BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan tersendiri dalam pembangunan manusia,hal ini karena. sistem pemerintahan menjadi desentralisasi.

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya

I. PENDAHULUAN. cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat.

BAB 1 PENDAHULUAN. dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Indikator pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah dipahami. Apabila

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta

BAB I PENDAHULUAN. rakyat. Untuk mencapai cita-cita tersebut pemerintah mengupayakan. perekonomian adalah komponen utama demi berlangsungnya sistem

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki struktur pemerintahan dan kualitas pembangunan nasional guna

GUBERNUR JAWA TENGAH

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2018 TAHUN 2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan ke arah desentralisasi. Salinas dan Sole-Olle (2009)

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatan pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) di tingkat

GUBERNUR JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Pembangunan di Indonesia secara keseluruhan

GUBERNUR JAWA TENGAH

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB III METODE PENELITIAN. mengemukakan definisi metode penelitian sebagai berikut: mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.

BAB I PENDAHULUAN. World Bank dalam Whisnu, 2004), salah satu sebab terjadinya kemiskinan

BAB 5 PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Ringkasan Hasil Regresi

PROVINSI JAWA TENGAH. Data Agregat per K b t /K t

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang. berperan di berbagai sektor yang bertujuan untuk meratakan serta

BAB IV GAMBARAN UMUM

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PROVINSI JAWA TENGAH

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor-faktor. pembangunan suatu negara (Maharani dan Sri, 2014).

BAB III METODE PENELITIAN. kepada pemerintah pusat. Penulis melakukan pengambilan data

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Jawa Tengah terletak di antara B.T B.T dan 6 30 L.S --

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. keadilan sejahtera, mandiri maju dan kokoh kekuatan moral dan etikanya.

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

GUBERNUR JAWA TENGAH,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi

TABEL 4.1. TINGKAT KONSUMSI PANGAN NASIONAL BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar hidup sehari-hari. Padahal sebenarnya, kemiskinan adalah masalah yang

Gambar 1 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Tengah,

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa waktu terakhir, pemerintah telah menerapkan sistem. pembangunan dengan fokus pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan tingkat

BAB I BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan latar belakang, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. sejahtera, makmur dan berkeadilan. Akan tetapi kondisi geografis dan

BAB I PENDAHULUAN. turun, ditambah lagi naiknya harga benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2011: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,93 PERSEN

TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KABUPATEN KENDAL. 0 Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah (LP2KD) Kabupaten Kendal

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

GUBERNURJAWATENGAH. PERATURANGUBERNUR JAWA TENGAH NOM0R '2 TAJroJii 2e15 TENTANG

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

EVALUASI DAERAH PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENARGETAN BERBASIS WILAYAH

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Tembakau merupakan salah satu komoditas perdagangan penting di dunia. Menurut Rachmat dan Sri (2009) sejak tahun

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

I. PENDAHULUAN. negara untuk mengembangkan outputnya (GNP per kapita). Kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BERITA RESMI STATISTIK

KATA PENGANTAR. Demikian Buku KEADAAN TANAMAN PANGAN JAWA TENGAH kami susun dan semoga dapat digunakan sebagaimana mestinya.

KEMENTERIAN DALAM NEGERI DIREKTORAT JENDERAL BINA KEUANGAN DERAH

TABEL 2.1. ESTIMASI KETERSEDIAAN PANGAN JAWA TENGAH 2013 ASEM _2012

KONDISI UMUM PROVINSI JAWA TENGAH

I. PENDAHULUAN. pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan

Keadaan Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Tengah April 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan merangsang proses produksi barang. maupun jasa dalam kegiatan masyarakat (Arta, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasarkan status sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusiinstitusi

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

1. REKAP DATA REALISASI APBD DAN (PDRB) PROVINSI JAWA TENGAH. TAHUN 2011 (dalam jutaan rupiah)

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

KEGIATAN PADA BIDANG REHABILITASI SOSIAL TAHUN 2017 DINAS SOSIAL PROVINSI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. mengelola pemerintahannya berdasarkan local diskresi yang dimiliki, sehingga

BAB III METODE PENELITIAN. kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah yang terdiri dari : 1. Kab. Banjarnegara 13. Kab. Demak 25. Kab.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 116 TAHUN 2016 TENTANG

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah telah melakukan reformasi di bidang pemerintahan daerah dan

HASIL SENSUS PERTANIAN 2013 (ANGKA TETAP)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

LUAS TANAM, LUAS PANEN DAN PREDIKSI PANEN PADI TAHUN 2016 DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA PROVINSI JAWA TENGAH

BOKS PERKEMBANGAN KINERJA BPR MERGER DI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. penduduk perkotaan dan penduduk daerah maka pemerintah membuat kebijakan-kebijakan sebagai usaha

GUBERNUR JAWA TENGAH

PENEMPATAN TENAGA KERJA. A. Jumlah Pencari Kerja di Prov. Jateng Per Kab./Kota Tahun 2016

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam masa perkembangan suatu daerah diperlukan anggaran-anggaran. tersebut guna memajukan serta mengembangkan daerah tersebut.

