BAB I PENDAHULUAN. pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) dalam konstitusi di. pengganti undang-undang (Perppu). Peraturan Pemerintah Pengganti

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II EKSISTENSI PERPPU DALAM KONSTITUSI DI INDONESIA. A. Hirarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

BAB I PENDAHULUAN. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang merupakan peraturan yang

BAB I PENDAHULUAN. Norma hukum yang berlaku di Indonesia berada dalam sistem berlapis dan

EKSISTENSI DAN TOLOK UKUR PEMBENTUKAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG- UNDANG (PERPPU) DALAM KONSTITUSI DI INDONESIA. Tesis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum artinya meniscayakan

BAB I PENDAHULUAN. Produk hukum, terutama undang-undang, keberadaannya dituntut. untuk dinamis terhadap kebutuhan hukum yang diperlukan oleh

Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang


BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sebagaimana penegasannya dalam penjelasan umum Undang-Undang

KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945

Pengujian Perppu oleh Mahkamah Konstitusi

DAFTAR PUSTAKA. Bagir manan, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, Jakarta: Indo Hill, 1992

BAB SATU PENDAHULUAN

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif ( normative legal reserch) yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. konstitusional terhadap prinsip kedaulatan rakyat. Hal ini dinyatakan dalam Pasal

BAB III TOLOK UKUR HAL IKHWAL KEGENTINGAN YANG MEMAKSA DALAM PEMBENTUKAN PERPPU. pemerintah telah menerbitkan sekitar 209 peraturan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Sebelum Amandemen Undang-Undang Dasar 1954, MPR merupakan

DAFTAR PUSTAKA. Pemilihan Presiden Secara Langsung. Jakarta: Sekertariat Jenderal MK RI. (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem norma hukum di Indonesia, norma-norma hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan ekonomi dunia dewasa ini menimbulkan banyak masalah

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana dituangkan secara eksplisit dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang

Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H.

EVALUASI PENTINGNYA PERPU DALAM PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DAN KETATANEGARAAN INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) dalam rangka menghadapi. Dikeluarkannya Perpu oleh Presiden harus memuat unsur hal ihwal

DAFTAR PUSTAKA. Asshiddiqie, Jimly, 1998, Teori dan Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara, InHilco, Jakarta.

BAB I. Pendahuluan. Dalam Pembukaan UUD 1945 tersirat suatu makna bahwa Negara. Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (Rechtstaat)

BAB I Pendahuluan. A. Latar belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Konstitusi yang berbunyi Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan

Riki Yuniagara: Jenis dan Hirarki Peraturan...

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C amandemen ketiga Undang-Undang Dasar

DAFTAR PUSTAKA. Dahlan Thaib, dkk, 2013, Teori dan Hukum Konstitusi, Cetakan ke-11, Rajawali Perss, Jakarta.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. Pajak menurut Pasal 1 Undang-Undang No 28 Tahun 2007 tentang

BAB I PENDAHULUAN. dalam penyidikan tindak pidana kehutanan. Kewenangan adalah. kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku

BAB I PENDAHULUAN. berwenang untuk membuat Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Konstitusi merupakan segala ketentuan dan aturan dasar mengenai

MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**)

ANALISIS YURIDIS PEMBATALAN PERDA OLEH MENTERI DALAM NEGERI

Oleh : Widiarso NIM: S BAB I PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi. Rudy, dan Reisa Malida

PENUTUP. partai politik, sedangkan Dewan Perwakilan Daerah dipandang sebagai

BAB I PENDAHULUAN. disingkat UUD RI Tahun 1945, adalah hukum dasar tertulis (basic law)

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena

PENGGUNAAN HAK RECALL ANGGOTA DPR MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG MPR, DPR, DPD, DAN DPRD (MD3) FITRI LAMEO JOHAN JASIN

BAB 1 PENDAHULUAN. dan kepastian hukum bagi jalannya kehidupan organisasi pemerintahan di Indonesia,

FUNGSI LEGISLASI DPD-RI BERDASARKAN PASAL 22D UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan prasyarat penting dalam negara. demokrasi. Dalam kajian ilmu politik, sistem Pemilihan Umum diartikan sebagai

