BAB II KEDUDUKAN HUKUM AKTA PERDAMAIAN. Menurut S. J. Fockema Andreae, dalam bukunya Rechts geleerd

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP AKTA. Menurut S. J. Fockema Andreae, dalam bukunya Rechts geleerd

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKTA NOTARIIL. Istilah atau perkataan akta dalam bahasa Belanda disebut acte atau akta

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

DAFTAR PUSTAKA. Abdul Kadir, Mohammad, 1992, Hukum Perikatan, Bandung, Citra Aditya Bhakti

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP AKTA SERTA KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA NOTARIS. A. Pengertian Akta dan Macam-Macam Akta

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari

BAB II. AKTA NOTARIS SEBAGAI AKTA OTENTIK YANG MEMILIKI KESALAHAN MATERIL A. Tinjauan Yuridis Tentang Akta dan Macam-Macam Akta

URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

PANDUAN WAWANCARA. proses mediasi terhadap perkara perceraian? b. Apa ada kesulitan dalam menerapkan model-model pendekatan agama?

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01 TAHUN Tentang

BAB III KERANGKA TEORI. Undang Hukum Perdata tentang Perikatan. Mempunyai sifat sistem terbuka,

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015

BAB I PENDAHULUAN. manusia menjadi hal yang tidak terelakkan, terutama dalam memenuhi kebutuhan

BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN DAMAI DALAM HUKUM PERDATA. A. Pengertian Perjanjian Dan Perjanjian Damai

Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa

BAB III TINJAUAN TEORITIS. bantuan dari orang lain. Untuk itu diperlukan suatu perangkat hukum demi

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan tanah hak kepada pihak lain untuk selama-lamanya (hak atas tanah

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti

Asas asas perjanjian

MEDIASI. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

BAB III TINJAUAN PUSTAKA. Hukum tentang Perjanjian diatur dalam buku III Kitab Undang-undang Hukum

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. tentang Pembuktian dan Kadaluwarsa/Bewijs en Verjaring.

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya peningkatan pendapatan perkapita masyarakat dan. meningkatnya kemajuan tersebut, maka semakin di perlukan berbagai

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PERJANJIAN BAKU DAN KREDIT BANK Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukumnya

BAB I PENDAHULUAN. interaksi diantara masyarakat itu sendiri semakin menjadi kompleks. satu fungsi hukum adalah untuk memberikan kepastian hukum dalam

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum,

TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

KLASIFIKASI PERJANJIAN KELOMPOK I DWI AYU RACHMAWATI (01) ( )

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II PENGERTIAN UMUM PERJANJIAN BAKU. A. Pengertian Perjanjian dan Syarat-Syarat Sah Suatu Perjanjian

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

TEKNIK PENYUSUNAN KONTRAK

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW)

Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai perbedaan-perbedaan yang dapat menimbulkan suatu. dirugikan haknya dapat mengajukan gugatan. Pihak ini disebut penggugat.

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan adanya tujuan dan

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA

Undang-Undang Merek, dan Undang-Undang Paten. Namun, pada tahun waralaba diatur dengan perangkat hukum tersendiri yaitu Peraturan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI. 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN

BAB I PENDAHULUAN. hukum adalah kehendak untuk bersikap adil (recht ist wille zur gerechttigkeit).

TESIS. Disusun Untuk Memenuhi Persayaratan Memperoleh Derajat S2 Program Studi Magister Kenotariatan. Oleh : Rima Nurhayati B4B008226

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

BAB III PERANAN NOTARIS DALAM PEMBAGIAN HARTA WARISAN DENGAN ADANYA SURAT KETERANGAN WARIS

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perikatan merupakan hubungan hukum yang tercipta karena adanya peristiwa

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst,

BAB II ASPEK HUKUM TENTANG MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DAN PERJANJIAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Hal janji adalah suatu sendi yang amat penting dalam Hukum

Tanggung Jawab Penjual/ Pelaku Usaha Dalam Transaksi Jual Beli Terhadap Kelebihan Pembayaran Menurut Peraturan Perundang Undangan Di Indonesia.

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2

BAB 2 PEMBAHASAN. Jual beli tanah..., Ni Wayan Nagining Sidianthi, FH UI, , halaman 17. Universitas Indonesia

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN PADA UMUMNYA, PERJANJIAN KREDIT, HAK TANGGUNGAN, PEMBUKTIAN, AKTA OTENTIK, DAN LELANG

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP PERJANJIAN BAGI HASIL

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01 TAHUN Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KUMULASI GUGATAN. Secara istilah, kumulasi adalah penyatuan; timbunan; dan akumulasi

BAB III PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN SYSTEM COURT CONNECTED MEDIATION DI INDONESIA. memfasilitasi, berusaha dengan sungguh-sungguh membantu para pihak

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan dilakukan manusia sudah berabad-abad. Pembangunan adalah usaha untuk

BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR. A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor

HUKUM PERJANJIAN. atau. lebih. di antaranya : pembayaran. Naturalia

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Analisis Proses Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Agama Purwodadi

BAB II KEDUDUKAN HUKUM BILA PENANGGUNG KEHILANGAN KECAKAPAN BERTINDAK DALAM PERJANJIAN PENANGGUNGAN

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

KEDUDUKAN AKTA OTENTIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA. Oleh : Anggun Lestari Suryamizon, SH. MH

BAB II PROSEDUR PENGAMBILAN FOTOKOPI MINUTA AKTA DAN PEMANGGILAN NOTARIS DI INDONESIA

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakannya dalam sebuah perjanjian yang di dalamnya dilandasi rasa

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN UTANG PIUTANG DIBAWAH TANGAN. dahulu dijelaskan apa yang dimaksud engan perjanjian. Masalah perjanjian

Transkripsi:

BAB II KEDUDUKAN HUKUM AKTA PERDAMAIAN A. Tinjauan Terhadap Akta 1. Pengertian Akta Menurut S. J. Fockema Andreae, dalam bukunya Rechts geleerd Handwoordenboek, kata akta itu berasal dari bahasa Latin acta yang berarti geschrift 46 atau surat sedangkan menurut R. Subekti dan Tjitrosudibio dalam bukunya Kamus Hukum, bahwa kata acta merupakan bentuk jamak dari kata actum yang berasal dari bahasa Latin yang berarti perbuatan-perbuatan. 47 Pengertian akta menurut Pasal 165 Staatslad Tahun 1941 Nomor 84 adalah surat yang diperbuat demikian oleh atau dihadapan pegawai yang berwenang untuk membuatnya menjadi bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya maupun berkaitan dengan pihak lainnya sebagai hubungan hukum, tentang segala hal yang disebut didalam surat itu sebagai pemberitahuan hubungan langsung dengan perihal pada akta itu. Akta adalah surat tanda bukti berisi pernyataan (keterangan, pengakuan, keputusan, dsb) tentang peristiwa hukum yang dibuat menurut peraturan yang berlaku, disaksikan dan disahkan oleh pejabat resmi. Dengan demikian, maka unsur penting untuk suatu akta ialah kesengajaan untuk menciptakan suatu bukti tertulis dan penandatanganan tulisan itu. Syarat penandatangan akta tersebut dilihat 46 S. J. Fockema Andreae, Rechtsgeleerd Handwoordenboek, diterjemahkan oleh Walter Siregar, Bij J. B. Wolter uitgeversmaat schappij, Jakarta, N. V. Groningen, 1951, hal. 9 47 R. Subekti, dan R. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Jakarta, Pradnya Paramita, 1980, hal. 9 30

