaan, Klorofil-a). Abstract

KAITAN MONSUN TERHADAP VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KLOROFIL-A UNTUK PREDIKSI POTENSI FISHING GROUND DI PERAIRAN KARIMUNJAWA

PEMETAAN KARAKTER EKOSISTEM DAN SEBARAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN MADIDIHANG (Thunnus albacores) DI PERAIRAN UTARA PAPUA

PENGARUH PERUBAHAN DAN VARIABILITAS IKLIM TERHADAP DINAMIKA FISHING GROUND DI PESISIR SELATAN PULAU JAWA

ANALISA SEBARAN TANGKAPAN IKAN LEMURU (Sardinella lemuru) BERDASARKAN DATA SATELIT SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KLOROFIL-a DI PERAIRAN SELAT BALI

KAJIAN SEBARAN SPASIAL PARAMETER FISIKA KIMIA PERAIRAN PADA MUSIM TIMUR DI PERAIRAN TELUK SEMARANG

PENENTUAN DAERAH POTENSIAL PENANGKAPAN IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) MENGGUNAKAN CITRA SATELIT DI PERAIRAN JAYAPURA SELATAN KOTA JAYAPURA

KETERKAITAN PARAMETER DAERAH PENANGKAPAN TERHADAP UPAYA PENANGKAPAN IKAN PELAGIS BESAR DI SAMUDERA HINDIA OLEH HARRY AGUSTIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH

Migrasi Ikan Tuna (Thunnus sp) secara Spasial dan Temporal di Laut Flores, Berbasis Citra Satelit Oseanografi

HUBUNGAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DAN SUHU PERMUKAAN LAUT DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS UTAMA DI PERAIRAN LAUT JAWA DARI CITRA SATELIT MODIS

Diterima: 14 Februari 2008; Disetujui: Juli 2008 ABSTRACT

ANALISIS SPASIAL DAN TEMPORAL HASIL TANGKAPAN IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) DAN THERMAL FRONT PADA MUSIM PERALIHAN DI PERAIRAN TELUK BONE

Sebaran Ikan Tuna Berdasarkan Suhu dan Kedalaman di Samudera Hindia

FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK

PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN POTENSIAL IKAN TUNA MATA BESAR DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT DI PERAIRAN LHOKSEUMAWE

PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA)

PROFIL SEBARAN HORISONTAL SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KLOROFIL-A PADA DAERAH PENANGKAPAN IKAN TERI DI PERAIRAN KABUPATEN LUWU TELUK BONE

Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan Laut di Laut Banda Berdasarkan Data Citra Satelit. Forecasting Fishing Areas in Banda Sea Based on Satellite Data

Variabilitas Suhu Permukaan Laut Di Pantai Utara Semarang Menggunakan Citra Satelit Aqua Modis

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 4, Tahun 2015, Halaman Online di :

Jurnal IPTEKS PSP, Vol.2 (3) April 2015: ISSN: X

5 HASIL 5.1 Kandungan Klorofil-a di Perairan Sibolga

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

6 PEMBAHASAN 6.1 Produksi Hasil Tangkapan Yellowfin Tuna


Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b

PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU

PREDIKSI DAERAH POTENSIAL PENANGKAPAN IKAN PELAGIS BESAR DI PERAIRAN KABUPATEN MAMUJU

POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN IKAN SEBAGAI DASAR PENGEMBANGAN SEKTOR PERIKANAN DI SELATAN JAWA TIMUR

IDENTIFIKASI DAERAH PENANGKAPAN IKAN PELAGIS BESAR PADA MUSIM TIMUR BERDASARKAN SEBARAN SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN BARAT ACEH ABSTRACT

Tengah dan Selatan. Rata-rata SPL selama penelitian di Zona Utara yang pengaruh massa air laut Flores kecil diperoleh 30,61 0 C, Zona Tengah yang

Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan Di Selat Bali Berdasarkan Data Citra Satelit

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KONDISI ARUS DAN SUHU PERMUKAAN LAUT PADA MUSIM BARAT DAN KAITANNYA DENGAN IKAN TUNA SIRIP KUNING (THUNNUS ALBACARES) DI PERAIRAN SELATAN JAWA BARAT

Domu Simbolon. Staf pengajar pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelauatn Institut Pertanian Bogor

VARIABILITY NET PRIMERY PRODUCTIVITY IN INDIAN OCEAN THE WESTERN PART OF SUMATRA

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 2, Nomor 4, Tahun 2013, Halaman Online di :

TINJAUAN PUSTAKA. Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara. Utara terdiri dari 7 Kabupaten/Kota, yaitu : Kabupaten Langkat, Kota Medan,

MASPARI JOURNAL Juli 2015, 7(2):25-32

HUBUNGAN VARIABEL SUHU PERMUKAAN LAUT, KLOROFIL- a DAN HASIL TANGKAPAN KAPAL PURSE SEINE YANG DIDARATKAN DI TPI BAJOMULYO JUWANA, PATI

Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-4 Tahun Stasiun Klimatologi Kairatu Ambon 2. Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

ANALISIS SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KLOROFIL-A DATA INDERAJA HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN TONGKOL

Adaptasi Perikanan Tangkap terhadap Perubahan dan Variabilitas Iklim di Wilayah Pesisir Selatan Pulau Jawa Berbasis Kajian Resiko MODUL TRAINING

BAB III METODOLOGI. Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian di Samudera Hindia bagian Timur

