BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan usia harapan hidup penduduk dunia membawa dampak terhadap pergeseran epidemiologi penyakit. Kecenderungan penyakit bergeser dari penyakit dominasi penyakit infeksi ke arah penyakit degeneratif termasuk penyakit jantung koroner. Telah banyak kemajuan dalam pemahaman patofisiologi yang menjadi dasar untuk perbaikan penatalaksanaan dan pencegahan penyakit jantung koroner, namun ternyata penyakit jantung koroner masih merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas yang utama di negara berkembang, terutama yang berkaitan dengan kejadian sindrom koroner akut (SKA). Sindrom koroner akut merupakan istilah yang mewakili keadaan iskemia miokardium yang meliputi angina perktoris tidak stabil (APTS), non-st-elevation myocardial infarction (NSTEMI), dan ST-elevation myocardial infarction (STEMI). Sindrom koroner akut masih merupakan salah satu masalah kesehatan utama dunia yang memberikan beban finansial untuk pembiayaan sistem kesehatan di berbagai negara (Smith dkk., 2015). Diperkirakan terdapat 1,1 juta kasus SKA setiap tahunnya, dengan 74% diantaranya merupakan kasus infark miokard (Giugliano dan Braunwald, 2014). Infark miokard akut (IMA) merupakan bagian SKA yang mencakup STEMI dan NSTEMI. Diagnosis IMA didapatkan melalui pemeriksaan klinis berupa keluhan nyeri dada angina atau ekuivalen angina, pemeriksaan elektrokariografi, 1
2 pemeriksaan penanda biokimia, dan pencitraan (Montalescot dkk., 2006). Perkembangan diagnostik dan terapi untuk kasus infark miokard akut terus berkembang, namun IMA masih merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas akibat penyakit tidak menular di seluruh dunia, bertanggung jawab terhadap lebih dari 7 juta kematian global (12,7% dari seluruh kematian) pada tahun 2008 (Finegold dkk., 2013). Morbiditas dan mortalitas pada penderita IMA berhubungan dengan berbagai komplikasi yang dapat disebabkan oleh IMA. Komplikasi akibat terjadinya IMA dapat berupa komplikasi iskemik, mekanik, gangguan irama jantung, emboli dan kematian. Komplikasi mekanik penting akibat IMA adalah terjadinya gagal jantung dengan penurunan kontraktilitas ventrikel kiri atau ventrikel kanan sampai terjadinya syok kardiogenik. Terjadinya syok kardiogenik pada pasien IMA merupakan prediktor utama kematian pasien IMA di rumah sakit. Gangguan irama jantung sebagai komplikasi IMA yang berkaitan dengan morbiditas dan mortalitas antara lain adalah takiaritmia ventrikuler dan blok atrioventrikuler derajat tinggi (Nonogi, 2002, Abu-Assi dkk., 2010, Mullasari dkk., 2011). Syok kardiogenik pasca IMA merupakan hasil dari penurunan berat dari kontraktilitas miokard akibat kematian sel yang iskemik berkepanjangan. Syok kardiogenik berujung pada penurunan curah jantung, tekanan darah yang rendah, dan insufisiensi koroner yang lebih berat. Angka kematian akibat komplikasi syok kardiogenik pasca IMA sangat tinggi yaitu mencapai 50% (Hochman dkk., 2000). Gagal jantung adalah komplikasi berupa gangguan kontraktilitas ventrikel kiri atau
3 kanan pasca IMA. Terjadi pula peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri yang menyebabkan rangkaian proses edema paru akut yang memperburuk infark. Pada gagal jantung kanan, pengisian ventrikel kiri akan terganggu yang menyebabkan penurunan curah jantung secara mendadak. Mortalitas gagal jantung pasca IMA mencapai 36% (Jhund dan McMurray, 2008). Aritmia maligna meliputi kondisi takikardia supraventrikuler, atrial fibrilasi/flutter respon ventrikel cepat atau lambat dengan gangguan hemodinamik, takiaritmia ventrikuler (ventrikular fibrilasi/takikardia), serta blok atrioventrikuler derajat dua tipe dua dan blok total. Aritmia tersebut dapat menyebabkan gangguan hemodinamik pasca IMA dan kematian jantung mendadak. Kejadian dan mortalitas aritmia maligna pasca IMA dapat mencapai 20% (Piccini dkk., 2008). Komplikasi tersebut termasuk ke dalam kejadian kardiovaskuler mayor, yaitu komplikasi IMA yang berhubungan dengan survival pasien (Yasmin, 2014). Masih