PENEMPATAN TENAGA KERJA

KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 561.4/52/2008 TENTANG UPAH MINIMUM PADA 35 (TIGA PULUH LIMA) KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2009

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralistik pada tahun 2001 telah menimbulkan dampak dan pengaruh yang signifikan bagi Indonesia (Triastuti 2004). Seiring dengan laju perubahan tersebut, pola hubungan pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga mengalami perubahan di berbagai bidang khususnya bidang administrasi dan bidang keuangan (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia memiliki landasan yuridis yaitu Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang- Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang kemudian diganti menjadi UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara pusat dan daerah. Adanya pergantian tersebut menunjukan bahwa otonomi daerah di Indonesia bergerak dinamis seiring kondisi masyarakat yang ada (Hadi 2009; Wawuru 2009). Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 mengatur tentang sistem pemerintahan di era otonomi daerah yang lebih metitikberatkan pada peran aktif pemerintah kabupaten/kota dalam melaksanakan pembangunan dan urusan daerah. Sedangkan kewenangan pemerintah pusat sangat terbatas dan hanya menyangkut keamanan 1

dan stabilitias nasional seperti urusan politik luar negeri, Hankam, dan peradilan moneter dan fiskal (UU No. 32 Tahun 2004; Triastuti 2004). Oleh karena itu, pemerintah daerah harus lebih cermat dalam mempersiapkan sumber daya kelembagaan maupun keuangan untuk melakukan pelayanan kepada masyarakat dan melaksanakan pembangunan. Masyarakat menyakini bahwa otonomi daerah ini merupakan jalan alternatif terbaik (Hadi 2009) untuk mendorong pembangunan daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan (Hadi 2009; Oates 1993; Barzelay 1991). Sistem pemerintahan ini dinilai jauh lebih baik dibandingkan sistem sebelumnya yaitu sistem pemerintahan terpusat (sentralisasi) yang banyak dianggap sebagai faktor utama penyebab lambatnya pembangunan dan pertumbuhan ekonomi serta penyebab semakin besarnya ketimpangan antar pusat dan daerah maupun antar daerah satu dengan daerah lain (Mardiasmo 2002). Menurut Cheema dan Rondinelli (1989) serta Sidik (2001) dalam Triastuti (2004), selama pelaksanaan otonomi daerah setidaknya terdapat empat elemen penting yang diserahkan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Keempat elemen tersebut adalah desentralisasi politik, desentralisasi fiskal, desentralisasi administrasi dan desentralisasi ekonomi. Empat elemen itu merupakan tanggung jawab pemerintah daerah dan wajib untuk dikelola secara efektif dan efisien sehingga akan tercapai kemandirian atau kemampuan suatu daerah untuk melaksanakan fungsinya dengan baik. 2

Salah satu elemen yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah tersebut adalah desentralisasi fiskal (fiscal decentralisation) yang merupakan komponen utama dari otonomi. Apabila pemerintah daerah melaksanakan fungsinya secara efektif, maka harus didukung sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak, maupun dari subsidi/bantuan dari pemerintah pusat (Wulandari 2001). Aspek keuangan menjadi salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan suatu daerah dalam rangka mengoptimalkan potensi sumber penerimaan yang dimiliki guna membiayai pembangunan dan kebutuhan rumah tangganya sendiri tanpa harus bergantung pada bantuan dan subsidi dari pemerintah pusat. Sependapat dengan hal itu, Kaho (1988) dalam Nahmiati (2008) menyebutkan bahwa kriteria untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri adalah kemampuan self supporting dalam bidang keuangan. Kemampuan suatu daerah dalam mengatur dan mengelola keuangan ini dapat dilihat pada struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) masing-masing. Suatu daerah dapat dikatakan mandiri apabila pos PAD dalam APBD memiliki proporsi yang relatif tinggi dibandingkan total penerimaan (Reksohadiprojo 2001 dalam Triastuti 2004). Demikian sebaliknya, jika proporsi pendapatan daerah yang berasal dari pemerintah pusat lebih besar dibandingkan total penerimaan daerah maka daerah tersebut dapat dikatakan memiliki ketergantungan fiskal atau belum mandiri dalam hal finansial (Triastuti 2004). 3