SEBARAN LAJU PANCING RAWAI TUNA DI SAMUDERA HINDIA DISTRIBUTION OF THE HOOK RATE OF TUNA LONGLINE IN THE INDIAN OCEAN

Jurnal IPTEKS PSP, Vol.2 (3) April 2015: ISSN: X

Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah

KAJIAN HUBUNGAN HASIL TANGKAPAN IKAN CAKALANG

Physics Communication

PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TANGKAPAN IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) DI PELABUHAN LAMPULO BANDA ACEH. Oleh:

Asia, Jul Manohas, Raman Simanjuntak, Heru Santoso. Politeknik Kelautan dan Perikanan Bitung. Jl. Tandurusa, Po Bok 12 BTG/Bitung Sulawesi Utara

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 2, Nomor 1, Tahun 2013, Halaman Online di :

Pemimpin baru dan tantangan krisis ikan era perubahan iklim

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor

ABSTRAK. Kata kunci : Suhu Permukaan Laut (SPL), Klorofil-a, dan Hasil Tangkapan Ikan Tuna

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1. Peta Wilayah Spawing Ground dan Migrasi Tuna Sirip Biru (Anthony Cox, Matthew Stubbs and Luke Davies, 1999)

Relationship between variability mixed layer depth T=0.5 o C criterion and distribution of tuna in the eastern Indian Ocean

THERMAL DAN KLOROFIL-A FRONT HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN CAKALANG PADA MUSIM PERALIHAN BARAT TIMUR DI PERAIRAN SERAM

Kajian Lokasi Upwelling untuk Penentuan Fishing Ground Potensial Ikan Tuna

Rochmady Staf Pengajar STP - Wuna, Raha, ABSTRAK

PENDAHULUAN. Pantai Timur Sumatera Utara merupakan bagian dari Perairan Selat

Sp.) DI PERAIRAN TIMUR SULAWESI TENGGARA

Universitas Sumatera Utara, ( 2) Staff Pengajar Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 YellowfinTuna. Menurut Saanin (1984) ikan Yellowfin Tuna dapat diklasifikasikan sebagai. berikut: : Percomorphi

SUHU PERMUKAAN LAUT DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN MADIDIHANG (Thunnus albacares) DI PERAIRAN SELATAN SULAWESI TENGGARA

b) Bentuk Muara Sungai Cimandiri Tahun 2009

3. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Torani (Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan ) Vol. 23 (3) Desember 2013: ISSN:

Seminar Nasional Tahunan X Hasil Penelitian Kelautan dan Perikanan, 31 Agustus 2013

Keberadaan sumber daya ikan sangat tergantung pada faktor-faktor. yang sangat berfluktuasi dari tahun ke tahun. Kemungkinan ini disebabkan karena

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 5, Nomor 4, Tahun 2016, Halaman Online di :

4 HASIL. Gambar 4 Produksi tahunan hasil tangkapan ikan lemuru tahun

JOURNAL OF MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES. Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman Online di :

SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT

Komposisi tangkapan tuna hand line di Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung, Sulawesi Utara

ANALISIS DAERAH PENANGKAPAN IKAN MADIDIHANG (Thunnus albacares) BERDASARKAN SUHU PERMUKAAN LAUT DAN SEBARAN KLOROFIL-A DI PERAIRAN PROVINSI ACEH

4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI

PEMETAAN DAERAH POTENSIAL PENANGKAPAN IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) DAN TONGKOL (Euthynnus affinis) DI PERAIRAN UTARA NANGGROE ACEH DARUSSALAM

Transkripsi:

MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES JOURNAL Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman 1-8 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/maquares ANALISIS HUBUNGAN SUHU PERMUKAAN LAUT, KLOROFIL-a DATA SATELIT MODIS DAN SUB-SURFACE TEMPERATURE DATA ARGO FLOAT TERHADAP HASIL TANGKAPAN TUNA DI SAMUDERA HINDIA Geertruidha Adelheid Latumeten, Frida Purwanti, Agus Hartoko *) Jurusan Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro Jl. Prof. H. Soedharto, SH, Tembalang Semarang. 50275 Telp/Fax (024) 7474698 Abstrak Tuna merupakan ikan pelagis besar yang senang hidup di daerah upwelling dan front, senang beruaya di daerah yang kaya makanan, serta hidup pada kisaran suhu tertentu. Penelitian ini menggunakan metode eksploratif dan pengambilan data menggunakan metode purposive sampling. Data yang digunakan adalah data suhu permukaan laut dan klorofil-a satelit MODIS dan data suhu vertikal ARGO Float. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil tangkapan Tuna Madidihang, Mata Besar dan Albakor tinggi pada musim timur sedangkan Tuna Sirip Biru Selatan hanya tertangkap pada musim barat. Fenomena upwelling terjadi pada musim barat dan front terjadi pada musim timur yang berada di sekitar daerah penangkapan Tuna Analisis korelasi tunggal dan ganda antara subsurface temperature dengan hasil tangkapan Tuna menunjukkan hubungan yang cukup erat dengan nilai koefisien korelasi setiap jenis Tuna di atas 0,5 pada kedua musim. Berdasarkan hasil analisis korelasi, Tuna Madidihang memiliki kisaran suhu yang disukai antara 21 27 ⁰C pada kedalaman 80 150 m, Mata Besar antara 10 23 ⁰C pada kedalaman 150 m, Albakor antara 11 19 ⁰C pada kedalaman 150 m dan Tuna sirip biru antara 12 16 ⁰C pada kedalaman 200 m. Kata Kunci : Suhu Permukaan Laut, Klorofil-a, Sub-Surface Temperature, Data Satelit, Hasil Tangkapan Tuna Abstract Tuna is a large pelagic fish that has three characters. First, most of Tuna were found in upwelling and sea water front area. Second, Tuna have a migratory instinct to locate abundant source of food area. Third, each species of Tuna has sub-surface temperature preference The research used explorative method and the sampling method used purposive sampling. Data used in the research are sea surface temperature, chlorophyll-a from the MODIS satellite data and sub-surface temperature from the ARGO Float data. The result has shown that the highest Tuna catch occurs on the east season except for southern bluefin Tuna which was only caught on the west season. The upwelling phenomenon was detected on the west season and the sea water front phenomenon was detected on the east season. Analysis of single and multiple correlation between sub surface temperature and Tuna catch has shown high correlation with the coefficient correlation value is above 0.5 for both seasons. Based on the research, yellowfin Tuna has temperature range of 21 27 ⁰C in the depth of 80 m 100 m, bigeye Tuna is 10 23 ⁰C in the depth of 150 m, albacore is 11 19 ⁰C in the depth of 150 m and southern bluefin Tuna is 12 16 ⁰C in the depth of 200 m. Keywords: Sea Surface Temperature, Chlorophyll-a, Sub-Surface Temperature, Satellite Data, Tuna Catch 1. Pendahuluan Masalah utama yang dihadapi dalam upaya optimalisasi hasil tangkapan ikan Tuna adalah sangat terbatasnya data dan informasi mengenai kondisi oseanografi yang berkaitan erat dengan daerah potensi penangkapan ikan Tuna (Thunnus spp.). Oleh karena itu, informasi mengenai daerah potensi penangkapan ikan sangat diperlukan dalam pembangunan sektor perikanan, khususnya bagi kegiatan penangkapan ikan. Informasi tersebut dapat diperoleh melalui teknologi penginderaan jauh. Menurut Laevastu dan Hayes (1981), Tuna memiliki tiga sifat utama yaitu senang hidup di daerah upwelling dan daerah pertemuan air hangat dengan air dingin (front), senang beruaya untuk memburu daerah yang kaya makanan, dan senang hidup pada kisaran suhu tertentu. Upwelling dan front dapat diidentifikasi melalui persebaran suhu permukaan laut sedangkan perairan yang kaya makanan dapat diidentifikasi melalui persebaran *) penulis penanggungjawab 1

klorofil-a. Fenomena front dianalisis berdasarkan data spasial (suhu horizontal) sedangkan upwelling dapat dianalisis berdasarkan suhu horizontal (data spasial) dan suhu vertikal (grafik hubungan suhu dan kedalaman). Menurut Hartoko (2010), Tuna juga merupakan ikan yang bersifat poikilothermik yaitu suhu tubuh dipengaruhi oleh suhu perairan disekitarnya sehingga setiap jenis Tuna memiliki kisaran suhu tertentu yang disukai. Data suhu permukaan laut dan klorofil-a diperoleh dari satelit MODIS sedangkan sub-surface temperature diperoleh dari ARGO Float (data in situ). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebaran dan perkembangan hasil tangkapan Tuna, mengetahui sebaran suhu permukaan laut dan klorofil-a untuk analisis upwelling dan front, mengetahui sebaran sub-surface temperature di daerah penangkapan Tuna serta mengetahui hubungan antara suhu permukaan laut, klorofil-a dan sub-surface temperature terhadap hasil tangkapan Tuna. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan September Oktober 2012 di PPS Cilacap dan laboratorium penginderaan jauh jurusan perikanan FPIK. 2. Materi dan Metode Penelitian A. Materi Penelitian Materi yang digunakan dalam penelitian adalah suhu permukaan laut dan klorofil-a perairan yang ditangkap oleh sensor satelit MODIS, sub-surface temperature dari ARGO Float dan hasil tangkapan Tuna yaitu Tuna Madidihang/Sirip Kuning, Tuna Mata Besar, Tuna Albakor dan Tuna Sirip Biru Selatan. B. Metode Penelitian, Pengolahan dan Analisis Data Penelitian ini menganalisis tiga variabel yang diduga memiliki hubungan atau berpengaruh terhadap hasil tangkapan. Analisis sebaran suhu permukaan laut dilakukan baik secara horizontal (spasial) maupun vertikal (grafik) untuk mengetahui daerah dan waktu terjadinya upwelling serta front. Analisis sebaran klorofil-a dilakukan untuk mengetahui daerah yang memiliki makanan berlimpah. Peningkatan klorofil-a merupakan akibat dari terjadinya fenomena upwelling dan front. Analisis sub-surface temperature dilakukan untuk mengetahui hubungan suhu kedalaman tertentu dengan hasil tangkapan Tuna. yang digunakan dalam analisis ini adalah 80 m, 100 m, 150 m, 200 m dan 250 m. ini digunakan berdasarkan referensi bahwa Tuna hidup pada kisaran kedalaman 80 m 300 m sesuai dengan kisaran suhu yang disukai masing-masing jenis Tuna (Hartoko, 2010). Regresi tunggal (single regression) menggunakan persamaan polinomial yaitu: Y = ax 2 + bx + c dimana: Y = hasil tangkapan Tuna X = suhu per kedalaman (80 m, 100 m, 150 m, 200 m dan 250 m) sedangkan regresi ganda (multiple regression) menggunakan persamaan linear: Y = a + bx 1 + cx 2 + dx 3 + ex 4 dimana: Y = hasil tangkapan Tuna a = constant b c d e = koefisien x 1 = suhu kedalaman 80 m = suhu kedalaman 100 m x 2 x 3 x 4 = suhu kedalaman 200 m = suhu kedalaman 250 m Menurut Hadi (2004), koefisien korelasi bergerak diantara -1 r 1 dimana korelasi negatif bergerak antara -1 sampai 0 dan korelasi positif bergerak antara 0 sampai 1. Tabel 1. Klasifikasi Nilai Koefisien Korelasi Koefisien Interpretasi Korelasi (r) 0,8 1 Tinggi 0,6 0,8 Cukup tinggi 0,4 0,6 Agak rendah 0,2 0,4 Rendah 0,0 0,2 Sangat rendah Sumber : Hadi (2004) 3. Hasil dan Pembahasan Dari penelitian yang telah dilakukan didapat hasil meliputi: perkembangan hasil tangkapan pada masingmasing jenis Tuna, sebaran suhu permukaan laut dan klorofil-a, sebaran sub-surface temperature dan hubungan antara sub-surface temperature dengan hasil tangkapan masing-masing jenis Tuna. Perkembangan Hasil Tangkapan Tuna dan Perkembangan Trip Penangkapan Tuna Penelitian ini dikhususkan pada empat jenis Tuna yaitu Tuna Madidihang/Sirip Kuning, Tuna Mata Besar, Tuna Albakor dan Tuna Sirip Biru Selatan. Keempat jenis Tuna ini tersebar di perairan Samudera Hindia selatan Cilacap. Perkembangan hasil tangkapan Tuna dapat dilihat pada gambar 1 dan perkembangan trip penangkapan Tuna pada gambar 2. 2