31 dari Pasal 1874 KUHPerdata dan Pasal 1 Ordonansi No. 29 Tahun 1867 yang memuat ketentuan-ketentuan tentang pembuktian dari tulisan-tulisan dibawah tangan yang dibuat oleh orang-orang Indonesia atau yang dipersamakan dengan mereka. A.Pitlo mengartikan akta itu sebagai berikut: surat-surat yang ditandatangani dibuat untuk dipakai sebagai alat bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang, untuk keperluan siapa surat itu dibuat. 48 Menurut Sudikno Mertokusumo, akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. 49 Disamping akta sebagai surat yang sengaja dibuat untuk dipakai sebagai alat bukti, dalam perbuatan perundang-undangan sering kita jumpai perkataan akta yang sama sekali bukanlah surat melainkan perbuatan. Hal ini dijumpai misalnya pada Pasal 108 KUHPerdata, yang berbunyi: Seorang isteri, biar ia kawin di luar persatuan harta kekayaan, atau telah berpisah dalam hal itu sekalipun, namun tak bolehlah ia menghibahkan barang sesuatu, atau memindahtangankannya, atau memperolehnya, baik dengan cuma-cuma maupun atas beban melainkan dengan bantuan dalam akta atau dengan izin tertulis dari suaminya. Seorang isteri, biar ia telah dikuasakan oleh suaminya untuk membuat suatu akta, atau untuk mengangkat suatu perjanjian sekalipun, namun tidaklah ia, karena hal.110 48 M. Isa Arif, Pembuktian dan Daluwarsa, Jakarta, Intermasa, 1978, hal. 52 49 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty, 1981,

32 itu, berhak menerima sesuatu pembayaran, atau memberi pelunasan atas itu, tanpa izin yang tegas dari suaminya. Bila diperhatikan dengan teliti dan seksama, maka penggunaan akta dalam ketentuan undang-undang tersebut di atas tidak tepat kalau diartikan surat yang diperuntukkan sebagai alat bukti. Menurut R. Subekti, kata akta dalam Pasal 108 KUHPerdata tersebut di atas bukanlah berarti surat melainkan harus diartikan dengan perbuatan hukum, berasal dari kata acta yang dalam bahasa Perancis berarti perbuatan. 50 Jadi dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan akta adalah: 1. Perbuatan handeling / perbuatan hukum (rechtshandeling) itulah pengertian yang luas, dan 2. Suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai / digunakan sebagai bukti perbuatan hukum tersebut, yaitu berupa tulisan yang ditujukan kepada pembuktian sesuatu. 2. Macam-macam Akta Pasal 1867 KUH Perdata yang berbunyi: pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan (akta) autentik maupun dengan tulisan-tulisan (akta) di bawah tangan. Dari bunyi Pasal tersebut, maka akta dapat dibedakan atas: 1. Akta Otentik Secara teoritis menurut Sudikno Mertokusumo yang dimaksud dengan akta otentik adalah surat atau akta yang sejak semula dengan sengaja secara resmi dibuat 50 Subekti, Pokok Pokok Hukum Perdata, Op. Cit, hal. 29

33 untuk pembuktian. Sejak semula dengan sengaja berarti bahwa sejak awal dibuatnya surat itu tujuannya adalah untuk pembuktian di kemudian hari kalau terjadi sengketa, sebab ada surat dengan tidak dengan sengaja dibuat sejak awal sebagai alat bukti seperti surat korespondensi biasa, surat cinta dan sebagainya. Dikatakan secara resmi karena tidak dibuat secara dibawah tangan. Secara dogmatis (menurut hukum positif) apa yang dimaksud dengan akta otentik terdapat dalam Pasal 1868 KUHPerdata jo Pasal 165 HIR, 285 Rbg : Suatu akta otentik adalah akta yang bentuknya ditentukan oleh undang-undang (welke in de wettlijke vorm is verleden) dan dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum (door of ten overstaan van openbare ambtenaren) yang berkuasa untuk itu (daartoe bevoegd) ditempat dimana akta dibuatnya. 51 Menurut Mochammad Dja is dan RMJ Koosmargono Pasal 165 HIR yang berkaitan dengan akta otentik tersebut mengandung unsu-unsur: a. Tulisan yang memuat b. Fakta, peristiwa, atau keadaan yang menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan; c. Ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan d. Dengan maksud untuk menjadi bukti. 52 Lebih lanjut dijelaskan bahwa akta otentik merupakan akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang, mempunyai kekuatan pembuktian sempurna 51 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi ketujuh, Cetakan Pertama,Yogyakarta, Liberty, 2006, hal. 153 52 Mochammad Dja is dan RMJ. Koosmargono, Membaca dan Mengerti HIR, Badan Penerbit,Semarang, Universitas Diponegoro, 2008, hal. 153

34 dengan sendirinya dan apabila dibantah keasliannya maka pihak yang membantah harus membuktikan kepalsuannya. 53 Jadi akta otentik itu bentuknya ditentukan oleh undang-undang bukan oleh peraturan yang lebih rendah dari undang-undang. Kecuali itu yang namanya akta otentik itu dibuat oleh atau dihadapan openbare ambtenaren atau pegawai-pegawai umum. Untuk tidak menimbulkan kerancuan dengan pegawai negeri. Kata openbaar ambtenaar, diterjemahkan dengan pegawai-pegawai umum selanjutnya diterjemahkan dengan pejabat umum oleh karena pejabat umum bukanlah pegawai negeri yang tunduk pada peraturan kepegawaian. Akta otentik adalah akta yang dibuat dan diresmikan dalam bentuk menurut hukum, oleh atau dihadapan pejabat umum, yang berwenang untuk berbuat demikian, di tempat akta itu dibuat. 54 Berdasarkan penjelasan Pasal 1869 KUHPerdata, akta otentik dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat umum. Apabila yang membuatnya pejabat yang tidak cakap atau tidak berwenang atau bentuknya cacat, maka menurut Pasal 1869 KUHPerdata: a. Akta tersebut tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil sebagai akta otentik atau disebut juga akta otentik, oleh karena itu tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik; b. Namun akta yang demikian, mempunyai nilai kekuatan sebagai akta di bawah tangan, dengan syarat apabila akta itu ditandatangani para pihak. 53 Ibid, hal. 155. 54 R.Soegondo Notodisoeryo, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, Jakarta, Rajawali, 1982, hal.42