tingginya mortalitas dan morbiditas akibat komplikasi IMA mendorong adanya upaya untuk menyusun suatu sistem stratifikasi risiko pada pasien IMA. Sistem stratifikasi IMA yang banyak digunakan saat ini adalah sistem skoring dengan skor The Thrombolysis in Myocardial Infarction (TIMI) dan skor GRACE. Perhitungan skoring risiko dengan menggunakan skor TIMI dan skor GRACE merupakan upaya stratifikasi risiko non-invasif dengan memadukan keadaan klinis, hemodinamik, elektrokardiografi, angiografi, dan nilai troponin (de Araújo Gonçalves dkk., 2005, Masood dkk., 2009). Sayangnya pemeriksaan nilai troponin atau angiografi merupakan suatu pemeriksaan yang khusus, sehingga diperlukan pemeriksaan yang lebih sederhana, mudah dan cost-effective yang dapat
4 digunakan sebagai upaya stratifikasi risiko pasien infark miokard akut. Stratifikasi risiko secara dini pada seluruh pasien IMA sangat penting dilakukan untuk menentukan strategi penatalaksanaan dan prognosis. Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien IMA baik kasus STEMI maupun NSTEMI pada hakekatnya adalah sama yaitu mengatasi penurunan aliran darah akibat ruptur plak aterosklerosis arteri koroner, walaupun pada STEMI dilakukan terapi reperfusi yang segera dibandingkan dengan NSTEMI. Penatalaksanaan yang baik dan tepat akan mampu mengurangi lama perawatan pasien di rumah sakit. Perawatan pasien di rumah sakit merupakan salah satu indikator ketepatan dan efektivitas proses diagnostik serta terapeutik pasien IMA (Seghieri dkk., 2012). Penatalaksanaan pasien IMA berkaitan erat dengan patogenesis dasar terjadinya sindrom koroner akut yaitu terjadinya ruptur plak aterosklerosis pada arteri koroner (Dziewierz dkk., 2009). Setelah terjadinya ruptur plak aterosklerosis pada arteri koroner maka segera terjadi aktivasi dari platelet. Aktivasi platelet kemudian memiliki peran yang sangat penting dalam rangkaian kejadian trombosis yang menyebabkan terjadinya infark miokard (Endler dkk., 2002). Aktivasi platelet pada tempat terjadinya cedera vaskuler akibat ruptur plak aterosklerosis akan mendorong pelepasan berbagai macam substansi dan mediator proses koagulasi, inflamasi, dan trombosis. Aktivasi platelet yang tinggi akan memiliki potensi trombotik yang tinggi sehingga menyebabkan terjadi IMA yang berat dan risiko terjadinya komplikasi kejadian kardiovaskuler mayor juga lebih tinggi (Lippi dkk., 2009, Chu dkk., 2010).
5 Telah diketahui bahwa peningkatan aktivitas platelet berhubungan dengan ukuran dari platelet. Platelet berukuran besar secara enzimatik dan metabolik lebih aktif dibandingkan dengan platelet berukuran kecil, dan memiliki potensi trombotik yang lebih besar. Platelet berukuran besar mengekspresikan protein permukaan prokoagulan yang tinggi, seperti P-selectin dan glycoprotein IIIa. Peningkatan aktivitas platelet secara signifikan meningkatkan kerentanan seseorang terhadap kejadian infark miokard (Endler dkk., 2002). Telah diketahui pula bahwa peningkatan pelepasan platelet ukuran besar tersebut menetap sampai saat pasien dengan infark miokard telah keluar rumah sakit. Hal tersebut mendukung bahwa platelet berukuran besar pada pasien dengan infark miokard merupakan proses kronis dan bukan merupakan hasil dari terjadinya infark miokard (Khandekar dkk., 2006). (Endler dkk., 2002). Pada seorang individu, platelet bervariasi dalam hal ukuran dan densitas. Berbagai macam metode pengukuran aktivasi platelet telah dilakukan untuk mengidentifikasi individu yang memiliki peningkatan risiko untuk terjadinya kejadian kardiovaskuler, namun pengukuran aktivasi platelet masih berada pada tingkat penelitian yang belum terintegrasi pada tingkat pemeriksaan yang rutin untuk mengambil keputusan klinis. Alasan yang potensial termasuk di dalamnya adalah belum adanya data yang cukup tentang metode yang optimal untuk pengukuran aktivitas platelet, tidak diketahuinya titik potong yang optimal untuk menilai peningkatan risiko, dan tidak pastinya interpretasi serta kegunaan klinis hasil pemeriksaan yang didapatkan.