Trip Tangkapan (ton) MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES JOURNAL, Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013 80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 Perkembangan Tangkapan Tuna per Jenis Oktober 2011 - September 2012 jan feb mar apr mei jun jul agust sept okt nov des Bulan Keterangan : Tuna Madidihang/Sirip Kuning : Tuna Mata Besar : Tuna Albakor : Tuna Sirip Biru Selatan Sumber : PPS Cilacap Gambar 1. Perkembangan Hasil Tangkapan Tuna 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 Perkembangan Trip Penangkapan Tuna Oktober 2011 - September 2012 jan feb mar apr mei jun jul agust sept okt nov des Bulan Gambar 2. Perkembangan Trip Penangkapan Tuna Berdasarkan grafik perkembangan hasil tangkapan Tuna, terdapat tiga hal penting yaitu hasil tangkapan secara total lebih tinggi pada musim timur dibanding musim barat karena berkaitan dengan kondisi oseanografis yang mempengaruhi keberadaan Tuna di dalam perairan, hasil tangkapan Tuna Mata Besar lebih tinggi dibanding ketiga jens Tuna lainnya karena jenis Tuna ini memiliki wilayah persebaran yang paling luas, rentang suhu yang luas dan bersifat serial spawner, dan Tuna Sirip Biru Selatan hanya tertangkap pada musim barat (Desember-Mei) karena wilayah persebaran Tuna Sirip Biru Selatan di perairan dekat Australia sampai selatan Australia. Tuna Sirip Biru Selatan bermigrasi ke wilayah perairan Indonesia (Selatan Jawa) hanya untuk melakukan pemijahan pada bulan-bulan tertentu dan dari grafik diketahui bahwa musim pemijahan Tuna Sirip Biru Selatan adalah musim barat. Hasil tangkapan Tuna juga dipengaruhi oleh jumlah trip penangkapan. Meningkatnya jumlah trip penangkapan dapat meningkatkan hasil tangkapan, namun jika tidak didukung dengan kondisi oseanografis atau fishing ground yang tepat maka hasil tangkapan dapat menurun. Penangkapan Tuna di Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap menggunakan alat tangkap longline Tuna. Berdasarkan grafik penangkapan, jumlah trip penangkapan pada musim timur lebih tinggi dibanding musim barat. Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Suhu Vertikal Suhu permukaan laut merupakan indikator terjadinya upwelling dan front karena perairan yang mengalami fenomena upwelling memiliki ciri yaitu memiliki suhu rendah yang dikelilingi oleh perairan bersuhu lebih hangat. Perbedaan suhu ini cukup jelas dan berkisar antara 3-4 ⁰C (Kushardono, 2003) sedangkan front adalah pertemuan dua massa air yang bersuhu dingin dengan massa air yang bersuhu lebih hangat sehingga indikator untuk menganlisis fenomena front menggunakan sebaran suhu permukaan laut. Suhu vertikal digunakan untuk melihat kedalaman lapisan termoklin karena berpengaruh terhadap keberadaan Tuna. Upwelling dan front dapat mengubah kedalaman lapisan termoklin menjadi lebih dekat ke permukaan sehingga wilayah persebaran Tuna secara vertikal juga berubah menjadi lebih dekat ke permukaan. Sebaran suhu permukaan laut pada musim timur dan barat dapat dilihat pada gambar 3 dan 4 sedangkan sebaran suhu vertikal musim timur dan barat dapat dilihat pada gambar 5 dan 6. 3

MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES JOURNAL, Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013 Gambar 3. Sebaran Suhu Permukaan Laut Musim Timur Suhu Vertikal Musim Timur Gambar 4. Sebaran Suhu Permukaan Laut Musim Barat Suhu Vertikal Musim Barat 0 0 5 10 15 20 25 30-50 -100-150 0 0 5 10 15 20 25 30 35-50 -100-150 -200-250 -300-350 -400-450 -200-250 -300-350 -400-450 -500 Suhu -500 Suhu Gambar 5. Sebaran Suhu Vertikal Musim Timur Gambar 6. Sebaran Suhu Vertikal Musim Barat Peta sebaran suhu permukaan laut musim timur menunjukkan terjadinya fenomena upwelling dan front. Upwelling terjadi di daerah pantai yaitu pantai selatan Yogyakarta yang ditandai dengan warna biru (suhu rendah) serta terjadi fenomena front yaitu pertemuan massa air bersuhu dingin yang berasal dari selatan dengan massa air bersuhu lebih hangat yang berasal dari sebelah utara (Selatan Jawa). Fenomena front ini ditandai dengan perbedaan gradien suhu yang sangat jelas. Wilayah penangkapan Tuna dilakukan pada daerah front yang memiliki suhu permukaan lebih rendah yang mengakibatkan kedalaman lapisan termoklin lebih dangkal yaitu berada pada kedalaman 75 m. Musim barat menunjukaan adanya fenomena upwelling dan front namun tidak terjadi di sekitar wilayah penangkapan Tuna. Musim barat juga memiliki suhu permukaan laut yang lebih hangat dibanding musim timur sehingga kedalaman lapisan termoklin lebih dalam yaitu 100 m. mata pancing dominan yang digunakan oleh para nelayan di Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap adalah 50m sampai 150 m namun 150 m sangat jarang sehingga hasil tangkapan pada musim timur lebih tinggi dibanding musim barat karena kedalaman pancing sesuai dengan kedalaman lapisan renang Tuna. Selain itu, front merupakan daerah yang kaya akan sumber makanan sehingga pada saat itu, daerah ini sangat cocok untuk menjadi fishing ground Tuna. Sebaran Klorofil-a Klorofil-a digunakan untuk menduga kelimpahan makanan di suatu perairan tetapi dapat juga menjadi indikator terjadinya upwelling karena peningkatan klorofil-a dapat disebabkan oleh pengangkatan massa air lapisan bawah yang kaya nutrient ke lapisan atas (upwelling). Berikut ini adalah peta sebaran klorofil-a pada musim timur dan barat. Gambar 7. Sebaran Klorofil-a Musim Timur Gambar 8. Sebaran Klorofil-a Musim Barat Berdasarkan peta sebaran klorofil-a, kandungan klorofil-a pada musim timur lebih tinggi dibanding musim barat. Kandungan klorofil-a musim timur berkisar antara 0,01 1,1 mg/m3 sedangkan musim barat antara 0,01 0,3 mg/m3. Musim timur penangkapan Tuna berada pada perairan yang memiliki kandungan klorofil-a yang lebih tinggi 4

dibanding musim barat. Hal ini dapat dikaitkan dengan terjadinya fenomena front pada musim timur dimana wilayah penangkapan Tuna dilakukan di daerah front. Menurut Robinson (1991), front dapat meningkatkan kandungan klorofila dalam suatu perairan karena membawa massa air yang dingin dan kaya nutrien dibandingkan dengan perairan yang lebih hangat namun miskin unsur hara. Kombinasi dari suhu dan peningkatan kandungan hara yang timbul dari percampuran ini akan meningkatkan produktivitas fitoplankton. Hal ini akan ditujukan dengan meningkatnya stok ikan di daerah tersebut. Sebaran Sub-Surface Temperature Sub-surface temperature atau suhu di bawah lapisan permukaan memiliki batas hingga kedalaman tertentu. Lapisan kedalaman perairan berdasarkan suhu dibedakan menjadi tiga lapisan yaitu lapisan atas/permukaan (lapisan homogen), lapisan termoklin (suhu menurun tajam) dan lapisan bawah (lapisan dingin). Berdasarkan hasil pengolahan sebaran suhu vertikal, sub-surface temperature pada musim timur memiliki batas sampai kedalaman 75 m karena rentang kedalaman ini memiliki suhu yang homogen sedangkan pada musim barat batasnnya hingga 100 m. Sebenarnya, batas kedalaman lapisan atas atau permukaan bersifat dinamis karena pengaruh dari iklim (musim timur dan musim barat). Jika suhu permukaan perairan dingin maka lapisan termoklin bisa meningkat menjadi mendekati perairan sedangkan suhu permukaan yang lebih hangat lapisan termoklin bisa turun pada kedalaman yang lebih dalam contohnya pada hasil yang telah diolah. Sebaran sub-surface temperature musim timur dan barat dapat dilihat pada gambar 9 dan 10. Gambar 9. Sebaran Sub-Surface Temperature Musim Timur 80m, 100m, 150m, 200m dan 250m Gambar 10. Sebaran Sub-Surface Temperature Musim Barat 80m, 100m, 150m, 200m, dan 250m Penelitian ini menggunakan suhu kedalaman 80 m, 100 m, 150 m, 200 m dan 250 m dengan asumsi bahwa secara umum semua jenis Tuna tersebar dari kedalaman 80 250 m walaupun memiliki kedalaman yang berbeda pada masing-masing jenis Tuna sesuai dengan kisaran suhu yang disukai. Hasil pengolahan sub-surface temperature juga dapat digunakan untuk membenarkan bahwa semakin dalam suatu perairan maka suhu yang semakin rendah. Subsurface temperature perairan ini merupakan data yang digunakan untuk membantu proses analisis hubungan suhu kedalaman tertentu dengan hasil tangkapan pada masing-masing jenis Tuna. Analisis Korelasi antara Sub-Surface Temperature dengan Hasil Tangkapan Tuna Analisis korelasi antara sub-surface temperature dengan hasil tangkapan Tuna per jenis dilakukan dengan menggunakan regresi. Hasil analisis korelasi adalah sebagai berikut: 1. Regresi Tunggal (Single Regression) Analisis regresi tunggal artinya melakukan analisis regresi antara sub-surface temperature masing-masing kedalaman (50 m, 100 m, 150 m, 200 m, dan 250 m) dengan hasil tangkapan per jenis Tuna. a. musim timur Berikut adalah hasil analisis regresi antara sub-surface temperature dengan hasil tangkapan Tuna per jenis pada musim timur. 5