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah normatif, yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Hakim adalah aktor utama penegakan hukum (law enforcement) di

BAB I PENDAHULUAN. hukum yang sesuai dengan sistem hukum nasional. 1 Konsekuensi Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kekuasaan yang berfungsi

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 130/PUU-XII/2014 Pengisian Kekosongan Jabatan Gubernur, Bupati, dan Walikota

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota 1 periode 2014-

BAB III METODE PENELITIAN. menggali, mengelola dan merumuskan bahan-bahan hukum dalam menjawab

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN

BEBERAPA KETENTUAN DALAM UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 1

EKSISTENSI PERPPU DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum 1. Negara hukum adalah negara. yang berlandaskan hukum dan keadilan bagi warganya.

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Peraturan Perundang-undangan sebagai produk hukum, bukan merupakan produk

BAB III TINJAUAN UMUM. diprogramkan. Sedangkan menurut M. Efendi efektifitas adalah indikator dalam tercapainya

Kata Kunci: Perundang-Undangan Dan Norma

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan negara tidak bisa dipisahkan dari masyarakat. Menurut Mac Iver, negara

BAB III KEKUASAAN PRESIDEN DALAM MENGELUARKAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG (PERPPU)

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang (UU) tehadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kewenangan tersebut

BAB III METODE PENELITIAN

TINJAUAN ATAS PENGADILAN PAJAK SEBAGAI LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kekuasaan raja yang semakin absolut di Negara Perancis

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law

POKOK-POKOK PIKIRAN YANG MENDASARI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN *

BAB III KEDUDUKAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU- XII/2014

BAB II PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. Istilah perundang-undangan (legislation, wetgeving) dalam beberapa

UU JABATAN HAKIM; 70 TAHUN HUTANG KONSTITUSI

BAB I PENDAHULUAN. kita memiliki tiga macam dokumen Undang-undang Dasar (konstitusi) yaitu: 1

PROSPEK MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI PENGAWAL DAN PENAFSIR KONSTITUSI. Oleh: Achmad Edi Subiyanto, S. H., M. H.

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman.

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 57/PUU-XV/2017

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGUJI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA. Oleh : DJOKO PURWANTO

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan olehnya dapat di pertanggung jawabkan dihadapan hukum.

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan 1. Ada peluang yuridis perubahan non-formal konstitusi dalam hal bentuk negara

Daftar Pustaka. , 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Konstitusi Press,

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

DAFTAR PUSTAKA. Amini, Aisyah, Pasang Surut Peran DPR-MPR , Yayasan Pancur Siwah, Jakarta: 2004, Hlm. 36

SIARAN PERS. Penjelasan MK Terkait Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. 1 Konsekuensi

MENGUJI KONSTITUSIONALITAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG

BAB V PENUTUP. 1. Kewenangan Pengawasan Produk Hukum Daerah oleh Pemerintah

Peraturan Perundang-undangan:

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian ini hendak membahas eksistensi peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) dalam konstitusi di Indonesia serta tolok ukur dalam pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan dalam sistem norma hukum negara Republik Indonesia. Perppu dikonsepsikan sebagai suatu peraturan yang dari segi isinya seharusnya ditetapkan dalam bentuk undang-undang, tetapi karena keadaan kegentingan memaksa ditetapkan dalam bentuk peraturan pemerintah. 1 Di dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa: 2 (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 1 Jimly Ashiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Edisi ke-1, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 3. 2 Lihat Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 1

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. (2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Jika dilihat dari hierarki peraturan perundang-undangan pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dapat dikatakan bahwa UU dan Perppu memiliki kedudukan yang sejajar/sederajat, hanya saja keduanya dibentuk dalam keadaan yang berbeda. Selama ini UU selalu dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan DPR, dan dalam keadaan normal, atau menurut Perubahan UUD 1945 dibentuk oleh DPR dan disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, serta disahkan oleh Presiden, sedangkan Perppu dibentuk oleh Presiden tanpa persetujuan DPR karena adanya suatu hal ikhwal kegentingan yang memaksa. 3 Hal tersebut dinyatakan dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 ( UUD 1945 ): Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Selain itu, penetapan Perppu yang dilakukan oleh Presiden ini juga tertulis dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 12 Tahun 3 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan Proses dan Teknik Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta. 2007, hal 80. 2