35 Dikemukakan pula oleh Irawan Soerojo, bahwa ada 3 (tiga) unsur esenselia agar terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik, yaitu: 55 a. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang b. Dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Umum c. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu dan di tempat dimana akta itu dibuat. Menurut C. A. Kraan, akta otentik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 56 a. Suatu tulisan, dengan sengaja dibuat semata-mata untuk dijadikan bukti atau suatu bukti dari keadaan sebagaimana disebutkan di dalam tulisan dibuat dan dinyatakan oleh pejabat yang berwenang. Tulisan tersebut turut ditandatangani oleh atau hanya ditandatangani oleh pejabat yang bersangkutan saja. b. Suatu tulisan sampai ada bukti sebaliknya, dianggap berasal dari pejabat yang berwenang. c. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang harus dipenuhi; ketentuan tersebut mengatur tata cara pembuatannya (sekurang-kurangnya memuat ketentuan-ketentuan mengenai tanggal, tempat dibuatnya akta suatu tulisan, nama dan kedudukan / jabatan pejabat yang membuatnya, data dimana dapat diketahui mengenai hal-hal tersebut. d. Seorang pejabat yang diangkat oleh negara dan mempunyai sifat dan pekerjaan yang mandiri serta tidak memihak dalam menjalankan jabatannya. 55 Irawan Soerojo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Surabaya, Arkola, 2003, hal. 148 56 Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2007, hal. 3-4

36 e. Pernyataan atau fakta dari tindakan yang disebut oleh pejabat adalah hubungan hukum di dalam bidang hukum privat. 2. Akta Dibawah Tangan Akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat oleh para pihak untuk pembuktian tanpa bantuan dari seorang pejabat pembuat akta dengan kata lain akta di bawah tangan adalah akta yang dimasukkan oleh para pihak sebagai alat bukti, tetapi tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum pembuat akta. 57 Akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum juga menjadi akta di bawah tangan, jika pejabat itu tidak berwenang untuk membuat akta itu jika terdapat cacat dalam bentuk akta itu, sebagaimana disebut dalam pasal 1869 KUHPerdata. 58 Mengenai akta di bawah tangan ini tidak diatur dalam HIR, tetapi di dalam Rbg ada diatur dalam pasal 286 sampai dengan pasal 305 dan dalam KUHPerdata diatur dalam pasal 1874 sampai dengan pasal 1880, dan dalam Stbl. 1867 No. 29. Mengenai akta di bawah tangan yang memuat pengakuan utang secara sepihak untuk membayar sejumlah uang atau memberikan/ menyerahkan sesuatu barang yang dapat ditetapkan atas suatu harga tertentu, harus seluruhnya ditulis dengan tangannya sendiri oleh orang yang menandatangani (orang yang berutang) atau paling sedikit selainnya tanda tangan, harus ditulis sendiri oleh si penandatangan (orang yang berutang) suatu persetujuan yang memuat jumlah atau besarnya barang yang terutang. 57 Viktor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, grosse akta dalam pembuktian dan eksekusi, Jakarta, Rineka Cipta, 1993, hal. 36 58 Pasal 1869 KUH Perdata: Suatu akta, yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya dalam pegawai termaksud di atas, atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diberlakukan sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan.

37 Jika diindahkan, maka apabila perikatan dimungkiri, akta di bawah tangan itu hanya dapat diterima sebagai suatu permulaan pembuktian dengan tulisan, demikian menurut pasal 1878 KUHPerdata, yang bersamaan isinya dengan pasal 1291 Rbg dan pasal 4 Stbl. 1867 No. 29. Apa yang dimaksud dengan permulaan bukti tertulis, dijelaskan dalam pasal 1902 ayat (2) KUHPerdata, yang berbunyi: yang dinamakan permulaan pembuktian dengan tulisan ialah segala akta tertulis yang berasal dari orang terhadap siapa tuntutan dimajukan, atau dari orang yang diwakili olehnya, dan yang memberikan persangkaan tentang benarnya peristiwa-peristiwa yang dimajukan oleh seseorang. Jadi surat yang berasal dari penggugat atau pihak ketiga tidaklah merupakan permulaan bukti tertulis. Untuk dapat menjadi bukti sempurna atau lengkap, maka permulaan bukti tertulis itu harus dilengkapi dengan alat-alat bukti lain. Menurut G. H. S. Lumban Tobing, perbedaan terbesar antara akta otentik dengan akta di bawah tangan adalah: a. Akta otentik mempunyai tanggal yang pasti; b. Grosse dari akta otentik dalam beberapa hal mempunyai kekuatan eksekutorial seperti putusan hakim sedang akta di bawah tangan tidak pernah mempunyai kekuatan eksekutorial. c. Kemungkinan akan hilangnya akta yang dibuat di bawah tangan lebih besar dibandingkan dengan akta otentik. 59 59 G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta, Erlangga, 1996, hal. 46-47

38 Di samping itu masih ada lagi perbedaan-perbedaan antara akta otentik dan akta di bawah tangan, seperti: 60 a. Akta otentik harus dibuat oleh atau di hadapan pejabat dan harus mengikuti bentuk dan formalitas yang ditentukan dalam undang-undang, sedang akta di bawah tangan tidak demikian. b. Akta otentik memiliki kekuatan pembuktian lahir sesuai dengan asas acta publica probant seseipsa, sedang akta di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan lahir. 3. Kekuatan Pembuktian Akta Bila diperhatikan pasal 164 HR, pasal 283 Tbg, dan pasal 1865 KUHPerdata, maka jelas bahwa bukti tulisan ditempatkan paling atas dari seluruh alat-alat bukti yang disebut dalam pasal-pasal undang-undang tersebut. Walaupun urutan penyebutan alat bukti dalam ketentuan undang-undang itu bukan imperative, namun dapat dikatakan bahwa alat bukti tulisan (akta) memang merupakan alat bukti yang paling tepat dan penting, terlebih-lebih pada masyarakat modern saat ini. Pada hakikatnya kekuatan pembuktian dari akta itu selalu dapat dibedakan atas tiga, yaitu: 61 1. Kekuatan pembuktian lahir (Uitendige Bewijskracth) Yang dimaksud dengan kekuatan pembuktian lahir ialah kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir dari akta itu, maksudnya bahwa suatu surat yang 60 Viktor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Op.cit, hal. 37-38 61 Ibid, hal. 109

39 kelihatannya seperti akta, harus diperlakukan sebagai akta, sampai dibuktikan sebaliknya. Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian lahir, sesuai dengan asas acta publica probant seseipsa, yang berarti bahwa satu akta yang lahirnya tampak sebagai akta otentik, serta memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, maka akta itu harus dianggap sebagai akta otentik, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Berbeda dengan akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat, dimana tanda tangan pejabat itu merupakan jaminan otentisitas dari akta itu, sehingga oleh karenanya mempunyai kekuatan pembuktian lahir, maka akta di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian lahir. Hal ini berarti bahwa akta di bawah tangan baru berlaku sah, jika yang menandantanganinya mengakui kebenaran dari tanda tangannya itu, artinya jika tanda tangan telah diakui kebenarannya oleh yang bersangkutan, barulah akta itu berlaku sebagai alat bukti sempurna bagi para pihak yang bersangkutan (pasal 1875 KUHPerdata). Orang terhadap siapa akta di bawah tangan itu digunakan, diwajibkan membenarkan (mengakui) atau memungkiri tanda tangannya, sedang bagi ahli warisnya cukup hanya menerangkan bahwa ia tidak kenal akan tanda tangan tersebut. 62 Oleh karena tanda tangan pada akta di bawah tangan selalu masih dapat dipungkiri oleh si penandatangan sendiri atau oleh ahli warisnya tidak diakui, maka akta di bawah tangan itu tidak mempunyai kekuatan pembuktian lahir. 63 2. Kekuatan pembuktian formil (Formil Bewijskracth) Kekuatan pembuktian formal ini didasarkan atas benar tidaknya ada pernyataan oleh yang bertanda tangan di bawah akta itu. Dalam akta otentik, pejabat pembuat akta menyatakan dalam tulisan itu bahwa ada yang dinyatakan dalam akta 62 Pasal 2 Stbl. 1867 No. 29, pasal 289 Rbg dan pasal 1876 KUHPerdata. 63 Sudikno Mertokusumo, Op. cit, hal. 114