Tabel 2. Hasil Analisis Korelasi Regresi Tunggal (Single Regression) pada Hasil Tangkapan Tuna Madidihang Musim Timur 80 Y = 1.2623x 2 68.467x + 929.22 0.6 0.36 24 29 100 Y = 1.1464x 2 55.621x + 675.06 0.67 0.45 22 26 150 Y = 0.0731x 2 1.541x + 7.8112 0.55 0.33 12 20 200 Y = 0.2254x 2 4.7427x + 25.747 0.48 0.23 10 15 250 Y = 0.1121x 2 1.2208x + 2.624 0.38 0.14 9 13 Tabel 3. Hasil Analisis Korelasi Regresi Tunggal (Single Regression) pada Hasil Tangkapan Tuna Mata Besar Musim Timur 80 Y = 0.1031x 2 4.2076x + 42.356 0.39 0.15 24 29 100 Y = 0.1017x 2 3.9836x + 39.973 0.57 0.33 21 27 150 Y = 0.0355x 2 0.6474x + 39.478 0.63 0.40 10 23 200 Y = 0.0288x 2 0.208x + 0.0685 0.56 0.31 10 20 250 Y = 0.0056x 2 0.8256x + 7.1106 0.59 0.35 8 16 Tabel 4. Hasil Analisis Korelasi Regresi Tunggal (Single Regression) pada Hasil Tangkapan Tuna Albakor Musim Timur 80 Y = 0.7379x 2 40.545x + 557.56 0.46 0.21 25 28 100 Y = 0.3592x 2 17.722x + 219.37 0.67 0.45 21 27 150 Y = 0.1429x 2 3.5007x + 21.538 0.74 0.55 11 19 200 Y = 0.1337x 2 2.6902x + 13.388 0.62 0.39 10 17 250 Y = 1.0909x 2 22.619x + 118.3 0.51 0.26 9 12 b. musim barat Berikut adalah hasil analisis regresi antara sub-surface temperature dengan hasil tangkapan Tuna per jenis pada musim timur. Tabel 5. Hasil Analisis Korelasi Regresi Tunggal (Single Regression) pada Hasil Tangkapan Tuna Madidihang Musim Barat 80 Y = 0.0692x 2 2.8763x + 30.101 0.58 0.34 21 28 100 Y = 0.3164x 2 13.507x + 144.87 0.54 0.30 19 25 150 Y = 0.1903x 2 5.7974x + 45.083 0.49 0.24 14 19 200 Y = 0.1996x 2 5.09x + 33.319 0.45 0.20 12 16 250 Y = 0.6664x 2 14.738x + 82.429 0.43 0.19 10 13 Tabel 6. Hasil Analisis Korelasi Regresi Tunggal (Single Regression) pada Hasil Tangkapan Tuna Mata Besar Musim Barat 80 Y = 0.0527x 2 3.6575x + 61.77 0.48 0.23 24 30 100 Y = 0.1927x 2 10.094x + 132.43 0.54 0.29 20 26 150 Y = 2.0213x 2 61.562x + 469.75 0.63 0.39 13 17 200 Y = 1.3913x 2 36.513x + 241.07 0.53 0.28 11 15 250 Y = 0.2067x 2 3.2411x + 13.228 0.37 0.14 9 13 6