2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berbunyi: Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Jika mengacu pada rumusan ini maka jelaslah bahwa sejatinya Perppu merupakan suatu peraturan pemerintah, namun berfungsi sebagai undang-undang. Dengan demikian Perppu merupakan salah satu instrumen hukum yang dapat ditetapkan oleh Presiden tanpa memerlukan keterlibatan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Peran DPR dalam konteks Perppu baru terlihat pada Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan berikut dan jika tidak mendapatkan persetujuan maka peraturan pemerintah itu harus dicabut. Berbeda dengan undang-undang, masa berlakunya Perppu sangat singkat yakni sampai dengan persidangan DPR yang terdekat dengan tanggal penetapan Perppu tersebut. Setelah itu, diperlukan ketegasan sikap dari DPR apakah akan menyetujui atau tidak menyetujui Perppu tersebut. Pengajuan Perppu ke DPR dilakukan dalam bentuk pengajuan rancangan undang-undang tentang penetapan Perppu tersebut menjadi undang-undang. Dalam hal DPR 3

menyetujui Perppu tersebut maka rancangan undang-undang tentang penetapan Perppu tersebut menjadi undang-undang disahkan menjadi Undang-Undang, sedangkan jika Perppu itu ditolak oleh DPR maka Perppu tersebut tidak berlaku dan Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang pencabutan Perppu tersebut yang dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut. Kondisi inilah yang kemudian membuat kedudukan Perppu yang dibentuk tanpa persetujuan DPR kadang-kadang dianggap memiliki kedudukan di bawah UU. 4 Sebelum adanya perubahan UUD 1945 terdapat penjelasan Pasal 22 UUD 1945 yang menyatakan, Pasal ini mengenai noodverordeningsrecht Presiden, aturan seperti ini memang diperlukan supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. 5 Huda berpandangan bahwa Pasal 22 tersebut adalah isyarat bahwa dalam keadaan yang lebih genting dan amat terpaksa dan memaksa, tanpa menunggu adanya syarat-syarat yang ditentukan oleh dan dalam suatu undang-undang, serta bagaimana akibat-akibat 4 Hukum Online, Kedudukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5235ce3d531c8/kedudukan-peraturanpemerintah-pengganti-undang-undang-(perpu), diakses pada tanggal 28 November 2014. 5 Ibnu Sina Chandranegara. Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan Konstitusional Antar-Lembaga Negara: Kajian Atas Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009. Jurnal Yudisial, Vol. 5 No. 1, April 2012. hal 3. 4

yang tidak sempat ditunggu dan ditetapkan dalam suatu undangundang, Presiden berhak menetapkan Perppu sekaligus menyatakan suatu keadaan bahaya dan darurat. 6 Dinamika sejarah peraturan perundang-undangan di Indonesia menunjukkan bahwa latar belakang penetapan Perppu oleh Presiden umumnya berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena tolok ukur kegentingan yang memaksa selalu bersifat multitafsir dan besarnya subyektivitas Presiden dalam menafsirkan frase kegentingan yang memaksa sebagai dasar untuk menetapkan Perppu. Hal yang selalu menjadi kontroversi hingga saat ini adalah tolok ukur mengenai kegentingan yang memaksa sebagai dasar bagi pembentukan Perppu. Bahkan seringkali muncul pameo di masyarakat bahwa Perppu umumnya dibentuk bukan karena adanya kegentingan yang memaksa, melainkan karena adanya kepentingan yang memaksa. Melalui penelitian ini penulis hendak berargumen bahwa sampai sejauh ini, tidak ada kriteria tolok ukur yang jelas dari makna hal ikhwal kegentingan yang memaksa tersebut, karenanya kehadiran Perppu lebih pada pertimbangan subjektif Presiden. Penjelasan Pasal 22 UUD 1945 menerangkan bahwa Pasal ini mengenai noodverordeningsrecht Presiden. Oleh sebab itu, maka 6 Huda, Ni matul, dalam Ibnu Sina Chandranegara, Ibid. 5