Isu keuangan merupakan permasalahan serius yang dirasakan oleh seluruh daerah di Indonesia. Hal itu disebabkan karena rendahnya kemampuan PAD dalam membiayai pengeluaran rutin daerah serta masih besarnya ketergantungan terhadap bantuan pemerintah pusat (Wawuru 2009). Nahmiati (2008) menunjukan bahwa proporsi PAD terhadap total pendapatan di sebagian besar daerah di Indonesia hanya 15,4 persen, yang artinya pembiayaan pembangunan daerah lebih banyak di subsidi oleh pemerintah pusat daripada PAD. Kecuali DKI Jakarta, PAD provinsi di Indonesia hanya mampu membiayai tidak lebih dari 30 persen pengeluaran rutinnya sedangkan kabupaten/kota dibawah dari 22 persen pengeluarannya yang dibiayai PAD (Nahmiati 2008). Saat ini, salah satu daerah yang masih memiliki ketergantungan fiskal adalah Provinsi Jawa Tengah. Hal itu dibuktikan dengan realisasi penerimaan dana perimbangan Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2015 relatif lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia, yaitu sebesar Rp2.694.385.621 ribu (lihat gambar 1 dibawah). Berdasarkan data tersebut maka dapat dikatakan bahwa Provinsi Jawa Tengah masih mengandalkan sumbangan pemerintah pusat guna membiayai pengeluaran rutin dan biaya pembangunan. Menurut data tersebut, rata-rata realisasi penerimaan dana perimbangan yang diterima oleh seluruh provinsi di Indonesia yaitu sebesar Rp2.139.835.956 ribu sedangkan Provinsi DKI Jakarta merupakan daerah yang mempunyai realisasi dana perimbangan terbesar diantara provinsi lain di Indonesia pada tahun 2015. Besarnya penerimaan dana di daerah tersebut berasal dari dana bagi hasil pajak dengan proporsi yang mencapai 99,21 persen. 4

Gambar 1 Dana Perimbangan Menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2015 (Ribu Rupiah) Sumber: BPS Tahun 2015* (Diolah) *)Data APBD Kemudian tingkat ketergantungan Provinsi Jawa Tengah tahun 2010-2014 apabila dilihat berdasarkan komposisi dana perimbangannya maka akan terlihat seperti gambar berikut. Gambar 2 Rata-Rata Komposisi Dana Perimbangan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2014 BHP-BHBP 30,31% DAK 2,64% DAU 67,05% Sumber: BPS Tahun 2015 (data diolah) Diagram diatas merupakan gambaran rata-rata komposisi dana perimbangan Provinsi Jawa Tengah selama tahun 2010-2014. Seperti yang terlihat pada gambar tersebut, rata-rata presentase pendapatan dana perimbangan Provinsi 5

Jawa Tengah terbesar berasal Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar 67,05%, kemudian Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak (BHP-BHBP) sebesar 30,31% dan Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar 2,64%. Hal ini mengindikasikan bahwa ketergantungan Provinsi Jawa Tengah terhadap dana pihak luar masih cukup tinggi. Indikator lain yang digunakan untuk mengetahui kemadirian suatu daerah adalah dengan melihat besarnya rasio PAD terhadap total pendapatan daerah (Kementrian Keuangan RI 2011; Suci 2013; Aulia 2014). Kondisi perkembangan realisasi PAD Provinsi Jawa Tengah dapat dilihat pada grafik 1 dibawah. Terlihat dari grafik tersebut, penerimaan PAD Provinsi Jawa Tengah dalam kurun waktu 2010-2014 selalu mengalami peningkatan. Rata-rata penerimaan PAD Provinsi Jawa Tengah selama periode tersebut adalah sebesar Rp7.021.566.652 ribu dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 20,01% tiap tahun. PAD Provinsi Jawa Tengah tahun 2010 adalah sebesar Rp4.785.133.227 ribu kemudian pada tahun 2014 meningkat menjadi Rp9.916.358.231 ribu. Peningkatan ini terjadi karena adanya inisiatif dan upaya pemerintah daerah dalam mengoptimalkan potensi penerimaan terutama dari sisi pajak daerah dan retribusi daerah. 6