Tabel 7. Hasil Analisis Korelasi Regresi Tunggal (Single Regression) pada Hasil Tangkapan Tuna Albakor Musim Barat 80 Y = 0.0116x 2 0.9752x + 18.534 0.44 0.20 23 28 100 Y = 0.0068x 2 0.6876x + 13.008 0.49 0.24 19 25 150 Y = 0.1537x 2 4.4844x + 33.444 0.73 0.53 14 19 200 Y = 0.2656x 2 6.8444x + 45.188 0.57 0.33 12 16 250 Y = 0.4872x 2 10.348x + 55.408 0.5 0.25 10 13 Tabel 10. Hasil Analisis Korelasi Regresi Tunggal (Single Regression) pada Hasil Tangkapan Tuna Sirip Biru Selatan Musim Barat 80 Y = 0.0309x 2 1.6773x + 23.101 0.42 0.17 21 27 100 Y = 0.0474x 2 2.2615x + 27.345 0.46 0.21 19 24 150 Y = 0.0838x 2 2.4974x + 19.012 0.6 0.36 14 18 200 Y = 0.2447x 2 6.5521x + 44.214 0.68 0.46 12 16 250 Y = 0.4442x 2 10.079x + 57.584 0.55 0.3 10 13 Informasi mengenai kisaran suhu yang disukai oleh setiap jenis Tuna dilakukan dengan melakukan regresi antara suhu kedalaman tertentu dengan hasil tangkapan Tuna yang didasari oleh besaran koefisien korelasi (r). Hubungan semakin erat jika koefisien korelasi semakin mendekati nilai 1. Regresi ini dibedakan menjadi dua yaitu regresi tunggal (single regression) yang bertujuan untuk mengetahui suhu kedalaman yang paling mempengaruhi setiap jenis Tuna dan regresi ganda (multiple regression) untuk mengetahui apakah setiap jenis Tuna tersebar pada kedalaman 80 m 200 m atau lebih dalam dari kedalaman tersebut. Berdasarkan hasil regresi tunggal antara sub-surface temperature dengan hasil tangkapan Tuna per jenis, hasil yang didapatkan bahwa nilai koefisien korelasi tertinggi Tuna Madidihang pada musim timur adalah sebesar 0,67 pada kedalaman 100 m. Nilai koefisien korelasi ini berarti hubungan suhu pada kedalaman 100 m dengan hasil tangkapan cukup tinggi. Koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 0,45 yang berarti 45 % suhu kedalaman 100 m mempengaruhi hasil tangkapan Tuna Madidihang di perairan. Kisaran suhu perairan pada kedalaman 100 m antara 22 ⁰C 26 ⁰C. Musim barat koefisien korelasi tertinggi sebesar 0,58 pada kedalaman 80 m. Artinya hubungan antara suhu kedalaman 80 m dengan hasil tangkapan Tuna Madidihang agak rendah. Nilai koefisien determinasi sebesar 0,34 yang berarti 34 % suhu perairan kedalaman 80 m mempengaruhi hasil tangkapan Tuna Madidihang. Kisaran suhu perairan pada kedalaman 80 m antara 21 ⁰C 28 ⁰C. Hasil ini sesuai dengan pendapat Laevastu dan Hayes (1981) bahwa Tuna Madidihang memang tersebar di kedalaman 80 m 100 m sesuai dengan kisaran suhu optimum yang disukai yaitu 20 ⁰C 28 ⁰C. Menurut Laevastu dan Hayes (1981), Tuna Mata Besar memiliki kisaran suhu yang sesuai baginya antara 13 ⁰C 29 ⁰C dengan suhu optimum antara 17 ⁰C 23 ⁰C dan menurut Triguna (1993) Tuna Mata Besar tersebar pada kedalaman 100 m 150 m. Hasil regresi menunjukkan nilai koefisien korelasi tertinggi pada musim timur dan musim barat sama yaitu sebesar 0,63 pada kedalaman yang sama juga yaitu 150 m. Hal ini berarti hubungan antara suhu perairan kedalaman 150 m dengan hasil tangkapan Tuna cukup tinggi. Nilai koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 0,4 yang artinya 40 % suhu perairan kedalaman 150 m mempengaruhi hasil tangkapan Tuna. Kisaran suhu perairan pada kedalaman 150 m pada musim timur antara 10 ⁰C 23 ⁰C sedangkan musim barat antara 13 ⁰C - 17 ⁰C. Kisaran suhu Tuna Albakor hampir sama dengan Tuna Mata Besar. Koefisien korelasi tertinggi pada musim timur sebesar 0,74 pada kedalaman 150 m yang artinya hubungan antara suhu perairan kedalaman 150 m dengan hasil tangkapan Tuna Albakor cukup tinggi. Koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 0,55 yang berarti 55 % suhu perairan kedalaman 150 m mempengaruhi hasil tangkapan Tuna Albakor. Musim barat koefisien korelasi tertinggi terdapat pada kedalaman yang sama dengan nilai 0,73 yang artinya hubungan keduanya cukup erat. Nilai koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 0,53 yang berarti 53 % suhu kedalaman 150 m mempengaruhi hasil tangkapan Tuna Albakor. Kisaran suhu perairan musim timur antara 11 ⁰C 19 ⁰C sedangkan musim barat antara 14 ⁰C 19 ⁰C. Hasil regresi ini sesuai dengan pendapat Laevastu dan Hayes (1981) bahwa Tuna Albakor banyak ditemukan di lapisan air dengan kisaran suhu antara 14 ⁰C 22 ⁰C. Tuna Sirip Biru Selatan berbeda dengan ketiga jenis Tuna lainnya. Kisaran suhu optimum bagi Tuna jenis ini lebih rendah yaitu antara 5 ⁰C 20 ⁰C (Uktolseja, 1991). Selain itu juga Tuna jenis ini hanya ditemukan di perairan Indonesia pada waktu-waktu tertentu untuk memijah. Data statistic PPS Cilacap menunjukkan bahwa Tuna jenis ini hanya tertangkap pada musim barat yaitu antara bulan Desember Mei. Hasil regresi menunjukkan nilai koefisien korelasi tertinggi terdapat pada kedalaman 200 m sebesar 0,68 yang artinya hubungan antara suhu perairan kedalaman 200 m dengan hasil tangkapan Tuna Sirip Biru Selatan cukup kuat. Nilai koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 0,46 yang berarti 46 % suhu perairan kedalaman 200 m mempengaruhi hasil tangkapan Tuna Sirip Biru Selatan. Kisaran suhu 7