40 itu sebagaimana telah dicantumkan di dalamnya. 64 Pada ambtelijke akten, pejabat pembuat aktalah yang menerangkan apa yang dikonstatia oleh pejabat itu dan menuliskannya dalam akta, dan oleh sebab itu apa yang diterangkan oeh pejabat tadi telah pasti bagi siapapun, sepanjang mengenai tanggal pembuatan, tempat pembuatan akta dan isi/ keterangan dalam akta itu. Dalam partij akten sebagai akta otentik, bagi siapapun telah pasti bahwa pihak-pihak dan pejabat yang bersangkutan menyatakan seperti apa yang tertulis di atas tanda tangan mereka. 65 Dalam hal ini, sudah pasti adalah: tanggal pembuatan akta, dan keaslian tanda tangan pejabat dan para pihak serta saksi-saksi yang turut menandatangani akta tersebut, serta kepastian bahwa para pihak ada menerangkan seperti apa yang diuraikan/ dicantumkan dalam akta itu, sedang kebenaran dari apa yang diterangkan oleh para pihak itu pada hakikatnya hanya pasti antara mereka sendiri. 66 Akta di bawah tangan baru mempunyai kekuatan pembuktian formal, jika tanda tangan di bawah akta itu diakui/tidak disangkal kebenarannya. Dengan diakuinya keaslian tanda tangan pada akta di bawah tangan, maka kekuatan pembuktian formal dari akta di bawah tangan itu sama dengan kekuatan pembuktian formal dari akta otentik. 3. Kekuatan pembuktian materil (Materiele Bewijskracth) Kekuatan pembuktian materil ini menyangkut pembuktian tentang materi suatu akta, memberi kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak 64 Viktor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Op.cit, hal. 111. 65 Ibid, hal. 112 66 Ibid

41 melakukan atau melaksanakan seperti apa yang diterangkan dalam akta itu. 67 Akta pejabat sebagai akta otentik, tidak lain hanya membuktikan apa yang disaksikan, yakni yang dilihat, didengar dan juga dilakukan sendiri oleh pejabat itu dalam menjalankan jabatannya. Akta para pihak menurut undang-undang merupakan bukti sempurna bagi mereka dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak darinya. Akta di bawah tangan, jika tanda tangan di dalam akta itu tidak dimungkiri keasliannya, serupa dengan partij akten sebagai akta otentik, mempunyai kekuatan pembuktian materil bagi yang menandatanganinya, ahli warisnya serta para penerima hak dari mereka, sebagaimana ditentukan dalam pasal 1875 KUHPerdata (pasal 288 Rbg). 68 B. Tinjauan Terhadap Perjanjian Hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUHPerdata, yaitu tentang Perikatan yang menganut sistem terbuka (open system), artinya setiap orang dapat melakukan perjanjian apa saja asal tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1233 KUHPerdata, yang menyatakan sebagai berikut : Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan,baik karena undangundang. 67 Ibid, hal. 113 68 Pasal 1875 KUH Perdata: Suatu akta di bawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa akta itu hendak dipakai, atau dengan cara menurut undang-undang dianggap sebagai diakui, memberikan terhadap orang-orang yang mendapat hak daripada mereka, bukti yang sempurna seperti suatu akta otentik.

42 Perikatan yang lahir dari perjanjian, dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian, di mana dalam perikatan timbul hak dan kewajiban dari para pihak yang perlu diwujudkan. Hak dan kewajiban ini berupa prestasi, pihak debitor berkewajiban memenuhi prestasi dan pihak kreditor berhak atas prestasi. 69 Sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang diadakan oleh undang-undang di luar kemauan para pihak yang bersangkutan. 1. Pengertian Perjanjian. Perjanjian adalah suatu perbuatan/tindakan hukum yang terbentuk dengan tercapainya kata sepakat yang merupakan pernyataan kehendak bebas dari dua orang (pihak) atau lebih, dimana tercapainya sepakat tersebut tergantung dari para pihak yang menimbulkan akibat hukum untuk kepentingan pihak yang satu dan atas beban pihak yang lain atau timbal balik dengan mengindahkan ketentuan perundangundangan. 70 Menurut Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah : Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Hubungan antara dua orang tersebut adalah suatu hubungan hukum di mana hak dan kewajiban diantara para pihak tersebut dijamin oleh hukum. Menurut R. Subekti, suatu perjanjian adalah : Suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbul suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. 71 69 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1992, hal. 13 70 C. Asser-A.S. Hartkamp 4-II, Verbintenissenrecht, Algemene leer der overeenkomsten, tiende druk, W.E.J. Tjeenk Willink, Deventer, 1997, hal. 10 71 R. Subekti (1), Hukum Perjanjian, Op. Cit, hlm. 1

43 Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dalam suatu perjanjian terdapat unsur-unsur sebagai berikut : a. Adanya pihak-pihak Dalam hal ini harus terdapat dua orang atau lebih sebagai subjek perjanjian, yaitu manusia atau badan hukum yang mempunyai hak dan kewajiban dalam melakukan suatu perbuatan hukum sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Adanya atau tercapainya kesepakatan antara para pihak yang mengadakan perjanjian. c. Adanya tujuan yang hendak dicapai d. Adanya Prestasi yang dilaksanakan. e. Adanya bentuk tertentu dalam suatu perjanjian yaitu bisa lisan atau tertulis. f. Adanya syarat-syarat tertentu yang tercantum dalam perjanjian. Perjanjian menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak atas suatu prestasi (kreditor) dan pihak lain berkewajiban atas suatu prestasi (debitor). Dari definisi tersebut dapat disimpulkan, bahwa dalam satu perikatan paling sedikit terdapat satu