Grafik 1 Perkembangan PAD Provinsi Jawa Tengah Periode 2010-2014 (Ribu Rupiah) 8.212.800.641 9.916.358.231 4.785.133.227 5.564.233.152 6.629.308.010 2010 2011 2012 2013 2014 Sumber: BPS Tahun 2015 (data diolah) Di Indonesia, desentralisasi fiskal merupakan salah satu kunci utama pembangunan dan pemerataan dalam era otonomi daerah (Mardiasmo 2002). Hal itu disebabkan karena adanya aliran transfer dana dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah akan mendorong perekonomian daerah tumbuh dan kesejahteraan masyarakat akan meningkat. Namun, jika pemerintah daerah hanya bergantung pada dana bantuan maka dana tersebut tidak akan cukup untuk membiayai seluruh kebutuhan (Wawuru 2009). Oleh karena itu, pemerintah daerah harus mencari sumber pendapatan daerah lainnya dengan cara menggali potensi yang dimiliki. Apabila suatu daerah memiliki tingkat kemandirian yang tinggi (tidak bergantung kepada dana transfer lagi karena mampu mengoptimalkan potensi yang dimiliki) maka daerah tersebut diharapkan memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi pula, demikian sebaliknya. Pertumbuhan ekonomi ini di cerminkan dengan perubahan (kenaikan/penurunan) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Perlu 7

diketahui bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi di suatu provinsi merupakan komposit dari pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di provinsi tersebut maka pertumbuhan kabupaten/kota di provinsi tersebut juga perlu dicermati. Pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1 Laju Pertumbuhan PDRB ADHK 2010 Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2014 (Persen) Kabupaten/Kota 2010 2011 2012 2013 2014 Rata-Rata Kabupaten Cilacap 4,43 4,07 1,98 2,09 2,96 3,11 Kabupaten Banyumas 5,77 6,61 5,88 6,89 4,78 5,99 Kabupaten Purbalingga 5,67 5,67 5,79 5,61 5,73 5,69 Kabupaten Banjarnegara 4,89 5,44 5,23 5,26 5,07 5,18 Kabupaten Kebumen 4,15 6,15 4,88 4,65 5,80 5,13 Kabupaten Purworejo 5,01 5,64 4,59 5,11 4,63 5,00 Kabupaten Wonosobo 4,29 5,37 4,70 5,25 4,16 4,75 Kabupaten Magelang 4,51 6,68 4,88 6,30 4,87 5,45 Kabupaten Boyolali 3,60 6,34 5,33 5,83 5,04 5,23 Kabupaten Klaten 1,73 6,29 5,71 6,27 5,38 5,08 Kabupaten Sukoharjo 4,65 5,88 5,90 5,78 5,26 5,49 Kabupaten Wonogiri 3,14 3,58 5,94 4,79 5,26 4,54 Kabupaten Karanganyar 5,42 4,95 5,72 5,69 5,12 5,38 Kabupaten Sragen 6,06 6,55 6,12 6,71 5,59 6,21 Kabupaten Grobogan 5,05 3,19 5,08 4,55 4,03 4,38 Kabupaten Blora 5,52 4,42 4,90 5,36 4,39 4,92 Kabupaten Rembang 4,45 5,19 5,32 5,41 5,15 5,10 Kabupaten Pati 5,11 5,91 5,93 5,90 4,54 5,48 Kabupaten Kudus 4,16 4,24 4,11 4,53 4,26 4,26 Kabupaten Jepara 4,52 4,92 5,86 5,25 4,64 5,04 Kabupaten Demak 4,12 5,39 4,46 5,27 4,27 4,70 Kabupaten Semarang 4,90 6,27 6,03 6,87 6,00 6,01 Kabupaten Temanggung 4,31 6,09 4,27 6,14 5,15 5,19 Kabupaten Kendal 5,95 6,57 5,21 5,93 5,10 5,75 Kabupaten Batang 4,97 6,12 4,62 5,84 5,31 5,37 Kabupaten Pekalongan 4,27 5,66 4,81 5,99 4,92 5,13 Kabupaten Pemalang 4,94 5,01 5,32 5,53 5,52 5,26 Kabupaten Tegal 4,83 6,39 5,23 6,75 5,00 5,64 8