6 Banyak metode pemeriksaan aktivitas platelet telah dikembangkan, namun pemeriksaan langsung terhadap aktivasi platelet misalnya dengan pemeriksaan platelet aggregometry merupakan pemeriksaan yang mahal, memakan waktu yang lama, dan memerlukan peralatan yang khusus (Chu dkk., 2010). Kondisi tersebut menyebabkan pemeriksaan aktivasi platelet secara tidak langsung. Telah diketahui bahwa aktivasi platelet berhubungan dengan ukuran platelet. Ukuran platelet juga telah diketahui dapat direfeleksikan oleh pengukuran volume platelet. Volume platelet dapat diketahui melalui indeks volume platelet (platelet volume indices) pada pemeriksaan hematologi rutin (Khandekar dkk., 2006). Indeks volume platelet, termasuk di dalamnya adalah plateletcrit (PCT), platelet distribution width (PDW), dan mean platelet volume (MPV) telah tersedia pada pemeriksaan laboratorium dengan menggunakan blood cell counters otomatis sejak beberapa tahun terakhir (Giovanetti dkk., 2011). Berbagai studi telah berusaha untuk mencari parameter indeks platelet yang terbaik yang dapat menggambarkan peningkatan aktivasi platelet. Dari seluruh parameter indeks platelet, MPV dapat memberikan refleksi perubahan baik pada tingkat stimulasi platelet ataupun kecepatan produksi platelet (Khandekar dkk., 2006). Telah ditemukan pula bahwa MPV berhubungan dengan penanda peningkatan aktivitas platelet yang lain termasuk peningkatan agregasi platelet, peningkatan sintesis thromboxane, dan pelepasan β-thromboglobulin (Chu dkk., 2010), sehingga dengan demikian aktivasi platelet dapat diukur dengan menggunakan pemeriksaan MPV. Pemeriksaan MPV merupakan bagian dari pemeriksaan darah lengkap rutin, sehingga pemeriksaan MPV merupakan pemeriksaan biomarker yang penting,
7 sederhana, mudah, dan cost-effective yang dapat digunakan untuk menggambarkan aktivasi platelet dan berhubungan dengan kejadian infark miokard akut (Khandekar dkk., 2006) Pengaruh berbagai variabel dalam pengukuran indeks platelet menyebabkan berbagai studi menyarankan untuk masing-masing studi menetapkan nilai rujukan masing-masing (Giovanetti dkk., 2011) Berbagai studi telah menemukan hubungan antara MPV dengan penyakit jantung koroner (PJK) dan kejadian infark miokard akut (Khandekar dkk., 2006). Meta analisis dan systematic review oleh Chu dkk. (2009) pada total 2809 pasien yang bertujuan mencari hubungan antara MPV dan infark miokard akut dan kejadian kardiovaskuler lainnya ditemukan bahwa peningkatan MPV berhubungan dengan kejadian IMA (Chu dkk., 2010). Telah ditemukan juga bahwa MPV lebih tinggi pada pasien IMA dibandingkan dengan pasien PJK stabil, namun belum ada penelitian yang menghubungkan antara MPV dengan kejadian kardiovaskular mayor pasca IMA. Mean platelet volume yang tinggi akan menggambarkan aktivasi platelet yang tinggi pada pasien IMA sehingga diharapkan mampu berperan sebagai prediktor kejadian kardiovaskular mayor pada pasien IMA. Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan diatas, akan dilakukan penelitian mengenai peranan MPV yang tinggi sebagai prediktor kejadian kardiovaskuler mayor pada pasien IMA selama perawatan di rumah sakit. Penelitian ini dilakukan karena belum terdapat studi yang meneliti peningkatan aktivasi platelet yang ditunjukkan oleh nilai MPV yang tinggi sebagai prediktor kejadian kardiovaskuler mayor pada populasi pasien IMA. 1.2 Rumusan Masalah
8 Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut : apakah mean platelet volume yang tinggi merupakan prediktor kejadian kardiovaskuler mayor pada pasien IMA saat perawatan di rumah sakit? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui peran MPV pada prognosis pasien IMA. 1.3.2 Tujuan Khusus Untuk mengetahui MPV yang tinggi sebagai prediktor kejadian kardiovaskuler mayor pada pasien IMA saat perawatan di rumah sakit. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Akademik/Ilmiah Manfaat akademik dari penelitian ini adalah dapat memberikan kontribusi ilmiah berupa : 1.4.1.1 Sebagai data dasar dan pedoman dalam stratifikasi risiko pasien IMA. 1.4.1.2 Sebagai dasar untuk memperkaya bukti ilmiah mengenai penggunaan MPV sebagai pemeriksaan penanda biokimiawi yang penting, sederhana, mudah, dan cost-effective untuk prognosis pasien IMA. 1.4.2 Manfaat Praktis Memberikan kontribusi berupa penggunaan MPV sebagai stratifikasi risiko kejadian kardiovaskular mayor pada pasien IMA, sehingga dapat dilakukan pemberian terapi yang lebih agresif.