44 hak dan kewajiban. Suatu persetujuan dapat menimbulkan satu atau beberapa perikatan, tergantung pada jenis-jenis persetujuannya. 72 2. Syarat Sahnya Perjanjian Suatu perjanjian dapat dikatakan sebagai perjanjian yang sah apabila telah memenuhi 4 (empat) syarat sahnya perjanjian, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, antara lain : a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; Syarat pertama untuk terjandinya perjanjian adalah sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Sepakat tersebut mencakup pengertian tidak saja sepakat untuk mengikatkan diri, tetapi juga sepakat untuk mendapatkan prestasi. Dalam perjanjian timbal balik, masing-masing pihak tidak saja mempunyai kewajiban, tetapi juga berhak atas prestasi yag telah diperjanjikan. Suatu perjanjian sepihak untuk mendapatkan/memberikan prestasi, tetapi mensyaratkan adanya kata sepakat dari kedua belah pihak lain halnya dengan tindakan hukum sepihak. 73 Menurut Pasal 1321 KUHPerdata, suatu sepakat yang sah dipandang tidak ada apabila sepakat itu diberikan karena adanya kekhilafan (dwaling), paksaan (dwang) ataupun penipuan (bedrog). Jadi dapat disimpulkan bahwa para pihak yang mengikatkan diri untuk melakukan suatu perjanjian harus benar-benar bebas dari tekanan dan murni atas kehendak sendiri yang disepakati oleh kedua belah pihak. b. Kecakapan Untuk membuat suatu perikatan 72 R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bandung, Binacipta, 1978, hal. 36 73 Dr. Herlien Budiono, SH, Ajaran Umum Hukum Perjanjian Dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Bandung, PT. Citra Adittya Bakti, 2011, hal. 73-74

45 Kedua belah pihak harus cakap menurut hukum, artinya setiap orang yang sudah dewasa atau akil baliq dan sehat pikirannya. Beberapa golongan orang yang oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap yakni, orang di bawah umur dan orang yang di bawah pengawasan (curatele), sedangkan perempuan yang telah kawin dicabut sesuai SEMA Nomor 3 Tahun 1963. Seseorang yang tidak cakap, maka tidak dapat melakukan perjanjian dengan pihak lain tetapi dapat diwakili oleh walinya atau pengampu/kuratornya. c. Suatu hal tertentu Yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian, haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu (Pasal 1332-1334 KUHPerdata). Syarat ini diperlukan untuk menetapkan kewajiban si berhutang, jika terjadi perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian, paling sedikit harus ditentukan jenisnya. 74 d. Suatu Sebab Yang Halal Syarat keempat untuk sahnya perjanjian adalah suatu sebab yang halal atau kausa yang halal. Ketentuan pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa: Suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan (hukum). Dengan kata lain, batal demi hukum. Kausa yang palsu dapat terjadi jika suatu kausa yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya atau kausa yang disimulasikan. Kemungkinan juga telah terjadi 74 R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa, 1994, hal. 136

46 kekeliruan terhadap kausanya. Dengan demikian, yang penting adalah bukan apa yang dinyatakan sebagai kausa, melainkan apa yang menjadi kausa yang sebenarnya. Suatu perjanjian dilakukan dengan kausa yang dilarang jika kausanya bertentangan, baik dengan norma-norma dari hukum yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Berkenaan dengan ini, ketentuan pasal 1337 KUHPerdata menyatakan: Suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. 75 Dua syarat yang pertama menyangkut subyek atau orang yang melakukan perjanjian, oleh karena itu disebut sebagai syarat subyektif, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat obyektif karena menyangkut obyek dari perjanjian itu sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. 76 Apabila syarat subyektif dari perjanjian tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya, pihak yang dapat memintakan pihak yang berhak meminta pembatalan tersebut. Sedangkan apabila syarat obyektif yang tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum, artinya sejak semula dianggap bahwa perjanjian itu tidak pernah ada. 3. Unsur-Unsur Perjanjian Unsur-unsur yang terdapat dalam perjanjian dapat dikelompokkan dalam beberapa kelompok, sebagai berikut : 77 75 Dr. Herlien Budiono, Op.Cit, Hal. 112-113 76 R. Subekti (1), Op. Cit., hlm. 17. 77 J. Satrio, Hukum Perjanjian, Bandung, Citra aditya Bakti, 1992, hal. 57

47 a. Unsur Essensialia adalah unsur mutlak yang harus selalu ada di dalam suatu perjanjian, di mana tanpa adanya unsur ini maka perjanjian tidak mungkin ada, seperti sebab yang halal merupakan essensialia untuk adanya perjanjian. b. Unsur Naturalia adalah unsur perjanjian yang oleh Undang- Undang diatur, tetapi oleh para pihak dapat disingkirkan atau diganti. Pada unsur naturalia ini, dapat menyimpang dari ketentuan yang sifatnya mengatur, sedangkan pada ketentuan yang sifatnya memaksa tidak dapat dikesampingkan, seperti kewajiban penjual untuk menanggung biaya penyerahan (Pasal 1476 KUHPerdata) dapat disimpangi atas kesepakatan kedua belah pihak. c. Unsur Accidentalia adalah unsur perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak yang tidak diatur dalam Undang-Undang. 4. Subjek dan Objek Perjanjian Perjanjian timbul karena adanya hubungan hukum kekayaan antara dua orang atau lebih. Pendukung hukum perjanjian sekurang-kurangnya harus ada dua orang tertentu, masing-masing orang tersebut menduduki tempat yang berbeda, satu orang menjadi kreditor dan yang seorang lagi sebagai pihak debitor. 78 Subyek perjanjian adalah pihak-pihak yang terikat dalam suatu perjanjian, yaitu pihak kreditor yang berhak atas prestasi dan pihak debitor yang wajib melaksanakan prestasi. Kreditor mempunyai hak atas prestasi dan berkewajiban untuk menyerahkan sesuatu sehingga perjanjian itu terwujud, sedangkan debitor wajib memenuhi pelaksanaan prestasi dan mempunyai hak untuk menerima manfaat 78 M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung, Alumni, 1996, hal. 15

48 dari prestasi tersebut. Dalam perjanjian dapat terjadi para pihak lebih dari satu orang, misalnya : beberapa orang kreditor berhadapan dengan seorang debitur atau sebaliknya, tidak mengurangi sahnya perjanjian, atau jika pada mulanya kreditor terdiri dari beberapa orang kemudian yang tinggal hanya seorang kreditur saja berhadapan dengan debitor, juga tidak mengurangi sahnya perjanjian. Sedangkan obyek dari perjanjian adalah prestasi itu sendiri berupa memberikan sesuatu, berbuat dan tidak berbuat sesuatu. Sesuai dengan Pasal 1234 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa : Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. Obyek perikatan harus memenuhi beberapa syarat tertentu, yaitu: 79 a. Harus tertentu atau dapat ditentukan. Dalam Pasal 1320 poin ke 3 KUHPerdata menyebutkan sebagai unsur tejadinya persetujuan suatu obyek tertentu, tetapi hendaknya ditafsirkan sebagai dapat ditentukan, karena perikatan dengan obyek yang dapat ditentukan diakui sah. b. Obyeknya diperkenankan Menurut Pasal 1335 dan Pasal 1337 KUHPerdata, persetujuan tidak akan menimbulkan perikatan jika obyeknya bertentangan dengan ketertiban umum atau kesusilaan atau jika dilarang oleh undang-undang; c. Prestasinya dimungkinkan Artinya ketidakmungkinan debitor untuk melakukan prestasi, hendaknya dilihat dari sudut kreditor, apakah kreditur mengetahui tentang ketidakmungkinan 79 Ibid.