Kabupaten/Kota 2010 2011 2012 2013 2014 Rata-Rata Kabupaten Brebes 4,94 6,65 4,58 5,97 5,32 5,49 Kota Magelang 6,12 6,11 5,37 6,04 4,88 5,70 Kota Surakarta 5,94 6,42 5,58 6,17 5,24 5,87 Kota Salatiga 5,01 6,58 5,53 6,27 4,80 5,64 Kota Semarang 5,87 6,58 5,97 6,64 5,30 6,07 Kota Pekalongan 5,51 5,49 5,61 5,91 5,48 5,60 Kota Tegal 3,79 6,47 4,21 5,45 5,03 4,99 Rata-rata 5,25 Sumber : Daerah Dalam Angka BPS (2009-2015) Tabel 1 diatas menunjukan laju pertumbuhan ekonomi yang dialami oleh kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2010-2014. Selama periode tersebut, terlihat bahwa rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah sebesar 5,25 persen per tahun. Sementara itu, daerah yang memiliki pertumbuhan ekonomi tertinggi yaitu Kabupaten Sragen disusul Kota Semarang dengan rata-rata pertumbuhan masing-masing sebesar 6,21 persen dan 6,07 persen tiap tahun. Sedangkan rata-rata pertumbuhan ekonomi terendah adalah Kabupaten Cilacap sebesar 3,11 persen per tahun. Jika dibandingkan dengan provinsi lain di Pulau Jawa, pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Tengah selama kurun waktu 2011-2014 menempati posisi yang paling rendah dengan rata-rata 5,25 persen. Provinsi Banten merupakan daerah yang memiliki pertumbuhan ekonomi tertinggi selama periode tersebut dengan rata-rata sebesar 6,5 persen disusul oleh Provinsi DKI Jakarta dengan ratarata 6,31 persen dan Provinsi Jawa Timur dengan rata-rata 6,25 persen (lihat grafik 2 dibawah). 9

Persen (%) Grafik 2 Laju Pertumbuhan Ekonomi 6 Provinsi di Pulau Jawa Tahun 2011-2014 8 7 6 5 4 3 2 1 0 2011 2012 2013 2014 DKI JAKARTA JAWA BARAT JAWA TENGAH DI YOGYAKARTA JAWA TIMUR BANTEN Sumber: BPS (data diolah) Berdasarkan uraian permasalahan tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian berjudul, Analisis Kemandirian Keuangan Daerah dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2014. 1. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana kondisi kemandirian keuangan daerah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2010-2014? 2. Bagaimana pengaruh kemandirian keuangan daerah terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2010-2014? 10

1. 3. Tujuan Berdasarkan rumusan masalah tersebut, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis kemandirian keuangan daerah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2010-2014. 2. Menganalisis pengaruh kemandirian keuangan daerah terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2010-2014. 1. 4. Manfaat 1. Memberikan data dan informasi lengkap mengenai kondisi tingkat kemandirian keuangan daerah dan pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. 2. Memberikan saran dan rekomendasi untuk optimalisasi pengelolaan pendapatan daerah serta dapat menjadi masukan bagi pembuat kebijakan daerah khususnya di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah yang relevan dengan rekomendasi hasil penelitian. 1. 5. Kerangka Pemikiran Penerapan otonomi di Indonesia secara umum terbagi atas empat hal menurut Sidik (2001) dalam Triastuti (2004) yaitu desentralisasi politik, administratif, fiskal dan desentralisasi ekonomi. Salah satu tujuan desentralisasi fiskal adalah peningkatan kemandirian daerah dalam hal pendanaan pembangunan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah (Suci 2013). Akan tetapi, pada kenyataannya tujuan tersebut sampai saat ini belum dapat tercapai oleh masing- 11

masing daerah dan bahkan masih ada beberapa daerah yang memiliki tren kemandirian yang baik namun tidak diikuti dengan pertumbuhan ekonomi yang membaik pada daerah tersebut atau sebaliknya. Oleh karena itu, diperlukan analisis untuk melihat pengaruh kemandirian keuangan terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut menjadi acuan penelitian untuk menganalisis pengaruh kemandirian keuangan daerah terhadap pertumbuhan ekonomi pada kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Untuk mengetahui kemandirian keuangan daerah kabupaten dan kota Provinsi Jawa Tengah, metode analisis digunakan adalah deskriptif kuantitatif. Sedangkan analisis regresi data panel digunakan untuk melihat adanya pengaruh kemandirian keuangan daerah terhadap pertumbuhan ekonomi. Secara sistematis kerangka konsep pemikiran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Otonomi Daerah Desentralisasi Fiskal Kemandirian Keuangan Daerah Pertumbuhan Ekonomi Analisis Deskriptif Kuantitatif Analisis Pengaruh (Regresi Data Panel) Rekomendasi Kebijakan Gambar 3 Kerangka Konsep Pemikiran 12