penulis hendak menganalisis eksistensi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dalam konstitusi di Indonesia serta mengkaji tolok ukur dalam pembentukan Perppu. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Apa hakikat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dalam konstitusi di Indonesia? 2. Apa makna konsep hal ikhwal kegentingan yang memaksa sebagai tolok ukur pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan: 1. Mengetahui hakikat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang (Perppu) dalam konstitusi di Indonesia. 2. Mengetahui makna konsep hal ikhwal kegentingan yang memaksa sebagai tolok ukur pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). 6

D. Manfaat Penelitian 1. Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan bagi pengetahuan dalam ilmu hukum, khususnya mengenai eksistensi peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) dalam konstitusi di Indonesia. 2. Secara praktis hasil pengkajian penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah terkait sebagai eksistensi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dalam konstitusi di Indonesia. E. Landasan Teori 1. Teori PERPPU Landasan teori dalam penelitian ini, yaitu: Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan: Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Perppu juga dinyatakan dalam Pasal 22 UUD 1945: 7 (1) Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. 7 Lihat Pasal 22 ayat UUD 1945. 7

(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. (3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut. Berdasarkan hal tersebut, maka Pasal 22 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk secara subjektif menilai keadaan negara atau hal ikhwal yang terkait dengan negara yang menyebabkan suatu undang-undang tidak dapat dibentuk segera, sedangkan kebutuhan akan pegaturan materiil mengenai hal yang perlu diatur sudah sangat mendesak sehingga Pasal 22 UUD 1945 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). 8 Namun, peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut (vide Pasal 22 ayat (2) UUD 1945) dan jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut (vide Pasal 22 ayat (3) UUD 1945). Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa Perppu harus diajukan ke DPR dalam persidangan berikut. Yang dimaksud dengan persidangan berikut menurut Penjelasan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah masa 8 Jimly Ashiddiqie, Op.cit, hal 209. 8

sidang pertama DPR setelah Perppu ditetapkan. Jadi, pembahasan Perppu untuk di DPR dilakukan pada saat sidang pertama DPR dalam agenda sidang DPR setelah Perppu itu ditetapkan untuk mendapat persetujuan atau tidak dari DPR. 2. Teori Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan atas hukum Reschsstaat. 9 Ciri-ciri negara hukum ialah, pertama, adanya pembagian kekuasaan dalam negara, kedua, diakuinya hak asasi manusia yang dituangkan dalam konstitusi, ketiga, adanya dasar hukum bagi kekuasaan pemerintah (asas legalitas), keempat, adanya peradilan yang bebas dan merdeka, kelima, semua warga negara sama kedudukannya dalam hukum dan pemerintah wajib menjunjung hukum 10. Indonesia adalah negara hukum, oleh karena itu dalam pembentukan undang-undang harus didasarkan pada undang-undang dasar (konstitusi) 11. Undang-undang yang ada harus mencerminkan apa yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan konstitusi Indonesia. Indonesia adalah negara hukum, 9 Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar 1945 Bagian Sistem Pemerintahan Negara. Angka 1. 10 Jimly Asshiddiqie, Negara Hukum Indonesia, Ceramah Umum Ikatan Alumi Universitas Jayabaya, Jakarta, 23 Januari 2010. 11 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Nusa Media, Bandung, 2008, hal: 243-253. 9

maka semua produk undang-undang harus didasarkan pada Undang- Undang Dasar 1945. Kebijakan mengenai pembentukan peraturan perundangundangan sebenarnya telah diatur sejak dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 15 Tahun 1970 tentang Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, namun pengaturannya tidak secara tegas dan rinci. Pengaturan lebih tegas terkait harmonisasi kemudian diatur berdasarkan Kepres Nomor 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, yang merupakan pengganti Inpres Nomor 15/1970 tersebut. Kebijakan pengharmonisasian berdasarkan Kepres Nomor 188 Tahun 1998 kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan amanat dari Pasal 22A UUD 1945. 12 Oleh karena Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dalam tataran praktik empririkal masih banyak mengandung kelemahan, maka DPR bersama Pemerintah telah berhasil menyusun kembali dan melakukan penyempurnaan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 12 Pasal 22A UUD 1945 mengatur bahwa Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang. 10