49 tersebut. Jika kreditor mengetahui, maka perikatan menjadi batal dan begitu pula sebaliknya, jika kreditor tidak mengetahui, maka debitor tetap berkewajiban untuk melaksanakan prestasi. 5. Asas-asas Dalam Perjanjian Arti asas secara etimologi adalah dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat) 80 Mahadi menjelaskan bahwa asas adalah sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alas, sebagai dasar, sebagai tumpuan, sebagai tempat untuk menyandarkan, untuk mengembalikan sesuatu hal, yang hendak dijelaskan. 81 Apabila arti asas tersebut diartikan sebagai bidang hukum maka dapat diperoleh suatu makna baru yaitu asas hukum merupakan dasar atau pikiran yang melandasi pembentukan hukum positif. Dengan perkataan lain asas hukum merupakan suatu petunjuk yang masih bersifat umum dan tidak bersifat konkrit seperti norma hukum yang tertulis dalam hukum positif. Bellefroid memberikan pengertian asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan yang lebih umum. Asas hukum merupakan pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat. 82 Jadi pembentukan hukum sebagaimana yang dikatakan oleh Eikema Hommes adalah praktis berorientasi pada asas-asas hukum, dengan perkataan lain merupakan dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif. 83 80 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1990, hal. 52 81 Mahadi, Falsafah Hukum Suatu Pengantar, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1989, hal.119 82 Sudikno Mertokusumo, Mengenai Hukum, Yogyakarta, Liberty, 1998, hal. 32 83 Ibid., hal.33

50 Oleh karena sedemikian pentingnya asas hukum ini dalam suatu sistem hukum, maka asas hukum ini lazim juga disebut sebagai jantungnya peraturan hukum, disebut demikian kata Satjipto Rahardjo karena dua hal yakni, pertama, asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum, artinya peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Kedua, sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum atau merupakan ratio legis dari peraturan hukum. 84 Asas-asas hukum perjanjian itu, menurut Mariam Darus Badrulzaman adalah sebagai berikut : 85 1. Asas kebebasan berkontrak Terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Undang-undang memperbolehkan membuat perjanjian berupa dan berisi apa saja dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya. Tujuan dari pembuat undang-undang menuangkan kebebasan berkontrak dalam bentuk formal, sebagai suatu asas dalam hukum perjanjian adalah untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum dilapangan hukum perjanjian. 2. Asas Pacta Sunt Servanda 84 Sajtipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung, Alumni, 1986, hal.85 85 Mariam Darus Badrulzaman, Sistem Hukum Perdata Nasional, Medan, Dewan Kerjasama Hukum Belanda Dengan Indonesia, Proyek Hukum Perdata, 1987, hal.17

51 Asas ini merupakan asas yang berhubungan dengan mengikatnya suatu perjanjian. Perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak adalah mengikat bagi mereka yang membuatnya sendiri seperti undang-undang, kedua belah pihak terikat oleh kesepakatan dalam perjanjian yang mereka buat. 3. Asas Konsensualisme Suatu perjanjian cukup adanya kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian itu tanpa diikuti dengan perbuatan hukum yang lain. 4. Asas Itikad Baik Menurut Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, semua perjanjian itu harus dilaksanakan dengan itikad baik. 5. Asas Kekuatan Berlakunya Suatu Perjanjian Pada prinsipnya semua perjanjian itu hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya saja, tidak ada pengaruhnya bagi pihak ketiga, diatur dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata. 6. Asas Kepercayaan Seseorang mengadakan perjanjian dengan pihak lain menumbuhkan kepercayaan diantara kedua belah pihak itu bahwa satu sama lain akan memegang janjinya atau memenuhi prestasinya. 7. Asas Persamaan Hukum Asas ini menempatkan para pihak dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, sehingga para pihak wajib menghormati satu sama lain.

52 8. Asas Keseimbangan Asas ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. 9. Asas Kepastian Hukum Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak. 10. Asas Moral Terdapat dalam Pasal 1339 KUHPerdata, dalam asas ini terdapat faktor-faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum berdasarkan pada moral-moral 11. Asas Kebiasaan Asas ini terdapat dalam Pasal 1347 KUHPerdata, suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur akan tetapi juga hal-hal yang dalam keadaan dan kebiasaan yang lazim diikuti. 6. Saat Berlaku Dan Berakhirnya Perjanjian Saat mulai berlaku atau saat berlakunya perjanjian atau jangka waktu perjanjian adalah merupakan suatu rangkaian yang saling berkaitan satu sama lain yang menunjukkan mengenai keberlakuan dari suatu perjanjian. Hal ini sangat penting guna menentukan mengenai pelaksanaan prestasi yang harus dilakukan oleh salah satu pihak yang terkait dalam suatu perjanjian dan penentuan prestasi untuk pihak yang lain, serta kapan berakhirnya suatu keadaan tersebut. Saat berlaku suatu

53 perjanjian adalah penting untuk menentukan risiko dan akibat apabila terjadi perubahan-perubahan undang-undang. Dalam hukum perjanjian dianut asas konsensualitas, yang berarti bahwa suatu perjanjian lahir pada saat tercapainya kata sepakat diantara kedua belah pihak, pada saat itulah suatu perjanjian dianggap lahir, kecuali pada perjanjian yang membutuhkan syarat-syarat khusus tambahan, seperti perjanjian penghibahan atas benda khusus tak bergerak dan perjanjian perdamaian, yang membutuhkan suatu formalitas, yaitu harus dibuat secara tertulis dengan sebuah akta. Kesepakatan yang dimaksud dalam asas konsensualitas ini merupakan suatu kesepakatan yang dibuat secara sadar dan sungguh-sungguh, tanpa adanya kekhilafan, paksaan dan penipuan, serta tidak melanggar asas kesusilaan dan ketertiban. Kesepakatan untuk melakukan sesuatu perikatan yang bertujuan untuk kejahatan, dianggap batal demi hukum, artinya perikatan tersebut tidak sah karena bertentangan dengan hukum dan Undang-Undang, sehingga kedua belah pihak tidak terikat untuk melaksanakan perikatan tersebut. Suatu perjanjian dinyatakan berakhir antaranya berdasarkan berakhirnya ketetapan waktu dalam suatu perjanjian atau meninggalnya salah satu pihak dalam perjanjian, dalam hal prestasi yang dimaksudkan hanya dapat dilakukan oleh debitor sendiri dan tidak boleh/tidak bisa digantikan oleh orang lain. 86 Sesuai dengan adanya asas kebebasan berkontrak yang melandasi hukum perjanjian, maka para pihak yang membuat dan melaksanakan perjanjian juga dapat 86 Mariam Darus Badrulzaman. KUHPerdata Buku III, Bandung, Alumni, 2009, hal. 64