perairan pada kedalaman ini antara 12 ⁰C 16 ⁰C. Hasil ini membuktikan bahwa Tuna Sirip Biru Selatan memang menyukai suhu perairan yang lebih dingin dibanding ketiga jenis Tuna lainnya. Hasil regresi ganda (multiple regression) pada musim timur menunjukkan bahwa Tuna Madidihang, Tuna Mata Besar dan Albakor signifikan terhadap suhu kedalaman 80 m 200 m yang berarti ketiga jenis Tuna ini tersebar di kedalaman 80 m 150 m. Namun, jenis Tuna yang memiliki nilai koefisien korelasi tertinggi sebesar 0,844 adalah Tuna Albakor. Hasil regresi ganda pada musim barat juga menunjukkan bahwa keempat jenis Tuna tersebut signifikan terhadap suhu kedalaman 80 m 200 m. Namun nilai koefisien korelasi tertinggi dimiliki oleh Tuna Sirip Biru Selatan yaitu sebesar 0,909 yang berarti hubungan kuat. Menurut Menurut Uktolseja (1991), Tuna Sirip Biru Selatan dapat hidup pada kondisi temperatur perairan yang berubah-ubah. Tuna Sirip Biru Selatan dapat mentolerir berbagai suhu air di sekitarnya karena ikan tersebut memiliki sistem peredaran darah maju yang cenderung mampu menjaga suhu tubuhnya untuk tetap hangat terhadap air di sekitarnya. Hal inilah yang menjadi alasan kuat tingginya koefisien korelasi antara suhu kedalaman 80 m 200 m dengan keberadaan Tuna Sirip Biru Selatan. 4. Kesimpulan Kesimpulan yang didapatkan dari penelitian ini adalah: 1. Hasil tangkapan Tuna Madidihang, Tuna Mata Besar dan Albakor lebih banyak tertangkap pada musim timur (April-Mei-Juni-Juli tahun 2012) sedangkan Tuna Sirip Biru hanya tertangkap pada musim barat. Namun, Tuna Mata Besar lebih luas persebarannya berdasarkan kedalaman pada musim barat karena hasil tangkapan lebih tinggi dan konstan dibanding ketiga jenis Tuna lainnya; 2. Sebaran suhu permukaan laut dan klorofil-a menunjukkan daerah penangkapan ikan Tuna dilakukan di sekitar daerah terjadinya fenomena upwelling pada musim barat sedangkan front terjadi pada musim timur; 3. Sebaran sub-surface temperature dilakukan pada lima suhu kedalaman yaitu suhu kedalaman 80 m, 100 m, 150 m, 200m dan 250 m dimana Madidihang lebih banyak ditemukan dengan kisaran suhu 21 28 ⁰C pada kedalaman 80 100 m, Tuna Mata Besar dan Albakor dengan kisaran suhu 10 23 ⁰C dan 11 19 ⁰C pada kedalaman yang sama yaitu 150 m dan Tuna sirip biru dengan kisaran suhu 12 16 ⁰C pada kedalaman 200 m; dan 4. Besaran nilai koefisien korelasi (r) Tuna Madidihang pada musim timur 0,67 pada kedalaman 100 m yang berarti hubungan antara suhu kedalaman 100 m dengan hasil tangkapan Tuna Madidihang cukup tinggi dan musim barat 0.58 pada kedalaman 80 m yang berarti hubungan cukup tinggi. Koefisien korelasi tertinggi Tuna Mata Besar pada musim timur 0.63 dan musim barat 0.63 pada kedalaman yang sama yaitu 150 m yang berarti hubungan cukup tinggi. Koefisien korelasi tertinggi Tuna Albakor pada musim timur 0.74 dan musim barat 0.73 pada kedalaman yang sama yaitu 150 m yang berarti hubungan cukup tinggi. Koefisien korelasi tertinggi Tuna Sirip Biru Selatan adalah 0.68 pada kedalaman 200 m yang berarti hubungan cukup tinggi. Daftar Pustaka Hadi, S. 2004. Metodologi Research. Andi, Yogyakarta, 300 303 hlm. Hartoko, A. 2010. Spatial Distribution of Thunnus sp, Vertical and Horizontal Sub-Surface Multilayer Temperature Profiles of In-Situ ARGO Float Data in Indian Ocean. Diponegoro University, Semarang, 19 hlm. Kushardono, D. 2003. Penginderaan Jauh untuk Wilayah Pesisir dan Kelautan. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Jakarta, 16 hlm. Laevastu, T dan Hayes, M. L. 1981. Fisheries Oceanography and Ecology. Fishing New Books Ltd, England. Robinson, I. 1991. Satellite Oceanography, An Introduction for Oceanographer and Remote Sensing Scientist. Ellis Horwood Limited, New York. Uktolseja, J.C.B. 1991. Estimated Growth Parameters and Migration of Skipjack Tuna-Katsuwonus pelamis In The Eastern Indonesian Water Through Tagging Experiments. [Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 43 Tahun 1987]. Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta, hlm 15 44. 8