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Pembentukan suatu Undang-Undang bilamana ditinjau dari aspek substansialnya, pada dasarnya berkaitan dengan masalah pengolahan isi dari suatu peraturan perundang-undangan yang memuat asas-asas dan kaidah hukum sampai dengan pedoman perilaku konkret dalam bentuk aturan-aturan hukum. 13 Lebih jauh aspek materiil ini berkenaan dengan pembentukan struktur, sifat dan penentuan jenis kaidah hukum yang akan dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan. Sedangkan aspek formal berkaitan dengan kegiatan pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlangsung terutama diarahkan pada upaya pemahaman terhadap metode, proses dan teknik perundang-undangan. 14 Aspek materiil dan aspek formal ini saling berhubungan secara timbal balik dan dinamis. Aspek materiil yang memuat jenisjenis kaidah memerlukan aspek formal agar pedoman-pedoman perilaku yang hendak direalisasikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan dapat diwujudkan atau dikonkretkan memiliki 13 Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2009, hal.222. 14 Ibid. 11

legitimasi dan daya laku efektif dalam realitas kehidupan kemasyarakatan. 15 Demikian sebaliknya dimana sebuah produk perundangundangan yang dihasilkan melalui aspek formal/prosedural yang terdiri dari metode, proses dan teknik perundang-undangan sampai menjadi aturan hukum positif agar mempunyai makna serta mendapat respek dan pengakuan yang memadai dari pihak yang terkena dampak pengaturan tersebut memerlukan landasan dan legitimasi dari aspek materiil/ substansial. 16 Melalui proses sinkronisasi materi muatan Undang-Undang akan mendukung pelaksanaan harmonisasi sehingga dapat mencegah terjadinya pengaturan ganda dan pertentangan norma antar berbagai Undang-Undang. Fungsi peraturan perundang-undangan jika dikaitkan dengan hukum sebagai sebuah ideal ialah mencegah timbulnya kesewenangwenangan oleh penguasa terhadap warga negara. 17 Sehubungan dengan penetapan berbagai produk hukum yang bersifat penetapan, menurut Sjachran Basah ada beberapa persyaratan yang perlu diperhatikan, yakni : 18 15 Ibid. 16 Ibid, hal. 223. 17 Titon Slamet Kurnia, Pengantar Sistem Hukum Indonesia, PT Alumni, Bandung, 2009, hal 50. 18 Sjachran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1986, hal 4. 12

a. memenuhi asas legalitas (wetmatige) dan asas yuridis (rechtmatige) b. tidak menyalahi atau menyimpang dari ketaat-asasan hierarki peraturan perundang-undangan; c. tidak melanggar hak dan kewajiban asasi warga masyarakat; d. diterapkan dalam rangka mendukung (memperlancar) upaya mewujudkan atau merealisasi kesejahteraan umum. 3. Teori Kekuasaan Legislasi Presiden Melalui ajarannya Montesquieu berpendapat bahwa: Apabila kekuasaan negara itu dipisahkan secara tegas menjadi tiga, yaitu: kekuasaan perundang-undangan, kekuasaan melaksanakan pemerintahan, dan kekuasaan kehakiman, dan masing-masing kekuasaan itu dipegang oleh badan yang berdiri sendiri, ini akan menghilangkan kemungkinan timbulnya tindakan yang sewenang-wenang dari seorang penguasa, atau tegasnya tidak memberikan kemungkinan dilaksanakannya sistem pemerintahan absolutisme. 19 Pandangan Montesquieu inilah yang kemudian dijadikan rujukan doktrin separation of power. Cara bekerja dan berhubungan ketiga poros kekuasaan tersebut dapat disebut sebagai sistem pemerintahan negara. Dengan demikian yang dimaksud sistem pemerintahan negara adalah sistem hubungan dan tata kerja antar lembaga negara. 20 Di Indonesia, kekuasaan Presiden merupakan kekuasaan yang melaksanakan pemerintahan. 19 Montesquieu, dalam Andy Wiyanto, Pertanggungjawaban Presiden dan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 3, Juni 2010, hal 209. 20 Mohammad Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hal 74. 13