54 menentukan faktor-faktor lain yang menyebabkan berakhirnya suatu perjanjian diantara mereka. Oleh karena itu, berakhirnya suatu perjanjian tidak terbatas hanya kepada Pasal 1381 KUHPerdata, dan dengan hapusnya perikatan, maka orang-orang yang mebuat perjanjian tersebut kembali kepada keadaan semula, yaitu bebas dan tidak terikat dalam suatu perjanjian. C. Tinjauan Umum Perjanjian Perdamaian 1. Pengertian Dan Dasar Hukum Perjanjian Perdamaian Wirjono Prodjodikoro, mengemukakan bahwa BW dalam title 18 dari Buku III mengatur tentang suatu persetujuan yang bersifat menghentikan suatu keraguraguan tentang isi suatu perhubungan hukum antara kedua belah pihak (Vaststellings overeenkomst). Persetujuan ini oleh BW dinamakan dading yang saya usulkan diterjemahkan menjadi persetujuan perdamaian. 87 Kata perdamaian, artinya penghentian permusuhan. Damai, artinya tidak bermusuhan, keadaan tidak bermusuhan, berbaik kembali, tenteram aman. Berdamai, artinya berbaik kembali, berunding untuk menyelesaikan perselisihan. Mendamaikan atau memperdamaikan, artinya menyelesaikan permusuhan, merundingkan supaya mendapat persetujuan. 88 Kata damai dipadankan dalam bahasa Inggris peace, tranquility. Berdamai dipadankan dengan kata be peaceful, be on good terms. Kata memperdamaikan, mendamaikan dipadankan dengan kata resolve, 87 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Bandung, Vorkink-van Hoeve, 1959, hal. 152 88 W.J.S.Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Edisi Ketiga, Diolah Kembali oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, 2005, hal. 259

55 peacefully. 89 Dalam bahasa Belanda, kata dading diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi perdamaian, musyawarah. Kata vergelijk dipadankan dengan kata sepakat, musyawarah atau persesuaian, persetujuan kedua belah pihak atas dasar saling pengertian mengakhiri suatu perkara. 90 Mengenai perdamaian diatur Pasal 1851 sampai dengan Pasal 1864 KUH Perdata. Pengertian perdamaian, Pasal 1851 merumuskan : Perdamaian yaitu suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara. 91 Dari rumusan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa perdamaian merupakan suatu perjanjian yang disepakati kedua belah pihak dengan tujuan mengakhiri suatu perkara yang sedang dalam proses, atau untuk mencegah timbulnya suatu perkara. Menurut Subekti, perdamaian merupakan perjanjian formal, karena diadakan menurut suatu formalitas tertentu, bila tidak maka perdamaian tidak mengikat dan tidak sah. 92 Dari ketentuan Pasal 1851 KUHPerdata tersebut, dading adalah suatu persetujuan, dalam mana para pihak dalam suatu perkara perdata, yang sedang 89 John M.Echols dan Hassan Shadily, Kamus Indonesia Inggeris, Jakarta, PT.Gramedia, 1994, hal. 129 90 Fockema Andreae, Kamus Istilah Hukum Belanda-Indonesia, Jakarta, Bina Cipta, 1983, hal. 87 dan hal. 616 91 R. Subekti dan R. Tjitrosudjibjo, Op. Cit., Pasal 1851. 92 Subekti, Aneka Perjanjian, cetakan kesepuluh, Bandung, PT.Citra Aditya Bakti, 1995, hal. 177-178.

56 diperiksa oleh hakim atau yang akan diajukan di muka hakim dihentikan dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu benda. 93 Agar perjanjian perdamaian dinilai sah menurut hukum, harus memenuhi syarat-syarat : 1. Memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. 2. Pasal 1851 ayat 2 KUHPerdata, menentukan perjanjian perdamaian dibuat secara tertulis. Mengenai hal ini menurut Wirjono Prodjodikoro, dibuat dengan tulisan (schriftelijk) tidak selalu berupa akta, melainkan dianggap cukup apabila ada surat menyurat antara kedua belah pihak, yang cocok satu sama lain (Hoge Road Belanda tanggal 30-6-1949 N.J.1950,137). 94 Selanjutnya Pasal 1853 ayat (1) KUHPerdata menyatakan: tentang kepentingan-kepentingan keperdataan yang terbit dari suatu kejahatan atau pelanggaran, dapat diadakan perdamaian. 95 Selanjutnya Pasal 1854 KUHPerdata, menentukan : Setiap perdamaian hanya terbatas pada soal yang termaktub didalamnya; pelepasan segala hak dan tuntutan yang dituliskan didalamnya harus diartikan sekedar hak-hak dan tuntutan-tuntutan itu ada hubungannya dengan perselisihan yang menjadi lantaran perdamaian tersebut. 96 93 Prodjodikoro, Loc. cit. 94 Ibid. 95 R. Subekti dan R. Tjitrosudjibjo, Op. Cit, Pasal 1853 ayat (1) 96 Ibid, Pasal 1854

57 Kemudian Pasal 1855 KUHPerdata juga menentukan: Setiap perdamaian hanya mengakhiri perselisihan-perselisihan yang termaktub didalamnya, baik para pihak merumuskan maksud mereka dalam perkataan khusus atau umum, maupun maksud itu dapat disimpulkan sebagai akibat mutlak satusatunya dari apa yang dituliskan. 97 Kedua pasal tersebut bermaksud untuk memperingatkan supaya berlakunya perdamaian tidak diperluas hingga melampaui batas-batas persoalan yang telah diselesaikan dengan mengadakan perdamaian tersebut, Untuk mengetahui batas-batas itu setepatnya, kita harus selalu berpangkal pada soal-soal yang menjadi perselisihan, yang menyebabkan diadakannya perdamaian itu. Dalam prakteknya suatu perjanjian perdamaian adalah merupakan suatu akta, karena perjanjian tersebut sengaja dibuat oleh pihak-pihak yang bersangkutan untuk dijadikan alat bukti dengan tujuan untuk menyelesaiakan sengketa. Akta perdamaian dapat di bagi dua sebagai berikut: 1. Akta perdamaian dengan persetujuan hakim atau acta van vergelijk. Pasal 130 HIR menghendaki penyelesaian sengketa secara damai, pasal tersebut berbunyi jika pada hari yang ditentukan kedua belah pihak datang maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba mendamaikan mereka. Menurut ketentuan Pasal 1858 ayat (1) KUHPerdata, bahwa segala perdamaian di antara pihak suatu kekuatan seperti putusan hakim dalam tingkat yang penghabisan. Hal ini pun ditegaskan pada kalimat terakhir Pasal 130 ayat (2) HIR, bahwa putusan 97 Ibid, Pasal 1855