Perubahan (amandemen) UUD 1945 telah membawa pembaharuan dalam ketatanegaraan Indonesia. Bergesernya kekuasaan pembentukan undang-undang dari Presiden ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah salah satu konsekuensi dari perubahan Konstitusi, sehingga fungsi legislatif dari DPR menjadi lebih kuat dari pada yang biasanya (sebelum amandemen UUD 1945). Akan tetapi di dalam pembentukan undang-undang Presiden masih mempunyai kewenangan. Hal ini dapat dilihat dengan adanya suatu keharusan bahwa undang-undang itu dibentuk harus dengan persetujuan bersama antara Presiden dan DPR (vide Pasal 20 ayat (2) UUD 1945). Artinya, Presiden mempunyai peranan yang sangat menentukan dalam pembentukan undang-undang. Begitu juga dalam pengesahan undang-undang, Presiden mempunyai kewenangan untuk mengesahkan undang-undang dengan batas waktu tertentu untuk mengesahkan suatu undang-undang (vide Pasal 20 ayat (4) UUD 1945). Walaupun kekuasaan membentuk undang-undang telah berada di DPR, dalam hal-hal tertentu Presiden juga diberikan kekuasaan dalam menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, derajatnya sama dengan undang-undang. Dalam UUD 1945, 14

kekuasaan Presiden dalam menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, terdapat pada Pasal 22 UUD 1945. Selain itu Menurut Pasal 5 ayat (1) UUD 1945, Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. 4. Teori Prinsip Kegentingan yang Memaksa Mengenai hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Bagir Manan menyatakan bahwa unsur kegentingan yang memaksa harus menunjukkan 2 (dua) ciri umum, yaitu: (i) ada krisis (crisis), dan (ii) ada kemendesakan (emergency). 21 Menurutnya suatu keadaan krisis apabila terdapat gangguan yang menimbulkan kegentingan dan bersifat mendadak (a grave and sudden disturbunse). Kemendesakan (emergency), apabila terjadi berbagai keadaan yang tidak diperhitungkan sebelumnya dan menuntut suatu tindakan segera tanpa menunggu permusyawaratan terebih dahulu. Atau telah ada tanda-tanda permulaan yang nyata dan menurut nalar yang wajar apabila tidak diatur segera akan menimbulkan gangguan baik bagi masyarakat maupun terhadap jalannya pemerintahan. Sedangkan Jimly Asshiddiqie mengenai hal ikhwal kegentingan yang memaksa, berpendapat: 21 Bagir Manan. Lembaga Kepresidenan, PSH-FH UII dan Gama Media, Yogyakarta, 1999, hal 158-159. 15

Bagaimanapun, perpu itu sendiri memang merupakan undangundang yang dibentuk dalam keadaan yang darurat yang menurut istilah Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 disebutkan Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Istilah halihwal kegentingan yang memaksa dan darurat di sini tentu tidak boleh dikacaukan atau diidentikkan dengan pengertian keadaan bahaya menurut ketentuan Pasal 12 UUD 1945. Keadaan darurat atau dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa di sini adalah keadaan yang ditafsirkan secara subjektif dari sudut pandang Presiden/Pemerintah, di satu pihak karena (i) Pemerintah sangat membutuhkan suatu undangundang untuk tempat menuangkan sesuatu kebijakan yang sangat penting dan mendesak bagi negara, tetapi di lain pihak (ii) waktu atau kesempatan yang tersedia untuk mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat tidak mencukupi sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, dari segi substansinya sebenarnya juga merupakan undang-undang dalam arti materiel (wet in materiele zin). Sebab, substansi norma yang terkandung di dalamnya adalah materi undang-undang bukan materi peraturan pemerintah. 22 F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Sesuai dengan karakteristik perumusan masalah yang ditujukan untuk menganalisa eksistensi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dalam konstitusi di Indonesia serta mengetahui tolok ukur dalam pembentukan Perppu, maka metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, 22 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hal 210. 16

maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. 23 2. Pendekatan Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan oleh penulis, maka untuk menjawab isu hukum dalam penelitian, penulis akan menggunakan pendekatan sebagai berikut: a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan perundang-undangan diperlukan karena yang menjadi fokus sekaligus tema sentral penelitian ini yaitu eksistensi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dalam konstitusi di Indonesia serta mengetahui tolok ukur dalam pembentukan Perppu. Dalam metode pendekatan perundangundangan, peneliti perlu memahami hierarki, dan asas-asas dalam peraturan perundang-undangan. 24 Dengan demikian, pendekatan perundang-undangan dalam penelitian ini merupakan legislasi dan regulasi mengenai hakikat pembentukan Perppu. b. Pendekatan konsep (conceptual approach). Pendekatan konseptual dilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang ada. 25 Dalam penelitian ini, 23 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cetakan keenam, Kencana, Jakarta, 2010, hal. 35. 24 Peter Mahmud Marzuki, Op.cit, hal. 96. 25 Ibid, hal 137. 17

maka penulis akan menggali makna konsep hal ikhwal kegentingan yang memaksa sebagai tolok ukur pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) berdasarkan pandangan-pandangan tokoh-tokoh dan doktrindoktrin hukum yang berkembang dalam Ilmu Hukum. Meskipun tidak secara eksplisit, konsep hukum dapat juga diketemukan di dalam undang-undang. 26 Jadi konsep-konsep hukum tersebut akan dijadikan penulis sebagai pijakan dalam membangun argumen-argumen hukum mengenai makna konsep hal ikhwal kegentingan yang memaksa sebagai tolok ukur pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). 3. Tehnik Pengumpulan Bahan Hukum dan Sumber Penelitian Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian adalah penelusuran kepustakaan yang berupa literatur dan dokumen-dokumen yang ada, yang berkaitan dengan objek penelitian. Oleh karena itu, sumber bahan hukum penelitian ini adalah bahan hukum sekunder, yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. 27 Bahan hukum yang dikaji meliputi beberapa hal berikut: 26 Ibid, hal 138. 27 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, 1995, hal.39. 18

a. Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian, seperti misalnya: UUD 1945, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana dan hasil simposium yang relevan dengan penelitian ini. c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. 4. Metode Analisis Penelitian ini menggunakan pula metode analisis deskriptif kualitatif. Deskripsi atau pemaparan merupakan kegiatan menentukan isi aturan hukum setepat mungkin, sehingga kegiatan mendeskripsikan tersebut dengan sendirinya mengandung kegiatan interpretasi. 28 Dalam penelitian ini yang diinterpretasikan yaitu mengenai eksistensi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- 28 Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2000, hal. 149-150. 19

Undang (Perppu) dalam konstitusi di Indonesia serta mengetahui tolok ukur dalam pembentukan Perppu. G. Sistematika Penulisan Bab II membahas tentang eksistensi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Pada tataran historis, penulis akan memaparkan hirarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia di Indonesia. Pada tataran konseptual, penulis akan memaparkan Perppu dalam sistem perundang-undangan Indonesia dan kekuasaan legislasi Presiden. Pada tataran konseptual, penulis akan memaparkan hakikat Perppu di Indonesia. Bab III membahas tentang tolok ukur hal ikhwal kegentingan yang memaksa dalam pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Dalam bab ini, pada tataran historis penulis akan memaparkan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) di Indonesia. Pada tataran analisis, penulis akan mengkaji frasa hal ikhwal kegentingan yang memaksa (Pasal 22 ayat (1) UUD 1945) Vs frasa keadaan bahaya (Pasal 12 UUD 1945). Selain itu penulis juga akan menganalisa perihal tolok ukur hal ikhwal kegentingan yang memaksa dalam 20

pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) berdasarkan konstitusi di Indonesia. Bab IV merupakan bab Penutup yang berisi mengenai kesimpulan yang menjawab rumusan masalah dan tujuan penelitian. Pada akhir bab ini penulis akan mengemukakan sarannya terkait dengan pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang (Perppu) di Indonesia. 21