58 akta perdamaian memiliki kekuatan sama seperti putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sifat kekuatan yang demikian merupakan penyimpangan dari ketentuan konvensional. Secara umum suatu putusan baru memiliki kekuatan hukum tetap, apabila terhadapnya sudah tertutup upaya hukum. Biasanya agar suatu putusan memiliki kekuatan yang demikian, apabila telah ditempuh upaya banding dan kasasi. Namun terhadap putusan akta perdamaian, undang-undang sendiri yang melekatkan kekuatan itu secara langsung kepadanya. Segera setelah putusan diucapkan, langsung secara inheren pada dirinya berkekuatan hukum tetap, sehingga perdamaian itu mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. 98 Akta perdamaian yang didasarkan atas putusan majelis hakim di pengadilan sudah mempunyai kekuatan eksekutorial. Apabila salah satu pihak tidak mentaati atau tidak melaksanakan isi yang tertuang dalam akta perjanjian perdamaian tersebut tersebut secara sukarela maka dapat diminta eksekusi kepada pengadilan negeri, sehingga ketua pengadilan negeri memerintahkan pelaksanaan eksekusi. Putusan tersebut tidak dapat upaya banding maupun kasasi. Menurut PERMA Nomor 1 Tahun 2008, akta perdamaian adalah akta yang memuat isi kesepakatan perdamaian dan putusan hakim yang menguatkan kesepakatan perdamaian tersebut yang tidak tunduk pada upaya hukum biasa maupun luar biasa. Didalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan 280 98 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Cet. 8, Jakarta, Sinar Grafika, 2008, hal. 279-

59 murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Jenis Perkara yang di mediasi Kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator (Pasal 4 Perma No. 1 Tahun 2008). Didalam tahap-tahap proses mediasi Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak menunjuk mediator yang disepakati, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada mediator. Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak gagal memilih mediator, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada hakim mediator yang ditunjuk. Proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh) hari kerja sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim. Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi dapat diperpanjang paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak berakhir masa 40 (empat puluh) hari. Jika diperlukan dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi dapat dilakukan

60 secara jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi (Pasal 13 Perma No. 1 Tahun 2008). Kewenangan Mediator dalam hal ini Mediator berkewajiban menyatakan mediasi telah gagal jika salah satu pihak atau para pihak atau kuasa hukumnya telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai jadwal pertemuan mediasi yang telah disepakati atau telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi tanpa alasan setelah dipanggil secara patut. Jika setelah proses mediasi berjalan, mediator memahami bahwa dalam sengketa yang sedang dimediasi melibatkan aset atau harta kekayaan atau kepentingan yang nyata-nyata berkaitan dengan pihak lain yang tidak disebutkan dalam surat gugatan sehingga pihak lain yang berkepentingan tidak dapat menjadi salah satu pihak dalam proses mediasi, mediator dapat menyampaikan kepada para pihak dan hakim pemeriksa bahwa perkara yang bersangkutan tidak layak untuk dimediasi dengan alasan para pihak tidak lengkap (Pasal 13 Perma No. 1 Tahun 2008). Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak (Pasal 14 Perma No. 1 Tahun 2008). Jika mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak dan mediator. Jika dalam proses mediasi para pihak diwakili oleh kuasa hukum, para pihak wajib menyatakan secara tertulis persetujuan atas kesepakatan yang dicapai.

61 Sebelum para pihak menandatangani kesepakatan, mediator memeriksa materi kesepakatan perdamaian untuk menghindari ada kesepakatan yang bertentangan dengan hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat iktikad tidak baik. Para pihak wajib menghadap kembali kepada hakim pada hari sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan kesepakatan perdamaian. Para pihak dapat mengajukan kesepakatan perdamaian kepada hakim untuk dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian. Jika para pihak tidak menghendaki kesepakatan perdamaian dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian, kesepakatan perdamaian harus memuat klausula pencabutan gugatan dan atau klausula yang menyatakan perkara telah selesai (Pasal 17 Perma No. 1 Tahun 2008). Jika setelah batas waktu maksimal 40 (empat puluh) hari kerja, para pihak tidak mampu menghasilkan kesepakatan atau karena sebab-sebab yang terkandung dalam Pasal 15 Perma No. 1 Tahun 2008, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan kepada hakim. Segera setelah menerima pemberitahuan tersebut, hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai ketentuan hukum acara yang berlaku. Pada tiap tahapan pemeriksaan perkara, hakim pemeriksa perkara tetap berwenang untuk mendorong atau mengusahakan perdamaian hingga sebelum pengucapan putusan. Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud diatas, berlangsung paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak hari para pihak menyampaikan keinginan berdamai kepada hakim pemeriksa perkara yang bersangkutan (Pasal 18

62 Perma No. 1 Tahun 2008). Para pihak, atas dasar kesepakatan mereka, dapat menempuh upaya perdamaian terhadap perkara yang sedang dalam proses banding, kasasi, atau peninjauan kembali atau terhadap perkara yang sedang diperiksa pada tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali sepanjang perkara itu belum diputus (Pasal 23 Perma No. 1 Tahun 2008). Jika dibandingan dengan PERMA No. 1 Tahun 2016 tentang prosedur mediasi di Pengadilan, maka ada beberapa hal penting yang menjadi pembeda antara PERMA No. 1 Tahun 2016 dengan PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang mediasi. Pertama, terkait batas waktu mediasi yang lebih singkat dari 40 hari menjadi 30 hari terhitung sejak penetapan perintah melakukan Mediasi. Kedua, adanya kewajiban bagi para pihak (inpersoon) untuk menghadiri secara langsung pertemuan Mediasi dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa hukum, kecuali ada alasan sah seperti kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan hadir dalam pertemuan Mediasi berdasarkan surat keterangan dokter, di bawah pengampuan, mempunyai tempat tinggal, kediaman atau kedudukan di luar negeri, atau menjalankan tugas negara, tuntutan profesi atau pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan. Ketiga, hal yang paling baru adalah adanya aturan tentang Iktikad Baik dalam proses mediasi dan akibat hukum para pihak yang tidak beriktikad baik dalam proses mediasi. Pasal 7 menyatakan: (1) Para Pihak dan/atau kuasa hukumnya wajib menempuh Mediasi dengan iktikad baik.

63 2) Salah satu pihak atau Para Pihak dan/atau kuasa hukumnya dapat dinyatakan tidak beriktikad baik oleh Mediator dalam hal yang bersangkutan: a. Tidak hadir setelah dipanggil secara patut 2 (dua) kali berturut-turut dalam pertemuan Mediasi tanpa alasan sah; b. Menghadiri pertemuan Mediasi pertama, tetapi tidak pernah hadir pada pertemuan berikutnya meskipun telah dipanggil secara patut 2 (dua) kali berturut-turut tanpa alasan sah; c. Ketidakhadiran berulang-ulang yang mengganggu jadwal pertemuan Mediasi tanpa alasan sah; d. Menghadiri pertemuan Mediasi, tetapi tidak mengajukan dan/atau tidak menanggapi Resume Perkara pihak lain; dan/atau e. Tidak menandatangani konsep Kesepakatan Perdamaian yang telah disepakati tanpa alasan sah. Apabila penggugat dinyatakan tidak beriktikad baik dalam proses Mediasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), maka berdasarkan Pasal 23, gugatan dinyatakan tidak dapat diterima oleh Hakim Pemeriksa Perkara. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 22 PERMA No.1 Tahun 2016. Ketentuan Pasal 7, Pasal 22 dan Pasal 23 inilah yang nyata berbeda dari ketentuan PERMA No.1 Tahun 2008. PERMA No.1 Tahun 2016 ini pula yang menegaskan kembali peranan Mediator independen untuk berperan lebih aktif dalam menyelesaikan perkara atau sengketa di luar pengadilan,